Aku berjalan ke arah meja resepsionis untuk mengambil dan menandatangani kontrak kerjaku, senyum tak pernah luntur dari bibirku saat membayangkan akan bekerja dan mendapatkan gaji dari perusahaan sebesar ini yang aku tahu memberikan gaji tak sedikit, bisa dua kali lipat dari perusahaan biasa.
Setelah sampai di meja resepsionis, aku pun menatap ke arah wanita cantik yang tadi menyeleksi kandidat sekretaris lalu menyapanya dan memberi tahu tujuanku.
"Selamat siang."
"Siang, ada apa?"
"Saya disuruh Pak Gilbert untuk minta kontrak kerja dan menandatanganinya, Bu."
"Oh gitu, tunggu dulu."
"Baik, Bu."
Entah hanya ia yang merasakan atau memang benar adanya, ia bisa melihat tatapan kasihan sejenak di mata resepsionis itu, ia merasa tidak seperti gembel yang tersesat di kantor megah ini, walaupun pakaiannya dan riasan wajahnya tidak semewah para pekerja di sini, namun ia merasa tak ada yang perlu dikasihani. Ia pun memilih untuk melupakan tatapan resepsionis itu yang hanya akan menganggu kebahagiaannya setelah diterima kerja.
"Ini kontraknya, dibaca dulu."
"Baik."
Ingin sekali ia langsung menandatangani kontrak kerja itu jika saja wanita cantik di depannya yang dibatasi meja ini, tidak menekankan perintahnya untuk membaca kontrak ini.
Ia pun mulai membaca satu-persatu pasal yang ada di kontrak itu, ia merasa tak ada yang aneh dan semuanya normal sampai ada satu pasal yang membuatnya terdiam dan langsung menatap resepsionis itu yang tersenyum tipis seakan sudah tahu arti tatapannya. Bahkan resepsionis itu langsung menjelaskan padanya tanpa perlu ia tanya.
"Itu kewajiban setiap sekretaris Pak Gilbert, kalau kamu keberatan, lebih baik langsung undurkan diri. Kamu terlihat seperti gadis baik-baik."
"Apa pasal ini tidak bisa dihapus? Saya sangat butuh pekerjaan ini namun tidak mungkin saya mematuhi pasal yang satu ini."
"Maaf, tapi tidak bisa."
Jawaban resepsionis itu membuatnya bimbang dan tak tahu harus melakukan apa saat ini, di satu sisi ada harga dirinya sebagai wanita sedangkan di sisi lain ada kebutuhan hidup yang mendesak.
Namun saat ingatan mengenai adiknya yang harus bekerja sampingan demi membantunya, akhirnya membuat ia terpaksa langsung menandatangani surat kontrak kerja itu. Ia bisa melihat resepsionis itu cukup terkejut setelah ia menandatangani kontrak kerja dan memberikannya kembali.
"Saya setuju dengan semua pasal yang ada di surat kontrak kerja."
"Baik, mulai sekarang Anda adalah sekretaris Pak Gilbert, selamat bekerja dan semoga Anda nyaman bekerja di sini."
Tak seperti tadi yang penuh semangat, sekarang ia hanya mengangguk sebagai balasan atas ucapan resepsionis itu. Ia pun segera melangkahkan kakinya menuju lift yang akan membawanya ke ruangan bosnya itu.
Saat pintu lift terbuka, ia pun langsung keluar dan hendak masuk ke dalam ruang kerja bosnya, namun ia terdiam sesaat di depan pintu untuk menenangkan dirinya dari kegugupan saat membayangkan satu pasal yang masih terbayang-bayang di kepalanya.
"Pak Gilbert, ini saya Namiya."
Akhirnya ia memberanikan membuka suara dan mengetuk pintu ruangan bosnya, ia menunggu perintah lebih lanjut dari dalam karena bagaimana pun ia harus menunjukkan sopan santun terhadap bos.
"Masuk."
Setelah mendapat persetujuan, ia pun membuka pintu ruangan itu dan hendak masuk ke dalamnya, namun saat melihat bosnya sedang memangku seorang wanita yang ia tebak adalah staff kantor ini, ia pun tak jadi masuk dan hanya diam di tempat, sebelum akhirnya memohon maaf padahal ia tak salah.
"Maaf, Pak. Saya tidak tahu jika Bapak sedang sibuk, nanti saja saya bicara pada Bapak."
