Hanna tahu kalau setiap orang memiliki jalan hidupnya masing-masing, tetapi ia masih tidak menyangka kalau hidupnya akan terus ditentukan oleh kedua orang tuanya, termasuk soal perjodohan.
Setelah semua yang terjadi begitu mendadak hanya dalam beberapa jam, Hanna tidak bisa tidur semalaman. Benaknya terus mengulang kejadian di restauran layaknya kaset rusak. Ia tidak tahu bagaimana Solar memandangnya semalam, yang pasti ia hanya bisa berharap kalau tingkahnya enggak malu-maluin.
Setelah mengantarnya semalam, Hanna tahu kalau Solar sempat berbincang sesuatu pada sang ibu, tetapi ia keburu masuk ke dalam kamar. Dan sekarang Hanna hanya bisa berharap kalau Solar tidak mengatakan hal yang aneh-aneh pada ibunya.
Karena terus kepikiran, akhirnya Hanna baru bisa terlelap saat jam tiga subuh. Sialnya lagi, ia lupa kalau ada kelas pagi. Alhasil, ia melewatkan sarapannya dan hampir saja telat pada kelas si dosen killer nan pelit nilai, Pak Johan.
“Duh, lapar banget,” gumam Hanna seraya memijit kepalanya yang agak pusing. Melihat kuis dadakan di hadapannya semakin membuat perutnya keroncongan. “Apa pula soal dadakan begini? Ya Tuhan, aku enggak mau nambah semester lagi ….”
Hanna heran, perasaan semalam ia sudah makan banyak, tapi kenapa sekarang rasanya ia sangat lapar sampai lambungnya sakit? Kemana perginya semua makanan itu? Apa karena ia tidak bisa tidur? Duh, perutnya semakin lapar.
“Ya, silahkan dikumpulkan. Waktunya telah habis. Saya cukupkan kuliah hari ini dan jangan lupa untuk mengerjakan tugas mencari jurnalnya, ya.”
Begitu Pak Johan menyudahi kelas pagi, Hanna langsung menelungkupkan wajahnya di antara kedua tangan. Setelah lambung terasa nyeri, sekarang kepalanya ikut nyut-nyutan seselesainya ia mengerjakan soal kuis dadakan. Sungguh pagi yang buruk.
“Kamu kenapa, Han? Sakit?”
“Mau balik pulang aja? Atau mau lanjut nanti kelas siang?”
Hanna mengangkat kepalanya dan menggeleng pelan. Dilihatnya wajah Elora dan Via, dua orang teman dekatnya yang tengah menatapnya cemas. Hanna pun tersenyum, menenangkan mereka yang agak cemas.
“Stress biasa. Kuisnya susah banget, mana aku enggak belajar lagi,” sahut Hanna sambil menggeleng pasrah. Kemudian ia beranjak dari bangkunya dan merangkul kedua temannya itu. “Makan, yuk! Lapar banget, nih!”
Masih ada jeda empat puluh menit sebelum jam kuliah kedua dimulai, Hanna masih memiliki banyak waktu untuk sarapan di kantin. Awalnya rasa lapar membuat sarapannya begitu nikmat. Namun ketika Elora dan Via terus saja membahas jawaban kuis dadakan di sampingnya, seketika kenikmatan itu berangsur lenyap. Soalnya, Hanna paling tidak suka membicarakan jawaban soal setelah kuis berlangsung.
Yang namanya ujian itu ‘masuk, kerjakan, dan lupakan’, kan? Tidak perlu membahas soal lagi, apalagi sampai mencocokkan jawaban. Duh, bikin overthinking aja, pikir Hanna.
“Udahlah, guys! Enggak perlu dibahas lagi soal yang tadi,” ucap Hanna pada akhirnya. Ia mendengkus saat kedua temannya ini menatapnya bingung. “Please lah, aku yang enggak belajar aja biasa aja. Makin mumet ini kepala dengerin ocehan soal kalian.”
“Maaf-maaf, Na. Kebiasaan,” sahut Elora sambil menjulurkan lidahnya.
“Hmm, kalau begitu ngobrol yang lain aja, deh,” celutuk Via tiba-tiba. Gadis berponi panjang itu tampak berpikir sejenak, kemudian menyeringai dan menatap Hanna jahil. “Gimana kalau bicarain soal perjodohan kamu itu?”
Hanna yang lagi meneguk jus stroberinya itu hampir saja menyemburkan minumannya ke wajah Via. Ia langsung mengusap bibirnya dan merenggut kesal.
“Kamu tahu darimana?” tanya Hanna, sedikit ketus. Perasaan ia belum pernah menyinggung soal ini pada siapapun, tapi kenapa Via bisa langsung tahu?
