"Mas bangun Mas, kenapa tinggalin aku! Jangan tinggalin aku dan Qila, Maas! Maaas!" Kupeluk erat tubuhnya sambil tak henti berseru menyuruhnya bangun. Air mata di pipi kuseka cepat, tapi kembali mengalir deras, menetes membasahi wajah suami tercinta.
Aku tercekat memandang wajahnya. Jantungku berdetak kencang membayangkan hari yang harus tetap dilalui setelah ini. Membesarkan Qila sendirian, mana aku bisa? Selama ini, seringnya Mas Rofi yang terbangun tengah malam menjaga anak semata wayang. Ia hanya akan membangunkan istrinya ini saat Qila menangis minta ASI. Kugigit bibir kuat dan tersengal, seolah batu sangat besar ditindih kan di dadaku. Amat sakit dan sesak rasanya sampai aku kesulitan bernapas."Mas, mas. Lihat aku, Mas. Jawab ucapanku!" Kuguncang-guncang tubuh lelakiku yang tak juga bergeming. Kenapa tega tinggalin aku, Mas? Mana janji yang selalu mengatakan akan setia dan mendampingiku sampai tua?Masih terpahat segar dalam ingatan, beberapa tahun lalu saat aku merebah di dadanya dan berkata dengan manja seperti biasa. Tanganku bergerak naik turun di dadanya yang tak berbusana. "Kalau aku gak hamil jugaa, kalau aku gak bisa lahirin anak buat mas, bakalan tinggalin aku nggak? Atau bakal poligami?" Aku menatapnya ingin tahu.Tangannya membelai lembut rambutku, ia tertawa kecil dan menggelengkan kepala. "Cintaku sudah terkunci di kamu. Gak bisa ke mana-mana lagi. Kita akan selalu bersama sampai tua dengan atau tanpa anak." Dikecupnya keningku lembut, dengan tatapan penuh sayang yang membuatku selalu betah di dekatnya, merebah di dadanya menikmati bunyi detak jantungnya yang teratur. Suamiku sangat lembut, bukan? Selain itu, ia juga sangat perhatian."Kalau poligami?" Aku memperhatikan wajahnya, ingin melihat reaksinya atas pertanyaanku.Suamiku langsung terpingkal-pingkal, membuat tubuhnya di mana wanitanya ini sedang merebah sedikit berguncang. "Satu saja sudah membuatku repot banget apalagi dua? Tak pernah terpikir." Ia menyentil hidungku dengan tatapan menggoda.Mengingat itu semua membuat jantungku bagai diremas kuat-kuat, sakit tak terkira. Membayang di benakku tatapan tak suka Mas Rasya saat kuutarakan ide ingin memberi suami kejutan yang tak biasa. Mas Rasya berkata tak perlu neko-neko. Lelaki jutek itu memang selalu tak suka tindakanku."Mas." Serak. Suaraku terdengar, menggema di ruangan yang sepi ini. Bapak terdiam. Sementara ibu terisak kecil. Anak sulungnya menatap Mas Rofi tampak begitu kehilangan.Kudaratkan kecupan ringan di pipi suamiku, lalu ciumanku merambat di keningnya, bibirnya, sambil berkali-kali menyusut air mata yang akan kembali timbul dan jatuh di wajah suamiku. Sesekali, tanganku mengguncang-guncang tubuhnya yang tak bereaksi. Suamiku tak pernah seperti ini. Ia selalu sensitif. Bahkan hanya kecupan ringan di pipi akan membangunkannya."Sabar, Pus, sabar. Perbuatanmu menyakiti Rofii." Ibu mengusap bahuku, memelukku dari belakang. Kuusap air mata yang membasah di kedua pipiku. Qila dalam gendongan lelaki tua yang terlihat begitu menyimpan kesedihan tengah berceloteh riang. Bibir mungilnya melekuk senyum manis saat aku menatapnya."Eeeh. Eeeeh. Eeenenen. Eeeh. Enen."Qila terus berceloteh, bibir mungilnya bergerak-gerak lucu sementara matanya yang jernih cemerlang tengah memandangku. Lagi-lagi senyum bocah itu terkembang lebar. Di ambang pintu, lelaki itu menatap ke arahku penuh kebencian. Ia melangkah mendekat, berdiri