Ia hendak menutup kembali pintu ruangan itu karena tak terbiasa melihat pemandangan dewasa ini, ia terlalu polos untuk umur wanita dewasa yang seharusnya sudah tahu Sex.
"Masuk, Namiya. Saya sudah memberi izin tadi."
Suara bosnya membuat ia tak jadi menutup pintu itu, ia jadi ragu untuk melangkah masuk, namun jika ia tidak masuk maka bosnya mungkin akan marah dan ia tak mau dipecat hanya karena masalah ini. Akhirnya ia pun melangkah masuk dan terus menunduk agar tak melihat apa yang dilakukan dua insan itu di depannya.
"Kamu sudah tanda tangan kontrak?"
"Sudah, Pak."
"Sudah baca isinya?"
"Sudah, Pak."
"Berarti kamu sudah paham aturan kerja di sini, sekarang saya akan menjelaskan cara kerja pasal terakhir yaitu pasal 30."
Mendengarkan ucapan bosnya yang membahas pasal kramat itu, membuat ia langsung menegakkan kepalanya dan menatap terkejut ke arah bosnya. Ia tak menyangka jika akan secepat ini bosnya meminta pasal kramat itu.
"Tapi, Pak ...
"Tidak ada penolakan, Namiya. Terus tatap saya, jangan menunduk dan mengalihkan kamu ke arah lain. Saya akan membuat kamu paham hari ini."
Ia hanya bisa mengangguk terpaksa mendengar nada perintah dari bosnya. Entah langkah apa yang sudah ia ambil, namun ia berusaha tetap bertahan dan tidak pergi dari sini lantaran jijik dengan kegiatan dua orang dewasa itu yang kini saling membuka pakaiannya di depannya.
Ia tak tahu sudah serendah apa harga diri wanita di zaman sekarang hingga tak malu mempertontonkan kegiatan Sex mereka di depan wanita lain. Atau mungkin bosnya juga tak punya urat malu lagi, karena keduanya bukan terlihat terpaksa, namun sangat menikmati kegiatan tersebut dan bergoyang bersama untuk mendapatkan puncak kenikmatan.
"Mendekat ke arah saya, Namiya. Berdiri di samping saya."
"Tapi, Pak. Saya ...
Ia hendak menolak perintah bosnya karena ia tak mau melihat semakin jelas tindakan menjijikkan itu, rasanya saja sekarang ia ingin muntah namun bosnya dengan segala keangkuhannya langsung memotong ucapannya, membuat ia ingin menangis saat ini karena takut.
"Sudah saya bilang, jangan pernah menolak perintah saya."
Dengan langkah kaki yang gemetar, ia mendekat ke arah bosnya itu dan berdiri di samping bosnya, kali ini ia menatap ke atas karena tak mungkin menunduk yang nantinya akan memperjelas penglihatannya akan keintiman dua insan itu.
Akhirnya dua insan itu hampir mencapai puncak kenikmatannya, namun ia kaget saat bosnya menjatuhkan Partner Sex-Nya ke lantai lalu tanpa izin, menyiram baju yang ia pakai dengan air mani pria itu.
"Itu kenikmatan, Namiya."
Akhirnya tangisnya pecah saat merasa tubuhnya lengket akibat terkena cairan menjijikan itu, ia diam mematung dengan air mata mengalir deras di pipinya. Ia merasa begitu kotor karena diperlakukan dengan hina oleh seorang pria hanya demi sebuah pekerjaan dan uang, ia tidak lebih baik dari para wanita yang menjajakan tubuhnya dengan pria mana pun.
"Namiya, kamu kenapa menangis? Saya tidak melukai kamu."
"Pelajarannya sudah selesai kan, Pak? Saya .... saya mau membersihkan cairan ini di baju saya."
Ia benci berbicara dengan nada terbata-bata karena sedang menangis, hal itu membuatnya terlihat begitu lemah, setelah pingsan lalu menangis. Ia bisa melihat bosnya itu masih diam dan menatap dirinya, sebelum mengangguk.
Ia pun langsung berlari ke arah kamar mandi yang berada di ruangan bosnya, di dalam kamar mandi ia menangis sekencang mungkin saat sadar ruangan ini kedap suara, ia langsung mengambil tisu dan dengan tangan bergetar karena jijik, ia mengusap cairannya dengan tisu.
Tanpa ia ketahui bosnya sudah berdiri di depan pintu kamar mandi karena merasa bersalah saat melihat ia menangis. Gilbert seharusnya sadar bahwa ia terlalu cepat membuat gadis itu mengerti urusan dewasa seperti ini, namun nafsunya dan keinginannya untuk membuat gadis itu bersedia secara sukarela menyerahkan dirinya, malah membuat gadis itu ketakutan atau mungkin trauma padanya.