“Dengar ibu-ibu gosip tadi pagi. Soalnya, katanya semalam kamu diantar naik avanza hitam sama cowok ganteng! Kyaaa, bikin iri, deh!” sahut Via yang seketika berubah histeris.
“Astaga, kamu dijodohin!? Kok enggak bilang-bilang!?” seru Elora, semakin histeris.
Buru-buru Hanna membungkam dua bibir temannya itu dengan telapak tangan sambil celingak-celinguk, memastikan tidak ada oknum luar yang mendengarnya saat ini. Beruntung suasana kantin masih sepi.
“Jangan histeris begitu, woi! Malu banget punya temen kayak kalian,” gerutu Hanna dengan kesal. Wajahnya udah bete, tetapi kedua temannya ini hanya membalasnya dengan cengiran tanpa merasa berdosa.
“Jadi benar, nih?” bisik Via, gayanya udah mirip kayak ibu-ibu mau gibahin tetangga sebelah.
“Cerita-cerita, dong! Kamu ini punya hot news diam-diam sendiri aja,” tambah Elora, sengaja mengompori Hanna.
Hanna menarik napas panjang dan memijat keningnya kembali. Sungguh, tadinya ia mau sarapan dengan tenang tanpa memikirkan soal pertunangannya. Tetapi kenapa jadi seperti ini? Seketika Hanna menyesal udah memaksa mereka merubah topik soal ujian Pak Johan tadi.
Setelah mengunyah suapan terakhir sarapan, Hanna pun menceritakan peristiwa semalam, mulai dari ibunya yang menjelaskan wasiat sang ayah, pertunangan, hingga kedatangan Solar. Hanna berharap kalau dua orang ini akan merasa iba atau seenggaknya merasa kasihan. Namun ternyata, mereka malah menatap Hanna antusias, seperti anak kecil yang mendapat mainan baru.
“Gila, dia itu … anaknya direktur Hamid Coorperation bukan, sih?” seru Elora dengan mata yang berbinar-binar. Tangannya terangkat, tampak sangat bersemangat. “Aku pernah baca beritanya! Katanya, saham perusahaannya lagi naik banget! Gila, kamu bisa dapatin cowok tajir kayak gitu!”
“Emang rejeki nomplok banget ya, Na. Kalau rejeki emang enggak kemana. Nanti kalau kamu udah resmi jadi istrinya, sering-sering traktir kita, ya,” tambah Via sambil menepuk-nepuk bahu Hanna, merasa bangga atas pencapaian sohibnya satu ini.
“Iya! Pasti barang-barang kamu bakal jadi branded semua! Sisain buat aku satu, ya!”
“Benar, tuh! Pakai bekas kamu juga enggak apa-apa. Hahaha.”
Hanna mendengkus dan memutar bola mata, seketika enggan untuk merespon ucapan dua temannya ini. Ia memang tahu kalau Solar itu anaknya direktur perusahaan, tetapi ia tidak pernah berpikir sampai ke sana. Maksudnya, ia hanya menganggap Solar layaknya pria biasa, bukan karena ketajirannya.
Begini-begini Hanna juga punya harga diri tinggi, tahu!
“Aku itu enggak mau dianggap matre ya, kawan-kawanku tercinta. Aku ini hanya mau dicintai apa adanya,” ucap Hanna dengan penuh penekanan.
Via dan Elora saling berpandangan kemudian kembali menatap Hanna dengan bingung.
“Lagipula aku juga masih belum tahu hubungan kami bertahan sampai berapa lama. Kalau memang aku enggak menemukan kecocokan ama dia, aku bakal menghentikan pertunangan ini.”
“Na, kalau udah ada rezeki itu jangan disia-siain. Kesempatan itu enggak bakal datang dua kali, loh!” sahut Via sambil menghela napas panjang, tidak habis pikir dengan pemikiran temannya satu ini.
“Iya, jangan sia-siakan Solar, Na. Lagipula aku yakin dia enggak seburuk yang kamu kira,” ucap Via, berusaha menyemangati Hanna sambil merangkul temannya itu.
Hanna mengerucutkan bibirnya. “Tapi aku ….”
“Tadi kamu bilang mau dicintai apa adanya, kan?” celutuk Via yang tiba-tiba mencubit pipi Hanna gemas. “Kalau kamu mau dicintai apa adanya, maka kamu juga harus belajar bagaimana cara mencintai dia. Jangan cuma nunggu hatinya dia doang! Benar nggak, Ra?”
“Benar banget!” Elora mengacungkan dua ibu jari di depan muka Hanna.
Hanna tertegun. Ia ingin membantah, tetapi apa yang dikatakan Via benar. Bukan cuma dicintai, tetapi ia harus mau untuk mencintai.
