Pagi masih begitu berkabut, dingin pun masih terus menghujam hingga meremukkan tulang-tulangku. Netraku harus kubuka paksa ketika tidak aku dapati Mas Bagas tidur di sampingku. Barang kali dia masih marah dengan ucapanku semalam.Aku menuruni ranjang dan bergegas mencari keberadaan Mas Bagas. Baru kali ini sepanjang kami bersama, laki-laki itu merajuk. Mungkin karena ia harus diliburkan beberapa hari dari pekerjaannya karena ulahku di hotel atau karena ia gagal naik pangkat gara-gara kejadian itu. Entahlah aku tidak perduli. Toh, tanpa dia naik pangkat gajiku pun sudah cukup untuk membiayai kehidupan kami."Mas! Mas Bagas!" panggilku menelusuri seluruh ruangan di rumahku. Namun, tidak aku temukan keberadaan pria itu.Kulihat waktu pada jam yang mengantung pada dinding ruang tamu telah menunjukan pukul lima pagi. Apa mungkin Mas Bagas pergi bekerja? Bukankah dia sedang diliburkan.&nbs
Subuh buta aku telah menyiapkan kebutuhan yang akan aku perlukan di perjalanan. Tas ranselku pun telah aku isi dengan aneka macam oleh-oleh untuk ibu mertuaku. Jika sempat, nanti aku juga akan menambahkan buah tanganku yang lebih banyak lagi untuk ibu mertuaku dan Mas Bagas.Sengaja aku tidak memberi tau Mas Bagas tentang kedatanganku karena aku ingin memberinya kejutan untuknya. Tidak dapat kubayangkan jika Mas Bagas tiba-tiba melihatku di sana, pasti pria itu akan semakin menyayangiku karena etikatku untuk berbaikan dengan ibunya. Ah, entahlah sejak kapan aku menjadi pengemis cinta Mas Bagas seperti ini. Seingatku dulu Mas Bagas lah yang terus memohon kepadaku agar aku mau menikah dengannya. Namun, kini semuanya justru berbalik padaku.Sudah ku isi penuh tangki motor meticku. Sepertinya sudah cukup untuk perjalanan dua jam menuju rumah Mas Bagas. Kalau kecepatan sedang biasanya sampai tiga jam baru sampai ke rumah Mas Bag
Aku masuki halaman rumah berlantai dua yang cukup luas. Netraku beredar dari rumah tinggi itu hingga bagian taman kecilnya yang didominasi dengan bunga mawar dan angrek. Cukup indah dan terawat. Apakah ibu mertuaku sendiri yang merawat semua tanaman ini. Mungkin saja! ternyata orangnya telaten juga."Dek!" panggil Mas Bagas membuatku terhenyak."Eh, iya Mas!" sahutku geragapan. Aku terlalu terkesima dengan rumah ini. Rumah yang sama persis dengan rumah impianku."Ayo masuk!" Pria itu menarik pergelangan tanganku menaiki anak tangga menuju pintu utama rumah yang berada di lantai dua.Perlahan pintu yang tingginya sekitar dua meter lebih itu terbuka ke dalam. Netraku tidak hentinya berdacak kagum dengan perabotan di rumah itu. Semua begitu unik yang didominasi hasil ukir ukiran dari kayu jati.Namun, kenapa tidak ada
Tanganku terus meraba keberadaan Mas Bagas di sampingku. Tubuhku terasa dingin tanpa pelukannya disaat tidur. Namun sosok itu telah tidak ada di sampingku.Kuusap lembut netraku yang masih berkabut. Kulirik waktu pada jam yang dinding yang telah menunjukan pukul dua dini hari.Aku menuruni rajang mencari Mas Bagas di kamar mandi. Tapi kamar mandi itu kosong.Kuturuni anak tangga, siapa tau Mas Bagas lapar dan sedang makan di dapur. karena di lantai atas ini hanya ada kamar Mas Bagas dan satu kamar yang terletak di ujung ruangan."Ah, terus Mas!"Suara desahan dari kamar yang terletak di sudut lantai bawah itu terdengar jelas masuk ke dalam telingaku. Membuat langkah kakiku terhenti.Rintihan demi rintihan saling bersahutan. Bahkan desahan menjijikan itu membuat kakiku seolah begitu lemas dan tak bertulang.