Setelah kejadian beberapa hari dulu, sekarang Namiya jadi lebih menjaga jarak atau lebih tepatnya menjauh dariku, sudah aku duga ini akan terjadi namun bagaimana pun aku harus menyadarkan gadis itu akan pasal terakhir dalam kontrak kami.Aku selalu berusaha mendekati gadis itu dengan perlahan-lahan, walaupun terlihat tidak profesional dalam bekerja, namun aku tetap melakukannya, menarik perhatian seorang gadis bukanlah diriku, namun saat melihat gadis itu menjauh dariku membuat aku risih, contohnya seperti saat ini.Mereka sedang makan siang bersama klien, namun gadis itu malah mengambil tempat duduk di samping klien, ketimbang di sampingku. Hal itu pun membuat aku kesal dan langsung memerintah kembali gadis itu."Namiya, duduk di samping saya.""Baik, Pak."Terlihat sekali bahwa gadis itu terpaksa menuruti keinginannya, sebelum gadis itu duduk, ia sengaja mendekatkan kursi di sampingnya ke ara
Entah sudah berapa menit aku berdiri di depan lemari pakaianku yang sudah rusak dan kayunya mulai rapuh oleh rayap, wajar saja karena umur lemari ini sudah sepuluh tahun, ia belum punya uang untuk mengganti lemari usang ini. Tapi bukan itu permasalahannya sekarang, masalahnya adalah isi lemari itu.Ia sedang mencari mana baju yang kayak untuk ia pakai ke Club, meskipun itu tempat yang penuh maksiat, namun ia percaya bahwa pertemuan yang melibatkan Pak Gilbert di dalamnya pasti pertemuan yang mewah dan elegan, yang berisi ratusan orang dengan setelan jas mahal, gaun indah, dan perhiasaan yang berharga fantastis.Membayangkan betapa mewahnya acara nanti malam dan membedakan pakaian semua orang di sana nantinya dengan pakaian di lemarinya membuat ia menghela nafas kasar dan kembali menutup lemari tersebut. Tak ada satu pun baju atau gaun yang layak pakai, dari pada mempermalukan diri sendiri di pesta mahal itu, lebih baik i
Akhirnya kami pun sampai di dalam Club yang sudah dipenuhi lautan manusia yang bergoyang dan berpesta ria dengan minuman dan pasangan mereka. Tanganku dengan sengaja memeluk pinggang sekretarisku, dia terlihat risih dengan keberadaan tanganku di pinggangnya dan beberapa kali menurunkan tanganku dengan halus agar aku tidak tersinggung dengan penolakannya.Namun bukan Gilbert namaku jika dengan cepat mengalah, setiap kali ia turunkan tanganku maka saat itu juga aku naikkan lagi tanganku. Akhirnya dia mengalah karena lelah untuk menurunkan tanganku yang nakal. Diam-diam aku memperhatikan dirinya yang terlihat memukau malam ini, sebenarnya Namiya itu seksi dengan tubuh langsingnya dan beberapa aset unggulan para wanita yang ada di tubuhnya sangat menggoda untuk disentuh. Namun sayangnya dia sepertinya anak rumahan yang lugu sehingga masih memakai gaun selutut yang sopan itu."Ayo kita duduk di pojok.""Duduk di sini saja, Pak. Di
Pagi ini, aku bersiap-siap untuk bekerja ke kantor. Seperti biasanya aku sibuk menyiapkan segala hal dan bersih-bersih rumah agar nantinya saat aku pulang dengan keadaan lelah maka rumah sudah bersih. Aku mulai menyapu, mengepel, mencuci baju, masak, mencuci piring, menjemur dan menyetrika. Sebelum akhirnya aku mandi dan berpakaian dengan kemeja dan rok span yang sama saat aku melamar kerjaan karena aku hanya punya dua setelan baju kerja."Mungkin nanti jika sudah gajian maka aku akan membeli setelan kemeja dan rok untuk kerja," ucapku sambil menatap pantulan diriku di kaca yang terlihat tak menarik dan biasa saja."Apa yang Pak Gilbert lihat dariku? Cantik pun tidak, seksi juga tidak, pintar pun biasa saja. Mungkin mata bosku itu sedang sakit saat memutuskan memilih aku menjadi sekretarisnya.""Tapi seharusnya aku bersyukur jika mata bosku sakit saat itu, sehingga aku bisa dapat pekerjaan dengan gaji yang tinggi."
