Vai melompat-lompat di atas ranjang, melempar bantal hingga menyentuh langit-langit kamar. Berulang kali hingga bantal itu memuntahkan isinya, kapas-kapas beterbangan di udara.
Gadis yang kini mengepang dua rambutnya menjeling ke arah pintu yang sedari tadi diketuk. Namun, dia malas beranjak membukanya hingga suara gedoran itu lenyap.
Tak butuh berapa lama, suara gemerincing terdengar di luar kamar dan pintunya terbuka menampilkan sosok Risa dalam balutan blazer cokelat, tak lupa sorot matanya yang tajam menatap Vai yang melompat-lompat di atas kasur.
"Masuk. Jangan berdiri disana!" ujar Vai. Bantal yang dilemparnya kini menipis seiring isinya dipaksa keluar.
Risa mengedarkan pandangannya, pintu lemari yang terbuka menjulurkan susunan pakaian yang berantakan, beberapa terlepas dari gantungannya. Sobekan-sobekan buku bacaan berhamburan bercampur serbuk glitter di lantai.
Risa berganti menatap Vai dalam balutan pakaian hitam kini bermandikan kapas bantal. Gadis berkepang dua itu mengenakan tank top sedada berpadu celana panjang kargo taktikal, sarung tangan tanpa jari menyelimuti tangan kirinya hingga siku, dan otot perutnya yang tercetak jelas.
"Apa yang kau katakan pada Ibu?" teriak Risa.
Vai menangkap bantalnya di udara, lantas menoleh menatap Risa yang berdiri di tepi ranjang. Lalu, dia turun, menyibak baju yang menutupi dudukan sofa, dia menghempaskan bokongnya, mengangkat satu kakinya menyilang di atas paha.
"Aku hanya bilang, tante Risa menyuruhku menikahi Paman," ujar Vai datar sembari menatap kuku-kukunya yang bercat merah.
Derap ujung heels Risa terburu-buru mendekati wanita itu, dia mencengkram dagu Vai hingga tatapan keduanya beradu. Gigi Risa bergemertak, matanya melotot menatap Vai.
"Apa maumu?!"
Vai mendengus, dia menepis tangan Risa dari dagunya. "Mauku?" tanya Vai, "melihatmu menderita!"
Tangan Risa terangkat, terayun hendak menampar Vai. Namun, tangannya sigap ditangkap. Risa berusaha melepas tangannya, tapi cengkraman Vai begitu kuat hingga dia merasa ngilu di pergelangan tangannya. Dia tak menyangka, wanita bertubuh kurus itu memiliki tenaga sekuat itu.
"Menamparku saja kau tak bisa, apalagi membunuhku!" Vai menghempas kuat tangan Risa hingga wanita itu terhuyung ke lantai. Tawa Vai kembali berderai.
"Risa, Risa ...," ujarnya dengan nada mengejek. Vai bangkit dari duduknya, berjongkok menatap wajah merah Risa. Vai memangku dagunya dengan sebelah tangan, mulutnya mengerucut dengan alis meliuk.
Jika dahulu ekspresinya itu begitu menggemaskan. Namun, tidak saat ini. Kini Risa mengerti betapa liciknya wanita dihadapannya mengandalkan paras kanak-kanaknya.
Risa tak beringsut mundur sedikitpun saat Vai mendekatkan wajahnya, dia bahkan tak berkedip menatap manik hazel Vai yang begitu menghanyutkan, kini benar-benar menghanyutkannya dalam awal penderitaan.
"Kau harusnya tak memungut gadis kumal di jalan hari itu. Lihat, gadis kumal itu kini tak tahu balas budi," tutur Vai.
"Tapi aku senang, sangat senang hari itu. Kupikir tak akan ada yang peduli padaku, gadis kumal sebatang kara. Namun, Aku tak menyangka seseorang memungutku dan ternyata dia menantu keluarga Wiston, seolah Tuhan memang mendukung rencanaku. Kau tahu, awalnya aku terlena dengan telatennya jemarimu menyalurkan kasih padaku. Namun, aku sadar, aku harusnya tak terlena begitu cepat terlebih pada keluarga Wiston yang ...." Napas Vai tercekat, dia membuang wajah ke samping.
Tatapan Risa melunak, dia meraih wajah Vai menghadap wajahnya. Risa melihat jelas selaput bening menyelimuti mata wanita itu. Selama enam tahun Vai menetap di mansion Wiston, Risa masih belum memecahkan misteri masa lalu remaja tua itu yang kini menjadi penyebab kerunyaman.
"Kita bisa menyelesaikan masa lalumu dengan baik-baik," ujar Risa dengan lembut.
Manik Vai bergerak-gerak, pelupuk matanya kini tergenang. Risa menarik Vai untuk didekapnya. Namun, Vai mendorongnya. Kini tatapannya berubah bengis, genangan air matanya sudah melenyap. Vai tersenyum sinis.