Namun, kenapa rasanya hatinya masih terasa begitu berat untuk menerima Solar? Apa karena ia masih melakukan semua ini dengan keterpaksaan?
Terkadang ada sesuatu yang tidak bisa Hanna jelaskan pada dua teman dekatnya ini tentang hidupnya. Bukan karena tidak percaya, melainkan karena ia tahu mana batasan yang harus diceritakan dan mana yang tidak. Karena terkadang, seseorang tak butuh nasihat, tetapi hanya butuh didengar.Hanna kembali melihat layar ponselnya setelah tertera nama “Aufan” di notice paling atas. [Tidak apa kalo kamu mau ke sini besok. Kondisiku sudah membaik. Kamu bisa bebas bercerita apapun besok.]Hanna tersenyum tipis dan hanya membalas pesan tersebut dengan stiker acungan jempol. Ia jadi tidak sabar bertemu dengan sang empunya nama.“Lagi senyum sama siapa?”Hanna terlonjak kaget, menyadari Solar yang telah menunggunya dari tadi. Buru-buru ia memasukkan ponsel ke dalam tasnya kemudian terkekeh canggung.“Bukan siapa-siapa. Ah, maaf ya aku lama. Kamu udah nunggu dari tadi?” tanya Hanna, berusaha merubah
Hanna menatap cemas pada ikon baterai di layar ponselnya yang menunjukkan angka 5%. Sebelum ponselnya benar-benar mati, ia harus mengirimkan pesan singkat pada Solar supaya tidak menjemputnya di kampus. Bisa gawat jika Solar menunggunya selama berjam-jam.[Solar, maaf aku lagi enggak di kampus sekarang. Kamu enggak perlu repot-repot menjemputku. Lalu, bateraiku tinggal 5% jadi aku enggak bisa menghubungi kamu nanti. Maaf, ya.]Setelah mengirimkan pesan tersebut, ponselnya benar-benar mati. Hanna pun merutuki dirinya yang ceroboh karena tidak membawa charger di saat genting seperti ini. Andaikan saja ia punya powerbank, pasti ia tak perlu risau dengan keadaan baterainya.Hanna menghela nafas panjang, kemudian memasukkan ponselnya ke dalam tas dan kembali menyusuri pada lorong rumah sakit. Dilihatnya beberapa pasien yang tengah berlalu lalang ditemani perawat. Biasanya, jam sore adalah waktu yang paling ramai untuk membesuk. Namun, sekarang rasan
Matilah aku. Mereka benar-benar sudah menungguku lama dari tadi! batin Hanna panik.Hanna tersenyum paksa di tengah dua keluarga yang berbincang hangat. Di sebelah kirinya, ada sang ibunda tercinta yang selalu memasang senyuman manis, terlihat sangat senang akan kedatangan kedua tamunya ini. Bolak-balik ia selalu mempersilahkan tamunya untuk mencicipi camilan dan meminum teh selagi hangat.Sementara di sofa seberang, ada calon tunangan beserta bapaknya yang tengah menyesap teh panas hangat. Keduanya mengenakan balutan kemeja hitam yang tampak mahal dan sangat rapi. Aroma parfum khas pria kaya tercium sampai di tempatnya. Hanna semakin minder jika menyandingkan dirinya dengan mereka. Bahkan cara minumnya pun benar-benar penuh tata krama.Duh, Hanna jadi tidak bisa membayangkan kalau ia benar-benar menjadi istri dari seorang calon pewaris perusahaan ternama. Ia sangat-sangat minder. Soalnya, bau rakyat jelata dan konglomerat itu beda jauh!“K
Hanna tidak bisa tidur nyenyak semalaman. Setelah Solar membalas pesan singkatnya dan mengajaknya untuk bertemu setelah makan siang, sosok pria tampan itu langsung memenuhi isi kepalanya. Memikirkan apa yang sepatutnya mereka bahas, atau bagaimana mereka berbincang nantinya, Hanna terus mencari cara agar percakapan mereka tidak lagi canggung dan awkward sampai ia gemas sendiri dengan pikirannya itu.Dan sekarang, ia bahkan berpenampilan rapi dan memoleskan make up tipis. Surai hitam sepunggungnya itu ia biarkan tergerai rapi. Karena jam kuliahnya hari ini berakhir tepat sebelum jam makan siang, ia sampai membawa pouch make up yang jarang sekali ia sentuh jika tidak ada urgensi untuk bertamu.Menatap pantulan wajahnya di cermin, Hanna sudah lupa kapan ia terakhir kali mendandani dirinya serapi ini sebelum kuliah. Biasanya, ia tidak terlalu memedulikan penampilannya. Namun, kali ini tentu saja berbeda. Hanna harus memantaskan penampilannya setara
