Bahana sudah siap, hatinya sedang tak baik-baik saja mengingat hari ini dia harus bertemu Sangka. Hari yang selama setahun bisa dihindarinya, kini harus dihadapinya.
Dia mengetuk pintu kamar Nayaka, pelan.
“Ka, bangunlah, ini bajumu,” kata Bahana sambil bersandar di pintu.
Hampir saja dia terjatuh saat Nayaka membuka pintu dengan mata masih setengah terpejam.
“Ayo mandi, kita sarapan dulu baru ke kantor Gama.” Bahana mengulurkan paper bag yang berisi belanjaan mereka kemarin.
Nayaka menerimanya dengan enggan. Masih ingin melanjutkan mimpinya. Bahana kemudian mengecup kedua mata Nayaka, membuatnya seketika tersadar dan terkejut.
“Na,” protesnya.
“Sana mandi. Apa mau aku temenin,” goda Bahana membuat Nayaka menutup pintunya.
Bahana tertawa, kemudian menuju dapur. Raka sudah ada di sana, menyantap masakan Mbok Inah.
“Hari ini Mas mau dianterin atau nyetir sendiri?” tanya Raka.
“Biar aku nyetir sendiri. Kamu jangan klayapan,” kata Bahana membuat Raka mengangguk.
“Mbok, nanti siang gak usah masak banyak, kemungkinan aku sampai malam,” kata Bahana.
“Iya, Mas,” kata Mbok Inah yang sedang duduk selonjoran di pintu menuju taman.
Nayaka kemudian datang dengan jengah.
“Wah Non Ka cantik banget,” celetuk Mbok Inah membuat Nayaka malu.
“Beneran deh, Mbak Ka ini kalau dandan jadi cetar,” imbuh Raka.
“Jadi pilihanku gak salah kan?” Bahana membanggakan diri.
“Dih, kali ini aja bener ya Mbok, yang kemarin mah, galak amir,” celetuk Raka membuat Bahana mencebik.
“Non Ka, harus bisa tuh bikin Mas Gama bilang iya hari ini,” celetuk Mbok Inah membuat Nayaka bingung.
“Maksud Mbok Nah, Mbak Ka harus bisa bikin Mas Gama bilang iya buat pernikahan kalian,” papar Raka membuat Nayaka menoleh ke arah Bahana yang sibuk mengunyah makanannya.
“Mas Gama itu over protektif sama Mas Bahana, jadi banyak gadis yang ditolak sama Mas Gama saat disodorkan sama Mas Bahana. Untung yang kemarin gak jadi disodorin, kalau iya kayanya bakalan ada perang bubat,” seloroh Raka membuat Bahana tersedak.
“Iya, Mbok aslinya juga gak setuju perempuan itu sama Mas Gama. Jutek, emosian, tapi Mas Gama cinta mati kayanya. Kasian,” lanjut Mbok Inah malah membuat Bahana terbatuk-batuk.
Mereka malah semakin menambah daftar keburukan Sangka di mata Nayaka. Tanpa peduli dengan hati Bahana yang masih perih bila mengingatnya.
Mobil mereka kini menuju kantor Gama di Denpasar, kantor percetakan besar yang paling terkenal di Denpasar. Tangan dingin Gama dan Bahana sudah membuat perusahaan orang tua mereka berkembang.
Bahana menarik napasnya saat sampai di parkiran, sudah setahun dia tak ke sana. Meninggalkan kantor demi dirinya sendiri. Nayaka memegang tangannya untuk mencari penguatan dan menguatkan.
Bahana menatap Nayaka kemudian membuka pintu dengan yakin. Lalu dia membukakan pintu untuk Nayaka, menggandengnya erat, agar hatinya tak lagi berserakan saat bertemu Sangka.
Para staf yang melihat Bahana kembali melempar senyum dan anggukan hormat. Mereka akhirnya mendapati bahwa Tuan Muda mereka yang satu itu baik-baik saja setelah setahun menghilang. Kini, dia kembali menggandeng perempuan cantik yang sangat sepadan dengannya.
Sangka yang melihat kedatangan Bahana di kantor urung untuk menemuinya, karena perempuan yang dibawa Bahana masih membuatnya tak menyukai hal itu.
Bahana mengetuk pintu ruang Gama.
“Masuk,” seru Gama dari dalam.
Bahana membuka pintu dan menatap kakaknya itu dengan penuh kerinduan. Dia melepaskan tangan Nayaka dan memeluk kakaknya.
“Maaf baru datang hari ini,” bisik Bahana.
“Sudah sembuhkah luka hatimu?” selidik Gama sambil menatap Nayaka yang kini diam.