"Tidak semudah itu, Risa. Nyawa dibalas nyawa!"
Deg
Risa membatu di tempatnya. Nyawa? Kepalanya kini berputar-putar mencari penjelasan. Apa kaitan nyawa dengan keluarga Wiston?
"V-Vai, apa maksudmu?" Sekuat tenaga Risa menahan getar dalam suaranya.
Vai mendengus. "Permainan baru saja dimulai, tentu tak asyik jika kau tahu intinya."
Vai beranjak dari posisi jongkoknya, dia menyingkap tirai merah mudanya, menatap kamar Dilger yang lengang.
"Kau sungguh melupakannya?"
Alis Risa bertautan. "Apa?"
Vai menoleh menatap wajah bingung Risa. "Kau benar-benar melupakannya." Vai mendecih.
Risa menatap Vai yang kini menatap kosong hamburan kertas di lantai. Pikiran Risa kini bertumpuk, sebenarnya apa yang wanita ini sembunyikan? Teka-teki apa yang dia lontarkan?
"Kau tahu, rencanaku berubah saat aku menginjakkan kaki di rumah ini. Awalnya aku hanya ingin mencari tahu saja. Akan tetapi, kalian membuatku mau tak mau bermain semakin jauh!" Vai mendongak, mata tajamnya berkilat amarah.
"Perlakuan kalian saat itu mungkin tidak terlalu berarti bagi Wiston. Namun, tak pernahkan kalian berpikir bahwa tindakan kejam kalian meluluhlantakkan hidup seseorang, dan kehilangan segalanya?" lirih Vai dan dia terperosot terduduk di lantai. Satu per satu air matanya merintik-rintik membasahi kertas di lantai.
Risa tertegun di tempatnya berdiri. Hari ini dia melihat kerapuhan Vai. Wanita yang selalu beraksi dengan konyol menimbulkan gelak tawa, periang, kini menangis tersedu-sedu. Hati Risa yang sebelumnya memanas kini menatap iba tubuh bergetar di depannya.
Risa mendekat, meraih tubuh Vai dalam dekapannya. Dia mengelus-elus punggung Vai menyalurkan ketenangan.
"Semuanya akan baik-baik saja."
Vai menggeliat melepas pelukan Risa, wajah sembabnya mendongak. "Baik-baik saja? Kau lihat sendiri aku sedang tidak baik-baik saja dan ... seterusnya akan begitu!"
Tangan Risa terangkat menepikan poni Vai. "Kau tak ingin bercerita padaku?"
Vai mengusap pipinya, raut wajahnya berubah membengis kembali, sudut bibirnya tertarik ke atas.
"Itu sama saja aku membocorkan rencanaku," bisiknya, "sebab namamu juga ada disana!"
Tawa Vai kembali berderai. Risa bergeming di tempatnya, tak menyangka perubahan suasana hati Vai berubah begitu cepat.
"Kenapa? Kenapa kau melihatku seperti itu, hm?" Vai mengedip-ngedipkan matanya menatap wajah cengo Risa.
Vai menyunggingkan senyum lebar, menampakkan jejeran giginya yang rapi. Tawanya kembali berderai, lalu dia menggerakkan lidahnya menyapu deretan gigi atasnya.
"Ini juga berkat dirimu yang sudah tidak menganggapku sebagai anak. Jadi, aku tak perlu bersusah payah bertingkah layaknya anak baik dihadapanmu."
Risa masih bergeming di tempatnya.
"Kenapa kau diam saja?" tanya Vai mengerucutkan bibir. Sedari tadi hanya dia yang berbicara dan wanita dihadapannya hanya membatu mendengar.
Risa mengerjapkan matanya. "Lalu kenapa kau ingin sekali menikahi Dilger?" Pertanyaan itu lolos dari bibirnya.
Vai menjentikkan jarinya di depan wajah Risa. "Bingo. Harusnya kau menanyakan itu sedari tadi hingga aku tak perlu bersusah payah berakting menangis!"
Kali ini Risa menganga. Jadi, apa yang dilakukan wanita gila itu tadi hanya tipu muslihatnya?
Vai tertawa hingga menahan perutnya. "Lihat wajahmu, hahahaha, sungguh jelek. Pantas saja Dilger berpaling darimu." Tawanya kian mengencang bahkan kedua tangannya kini menepuk-nepuk lantai.
Dada Risa kembali bergemuruh. Namun, dia tahu, ini hanya pancingan Vai semata. Risa percaya sepenuhnya pada Dilger. Dia menatap Vai yang kini tawanya berangsur-angsur mereda.
"Jawab aku!"
