"Apa belum selesai juga?" tanya Herdy. Wanita itu bergeming, tak peduli dengan kehadiran Herdy. Lelaki itu menghela napas.
"Apa kamu lembur?" tanya Herdy lagi.
Lyra menatap sekilas. "Iya, Pak," jawabnya lalu kembali ke layar di hadapannya.
"Apa perlu bantuan?"
Tangan Lyra berhenti mengetik sejenak. Ada apa? Tidak biasanya bos kampret itu menawarkan bantuan.
"Tidak perlu, Pak."
"Kamu tak perlu lembur kalau capek."
"Lalu keesokan paginya Bapak akan memarahi saya begitu?"
Herdy menelan saliva. Sebegitu horornya ia di mata wanita itu? Tapi kinerja staf satu ini memang jauh dari kata puas menurutnya.
"Baik, aku akan membantumu."
"Tidak perlu repot, Pak. Saya bisa mengerjakan sendiri. Lebih baik Bapak pulang saja."
Et dah. Diusir. Padahal dalam hati, ia ingin sekali membantu Lyra. Setidaknya biar bisa lebih dekat dengan gadis itu. Eh?
"Ya, sudah kalo begitu. Saya pulang dulu."
Tidak banyak yang bisa Herdy lakukan, dia pasrah saja ketika Lyra menyuruhnya pulang.
"Ya."
Wajah Lyra terlihat suram. Dia benar-benar menyimpan kesal yang menggunung dengan si bos.
"Dasar bos kampret! Speak doang bilang mau bantu," umpatnya begitu Herdy hilang dari pandangan.
Kembali ia menatap monitor kesal. Jujur, ia merasa masih kesulitan mengerjakan laporan. Terlalu banyak data yang menurutnya njelimet. Ia yang terlalu bodoh, atau pekerjaannya yang terlalu rumit? Lyra mendesah. Sepertinya, menjadi staff finance memang bukan keahliannya.
***
Sementara di lantai bawah, Herdy berpapasan dengan Reksa yang baru keluar dari lift. Dia juga hendak pulang.
"Sore Her," sapa Reksa lebih dulu.
"Sore, Bang. Pulang juga? Tumben."
Semua yang ada di kantor juga tahu kalau Reksa gila kerja.
"Iya, Her. Kamu kenapa? lesu amat."
"Aku nggak apa-apa, Bang."
"Malam minggu main futsal di tempat biasa, ya."
Et dah. Masa kelas petinggi mainannya futsal? Golf kek, tennis kek. Reksa itu penggemar sepak bola dari dulu. Futsal adalah olahraga alternatif yang ia gemari.
"Apa harus malam minggu?" Herdy garuk-garuk kepalanya yang tak gatal.
"Kenapa? Kamu mau berkencan ya?" Reksa terkekeh. "Sorry, biar aku suruh Syilla menemanimu nanti. Ayolah, sekali-kali malam mingguan di lapangan futsal nggak masalah 'kan? Syilla pasti suka melihat betapa kerennya dirimu menggiring bola."
Reksa kembali terkekeh. Tidak tahu apa? Kalau muka Herdy sudah seperti kepiting rebus. Reksa masih saja menjodohkannya dengan Syilla, Assisten Reksa di perusahaan retailnya.
"Huft, okelah, Bang." Daripada mendapat gasakan yang lebih parah, dia setuju saja.
"Eh, kamu sendirian?"
Herdy mengangkat alis. Seolah bertanya 'lalu sama siapa lagi?'
Melihat muka Herdy, Reksa nyengir. "Lyra Mana?"
Raut Herdy seketika berubah saat nama Lyra itu disebut. Reksa jelas-jelas mencarinya. Tanpa malu. Seperti sudah terang-terangan menunjukkan rasa tertarik dengan staf itu.
"Lembur dia," jawab Herdy singkat.
"WoW, kamu benar-benar ya..." Reksa menggerakkan telunjuknya.
Sumpah, kalau Syilla tidak memintanya untuk bertemu, sudah dipastikan Herdy akan lembur juga menemani Lyra. Ya, walaupun ia sendiri harus berada di jarak yang cukup jauh. Dengan memperhatikan wanita itu duduk tenang saja di atas kursinya, itu sudah membuatnya cukup senang. Aneh.
"Oke, hati-hati di jalan ya, Her." Reksa berbalik badan dan kembali menuju lift.