tepat di sebelahku yang terus mengharap Dia mau bermurah hati membuat Mas Rofi kembali bersama kami. Tapi harapan yang musykil. Lelaki tercintaku ini tetap tak bergerak. Ada sisa kemarahan di wajahnya yang putih bersih."Aku kan sudah bilang tak perlu memberi kejutan aneh-aneh!" Sinis. Saat lelaki bertubuh tegap menoleh menatapku."Ibu setuju ide Puspita karena ... ya karena ... ibu bayangkan wajah senang Rofi saat ibu keluar membawa kue dan hadiah.""Dan ini yang terjadi!" kata Mas Rasya sinis. Ibu mengusap air mata di pipinya dengan wajah terlihat sangat menyesal. Tatap penuh kehilangan lekat di wajah keriput ibu dan bapak. Juga Mas Rasyavyang lagi-lagi memandangku jutek.Mas Rasya dan suamiku sangat dekat. Suamiku selalu menurut pada apa yang dikatakan Mas Rasya. Mas Rasya tulang punggung di keluarkannya. Sejak perusahaan bapaknya bangkrut saat ia baru masuk di perguruan tinggi, bapak jadi sakit-sakitan dan akhirnya ia mengambil alih. Ia juga yang membiayai kuliah Mas Rofi. Tapi, saat pertama bertemu dengannya dulu Mas Rasya tak begini. Ia begitu ramah meski terkadang tersenyum mengejekku. Sifatnya mulai berubah setelahnMbak Ndari meninggal setelah melahirkan anaknya."Sudah, Pus. Sudah. Yang telah pergi tak akan kembali lagi." Ibu merengkuh tubuhku ke dalam pelukannya. Aku tersengal-sengal. Bagaimana hidupku nanti tanpa mas Rofi? Bahkan jika ini dalam mimpi, aku belum tentu sanggup. Yaaa Tuhan, kenapa bisa seperti ini?Aku sungguh tak menyangka niat baikku ingin membuat kejutan yang tak biasa, malah membuat Mas Rofi tutup usia, pergi untuk selama-lamanya."Eeeeh. Eeeeh. Eeeh. Eeeh. Eeeh. Eeeh." Si Qila terus berceloteh riang dalam gendongan bapak. Aku menahan pedih uang berdenyar di dada saat menatap bocah itu.Maafkan Bunda, Sayang. Secara tak langsung telah memisahkanmu dengan ayah.Kugendong Qila, mendekapnya erat di dadaku sambil menangis. Tangan Qila kuraih lalu kusentuhkan ke wajah suamiku. Qila tertawa dan berceloteh. "Eeeh. Eeeh. Eeeeeh."Air mataku menetes, jatuh membasahi wajah suamiku yang tampak marah. Lelakiku, sebelum ini tak pernah terlihat sangat kesal."Eeeh, eeeh. Eeeeh." Lagi-lagi Qila berceloteh seolah ingin mengajak ayahnya bercanda. Tapi lelaki yang terbaring kaku di pembaringan, sama sekali tak bicara.Memangnya dengan menangis terus, bisa mengembalikan Rofi!" Terus saja begitu tatapan kakak iparku, sinis tak bersahabat. Aku terkadang heran, kenapa Mbak Mira mau bertunangan dengan duda satu anak itu. Aku sering memergoki saat ia berduaan dengan Mbak Mira di ruang tamu, seringnya duduk diam-diaman. Jika sosok Mbak Ndari tak terganti, kenapa memaksa membuka hati?Mungkin juga, alasannya karena ibu turut andil mencampuri hidupnya, tak henti menyuruh Mas Rasya menikah lagi demi Adnan. Anak lelaki kakak iparku itu tinggal bersama ibu karena Mas Rasya sangat sibuk. Bekerja dari pagi pulang sore, kadang menjelang dini hari. Rumah kami berdekatan, berjarak 3 kilo dari rumah ibu mertua. Jadi aku tahu betul kebiasaannya. "Puspita, sudah." Bapak berkata lirih. Tangan Qila kuangkat dari wajah Mas Rofi yang terus membisu, tampak begitu marah. Tak tahan lagi menanggung kepedihan, aku berlari pergi. Sakit rasanya, andai kamu tahu. Enam tahun kami ihtiar demi datangnya bayi, lalu setelah Qila me