“Almost,” kata Bahana. Dia mengatakan bahwa dia sedang patah hati kepada Gama waktu itu, alasannya untuk pergi. Tanpa Gama tahu siapa yang membuatnya terluka.
“Kenalkan, ini Nayaka, ehm ... kekasihku,” kata Bahana membuat Gama mengulurkan tangannya ke arah Nayaka yang menerimanya dengan canggung.
“Gama,” kata Gama sambil menelisik Nayaka.
“Nayaka,” balas Nayaka dengan malu-malu.
“Oke, ada hal yang ingin aku sampaikan. Duduklah,” kata Gama membuat keduanya duduk di kursi.
“Jadi, pengembangan perusahaan ke Lombok berjalan baik, aku ingin kamu memegang anak cabang kita di sana. Aku tak bisa mempercayai orang lain,” kata Gama membuat mata Bahana membulat.
“Apa ada syarat yang ingin kamu ajukan?” tanya Gama.
“Beri aku waktu satu bulan, aku ingin mempersiapkan pernikahanku dengan Ka,” kata Bahana membuat Nayaka terkejut dan menyikutnya.
“Oke, tidak masalah. Sepertinya, petualanganmu sudah menemukan tempat untuk berlabuh. Apakah dia memperlakukanmu dengan baik?” tanya Gama ke arah Nayaka yang mengangguk ragu. Bahana memperlakukannya lebih dari baik.
“Bagus. Kamu boleh mengadukan sikapnya yang arogan kepadaku. Mana ponselmu?” tanya Gama membuat Nayaka mengulurkan ponselnya.
“Nomorku sudah aku save. Kapan pun dia berlaku tak baik, datang padaku. Untuk pernikahan kalian, aku yang akan membayar semuanya,” papar Gama membuat Nayaka terenyak.
Ini apa-apaan, kenapa dua bersaudara ini seolah sekongkol untuk membuatnya mau tak mau menerima pernikahan ini?
Nayaka menatap Bahana meminta penjelasan.
“Nanti kita bicara,” desis Bahana.
“Baiklah, ayo makan siang, aku akan mengajak Sangka,” kata Gama sambil menggiring mereka keluar.
Sangka yang sedang menuju ke arah ruangan Gama, urung, karena mereka bertiga menuju ke arahnya.
“Ayo kita makan di Mak Beng,” kata Gama.
Sangka menatap pertautan tangan Bahana dan Nayaka, ingin rasanya dia melepas itu
Bahana yang menyadari tatapan tak suka dari Sangka, malah semakin mengeratkan genggamannya.
Masing-masing membawa mobil sendiri. Karena Bahana tak ingin Nayaka dekat dengan Sangka.
Mereka kini duduk berempat di warung Mak Beng, Bahana dan Gama sedang memesan makanan.
“Kamu, sudah berapa lama mengenal Bahana?” selidik Sangka.
“Setahunan,” jawab Nayaka singkat karena tak ingin membicarakan lebih jauh hal apa pun dengan Sangka.
“Apa yang kamu lakukan hingga dia bisa melupakanku?” cecar Sangka.
“Aku tak melakukan apa pun. Semua perasaan kami mengalir tanpa paksaan, bila itu yang kamu maksudkan,” kata Nayaka mulai mengimbangi intimidasi Sangka.
“Jangan merasa dengan begini, kamu bisa mendapatkannya secara utuh. Aku tahu hatinya hanya milikku,” desis Sangka membuat Nayaka tak suka.
“Bahana bukan obyek permainanmu, yang bisa kamu tentukan harus bagaimana. Dia berhak menentukan hatinya milik siapa. Lalu, apa kamu tak malu, serakah ingin memiliki keduanya? Aku kasihan dengan Mas Gama, memiliki istri yang hanya melihatnya sebagai status tanpa perasaan,” gertak Nayaka membuat Sangka ingin mencakarnya.
“Kalian sedang membicarakan apa?” tanya Gama membuat Sangka terdiam.
“Masalah perempuan Mas. Tentang perasaan memiliki dan dimiliki, bukankah saat perasaan saling terpaut, maka kita akan sangat bersyukur?” kata Nayaka membuat Sangka menahan geram. Dia tahu Nayaka menyindirnya.
Bahana mengelus lengan Nayaka lembut, tahu maksud dari sindiran Nayaka. Air muka Nayaka tak pernah bisa membohonginya.
“Benar Ka. Perasaan itu, hanya kita sendiri yang bisa mengendalikannya,” timpal Gama, semakin membuat Sangka tersudut.
Mereka memakan pesanan tanpa banyak kata. Bahana hanya menimpali perkataan kakaknya, tanpa sedikit pun ingin menatap Sangka yang sedari tadi mencoba untuk menarik perhatiannya. Beruntung Gama tak melihat itu semua. Bahana lega, Gama bukanlah orang yang peka, sehingga dia bisa menyamarkan semua kegugupannya.