"Loh Bang! Mau ke mana? Katanya mau pulang juga?" tanya Herdy yang terheran-heran melihat bosnya masuk ke lift kembali.
"Ada lembur!" seru Reksa dengan senyum mengembang. Pintu lift pun tertutup.
Tanpa peduli dengan kelakuan bosnya, Herdy kembali melangkah menuju parkiran.
***
Lyra menajamkan telinga. Ada suara ketukan sepatu mendekat. Paling bos kampret itu lagi. Mau apa lagi tuh orang kembali? Merusuhi pekerjaannya? Atau mungkin mau pura-pura berbaik hati lagi menawarkan bantuan? Ah, basa basi, Lyra sama sekali tidak peduli.
Saat dirasa ada seseorang yang tengah berdiri di depannya, Lyra berujar dengan sangat ketus. "Sudah saya bilang, saya bisa selesaikan sendiri, Bapak tidak perlu me–"
Ucapan Lyra menggantung, matanya menangkap sosok lain yang tak kalah menyeramkan dibandingkan dengan Herdy. Ya, bagi Lyra Reksa dan Herdy sama-sama menyeramkan, meskipun keduanya memiliki paras yang kata para karyawan tamvan.
"P-Pak GM?"
Reksa menyunggingkan senyum terbaiknya di hadapan Lyra. "Kaget ya?"
"Sedikit," jawab Lyra meringis, alias senyum dipaksa. 'Ngapain nih bule ke sini?' pikirnya dalam hati.
"Tapi, Pak Herdynya sudah pulang barusan." Lyra berkata seakan tahu maksud kedatangan Reksa. Tentu saja untuk mencari manajernya.
"No problem, saya tidak mencari Herdy Tadi sudah bertemu dengannya di bawah."
Lyra bingung? Lalu apa yang orang ini lakukan? Kantornya sudah sangat sepi. Bahkan hanya tinggal dirinya satu-satunya staf yang masih tinggal.
'Apa si GM ini mau mengganggu pekerjaanku dengan menampakkan diri seperti ini?' gumam Lyra dalam hati.
"Apa kamu kesulitan? Saya akan membantu," ucap Reksa.
Lyra menganga. Namun, tak berlangsung lama ia segera menutup kembali mulutnya.
"Tidak, Pak. Tidak usah. Saya bisa sendiri," tolak Lyra enggan. Serius, Lyra tidak butuh bantuan siapa pun.
Tanpa menghiraukan penolakan Lyra, Reksa menarik salah satu kursi yang ada di meja belakang, dan meletakkannya persis di sebelah tempat duduk Lyra, lalu dengan santainya ia duduki kursi itu.
God! Gimana kerjaannya bisa cepat kelar kalau diperhatikan GM-nya secara langsung begini? Lyra menggeser kursinya agar tidak terlalu berdekatan dengan Reksa.
"Bapak tidak perlu repot-repot. Lebih baik bapak pulang saja. Saya bisa–"
Lagi Reksa tak menghiraukan wanita itu. Ia malah mengambil tumpukan nota yang berada di meja Lyra. Lalu dengan gerakan cekatan, ia menarikan jari jemarinya di atas papan keyboard komputer Lyra dengan begitu lincah.
"Diam, dan perhatikan. Kamu bisa membantu saya dengan membuatkan secangkir kopi, gulanya satu sendok teh saja."
Serius. Lyra dibuat cengo oleh pimpinan yang satu ini. Dari awal bertemu saja, Reksa sudah berbaik hati menolongnya. Di pertemuan berikutnya, juga sama. Dan sekarang? Seandainya saja di dunia ini semua bos seperti Reksa.
Tak bisa banyak berkata lagi, Lyra memutuskan pergi ke pantry membuatkan kopi untuk lelaki yang tiba-tiba muncul dan memberinya bantuan itu. Meskipun dengan perasaan yang masih diliputi tanda tanya besar.
Kenapa lelaki bertampang dewa yunani itu bertingkah bak dewa penolong baginya? Apa yang ia mau?
Lyra meletakkan kopi panas ke meja kerjanya. Lantas duduk di kursinya kembali. Sambil sesekali melihat apa yang Reksa kerjakan.
Lyra heran, seheran-herannya. Orang sibuk seperti Reksa malah berada di sini, mengerjakan laporannya. Ah, tidak. Garis bawahi kalimat ini –laporan bawahan yang tidak tau diri· Bukankah Reksa sendiri memiliki pekerjaan segunung?