Waktu jam istirahat pun dimulai, aku memilih tetap berada di mejaku saja karena aku bawa bekal jadi tak perlu turun ke lantai bawah yang terdapat kantin. Pandanganku sejenak tertuju ke arah pintu ruangan bosku yang belum terbuka sejak tadi, dia pasti sedang melakukan kegiatan mesum sehingga lupa waktu dan membatalkan makan siang dengan rekan kerja. Aku memilih tak mempedulikan mereka dan hendak makan namun gerakan tanganku terhenti ketika melihat seorang pemuda cukup tampan dengan senyum ramah berdiri di depanku dengan berkas di tangannya."Selamat siang, Namiya.""Selamat siang, Pak Andres.""Lagi makan siang ya?""Iya, Bapak ada keperluan apa di sini? Mau kirim berkas ke Pak Gilbert?"Keningku berkerut bingung saat pria itu menggelengkan kepalanya dan malah menarik kursi di depanku lalu duduk di depanku. Aku yang canggung dengan keadaan ini pun jadi tak enak hati lanjut makan saat ada Manajer
Waktunya jam pulang pun tiba, semua karyawan kantor mulai berjalan keluar dari kantor, aku pun hendak pulang dan ingin masuk ke dalam mobil namun tak jadi lalu kembali menutup pintu mobil saat melihat sekretarisku dengan salah satu bagian manajer yang tadi siang menjadi alasan aku kesal. Tadi siang makan bersama, sekarang ingin pulang bersama. Tak akan aku biarkan."Namiya!"Perempuan itu menoleh ke belakang dan terkejut sekaligus bingung saat melihat aku yang memanggilnya. Andres juga tak menyangka jika aku ada lagi di antara mereka, dia terlihat kesal namun berusaha tetap sopan karena aku atasannya."Pak Gilbert, ada apa memanggil saya?""Pulang bareng saya, ada tugas yang harus kamu selesaikan."Tak pernah aku berbohong hanya untuk menahan seorang perempuan, pasti sekretarisku ini bingung dengan apa yang aku ucapankan. Apalagi Andres yang terlihat tak percaya jika yang ucapan kan benar. Aku
Sudah seharian penuh ini aku dirawat di rumah sakit. Aku sudah bisa pulang karena tak ada luka dalam, hanya luka kecil di keningku. Aku pingsan karena syok dengan kecelakaan yang menimpaku. Adikku, Nasya sedang menyuapi aku bubur rumah sakit karena dia mau aku makan dulu sebelum pulang agar ada tenaga.Tadi aku sudah menolak makan karena aku tahu bubur khas buatan rumah sakit benar-benar tidak enak karena rasanya hambar namun adikku memaksaku untuk memakannya demi kesehatanku. Dia pun tak akan mengizinkan aku pulang jika belum makan. Alhasil aku pun terpaksa makan bubur ini dengan ekspresi cemberut."Oh ya, kau belum memberitahu aku tentang bagaimana kau bisa ada di sini dan mengetahui jika aku mengalami kecelakaan.""Bosmu mengantar supir untukku ke rumah sakit dan memberitahu aku ketika sudah sampai di rumah sakit."Kening berkerut bingung mendengar jawaban adikku, aku sebenarnya berharap jika Gilbert akan m
Pagi-pagi aku sudah bangun untuk melakukan aktivitasku seperti biasanya namun aku terkejut saat melihat adikku tak ada di sisi kasur di sampingku. Aku pun berjalan keluar kamar dan mencarinya di ruang tamu, kodnisi rumah yang sudah bersih serta semua macam cucian yang sudah bersih membuat aku bingung siapa yang mengerjakan semua ini. Bahkan sarapan sudah terhidang di atas meja, makanan sederhana berupa tempe, tahu, ikan, dan sayur namun terlihat lezat dan nikmat."Dimana, Nasya?""Siapa yang melakukan semua ini?""Apakah Nasya yang melakukannya?"Semua pertanyaan dalam diriku terjawab saat aku melihat adikku sudah rapi dengan seragam sekolahnya, dia tersenyum saat melihat aku sudah bangun lalu menuntunku untuk duduk di lantai untuk makan bersama kemudian memindahkan makanan dari meja ke lantai. Senyum manis menghiasi bibirnya, lalu dia menaruh nasi dan lauk di piringku."Hari ini aku sengaja ba