Hari ini Mas Bagas sedang pergi bersama teman sekolahnya dulu. Seharian mengurung diri di dalam kamar ini terasa begitu membosankan.Kuputuskan untuk berjalan-jalan melihat lihat rumah yang ibu Mas Bagas tempati ini. Menurutku rumah ini cukup mewah dan terawat. Sepertinya Yasmin benar-benar merangkap jadi pembantu di sini. Selain menjaga ibu, wanita berkulit sawo matang itu juga rajin membersihkan rumah. Mungkin sebagian tanda balas budi sebagai biaya ganti tinggal gratis di rumah ini.Namun, rumah ini sering sekali sepi. Hanya ada ibu dan Aska. Kata Mas Bagas setiap pagi hingga petang Yasmin baru akan kembali ke rumah setelah berjualan baju.Ah, ternyata dia hanya jualan baju saja toh. Mana mungkin Mas Bagas akan tergoda. Aku kan tau betul selera Mas Bagas. Wanita yang sepadan dengannya tentunya. Berpendidikan dan memiliki title. Dia itu tidak akan berminat dengan wanita yang ecek ecek apalagi
"Dek, sarapanmu udah aku taruh di situ ya!"Suara Mas Bagas terdengar masuk ke dalam telingaku. Netraku yang masih lengket perlahan kubuka paksa. Manangkap sosok pria yang tengah sibuk mengenakan sepatunya di tepi ranjang."Mau kemana sih Mas pagi-pagi begini?" tanyaku malas dengan mengusap lembut kedua netraku yang masih berkabut."Aska badannya panas Dek dari semalam. Jadi Mas harus segera bawa ke rumah sakit," sahutnya terburu-buru."Aska!" sahutku bangkit duduk di atas ranjang dengan pandangan yang semakin jelas melihat Mas Bagas."Tapi kan Mas ...." ucapku terhenti ketika teriakan ibu dari lantai bawah mengema memanggil nama Mas Bagas."Nanti saja ya Dek, Mas buru-buru!" sahut Mas Bagas berlalu secepat kilat meninggalkanku sendirian di kamar."Ah!"Aku mendengus kasar melihat kepergian Mas Bagas keluar dari kamar. Kubanting kasa
Netraku membeliak memanas, air mataku runtuh berjatuhan tanpa mampu kutahan saat melihat sebuah bingkai foto yang berada di dalam kamar Yasmin.Sebuah foto pernikahan terpasang jelas pada dinding kamar Yasmin. Iya, foto Mas Bagas dengan perempuan berkulit sawo matang itu dengan balutan baju pengantin adat daerah Purwodadi.Lututku seketika lamas, jantungku telah melompat dari tempurungnya. Kepalaku teras nyut-nyutan sesaat tatapanku pun menjadi kabur dan tubuhku terhuyun jatuh di atas lantai.'Mas Bagas Setega ini kamu denganku, tenyata benar firasatku selama ini. Kamu telah mengkhianati cinta kita, Mas! 'Aku tergugu dalam tangisan tak bersuara. Hatiku sakit, bahkan sangat sakit sekali.Sepersekian detik aku hanyut dalam lukaku. Seperti orang yang kehilangan akal, aku tidak tahu lagi apa yang harus kuperbuat. Aku tidak ingin melepaskan M
"Nak, ibu ingin sekali kamu segera meminang Reza. Ibu rasa kamu sudah saatnya memiliki seorang pendamping," ucap Ibu dengan wajah penuh binar.Tidak bisa aku pungkiri, menginjak usaiku yang ke 28 tahun pasti ibu merasa dilema. Mungkin juga malu karena diriku yang tak kunjung menikah. Karena sudah banyak diantara teman-temanku justru sudah ada yang memiliki anak, bahkan ada yang memiliki anak lebih dari satu."Iya Bu, nanti aku coba bicara sama Reza ya!" hiburku pada Ibu.Ibu menolehkan wajahnya menatapku. "Loh, memangnya selama ini hubungan kalian itu bukan pacaran toh?" tanya ibu dengan netra menyelidik."Ya, kami pacaran Bu. Tapi, sudahlah Bu nanti saja aku ceritanya," ucapku lesu berajak meninggalkan Ibu di meja makan.Kubenamkan tubuhku di atas rajang, menatap langit-langit kamar yang telah dipenuhi rumah laba-laba. Pasti wanita itu t