Lyra diam-diam mengamati lekuk wajah Reksa. Lelaki itu memiliki sepasang alis yang tebal, rahang yang tegas, lekuk antara dahi dan hidungnya begitu jelas. Dan mata itu, ia memiliki sepasang mata hazel yang tajam laksana elang. Mata hazel, itu daya tarik tersendiri. Yang membuat lelaki itu beda dari lelaki lainnya. Bodohnya Lyra, kalau di awal pertemuan tidak menyadari itu. Ya, dia memang sebodoh itu.
Tiba-tiba dada Lyra menghangat, perlahan mendesir saat dalam hatinya tak bisa lagi memungkiri ketampanan lelaki di sampingnya itu.
"Jangan lama-lama memandangi saya seperti itu. Nanti kamu bisa jatuh cinta," ucap Reksa tiba-tiba tanpa menoleh sedikit pun dari layar di depannya.
Kontan Lyra tersentak. Pandangannya segera ia alihkan ke mana saja yang bisa matanya jangkau. Tak disangka, Reksa memergokinya. Malu sekali.
*Tiga puluh menit berlalu*
"Selesai," ucap Reksa setelah menekan tombol save.
"Benarkah? Secepat itu?" Mata Lyra melebar.
Lyra mengecek pekerjaannya yang berupa lajur dan baris itu. Ia tertegun, pantas saja perusahaan ini memilihnya menjadi GM. Selain tampan, lelaki itu pandai meng-handle pekerjaan yang bukan job desk-nya.
"Ini tidak terlalu sulit bukan? Aku sudah menyimpannya dan mencopy di flashdisk ini. Besok pagi, kamu tinggal meng-print-nya saja," kata Reksa menyerahkan sebuah flashdisk yang baru ia cabut dari CPU.
"Terima kasih, Pak," ucap Lyra senang.
"Jadi?"
Lyra mengernyit. Apa maksudnya 'jadi?'
"Berapa kamu akan membayarku untuk pekerjaanku ini, Nona?"
"Hah?"
Membayar? Bosnya tidak sedang mengajaknya bercanda kan? Baru saja Lyra memujinya bagaikan dewa penolong. Dan sekarang?
Lyra pikir, Reksa tulus membantunya. Tapi kenapa sekarang malah minta bayaran?
Oke, baikah. Lyra baru sadar, orang sibuk macam Reksa itu waktunya adalah uang, tetapi Lyra sama sekali tidak menginginkan bantuan itu. Bukankah Reksa sendiri yang memaksa ingin membantu? Ini beneran menyebalkan.
"Kamu tidak berpikir bahwa aku melakukan ini secara gratis kan?" tanya Reksa lagi.
Lyra menahan kesal mendengar penuturan Reksa. Dilihatnya lelaki itu menyilangkan kedua tangan ke dada. Dengan senyum yang agak sedikit terangkat di salah satu sudut bibirnya. Benar-benar menyebalkan.
"Saya, umm, oke, berapa yang harus saya bayar?"
Dengan polosnya, Lyra meraih tas hendak mengambil sebuah dompet di sana.
"Saya tidak mau dibayar dengan uang," ujar Reksa menatap wanita itu.
Otomatis Lyra menghentikan tangannya, yang sedang akan membuka dompet, dan menatap lelaki itu tak mengerti.
Ya, orang seperti Reksa memang sudah tidak membutuhkan uang lagi. Apa lagi dari seorang bawahan sepertinya, yang bahkan gajinya pun harus melewati tanda tangan lelaki itu terlebih dahulu.
"Jadi, saya harus membayar pakai apa?" tanya Lyra agak sedikit gemas.
"Satu ciuman mungkin cukup."
