"Kenapa kau kembali di saat aku tak lagi sendiri? Bertahun kunantikan, tapi hanya kabar angin yang kudengar. Lalu, kau datang lagi setelah semua berbeda. Aku harus bagaimana?"•Aruna Ardhani•ðŸŒºðŸŒºðŸŒºAruna terdiam menatap tak percaya. Di depannya, sebuah amplop biru terbuka dengan isi kalung berbentuk bunga matahari dengan sepucuk surat. Tubuhnya memang seketika kaku, tapi dadanya bergetar hebat. Mata gadis itu sampai berkaca-kaca, tak percaya dengan apa yang dilihatnya.Senja begitu indah jika bersamamu. Mentari akan terus bersinar, tapi tak akan sehangat biasanya jika itu tak bersamamu pula. Tumpukan rindu ini sudah menggunung. Lama, hingga rasanya mencekik rongga dada.Aku kembali. Untuk gadisku yang telah lama tak kujumpai. Saat senja mulai hadir, kutunggu kau di batas taman kota.WRAir mata itu lo
"Bukankah cinta datang karena terbiasa bersama? Jadi, berikan kesempatan itu padaku. Usaha tak kan mengkhianati hasil. Percayalah."•Arsen Ganendra•ðŸŒºðŸŒºðŸŒºSuara decakan keluar dari mulut Arsen. Sesekali tangannya meremas rambut yang sudah berantakan. Gurat khawatir tergambar jelas dari rautnya. Namun, tak ada cara lain selain menunggu.Arsen bukannya tidak berusaha mencari sang istri. Dia sudah menelusuri setiap toko buku, tapi Arsen tak menemukannya. Dia malah terlihat seperti orang linglung yang mencari orang hilang.Dia bahkan sudah menelepon Aruna berkali-kali, puluhan pesan pun tak lupa dikirim. Namun, tak ada satu pun yang menghasilkan. Dan, di sanalah dia, uring-uring tak jelas."Harusnya gue maksa ikut tadi," rutuknya.Matanya kali ini melirik jam yang melingkar di tangan. Sepuluh menit lagi menuju Isya, tapi Aruna tak juga menampak
"Aku akan bertahan, sesakit apa pun itu. Tapi, jika kau menyerah, maka aku tak akan kembali walau penyesalan menggerogoti."🥀Aruna Ardhani🥀🌺🌺🌺Sudah beberapa kali Aruna mengedarkan pandangan ke segala arah. Dia mencari Arsen yang belum juga datang. Hari sudah terik dan dia terlalu lama menunggu.Pagi tadi, Arsen mengatakan akan memberinya kejutan. Tetapi, sampai hendak pulang sekolah pun tak ada kejadian apa-apa. Sebenarnya, Aruna tidak terlalu mengharapkan ucapan Arsen jadi nyata. Hanya saja, menunggu di saat matahari tengah berada di atas kepala itu sungguh hal yang menjengkelkan."Ck, dia ke mana, sih?" rutuk Aruna sembari melirik jam di tangan.Keringat sudah membanjiri keningnya. Walaupun Aruna pakai jilbab, tapi tetap saja terasa panas menerpa kulit. Tak sabar lagi menunggu, gadis itu pun berjalan meninggalk
"Kucoba yakinkan hati demi kelangsungan hubungan ini. Tapi, dengan mudahnya kau hancurkan kepercayaan dengan satu ucapan. Terima kasih."•Aruna Ardhani•ðŸŒºðŸŒºðŸŒºAruna berjalan gontai memasuki rumah. Langkahnya terasa mengambang melihat rumah yang lengang. Biasanya Mbok Nah akan menyambutnya, atau mungkin Ningrum. Namun kali ini tak ada satu pun orang di sana.Gadis itu menghempaskan diri di sofa tamu. Tubuhnya sengaja disandarkan sembari menatap langit-langit bercat putih. Sepi, bukan hanya rumah itu tapi hatinya pun sama.Jujur Aruna akui, hatinya sudah tertaut oleh Arsen. Ya, awalnya benci, tapi semua berubah seiring berjalannya waktu. Salahkah Aruna mengharapkan cinta dari suaminya sendiri?Mata indah itu terpejam, menghayati kesendiriannya dan memikirkan tentang kehidupan yang dia jalani saat ini. Semua belum dimulai. Jika ini novel romance, maka prol
"Aku bertahan karena itu kamu. Tapi, jika berkhianat, silakan pilih aku atau dia."•Aruna Ardhani•ðŸŒºðŸŒºðŸŒºCukup lama Hara terdiam menunggu Aruna yang sedari tadi terisak. Dia ingin bertanya, tapi melihat cara temannya menangis membuatnya juga ikut sedih. Gadis berkacamata itu akhirnya membiarkan Aruna menangis sepuasnya. Mungkin dengan begitu, Aruna bisa merasa lega.Malam semakin larut, angin sepoi pun ikut mengusik ketenangan. Langit terlihat pekat tanpa bintang, seolah mendukung suasana saat itu.Hara tidak tahu apa yang terjadi. Tetapi, melihat Aruna seperti ini membuatnya yakin terjadi sesuatu di rumah Vando.Saat keduanya masih sama-sama terdiam, denting ponsel Aruna berbunyi. Gadis cantik itu melirik ponselnya, ada pesan dari Arsen.Bukannya membuka aplikasi hijau itu, Aruna malah terdiam menatap ponselnya.
