"Pelita, di sini!"
Seorang perempuan berambut panjang dikuncir dengan setelan jins biru tua dan kaos lengan pendek warna putih yang dilapisi kardigan rajut warna moka melambaikan tangan ke arah pintu masuk kafe begitu orang yang ditunggunya terlihat di pandangan. "Di sini, di sini!" ulangnya yang membuat beberapa pengunjung kafe yang lain menatap bergantian ke arahnya dan ke arah seseorang yang baru masuk ke dalam kafe. Keduanya terlalu eye chatching untuk tidak menarik perhatian. Pelita yang baru datang hanya mengulas senyum cerah, melambaikan tangan sebentar sebagai balasan kemudian berjalan ke arah Cecilia, perempuan berambut panjang dikuncir yang barusan menyerukan namanya. "Mbak Cecil, udah lama, ya?" tanyanya sembari menarik kursi untuk duduk. "Enggak. Baru aja. Tuh, mejanya masih kosong belum ada apa-apanya." Pelita memasang senyum lagi. "Oh, ya udah, Mbak. Aku pesenin min"Pulang kamu gimana? Aku antar, ya! Sekali-kali boleh lah mampir ke tempat kamu! Aku penasaran gimana selera tempat tinggal kamu." Pelita hanya terkekeh kecil menanggapi kata-kata yang dilontarkan Cecilia kepadanya. "Ayolah! Nggak akan nggak, aku nggak akan bocorin alamat kamu ke orang lain! Kita udah kerja sama selama dua tahun nerbitin buku. Tapi di data pribadi penulis yang kamu isi, alamat yang kamu sertakan selalu alamat kamu yang ada di Jogja. Kamu ... sebenarnya orang mana sih? Jogja, Jakarta, atau Bandung?" Pelita tertawa lagi dengan sedikit lebih keras. "Kalau bisa aku pengin liat KTP kamu secara langsung rasanya," tambah Cecil lagi. Yang diajak bicara Cecil kembali tertawa di balik kacamata hitam yang masih dikenakannya. "Buat apa sih, Mbak Cecil?" balas Pelita kemudian. "Aku itu seperti salah satu judul tetralogi novelnya Pramoedya Ananta Toer, Anak Semua Bangsa. Anggap aja gitu. Jadi tinggalku bis
"Hufft ...." Pelita menghembuskan napas kasar.Ingatan itu masih terasa sangat baru di kepalanya. Seolah terjadi baru saja. Saat dirinya memutuskan pergi meninggalkan Jakarta setelah berselisih paham dengan Papa dan istri barunya lalu disusul June di Bandung.Pelita tidak menyangka jika sudah dua tahun lamanya waktu berputar sejak hari itu. Tapi dirinya masih sama dan belum bisa berdamai dengan masa lalu. Mungkin tidak akan pernah bisa.June mengemudikan mobilnya dalam diam di kursi kemudi yang ada di sebelah kanan Pelita. Tidak ada percakapan. Benar-benar sibuk dengan pikiran masing-masing yang sama-sama berkecamuk.Seberapa besar usaha Pelita untuk melupakan masa lalu, masa lalu itu selalu datang menghantuinya. Lagi dan lagi. Tidak peduli seberapa keras dirinya menyibukkan diri. Kuliah, modeling, menulis dengan beberapa akun sekaligus, mengolah channel YouTube dan mengelola Instagram. Masa lalu itu selalu menemukan celah untuk mengusiknya diam-d
June dan keluarganya. Keluarga laki-laki itu adalah keluarga yang suka memberikan kebebasan. Robert Aldrian Adams dan Camelia Margareth, kedua orang tua June itu sama-sama orang yang berpikiran terbuka dan akan mendukung apa pun keputusan June yang mereka anggap baik dan bisa membahagiakannya. Mereka tidak pernah mengekang June meski laki-laki itu adalah anak tunggal---Itulah kenapa, June tidak ragu saat dirinya mengajak Pelita meninggalkan Indonesia dan hidup bersama di Australia dua tahun yang lalu, di negeri tempat Papanya dilahirkan. Sebab June tahu benar, orang tuanya akan mengizinkannya meski di awal mereka mungkin akan marah kepadanya karena ia yang mengambil keputusan sendiri dan secara tiba-tiba. Mereka bahkan tidak melarangnya saat June keluar dari UI dan pindah ke tempat kuliah Pelita di Bandung. Meninggalkan universitas ternama Indonesia dan memilih masuk swasta. Mereka merasa kecewa? Iya. Tapi kebahagiaan putra