"Satu ciuman mungkin cukup."Lyra terbelalak. Kakinya menegang. Otaknya langsung merespons dengan memerintahkan reaksi pada beberapa bagian tubuhnya, termasuk jantungnya yang kini berdebar.Saraf pendengarannya terlalu sensitif, hingga bagian otaknya yang disebut talamus, sangat cepat menerima sinyal, lalu diteruskan ke amigdala yang mengeluarkan senyawa glutamat, yaitu zat kimia yang digunakan sel saraf untuk mengirim sinyal rasa takut ke sel lain. Refleks mukanya memucat. Lyra merasa terjebak. Sekali singa tetap saja singa."Bagaimana, Nona Lyra?" tanya Reksa mencondongkan badannya ke depan mendekati Lyra."Maaf itu... Anda gila ya, Pak?"Di luar dugaan, Lyra malah membalas pertanyaan bosnya dengan pertanyaan yang membuat Reksa memicingkan mata.Reksa menarik kembali tubuhnya. Menempelkan punggung kesandaran kursi. Senyum jahilnya terukir melihat Lyra yang terus saja menunduk. Dalam keadaan seperti itu pun, Lyra mas
Pertama, Lyra melumuri ikan gurame segar yang sudah dibersihkan dengan bumbu jadi yang tadi ia beli. Lalu, ia akan mendiamkannya beberapa saat agar bumbu itu meresap. Kemudian,ia memisahkan beberapa sayuran secukupnya dan bersiap untuk mencucinya.Melihat kesibukan Lyra di dapur, Reksa berinisiatif ingin membantunya."Apa yang bisa kubantu, Nona?" tanyanya melangkah ke dapur."Bapak bisa me–""Reksa, " potong Reksa cepat."Okeh Rek–" sangat aneh. "Saya tidak biasa, Pak.""Biasakan.""Ini Ba–eh, kamu cuci saja sayuran ini, lalu potong-potong."Lyra menggigit bibir bawahnya. Di pertemuan pertama padahal Lyra dengan mudahnya menyebut 'kamu-kamu' pada lelaki di sampingnya ini. Kenapa sekarang dirasa begitu sulit?"Oke.""Saya akan menanak nasinya dulu." Ia lantas meninggalkan Reksa untuk mencuci beras.*Beberapa menit kemudian.*"Selesai," seru Reksa membuat Lyra menoleh. Sedetik ke
Herdy keluar dari sebuah kafe yang letaknya tak jauh dari apartemen milik Reksa, diikuti seorang wanita di belakangnya."Itu mobil Reksa 'kan?" tanya wanita yang kini sedang berada di samping Herdy.Herdy kontan menoleh, mengikuti arah pandang wanita itu. Iya, itu betul mobil Reksa yang baru keluar dari tower apartemennya."Eh, sama cewek, siapa ya? Pacarnya? Wah, ada kemajuan si bos," celetuk wanita itu lagi. Mata Herdy kembali menajam ke arah mobil Reksa. Wanita yang ada di samping kemudi Reksa itu... Lyra. Refleks tangannya mengepal. Entah kenapa ia tidak suka melihatnya."Habis ngapain ya mereka di sana? Wah, Reksa sekali dapat cewek mainnya langsung ke apartemen." Wanita itu terus berkomentar dan tertawa.Mendengarnya membuat telinga Herdy memanas."Bisa diam nggak kamu, Syilla?!" bentak Herdy. Wanita yang dipanggil Syilla itu segera menghentikan tawanya."Cepat masuk mobil," perintah Herdy. yang lang
Lyra menatap sebuah tas bekal makanan yang kini sudah ia letakkan di atas meja. Menimang-nimang, apa yang sudah ia lakukan? Pagi tadi sebelum berangkat bekerja, ia menyibukkan diri membuat bekal makan siang juga sarapan pagi. Dan kali ini, ada mama yang membantu.Meskipun ia masih terus tidak habis pikir pada dirinya sendiri, tak ayal dirinya sangat menikmati mengingat wajah Reksa saat lelaki tampan itu dengan lahap memakan hasil masakannya.Hingga kini, dua kotak bekal makanan telah saling bertumpuk di meja kerjanya. Satu untuk dirinya, dan satu untuk GM berparas menawan itu.Bunyi interkom di meja kerja Lyra berdering, membangunkan lamunannya. Ia segera meraih gagang telepon."Ya, Pak," jawabnya."Ke ruangan saya sekarang." Herdy di sana memerintah."Baik."Ada apa lagi ini? Apa laporan tadi pagi yang ia serahkan salah? Laporannya kemarin yang mengerjakan GM-nya langsung, mana mungkin salah? Lyra mengetuk pintu r