"Cinta memang butuh pengorbanan. Tapi, jika aku saja yang berjuang, sebaiknya akhiri semua. Aku berhak bahagia dan silakan kau pergi sejauh mungkin."•Aruna Ardhani•ðŸŒºðŸŒºðŸŒºArsen diam menatap Aruna bingung. Sungguh, pertanyaan itu seperti buah simalakama untuknya. Bagaimana Aruna bisa tahu? Dan apa yang harus Arsen jawab?Aruna tersenyum miris, kepalanya menunduk menahan bulir bening yang siap menyeruak ke permukaan. Pada akhirnya, Aruna tahu seperti apa akhir dari cerita ini."Aku tahu. Aku tahu semua akan seperti ini, Sen. Perkataanmu tempo hari hanyalah hiburan sesaat untukku, kan? Jadi, sudah jelas semuanya. Kita akhiri saja pernikahan ini," papar Aruna. Gadis itu berbalik dan meninggalkan kamar Arsen.Sedangkan Arsen hanya diam menatap kepergian Aruna. Dia ingin mengejar istrinya, tapi hatinya terus diliputi kegundahan. Barulah setelah pint
"Jangan pergi! Tetaplah seperti ini, menjadi Aruna yang selalu perduli. Aku mohon."•Arsen Ganendra•ðŸŒºðŸŒºðŸŒºWaktu sudah menunjukkan angka 01.30. Aruna tersenyum getir sembari menatap jarum jam yang terus berputar. Konyol, kata itu yang pantas diberikan kepada sang gadis.Aruna tahu jika Arsen tidak akan pulang, tapi dia masih nekad menunggu suaminya. Kecewa, sudah pasti. Tetapi, apa yang bisa dia lakukan selain meratapi nasibnya.Keinginan Aruna tak banyak, hanya ingin agar Arsen menghargainya. Walaupun belum ada cinta, apa sulit sekedar menghargai istri sendiri? Aruna rasa tidak.Mata yang masih terjaga itu akhirnya menitikan bulir bening. Sungguh, sakit jika berjuang sendiri dalam sebuah hubungan. Aruna ingin menyerah, benar-benar menyerah.Dia menangis di pagi buta karena cinta yang tak tersambut. Cukup lama, Aruna ingin melepas semua
"Hanya tinggal menghitung hari sebelum pergi. Semoga kau bahagia dan aku pun bisa melepasmu dengan ikhlas."•Aruna Ardhani•ðŸŒºðŸŒºðŸŒº"Kak Wildan?" Tampak kekagetan dari wajah Aruna, tapi tak lama kemudian seulas senyum terbit.Wildan langsung menghampiri Aruna dan Arsen. Dia menatap keduanya secara bergantian."Kalian sedang apa di belakang aula?" tanya Wildan, menyelidik.Baru saja Aruna membuka mulut, Arsen terlebih dahulu bersuara."Bukan urusan lu. Sedang apa lu di sini? Lu bukan warga sekolah ini," ungkap Arsen, kesal.Dada Arsen bergemuruh, hebat. Jelas saja dia tak suka pada Wildan, karena laki-laki itu terang-terangan akan merebut Aruna darinya. Bertambah kesal kala Aruna tampak senang dengan kehadiran