Share

6. Niat tulus atau modus?

Sayup-sayup mata Luna membuka saat aroma lezat masakan menggoda penciumannya. Perut kosongnya yang belum diisi sejak pagi mengeluarkan protes, sehingga gadis itu pun meringis sembari memegangi perut. Dia ingat sarapannya pagi tadi hanyalah cacian dan makian dari ayahnya dan Sarah, yang tentunya membuat ulu hatinya kembali terasa dicubit.

Dengan rasa malas dia bangkit dan berjalan mencari sumber aroma lezat masakan tersebut. Penciuman gadis itu menuntunnya ke dapur. Berpegangan pada kusen pintu dapur dan berulang kali mengerjab untuk menjernihkan pandangan, dia berusaha meyakinkan bahwa penglihatannya saat ini salah. Sulit dipercaya, tetapi dia melihat dengan mata kepalanya sendiri, punggung besar pria yang sangat familiar baginya sedang menghadap pada kompor yang menyala sementara kedua tangannya sangat lihai memainkan alat masak.

Matteo yang baru saja menyadari suara derap kaki mendekat melihat ke belakang dari ekor mata. Didapatinya Luna dengan wajah yang masih mengantuk sedang berdiri di ambang pintu dapur sembari memegangi perutnya. Hal itu membuat kedua sudut bibir Matteo berkedut menahan senyum.

"Duduklah, Nona. Makanan akan siap sebentar lagi." ucap pria itu yang membuat Luna pada akhirnya memilih duduk dan menunggu makanan terhidang di atas meja.

Dengan gerak yang terlatih Matteo menyusun semua masakan di atas meja. Semua tampak begitu menggoda, membuat Luna yang menahan lapar sejak tadi menelan saliva.

Matteo menuang air pada sebuah gelas dan memberikannya kepada Luna.

"Minumlah terlebih dulu, Nona." ucap Matteo sembari menyodorkan segelas air yang tanpa pikir panjang langsung Luna raih dan meminumnya sekali tandas.

"Apakah aku sudah boleh makan sekarang?" tanya Luna tanpa mengalihkan tatapan pada hidangan di atas meja.

"Tentu saja. Untuk apa semua makanan itu ku hidangkan jika tidak untuk dimakan." jawab Matteo sembari mengulas senyum yang menambah ketampanannya berkali lipat.

Untuk sekian detik Luna terpaku saat memperhatikan Matteo yang melepaksan apron yang melekat pada tubuh kekarnya. Baru kali ini dia menyadari betapa rupawan paras pria menyebalkan yang selama ini selalu mengikuti kemanapun dia pergi.

Luna mendengus dan membuang wajah.

'Sadar, Luna! Jangan terhipnotis hanya karena senyumannya! Pria itu sudah merenggut kesucianmu dan membuatmu diusir dari rumah!' batin Luna, berusaha menyadarkan diri dari sihir paras Matteo yang membuatnya membeku.

Tanpa menoleh lagi, Luna langsung mengisi piringnya dengan hobo steak, hidangan kesukaannya untuk memuaskan rasa lapar.

"Mungkin semua hidangan ini tidak selezat masakan para pelayan di rumahmu, Nona. Namun aku harap kau menyukainya." ucap Matteo berbasa-basi, menunggu Luna memasukkan sesuap makanan ke dalam mulutnya. Pria itu ingin mendengar penilaian Luna atas masakan yang dia buat sore itu.

"Ya ya ya, aku bisa memaklumi." Luna memutar bola mata dan memasukkan makanan ke dalam mulutnya.

Begitu menyuapkan makanan ke dalam mulut, seketika kedua mata gadis itu membola. Perlahan dia memelankan kunyahannya untuk meresapi cita rasa makanan yang sedang dia kunyah.

"Bagaimana, apa rasa masakanku terlalu buruk, Nona?" tanya Matteo dengan kedua tangan saling bertaut di atas meja. Entah mengapa, tatapan Matteo yang berubah teduh dengan senyuman samar di wajah maskulin pria itu kembali menggetarkan hati Luna.

Sebuah desiran aneh menghinggappi dada Luna. Selama ini dia kerap menyangkal pujian teman-temannya atas paras dan pesona Matteo. Baginya, Matteo hanyalah seorang penguntit yang menyebalkan!

Luna menamparkan satu tangan pada salah satu pipinya untuk menarik paksa kesadarannya. Dia tidak ingin tertangkap basah sedang mengagumi pria menyebalkan itu. Dia bahkan menolak keras bahwa perasaan yang dia rasakan pada Matteo saat ini adalah perasaan kagum.

Hal tersebut membuat Matteo mengernyit. Setaunya tidak ada lalat yang hinggap di wajah Luna. Tetapi pria itu memilih untuk diam dan memperhatikan Luna dengan sikap absurtnya untuk beberapa saat. Namun tamparan Luna kesekian kali pada wajahnya sendiri membuat Matteo merasa khawatir.