“Halo, Mas Solar! Perkenalkan, kami teman-temannya Hanna! Aku Via dan di sebelahku Elora! Salam kenal, ya!” “Salam kenal, calon tunangan temen saya yang paling ganteng!” Hanna mengusap wajah gusar saat dua teman gilanya ini memaksakan diri untuk berkenalan dengan Solar. Lihatlah sekarang wajah Solar yang tampak bingung, bahkan sampai menatap Hanna, seolah meminta penjelasan atas kekacauan semua ini. Seharusnya, Hanna tinggalkan saja dua orang itu setelah ia selesai salat dzuhur tadi. Kalau tahu bakal malu-maluin begini, ia enggak akan sudi menunggu mereka dari tadi. Sekarang Hanna benar-benar menyesal. Sungguh, Hanna malu punya teman enggak tahu diri kayak mereka! “I-iya, ini teman-teman aku. Teman kuliah,” ucap Hanna dengan ogah-ogahan. “Oh, kalau begitu salam kenal.” Sudut bibir Solar terangkat sedikit, membentuk sebuah senyuman formalitas. “Salam kenal juga, Mas! Mas tau, enggak? Hanna pas menceritaka
“Hee? Solar enggak menjemputmu hari ini? Kalian enggak berantem, kan?” Via dengan suara cemprengnya kembali mengheboh-hebohkan keadaan. Sengaja ia besar-besarkan suara, memanas-manasi Hanna yang tengah menyantap mie ayam spesial.“Kenapa, nih? Kenapa? Ada sesuatu, kah?” Elora yang tak mau kalah itu langsung ikut-ikutan mengompori situasi.Hanna menghela napas panjang dan memutar bola mata jemu. Ekspresinya kembali jengkel melihat bagaimana respon dari dua teman gilanya ini. Makan siang yang tadinya damai, berakhir ribut hanya karena Hanna mengatakan Solar tidak ke sini. Seketika ia menyesal sudah mengungkit nama Solar di tengah makan siang mereka. “Bukan begitu. Aku ini mau bimbingan dulu, woi! Udah tiga hari skripsiku terlantar, belum ada progressan. Aku ini enggak mau nambah semester lagi!” Hanna mengacung-acungkan garpunya pada dua gadis di depannya itu dengan geram.Iya, sudah tiga hari berturut-turut Solar s
“Hm, kayaknya kita masih perlu membandingkan gaun tadi sama yang lain.”“Se-serius?”“Iya. Kata Papa, ada rekomen pakaian bagus di sana.”Hanna mengusap wajah gusar ketika Solar kembali menunjuk sebuah toko pakaian. Ini hari minggu, hari dimana seharusnya ia mrehatkan otak dan tubuhnya. Tetapi hari ini berbeda karena Solar mengajaknya untuk mencari gaun dan jas yang cocok untuk pertunangan mereka yang tinggal dua hari lagi. Sudah lima jam lamanya mereka mengitari mall ini, tapi entah kenapa sulit sekali mencari pilihan yang sesuai dengan selera Solar.Padahal saat kemarin mencari cincin dan beberapa keperluan lain, mereka tidak perlu berlama-lama seperti ini. Tapi entah kenapa, untuk yang satu ini begitu berbeda. Lelaki itu mudah sekali mengajaknya ke toko lain untuk sekedar mencoba, lalu mereview baju tersebut dan meskipun sesekali ia memuji Hanna cantik, tetap saja Solar merasa belum puas.Seketika Hanna merasa
“Berhenti menjelek-jelekkan aku dan calon tunanganku, dasar sampah!”Hanna membentak keras, tak bisa lagi menahan emosinya. Tak lagi peduli pada dirinya yang seketika menjadi pusat perhatian. Mau bercanda atau tidak, ia paling tidak bisa mentolerir siapapun yang menginjak-injak harga diri seseorang. Baginya, ini sudah sangat keterlaluan. Wanita di sebelah Vincent sudah bersiap menampar Hanna balik. “Berani-beraninya—”“Cukup, Sayang. Aku enggak apa-apa,” ucap Vincent tiba-tiba. Digenggamnya pergelangan tangan wanitanya itu dan tersenyum tipis. Kemudian ia beralih menatap Hanna takjub dan kembali tertawa, seperti telah menenemukan sesuatu yang menarik.“Apa lihat-lihat?” Hanna berseru garang.“Di luar perkiraan, ternyata calonmu ini pemberani banget, ya.” Vincent kembali tertawa, hendak menyentuh Hanna dengan seujung jarinya. Namun, Solar langsung menghentikan pergerakan lelaki