Nayaka berdiam diri sepanjang perjalanan pulang dari makan siang. Intimidasi Sangka terlihat nyata untuknya. Nayaka paham dengan sikap Sangka, tapi juga tak paham. Dia sudah memilih Gama, kenapa masih harus mempertanyakan perasaan Bahana? Apakah Sangka memang serakah ingin memiliki keduanya? Kalau begitu, Nayaka bertekat untuk mempertahankan Bahana, dan membuat Sangka tahu, Bahana bukan lagi miliknya. Baik hati dan raganya.“Sangka mengatakan apa padamu? Sampai kamu diam tak menatapku,” desis Bahana curiga.“Aku akan membuatnya tahu, kamu milikku,” desis Nayaka tak sadar, membuat Bahana menekan rem karena tak menyangka mendengar kata-kata itu dari mulut Nayaka.“Apaan sih mengerem mendadak?” tanya Nayaka kesal karena kepalanya terantuk dashboard.“Ulangi sekali lagi?” pinta Bahana berharap Nayaka tak melupakan desisannya tadi.“Apa?” tanya Nayaka bingung.“Ulangi perk
Nayaka menutup pintu lalu menutup wajahnya. Menyembunyikan rasa malu yang menyeruak. Walau Bahana tak lagi ada di depannya, tapi degup jantungnya tak kunjung mereda. Rasanya masih panas, masih membuatnya merasa dipandangi.Dia lalu membersihkan diri di kamar mandi. Mengguyur kepalanya agar segera reda semua rasa malu itu.Sementara Bahana langsung merebahkan dirinya di tempat tidur. Tersenyum dan memejamkan matanya karena bahagia.Dering ponsel membangunkannya, sudah pagi rupanya. Dia bahkan belum berganti baju. Pradnya.“Ada apa?” tanya Bahana.“Oke, aku akan ke sana. Semuanya kupasrahkan padamu,” kata Bahana lalu gegas mandi.Nayaka masih belum keluar dari kamar, dia kemudian meninggalkan rumah dan berpesan pada Raka dan Mbok Inah, kalau dia hanya sebentar menemui Pradnya.Nayaka membuka matanya, berusaha mengingat ini hari apa. Beruntung semua dokumen kerja sudah dia selesaikan beberapa hari yang lalu. Dia k
Nayaka menatap Bahana yang kini berbaring, menunggu lukanya untuk dibersihkan. Bahana menutup matanya dengan lengan. Entah menyembunyikan rasa sakit atau air mata. Nayaka tak berani mengungkitnya. Dengan pelan dia membersihkan luka itu. Belum kering sepenuhnya. Seperti luka hati Nayaka, belum kering karena ulah Doni, sekarang Sangka bahkan ikut menggarami. Perih.Bahana sedang bergelut dengan perasaannya sendiri, menahan air mata yang mungkin saja meluruh tanpa dia sadari. Gama sudah mengetahui rahasia gelapnya, beruntung Gama menerima semuanya. Perlakuan Sangka masih menyisakan duka baginya. Sudah ditinggalkan, kini bahkan seolah dia tak direlakan untuk bahagia.Nayaka mengangkat lengan Bahana, memperlihatkan mata yang memejam dengan terpaksa itu.“Aku sudah selesai membersihkan lukamu. Jangan menangis,” bisik Nayaka seraya mengecup mata Bahana.Entah perasaan apa yang menjalar, kini air mata itu mengalir tanpa bisa lagi dibendung. Nayaka yan
Naya sudah siap di dapur, memakan sarapannya. Sambil menunggu Bahana yang tak kunjung keluar.“Non Ka, kenapa gelisah?” tanya Mbok Inah tahu Nayaka gelisah karena sesekali melirik arah kamar Bahana.“Mau, Mbok aja yang bangunin Mas Bahana, apa Non Ka sendiri?” tawar Mbok Inah membuat Nayaka bangkit juga.“Aku saja, Mbok.” Nayaka meninggalkan dapur.Dia mengetuk pintu kamar Bahana pelan. Tak ada jawaban. Tak biasanya Bahana belum bangun di jam-jam ini. Sekali lagi dia mengetuk pintu. Tapi tak ada respons. Nayaka mulai cemas.Dibukanya pintu dengan pelan. Terlihat Bahana sedang meringkuk di tempat tidur. Nayaka khawatir.“Na?” tegur Nayaka. Tak ada balasan.Nayaka menyentuh tubuh Bahana. Panas sekali. Tangannya sedang menekan perutnya. Saat Nayaka mengangkatnya, terlihat darah di sana.“Na, ada apa?” teriak Nayaka panik.Teriakan Nayaka membuat Mbok Inah dan Raka