Malam ini, gara-gara Alfa yang tidak bisa ikut makan malam, mood mama jadi kacau. Sepanjang jalan mengomel tak mau berhenti. Lyra sampai bingung karena mama juga selalu bilang ini acara penting. Mama mau bertemu sahabat lama mama katanya. Awalnya, Lyra pikir cuma makan malam bersama keluarganya saja, ternyata mama juga mengundang temannya.Mereka bertiga sudah berada di meja makan yang bisa menampung delapan orang. Meja itu sudah direservasi terlebih dahulu oleh orang bernama ... tadi mama bilang siapa? Ira kalau tak salah.Wajah mama kembali sumringah, saat tak berapa lama ada seseorang yang menyapanya. Lyra sendiri masih sibuk membuka buku menu bergambar makanan yang kelihatannya lezat-lezat, sambil berpikir bagaimana cara membuat masakan seperti itu? Huh, dasar tukang masak."Lyra bangun. Lihat! siapa yang datang. Tante Ira. Kamu masih ingat 'kan?" tanya mama meraih lengan Lyra. Gadis itu refleks berdiri menyambut kedatangan I
Di dalam kamarnya, Lyra masih tidak habis pikir dengan rencana orang tuanya. Masih bertanya-tanya, kenapa Herdy? Kenapa harus orang yang selalu mengintimidasinya tiap hari itu?Bagaimana mungkin orang sepertinya bisa menjadi suami yang baik bagi Lyra? Tiap harinya saja pasang muka jutek dan horor. Menuntut ini itu. Gimana Lyra kalau jadi istrinya? Habislah ia kena omelan tiap waktu. Apalagi kalo didapatinya kerjaan yang tidak beres.'Lyra ini debunya masih menempel di jariku!''Lyra kamu ini bagaimana? masak aja keasinan!''Hey kamu dengar tidak? anakmu nangis. Bisa urus anak tidak?!'"Tidaaaaaakkkkk...!"Ia redamkan kepala ke dalam bantal. Tak mau teriakannya mengganggu penghuni lain di rumah ini. Sepertinya, hari-hari akan menjadi tambah ruwet gara-gara perjodohan ini.Lyra bangkit dari tempat tidur. Membuka pintu kamar, lalu mengendap-endap keluar rumah. Tak ada sinyal kehidupan di rumah selai
Reksa diam menatap Lyra. Dirinya ingin bertanya mengapa. Tapi ia lebih memilih diam mengamati manik hitam wanita di depannya yang tadi sempat membuatnya sangat khawatir. Pelan ia menarik napas. Lalu tangan besarnya menarik Lyra, melangkah."Kita mau ke mana, Pak?" tanya Lyra."Ke apartemenku.""Tapi, Pak–" susah payah Lyra mengimbangi langkah Reksa yang lebar.Dengan gesit Reksa menyeberang jalanan menuju mobilnya. Lyra terkejut saat melihat pintu mobil terbuka."Pak, mobilnya–""Nggak apa-apa. Aku tadi buru-buru jadi nggak sempat menutup pintunya."Lyra merasa menyesal. Lagi-lagi ia merepotkan Reksa. Kali ini dengan tindakan teramat bodoh, sampai-sampai Reksa harus meninggalkan mobil dengan kondisi sembarang seperti ini.Reksa membuka pintu mobil sebelah kiri dan menyuruh Lyra masuk."Maafkan saya, Pak. Gara-gara saya Bapak jadi meninggalkan mobil sembarangan."Reksa ya
Yang pertama kali Lyra rasakan saat baru pertama kali masuk kamar yang luasnya bisa tiga kali lipat dari kamar rumahnya di kampung itu adalah ... kehangatan. Entahlah, wangi maskulin khas lelaki. Aromanya begitu menenangkan. Beda dari aroma kamar milik Alfa, abangnya.Meski abangnya juga wangi, tapi aromanya tidak semenenangkan ini. Lyra merasa nyaman.Lyra mendekat ke sebuah sofa putih di sudut kamar. Dekat dengan kaca besar yang memperlihatkan lanskap kota Jakarta dari atas sini. Luar biasa indah jika dipandang malam hari seperti sekarang.Sebuah tempat tidur king size dengan duvert cover berwarna putih yang terbentang rapi. Sangat empuk, hingga Lyra merasa tenggelam saat berbaring di atasnya. Aroma woody kembali menusuk indera penciumannya. Lyra beringsut masuk ke dalam duvert cover. Ia benar-benar merasa nyaman dengan aroma ini. Sama seperti aroma tubuh Reksa.Lyra menarik selimut menutupi tubuh. Matanya terpejam. Begit