Share

Terbalaskan

Saking besarnya tenaga dalam yang dikeluarkan Aji, pintu gerbang itu sampai jebol dan mengeluarkan suara yang begitu keras.

Winarto yang baru keluar dari kediamannya dibuat murka, apalagi setelah melihat Aji berdiri menatapnya dengan tajam.

"Kau masih hidup ternyata, Bajingan tengik! Aku pastikan hari ini tidak ada lagi yang akan menyelamatkanmu!" bentak Winarto.

Di belakangnya, 40 anak buahnya sudah memegang senjatanya masing-masing dan bersiap untuk menyerang. Mereka hanya menunggu perintah dari Winarto untuk mencincang tubuh Aji.

"Kau terlalu percaya diri, Winarto! Semua yang ada di tempat ini tidak akan aku biarkan keluar hidup-hidup," dengus Aji. Diam-diam dia mengalirkan tenaga dalam ke tangannya.

"Bangsat! Cincang dia...!" Wiranto berteriak memberi perintah kepada anak buahnya.

40 orang anak buah Wiranto merangsek maju menyerang Aji bersama-sama. Desingan senjata mereka terdengar bersahutan membelah udara, saat serangan mereka hanya menyasar tempat kosong.

Aji dengan tenang menghindari setiap serangan yang mereka lakukan. Tidak terlihat raut kegugupan sama sekali di wajah lelaki kekar dan tampan itu.

"Aaaakh!"

Satu persatu anak buah Wiranto tergeletak di tanah dengan perut maupun dada yang jebol. Ada pula yang sampai kepalanya retak terkena pukulan Aji yang mengandung tenaga dalam besar.

Aji sendiri cukup heran dengan pertarungan pertamanya setelah menyelesaikan latihan di bawah bimbingan Prayoga. Dia merasa instingnya bekerja lebih cepat seolah tubuhnya bergerak sendiri tanpa dikendalikannya.

Aji menjadi lebih percaya diri. Kini dia bergerak menyerang dengan lebih cepat. Sebuah serangan yang dihindarinya, pasti diakhiri dengan serangan balasan yang mematikan.

Dalam waktu relatif singkat, Aji yang bahkan belum mengeluarkan pedangnya, sudah berhasil membunuh hampir 30 anak buah Winarto.

Winarto terkejut dengan perkembangan Aji yang pesat. Pemimpin perampok itu mendengus kesal melihat hampir 30 anak buahnya sudah meregang nyawa.

"Serang dia...!" bentak Winarto kepada 12 anak buahnya yang tersisa. Tapi yang terjadi malah membuat Winarto blingsatan.  Tidak ada satupun anak buahnya yang mematuhi perintahnya 

"Anggotamu lebih takut kematian daripada takut kepadamu, Wiranto," cibir Aji. Senyuman tipis tapi mengejek terlontar dari bibirnya.

"Kalau kalian tidak menyerangnya, maka kalian yang akan aku bunuh!" bentak Winarto.

Anak buah Winarto dalam posisi dilema. Mereka sulit untuk mengambil keputusan antara dibunuh Aji, atau dibunuh ketuanya.

"Kalian semua, jika ada yang berhasil membunuh Winarto, aku akan membiarkan keluar dari tempat ini hidup-hidup." Aji memberi penawaran kepada anak buah Winarto, karena dia melihat mereka merasa kebingungan dalam mengambil keputusan.

Setelah saling berpandangan, mereka mengambil kesimpulan untuk  melawan Winarto dari pada melawan Aji. Mereka melihat kemampuan Winarto masih di bawah lelaki yang pernah menjadi teman mereka itu. Jadi kemungkinan untuk hidup lebih besar daripada melawan Aji.

Winarto marah besar melihat 12 anak buahnya bergerak mengepungnya, dia mencabut pedangnya dan menyerang anak buahnya dengan membabi buta. 

Aji tertawa kecil karena dia bisa mengadu domba anak buah Winarto. Karena sejatinya dia tidak akan membiarkan satupun anggota perampok itu untuk hidup lebih lama. 

Sebagai pemimpin rampok, Winarto tentu bisa mengalahkan anak buahnya meski dengan penuh kerepotan. Selanjutnya, tatapan matanya menatap tajam ke arah Aji yang tersenyum mengejek melihatnya penuh dengan peluh dan nafas terengah-engah. 

"Kau ingat bagaimana membunuh istri dan anakku dengan begitu keji? Hari ini aku akan memperlakukanmu sebagaimana kau memperlakukan mereka, bahkan lebih keji!" Aji mengambil pedang yang tergeletak di sampingnya.