"Lagi." Di tempat dengan pencahayaan temaram itu, suara musik yang sangat keras mengalun seperti dentuman. Menghentak dan membuat tubuh-tubuh manusia yang ada di lantai dansa menggeliat seperti cacing kepanasan. Menggila dengan lampu berwarna-warni yang sesekali menyorot wajah mereka. Aroma parfum yang bercampur rokok merajai udara, membuat sesak paru-paru orang yang belum biasa berada di sana. "Sendirian aja. Aku temenin, ya." Seorang perempuan dengan pakaian ketat yang kurang bahan menghampiri tempat Aldo yang baru memesan segelas alkohol lagi di depan meja bartender. Menggelayutkan kedua tangannya di tubuh Aldo dengan gerakan seringan kapas lalu memasang senyum menggoda ke arahnya. Aldo menatap perempuan cantik dengan dandanan menor itu lekat sambil mengulas senyum menyeringai. Meraih salah satu tangannya kemudian mengelusnya lembut. Perempuan itu pun langsung mendudukkan dirinya di atas pan
Adhim Zein Ad-Din Hisyam POV Seminggu kemudian ... Meninggalkan Kediri, meninggalkan Umi, meninggalkan Zulfa, aku kembali melakukannya. Rasanya masih sama hampanya. Seperti biasa, Umi menyuruhku segera menikah. Kemarin sebelum pulang ke Kediri Umi sudah menunjukkanku putri seorang kiai yang rumahnya ada di Jawa Tengah, adik tingkatku dulu katanya saat aku nyantri di Ponorogo bersama sahabat karibku Gus Aji. Aku lupa namanya. Namun di rumah, Umi kembali membahasnya. Apakah semenakutkan itu memiliki anak laki-laki seumuranku yang belum mau berkeluarga saat kakak laki-laki dan adik perempuannya sudah? Lagi pula aku belum ingin! Menikah adalah sunah bagi mereka yang mampu. Dan aku masih merasa jauh dari kata mampu untuk itu. Tidak menyerah dengan putri kiai yang berasal dari Jawa Tengah itu, Umi mencoba menjodohkanku dengan santrinya Kiai Adnan, ayah mertua adikku Zulfa yang memiliki
Hari menjelang sore saat Adhim yang sedang membenarkan salah satu genteng bocor di rumah singgah mendapati Aldo yang mendatanginya. "Assalamu'alaikum," salam Aldo keras-keras setelah turun dari motor. "Wa'alaikumussalam." Anak-anak yang ada di rumah singgah menjawab serempak. Adhim yang sudah selesai dengan pekerjaannya menuruni tangga yang dinaikinya tadi menuju atap. "Minum dulu, Bang!" Resti datang dari dalam rumah menyajikan secangkir kopi untuk Adhim di atas meja teras. "Gue nggak dibikinin nih?" tanya Aldo. "Enggak," jawab Resti dengan ketus. "Oke deh," balas Aldo dengan nada yang dibuat-buat kecewa menyaksikan Resti yang kembali masuk ke dalam rumah singgah dengan nampan kayunya. "Punya gue minum aja, gapapa," kata Adhim. "Nggak ah. Nanti gue kena semprot si Resti," balas Aldo kemudian mendudukkan diri di salah satu kursi kayu teras.
Satu minggu kemudian ...Seperti sudah ditakdirkan oleh semesta, dua orang yang masing-masing memiliki luka di hatinya malam itu akhirnya dipertemukan dalam satu garis edar yang sama.Nur Walis Pelita dan Adhim Zein Ad-Din Hisyam.Seperti guratan takdir kehidupan, keduanya pada akhirnya dipertemukan.Atas paksaan Aldo, Adhim akhirnya datang di acara itu menggunakan salah satu setelan jas yang dibelikannya. Pameran seni besar-besaran yang digelar di ballroom hotel bintang lima ternama Kota Bandung.Pelita juga ada di sana. Jika Adhim datang untuk memamerkan brand produk gelangnya, Pelita datang karena terlibat dalam peragaan busana yang juga diadakan para panitia sebagai diva.Sejak pukul dua, Pelita langsung bertolak dari kampus menuju ke tempat acara untuk bersiap-siap. Arina menemaninya seperti biasa. Sedangkan June, laki-laki itu masih menghilang tanpa kabar sejak seminggu yang lalu. Arina sudah mencoba menghubunginya berkali-
Lorong berdesain arsitektur mewah itu terlihat sepi sebagaimana seharusnya lorong sebuah hotel di malam hari. Dalam sebuah kamar berjenis suite room yang disewa seseorang, Arina mencoba membangunkan Pelita yang terlihat kehilangan kesadarannya. "Pelita! Pelita, bangun!" Gadis bersurai kecokelatan itu menggoyang-goyangkan tubuh Pelita yang terlihat tak berdaya di atas tempat tidur. "Bangun sebelum Arka dateng, Lit!" serunya menepuk pipi Pelita. "Bangun! Maafin kebodohan aku karena bikin kamu berada di situasi seperti ini. Tapi untuk saat ini, kamu harus bangun! Kamu harus pergi dari sini, Pelita!" Arina terus berusaha membangunkan Pelita. Namun di atas ranjang, Pelita tidak bergerak sama sekali. "Bang June ..., kamu di mana? Kita butuh kamu, Bang," keluh Arina dengan kedua mata yang berkaca-kaca seperti akan menangis. "Kamu pasti nggak akan biarin semua ini terjadi kalau ada di sini. Pelita dala