Vai mengusap sisa-sisa air mata di sudut matanya. "Kau tak sabaran sekali!" Lalu dia menjulurkan wajahnya ke depan hingga sejajar dengan telinga Risa.
"Sebenarnya aku tak tertarik sama sekali dengan suamimu!"
Risa menoleh menatap Vai yang kini menyengir jahat di samping wajahnya."Sebenarnya aku hanya bermain-main saja. Namun, tak kusangka kamu terpancing amarah. Oh, iya, kau tahu aku melihat segalanya kemarin. Kau mungkin tak menyadariku sembunyi di balkon kamarmu!"Vai memundurkan badannya, tangannya terangkat menampar pipinya sendiri. "Kau melakukan itu di wajah Dilger, kan? Hahahah!" Vai bertepuk tangan.Risa kembali bergeming."Oh, iya, lalu setelah itu kalian baikan, kan? Padahal aku masih ingin melihat kalian berduel lebih lama." Tubuh Vai merosot, lalu kembali menatap Risa diikuti senyumnya."Mau lihat sesuatu?"Tanpa menunggu persetujuan Risa, dia bangkit menuju nakas samping tempat tidurnya, membuka satu per satu lacinya. Namun, tak menemukan benda yang dicarinya. Vai mematung sebentar, memikirkan dimana dia meletakkan benda itu."Ah, di sana kau rupanya," ujarnya lalu menarik sebuah tablet yang tertutupi pakaian di atas ranjang.
Risa mengerjapkan matanya. Dia sudah berada di kamar. Sisi kepalanya masih terasa berdentum.Risa mencoba bangun, tapi punggungnya terasa berat."Berbaring saja!"Risa menoleh ke arah sumber suara. Senyum Dilger memesonanya. Raut wajah Risa berubah mengeras, percakapan semalam di kamar Vai berputar."Kamu menghilang semalaman, lalu tiba-tiba ditemukan di lobi utama." Dilger menatap lamat wajah pucat istrinya."Lobi?" Risa mendengus, mengumpat pelan dalam hati, wanita gila itu menelantarkannya saja di luar."Apa yang terjadi?"Amarah Risa menjalari tubuhnya. Dia melengos, Dilger menatapnya sedari tadi dengan raut wajah berkabung."Kamu masih bisa menatapku begitu setelah apa yang kamu lakukan padaku?" gumam Risa.Dahi Dilger berkerut. "Apa maksudmu, Risa?"Risa mendengus lagi. Tangannya mengepal di balik selimut.Pria itu menangkup wajah Risa menghadapnya. "Kamu tahu aku mencemaskanmu semalaman. Aku bahk
Risa menolak tidur sekamar dengan Dilger. Dia masih kesal, Dilger seolah-olah bertindak tidak melakukan kesalahan, pria itu belum mengaku padanya."Ibu akan marah lagi jika menemuimu tidur disini," ucap Dilger, tapi Risa tetap kekeh tidur sendiri.Risa tak peduli, biarkan saja Samara berasumsi seenaknya. Lagi pula, Risa tak yakin bisa sekamar dengan Dilger setelah apa yang didengarnya.Amarahnya tak tenang saat bersama Dilger, barangkali dia menancap pisau di tengah malam pada suaminya.Matanya terpejam, deru napasnya semrawut. Risa menyadari dirinya akan segera gila.Pintu kamarnya diketuk pelan. Risa mengabaikan, tapi ketukannya kian lama terdengar kasar dan mengusiknya."Sudah kubilang, aku tetap akan tidur di sini! Jangan membujukku!" Risa berteriak menatap jengkel pintu kayu."Ini aku."Risa membatu mendengar suara di luar pintu. Bukan suara Dilger. Risa enggan membuka pintu, tapi tubuhnya bereaksi sebaliknya.