Melihat tatapan Aji yang seakan hendak mengulitinya, Winarto menelan ludahnya berkali-kali. Namun nasi sudah menjadi bubur, andai dia meminta maaf pun Aji pasti tidak akan memaafkannya. Dan opsi satu-satunya hanya bertarung sampai mati, pikirnya.

"Angkat senjatamu, Winarto! Jangan jadi pengecut yang hanya bisa bersembunyi di balik ketiak anak buahmu!" bentak Aji, sebelum menyerang Winarto yang jelas-jelas sudah merasa kalah sebelum bertarung.

Winarto bergerak mundur sambil menyabetkan pedangnya menangkis serangan Aji.

"Aaaakkkh!"

Winarto memekik keras setelah lengan kirinya terkoyak lebar terkena ujung pedang Aji yang menelusup ke dalam daging lengannya hingga tulangnya terlihat.

"Setelah ini, kedua telingamu yang tidak bisa mendengarkan jeritan kesakitan anak istriku, akan kulepaskan dari kepalamu. Percuma kau punya telinga jika tidak bisa mendengarkan apapun!" cibir Aji. Tangannya bergerak cepat menyisir bagian atas Winarto untuk memotong telinga pemimpin rampok tersebut.

Pekikan kembali terdengar dari bibir pemimpin rampok itu, setelah telinga kanannya terlepas dari kepalanya. Selang sesaat kemudian, telinga kirinya menyusul terjatuh ke tanah setelah tertebas pedang Aji.

"Bunuh aku sekarang! Jangan menyiksaku seperti ini!" teriak Winarto sambil menahan rasa sakit yang dirasakannya.

"Kau tahu berapa lama rasa sakit yang kurasakan setelah kau membunuh keluargaku? Hampir 3 tahun aku menunggu kesempatan ini!" bentak Aji. 

Winarto yang hendak bunuh diri dengan menggorok lehernya sendiri, tiba-tiba pedangnya terlepas dari tangannya. Bukan hanya pedangnya, bahkan tangan kanannya pun ikut terlepas dari tubuhnya.

"Aaaaakkkh! Tolong bunuh aku! Aku sudah tidak kuat lagi dengan rasa sakit ini!" Winarto mengiba memohon untuk dibunuh.

Aji tersenyum dingin melihat derita yang dirasakan Winarto, "Kau mau mati? Tunggulah sampai darah yang ada di tubuhmu keluar semua."

Mata Winarto berkunang-kunang dan pandanganya semakin kabur. Dia seperti merasakan kalau sesaat lagi nyawanya akan tercabut dari raganya.

Bayangan korban kejahatan yang dilakukannya, perampokan, pemerkosaan dan pembunuhan terlihat menari-nari di pelupuk matanya seakan mengejeknya.

Winarto pun tumbang dan jatuh terkulai sebelum nyawanya tercabut dari tubuhnya.

Aji menatap semua mayat yang ada di tempat itu. Dia beranjak memasuki kediaman Winarto dan mengumpulkan harta benda yang bisa dibawanya, terutama koin uang.

Satu persatu mayat anggota perampok itu dimasukkannya ke dalam dan dikumpulkannya menjadi satu. Setelah itu dia membakar markas yang dahulu menjadi tempatnya mencari nafkah, ketika masih menyandang status sebagai anggota perampok.

Sambil duduk dan bersandar di sebuah pohon besar yang cukup jauh dari markas para perampok itu, Tatapan matanya nanar melihat api yang meluap-luap dan membakar hingga habis bangunan yang terbuat dari kayu tersebut.

"Ke mana aku harus melangkahkan kakiku ini?" tanyanya dalam hati. Tangannya menarik pedang kegelapan yang tergantung di punggungnya.

Dia teringat dengan pesan Prayoga yang mengatakan jika pedang itu yang akan menuntun langkahnya. 

Dipandanginya dengan seksama setiap bagian dari pedang berwarna hitam legam tersebut, "Pedangku, katakanlah ke mana aku harus melangkah?" ucapnya pelan bertanya.

Pedang Kegelapan tidak merespon sama sekali ucapan Aji. Pedang berbilah hitam tersebut hanya diam dan tidak menunjukkan reaksi apapun cukup lama, hingga membuat Aji sedikit kesal dan memasukkannya kembali ke dalam sarungnya.

Aji bangkit dari duduknya. Pandangan matanya kembali menatap markas perampok yang sudah tinggal puing-puing, tapi masih mengeluarkan asap tebal menghitam.

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Budi Efendi
mantappp tambah seru
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status