"Bibi, ditunggu nenek di ruang makan. Cepet keluar, katanya nenek.”Aku yang tengah duduk melipat pakaian menoleh sekilas memperhatikan Adnan yang berdiri di ambang pintu. Setelah aku mengangguk kecil, bocah berumur 6 tahun lewat dua bulan itu langsung ngeloyor pergi.Kuhela napas dalam saat tatapanku terpacak pada foto Mas Rofi di atas meja. Di sebelah foto yang tersenyum lebar dengan tatapan menggoda itu, ada beberapa bingkisan kado warna-warni yang ditumpuk memanjang ke atas, membuatku lagi-lagi menghela napas dalam. Walau sudah empat bulan berlalu sejak kepergian Mas Rofi, tetap saja rasanya masih begitu sesak. Kado ulang tahun pemberian teman-teman Mas Rofi di hari suamiku merenggang nyawa itu, tak pernah dibuka sama sekali.Tanganku terus bergerak melipat pakaian lalu memasukkannya ke dalam koper. Di luar, terdengar Qila yang tengah tertawa riang dengan Adnan. Sesekali, Ibu mertua dan Bapak menimpali.HP yang berdering nyaring, membuatku dengan cepat mengangkatnya. Menempelkan k
Aku aib katanya? Maksudnya apa, yaa?! Seolah aku mau menikah dengannya saja. Bahkan hanya duduk seruangan dengannya saja aku tak ingin lama-lama."Hiiits, jangan bilang gitu. Puspita ini kesayangannya adikmu," ucap ibu."Tapi dia malah membunuhnya!" Ma Rasya menatapku sinis. Aku menggigit bibir merasakan perih yang berdenyar di dada.Seolah aku sengaja membunuh suamiku sendiri. Ya Allah, seandainya aku tahu, aku tak akan melakukan itu. Yang benar saja, masa aku dengan sengaja membunuh pengayom yang begitu dibutuhkan Qila.Tatapan tajam Mas Rasya yang menyiratkan kebencian kubalas tak kalah tajam. Lama-lama terus disalahkan membuatku kesal juga. Keberadaan Mas Hanif dan Mas Fadil membuatku semakin berani. Aku trus memandang Ms Rasya dengan mata yang perlahan memanas. Dan pada akhirnya, aku terisak lirih."Diapa-apain juga nggak dia nangis. Aku suruh nikah sama perempuan seperti itu, Pak, no! Mira mau dikemanakan!"Kulihat tangan kedua kakakku mengepal dengan wajah menegang."Kamu sejak
Aku memandang wajah Mas Rasya yang penuh lebam kebiruan dengan tatapan tak percaya. Lingkaran hitam menghiasi matanya yang terlihat sangat mengantuk dan rambutnya acak-acakan. Sepertinya, bukan hanya aku yang frustrasi dengan perjodohan mendadak ini. Ia juga."Mas yakin mau anter aku pulang?"Mas Rasya kembali meletakkan jari telunjuk ke bibirnya. Lalu mengangguk meyakinkan. "Cepat. Mumpung bapak dan ibu masih tidur."Ia masuk ke kamar, mengedar pandang ke sekeliling lalu melangkah tergesa mendekati koper dan tas besar yang kemarin sore telah kusiapkan. Tanpa cuci muka atau mengganti baju, aku segera menggendong Qila yang tengah terlelap di ranjang bayi kemudian dengan perasaan was-was menyusul langkah Mas Rasya. Jantungku berdetak kencang saat melewati kamar Ibu yang tertutup rapat. Tumben, Ibu jam segini belum bangun. Biasanya sudah heboh di dapur.Pintu mobil bagian depan sudah terbuka saat aku tiba di bibir jalan. Aku lekas masuk.Tanpa membuang waktu Mas Rasya langsung mengemudik
"Siapa bilang aku mau menikah dengannya, Bu. Tidak." Mas Rasya meletakkan tas dan koperku begitu saja lantas menyalami Mama dan Papa. Mata Ibu membeliak saat menatap ke arah benda berisi pakaianku dan Qila.Aku meringis, merasa tak enak hati pada perempuan yang langsung menggelengkan kepala dengan mimik jengkel itu.Ibu menghela napas, lantas berkata, "Kamu boleh tinggal di sini untuk sementara, Pus. Nanti, sebulan lagi kamu akan nikah sama Rasya." Perempuan bertubuh tambun itu kini ganti menatap anak sulungnya yang duduk di dekat Bapak. Lelaki itu memang jarang bicara, mirip dengan anak sulung. Tapi, jangan salah, sekali bicara tajam benget. Beda sekali dengan Mas Rofi. Lagi-lagi teringat wajah suami tercinta saat merenggang nyawa, rasa nyeri menyeruak ke dalam dada. Aku menggigit bibir dan menarik napas, membuangnya pelan.Jantungku mengentak kuat saat tatapanku dan Mas Rasya bertabrakan. Seperti biasa, sinis dan tajam. Seperti harimau mengintai mangsa. Aku menikah dengannya? Ih, ma