Nayaka tak bisa memejamkan matanya, melihat Bahana mendengkur halus di sampingnya, membuatnya masih tak percaya, laki-laki ini akan menjadi suaminya beberapa hari ke depan.Nayaka mengusap wajah Bahana dengan jemarinya, menyusuri setiap lekuknya, mensyukuri setiap pahatan Tuhan di sana. Garis wajah yang tegas, dengan kulit bersih, sungguh perpaduan yang memabukkan.Nayaka masih tak percaya Bahana menyerahkan diri untuk menikahinya. Bahana bisa mendapatkan perempuan cantik mana pun yang dia inginkan, tapi, Bahana malah memilihnya. Nayaka, perempuan yang mungkin biasa saja.Saat tangan Nayaka menyusuri bibir Bahana, dia tak tahan untuk tak mengusapnya. Bibir tipis yang sudah dia kecup entah berapa kali belakangan ini. Tanpa sadar, Nayaka menciumnya. Merasakan manisnya. Kemudian tersenyum saat Bahana menggeliat dalam tidurnya.“Jangan pergi,” gumam Bahana dalam tidurnya sambil memeluk Nayaka erat.“Aku menginginkanmu,” lanjut B
Nayaka sangat gugup, saat Ratna datang ke kamar hotelnya, membawakan gaun pengantin, dia malah terpaku dan tak percaya bahwa ini adalah harinya.Nari dan Ratna membantu Nayaka memakai gaunnya. Nayaka sudah berias sendiri.Sementara Bahana berjalan mondar-mandir di depan Gama.“Tenang, Na,” gumam Gama malas melihat Bahana gelisah.“Aku akan menikah,” desis Bahana tak sabar.“I know. Calm down.” Gama menepuk pundak Bahana.Nayaka keluar kamar dibimbing oleh Paman yang menggenggam erat tangannya.Bahana terpaku, Nayaka benar-benar memesona. Membuatnya tak bisa berkata-kata.Saat Paman menyerahkan tangan Nayaka padanya, Bahana menerimanya dengan lembut, mengecup punggung tangan Nayaka dan memberinya senyum yang membuat Nayaka harus menahan napas.Ikrar sehidup semati mereka terucap. Bahana tak henti menatap Nayaka yang jengah di hadapannya.“Selamat, jaga hubungan kal
Nayaka memejamkan matanya saat Bahana meletakkannya di ranjang. Ingin rasanya dia berlari.“Ka,” bisik Bahana yang kini berbaring di samping Nayaka.“Hm,” balas Nayaka tanpa membuka matanya.“Tatap aku,” bisik Bahana.Nayaka bergeming, sampai akhirnya, Bahana memiringkan tubuhnya. Melumat bibirnya yang sedari tadi berdiam.“Na,” desis Nayaka saat Bahana memberinya jeda untuk bernapas setelah lumatan demi lumatan di bibirnya.“You know that, I want you so badly,” bisik Bahana disela deru napasnya yang memburu.Akhirnya, mau tak mau Nayaka membuka matanya, menelusuri wajah Bahana dengan jarinya. Ini waktunya, menikmati ciptaan Tuhan yang sempurna ini, hanya untuk dirinya sendiri.“You know that, I want you so badly, too,” gumam Nayaka lalu mencium bibir Bahana dengan lembut.Bahana tersenyum, merespons ciuman itu dengan penuh hasrat.
Sangka menyesap tehnya pagi ini. Sendirian. Di meja makan. Joy menunggu dengan posisi tegap di sebelah kanannya. Kemarin, hari pernikahan Bahana, Gama mengurungnya di rumah. Memastikan dia tak melangkah keluar dari pintu. Sekarang, Gama bahkan belum bangun. Dia tidur di kamar tamu sejak kejadian di rumah Bahana waktu itu.“Aku ingin pergi keluar hari ini.” Sangka menatap Joy, tapi gadis itu tak terintimidasi sama sekali.“Kata Mas Gama, hari ini, Anda belum boleh keluar rumah,” kata Joy masih dengan posisinya yang berdiri tegap.“Sampai kapan? Aku tak akan mengacau,” desis Sangka geram karena tak bisa melabrak wanita yang sudah menjadi istri Bahana sekarang.Hatinya sangat sakit mengingat hal itu. Kini, tak ada lagi kesempatan untuk mendekati Bahana, untuk meluapkan perasaannya. Sudah satu tahun dia memendam semua kerinduannya, dan kini saat dia ingin menuntaskannya, Bahana sudah meninggalkannya. Ralat, Bahana