"Lebih baik kamu menceraikanku secepatnya.""Apa yang kamu katakan, Risa?" Dilger mencoba meraih bahu Risa, tapi ditepis lagi.Risa mendongak. Sebenarnya, Risa lemah, rasanya ingin mati saja."Bukankah itu keinginanmu?""Tidak, Risa. Aku tak pernah menginginkan itu. Kumohon jangan mengatakan hal konyol—""Konyol katamu?" Rintik air mata Risa mengalir."Aku benci melihatmu menangis." Dilger menatap sayu wajah sembab Risa."Tapi kamu selalu membuatku menangis. Atau, kamu tidak sadar?"Dilger memeluk Risa meskipun wanita itu berontak."Apa lagi yang wanita itu katakan?""Aku mendengar obrolan kalian hari itu."Dilger melepas pelukannya, menatap Risa penuh tanya."Kamu pura-pura pikun atau memang bodoh?""Risa—""Sebelumnya, aku memercayaimu, tapi ... sekarang, aku berpikir dua kali lagi. Kamu beralih, Dilger. Kamu tak memihakku lagi, kamu tahu itu?""Apa maksudmu,
Dilger menyugar kasar rambutnya. Berjalan mondar-mandir di kamar. Sesekali melirik kamar di paviliun sebelah, lampu berwarna-warni berpendar.Setelah perdebatannya tengah malam dan diakhiri oleh Samara. Dilger sudah tak bisa tidur lagi. Jam terasa bergerak lebih lambat.Ibu jarinya menyapu bibirnya kasar. Dilger tak kuasa menunggu lebih lama lagi. Dia bergegas keluar.Dilger memandang pintu kayu di depannya sebelum mengetuknya. Butuh waktu agak lama hingga pintu itu terbuka.Sosok yang ditunggunya muncul. Rambutnya agak berantakan, baju kaus kedodoran berpadu celana pendek ialah baju tidurnya."Ada apa?" Vai bertanya sambil menguap.Dilger merasa bersalah mengusik tidur Vai, tapi dia segera menepisnya. Ditatapnya lamat-lamat Vai yang sibuk menguap. Sekalipun tampangnya kacau, tapi Vai tetap kelihatan cantik. Dilger melengos merutuki pikirannya barusan."Aku ingin bicara," ungkap Dilger.Vai mengerjapkan matany
Mata Dilger menyipit, ingatannya samar akan hari itu. Dilihatnya Vai tersenyum bengis padanya."Apa yang kamu lakukan?" selidik Dilger.Wanita di depannya menyilangkan kaki, memerhatikan kukunya yang berpoles kuteks, beberapa sudah mengelupas. "Aku iseng merekamnya." Vai berujar tanpa rasa bersalah sedikitpun.Vai menoleh. "Lagi-lagi kamu ceroboh, Paman, tapi aku suka. Aku melihat sisi liarmu hari itu.""Kamu memberiku sampanye alih-alih wine?" ingatan Dilger samar. Vai menuang berkali-kali gelasnya, dan bodohnya Dilger menenggak semuanya. Setelahnya, dia tak ingat apa yang terjadi selanjutnya. "Apa yang kamu lakukan padaku?"Vai memajukan wajahnya. "Aku tak melakukan apapun, tapi Paman menarikku. Paman meraung ingin ... tapi aku bukan wanita bodoh. Ya, ya, aku wanita, tentu aku terlena—" Vai menggigit bibir bawahnya sensual sembari melirik dada bidang Dilger."—Kamu tak melakukan apapun selain meluluhlantakkan wajahku, bahkan ak
Rahang Dilger mengeras seiring langkah besarnya. Dia tak tahu harus ke mana, tapi kakinya menuju dapur.Dilger terkesiap. Risa ada di dapur, menghadap wastafel, menyalakan kran, sedang kedua tangannya bertapak di meja dapur. Entah apa yang Risa lihat di air mengalir.Dilger melangkah mendekat, mematikan kran. Risa nampak kaget, lalu secepat kilat wajahnya berubah marah seolah-olah kehadiran Dilger selalu merusak perasaannya, dan membuatnya ingin terus marah saja."Sedang memikirkan sesuatu?" Dilger menuang air dalam gelasnya, menenggaknya sambil menatap Risa yang bergeming.Risa melengos. "Bukan urusanmu," katanya datar sambil berlalu, tapi Dilger menangkap lengannya."Aw," ringis Risa pelan.Dilger menarik Risa ke hadapannya, menatap wajah Risa yang menahan ngilu. Kemudian, Risa melepas cekalan tangannya, membawa lengannya ke belakang punggung.Dilger meneliti Risa, bergantian menatap lengan yang disembunyikannya menggeliat-geliat. "
"Jadi, kalian sudah baikan ceritanya?" Vai bertanya tanpa mengindahkan tatapannya yang menuang mi ke dalam mangkuk. Dia menyungging senyum sinis, dan dia tahu dua orang disampingnya menilik tajam.Vai menoleh. "Aku turut senang, tapi mungkin tak akan bertahan lama," ujarnya sambil mengangkat mangkuknya menuju ke meja.Pasangan itu masih bergeming di tempatnya, mendengar Vai yang menyeruput mi-nya.Risa beranjak turun meski Dilger menahannya, sorot matanya berkata, "Tenang, aku tahu apa yang harus aku lakukan."Dilger dengan enggan melepasnya. Wanita itu berjalan gemulai menghampiri Vai.Risa duduk tepat di depan Vai, mengawasinya yang begitu menikmati makanannya. Acap kali terdengar gumaman lezat di bibirnya."Aku turut senang melihat kalian berdua bersama lagi. Aku mengucapnya dengan jelas, kan?" Vai berkata dengan mulut masih mengunyah.Risa mengulas senyum, mengangguk. Dia menarik saus cabai, menyodorkannya pada Vai."Astaga