Pov RasyaAku terperanjat bangun saat terdengar gedoran keras berulang-ulang ditingkahi teriakan si nenek heboh. Aku menatap jam dinding. Pukul 6. Perasaan baru saja lelap, sudah pagi saja. "Le! Cepat bangun, Le!" Tok tok tok! Brak! Brak! Braak!Suara itu kembali menggaung memecah pagi. Kasihan tetangga jadi terganggu gara-gara ulah perempuan itu yang sudah bikin masalah saja. "Oalah, Le, Le, dibangunin kok gak bangun-bangun gimana, too!"Siapa yang tidak bangun kalau bunyinya berisik begitu? Heran, pagi-pagi sudah menyatromi tempat tinggal anaknya saja. Walau bunyinya begitu berisik dan sangat mengganggu, tetap saja aku bergelung selimut tebal berusaha menebalkan telinga. Acuhkan saja, nanti juga capek sendiri dan pulang ke rumahnya. Brak! Brak! Brak! "Le! Ini ibumu, durhaka kamu, Le!"Aku mendesah sebal. Tetangga-tetangga juga tahu kalau dia ibuku apalagi aku, sudah hafal benar suara cemprengnya itu. Heboh. Ibu super menyebalkan. Sangat sangat menyebalkan. Sudah berulangkali aku
Dari tadi, mobil hanya berputar-putar. Sebenarnya dia mau mengajak ke mana, sih? Aku meliriknya yang tampak begitu kesal. Lalu menatap ke luar jendela, jalanan sepi. Ini di mana, lagi. Aku sama sekali tak mengenali daerah ini. Sepertinya ini bukan lagi di Tanggerang. Apa jangan-jangan, yang kutakutkan benar Mas Rasya mau membuangku?"Mas kita mau ke mana?" Dengan dada berdebar, aku menoleh padanya."Berisik. Nanti juga tahu!" Sahutnya jutek yang membuat jantungku bertalu kencang. Jangan-jangan, benar, aku mau dibuang.Kuraih HP untuk memastikan GPS aktif. Lalu mengetik pesan pada Mas Hanif.(Mas ngikutin aku, kan?)(Dalam pantauan.) Balasnya.(Sama Mas Fadil apa gak?) Send(Gak. Mbak Rika minta dianterin belanja.)(Oke.) Balasku. Syukurlah kalau Mas Hanif mengikutiku. Aku menoleh ke belakang. Mobil Mas Hanif tak tampak. Jangan-jangan bohong, lagi.(Mas, aku di mana, coba.)Ceklis dua telah berganti biru terang. Lama menunggu tak juga ada balasan. Mas Hanif bohong, nih, jangan-jangan.
POV RasyaDasar bocah!Aku menatap sebal pada bunga warna-warni di bawah jok. Dibelikan, bukannya berterima kasih malah ditinggal begitu saja. Aku memungutnya hendak membuang keluar tapi seketika mengurungkan niat saat teringat wajah Ibu yang selalu berseri tiap Bapak membawakannya bunga. Masih segar juga, lebih baik berikan Ibu daripada mubazir. Hitung-hitung, menyenangkan hati orang tua."Buat ibu!" kataku saat menemukannya tengah menonton televisi. Ibu langsung meraih bunga yang kuulurkan dan tersenyum kecil. "Tumben baik," katanya sambil menciumnya lalu meletakkannya di meja. Aku duduk di sampingnya sambil menggelengkan kepala. Memang, buat kebutuhan dia sehari-hari, untuk beli baju, arisan, bayar listrik, uang dari mana coba kalau bukan dari anaknya ini? Ibu memang suka menghilang-hilangkan sesuatu yang sebenarnya besar. Padahal, itu adalah wujud perhatian anaknya ini meskipun dia bawelnya tak ketulungan."Besok aku tidak mau ngedate lagi bareng bocah itu," kataku sambil meletak