"Nona, apa kau baik-baik saja?" Matteo bangkit berdiri dan hendak mendekati Luna. Pipi gadis itu tampak memerah akibat tamparannya sendiri.

Namun seolah mengerti apa yang hendak pria itu lakukan, Luna mengangkat satu tangannya ke udara yang seketika membuat Matteo menghentikan geraknya.

"Jangan mendekat, aku tahu, saat ini kau hendak mencuri kesempatan untuk bisa menyentuhku,"

Jawaban sinis Luna kembali membuat wajah Mateo mengetat, pria itu menarik nafas dan menipiskan bibirnya sebelum akhirnya kembali mendaratkan pantat di atas kursi.

Matteo ingin mengutarakan perasaan tidak nyamannya saat Luna berulang kali berkata padanya bahwa dia seorang pria mesum. Tetapi dia sadar, untuk saat ini Luna tidak akan mempercayai segala ucapannya.

Pria itu membiarkan Luna kembali menyuapkan makanan ke mulutnya. Gadis itu mengunyah makanannya dengan gerak yang begitu anggun, sebuah pemandangan yang membuat Matteo sulit mengalihakan pandangan.

Matteo kembali menatap Luna dengan tatapan datar. Namun alis pria itu kembali bertaut, saat melihat hobo steak yang ada di hadapan Luna habis kurang dari 7 menit.

"Kau memang menyukainya, atau kau sedang benar-benar lapar, Nona?" tanya Mateo sembari menyangga dagu. Sebuah senyuman menghiasi wajah maskulinnya.

Pertanyaan Matteo membuat Luna menoleh cepat, seketika Luna terbatuk, senyuman Matteo benar-benar menyiksanya.

Reflek Matteo menyambar gelas kosong yang ada di hadapannya dan mengisinya dengan air untuk kemudian bangkit dan memberikan air minum tersebut kepada Luna.

"Sebaiknya pelan-pelan saat makan, Nona," ucap pria itu, kekhawatiran terlihat jelas di wajah Matteo.

Pria itu menepuk pelan punggung Luna. Dan entah mengapa Luna seakan enggan menepis sentuhan Matteo pada punggungnya.

"Sudah cukup Matteo, terima kasih atas perhatianmu." ucap Luna kembali berdeham dan menata kembali ekspresinya.

Matteo kembali ke tempat duduknya dan mengamati Luna dalam diam.

Merasa diperhatikan, Luna pun mengering ke arah Matteo yang sejak tadi tidak menyuapkan makanan ke dalam mulutnya. Hal tersebut membuat Luna salah tingkah. Dia telah menghabiskan makanannya sedangkan tuan rumah itu bahkan belum menyentuh makanannya sedikitpun.

"Mengapa kau tidak makan makananmu?" tanya Luna sembari meraih gelas minumnya dan meneguk minuman itu dua kali untuk menyembunyikan kecanggungannya.

Matteo tersenyum samar saat mendapati kedua mata gadis itu sudah berfokus padanya.

"Jangan pikirkan aku, Nona. Makanlah sebanyak apapun yang kau mau." ucap Matteo tanpa menyudutkan Luna. Pria itu tahu, selain karena lapar, Luna sangat menyukai hobo steak.

"Hmm, menurutku rasa steak ini tidak begitu buruk." komentar itu lolos dari bibir Luna. Namun tak lama kemudian gadis itu kembali mengambil steak untuk mengisi piringnya.

Melihat kelakuan Luna, seketika pupil mata Matteo berdilatasi. Pria itu pun tertawa karena terlihat sekali bahwa gadis itu enggan mengakui bahwa dia menyukai masakan Matteo.

"Kalau perlu, habiskan semua makanan itu, Nona. Aku bersedia membuatkannya lagi jika kau mau." ucap Matteo. Dapat Luna rasakan kesungguhan dalam ucapan pria itu.

Hal tersebut membuat Luna memelankan kunyahannya. Apakah ucapan Matteo barusan merupakan sebuah bentuk perhatian untuknya?

Semua itu membuat Luna berpikir. Jika Matteo memang pria mesum yang memiliki ketertarikan untuk berbuat jahat padanya, mengapa pria itu melepaskan pelukan Luna saat gadis itu reflek memeluk Matteo saat menjumpai binatang pengerat yang sangat dia benci? Dan tidak hanya itu, saat Luna tertidur, bukankah Matteo bisa saja kembali melakukan aksinya untuk menjamah tubuh gadis itu, jika memang pria itu memiliki niat jahat disebalik tawarannya memberi Luna tempat tinggal? Batin Luna terus bertanya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status