“Aku akan mempertemukan kau dengan Evans."
Daisy mendongak, ketika aku melontarkan kalima yang sejak dulu ia tunggu-tunggu.
“Sungguh?” Daisy berhenti mengetik di komputer.
Aku mengangguk. “Yap. Sore ini kalau kau mau?”
“Ya, aku mau. Aku akan menyelesaikan pekerjaan ini secepat mungkin.” Daisy tampak bersemangat.
“Tapi, sebelum ke aku mempertemukan kau dengan Evans. Kita ke rumah sakit dulu!"
Daisy menaikkan kedua alisnya. “Siapa yang sakit?"
“Kau.”
“Aku?” Daisy menunjuk dirinya sendiri. “Aku tidak sakit apa-apa.”
“Memar di tubuhmu, harus segera diobati.”
“Ooh. Tidak perlu, nanti akan sembuh sendiri,” jawab Daisy enteng, sambil melanjutkan pekerjaannya lagi.
“Ini perintah, Daisy. Kau tidak boleh membantahku,” kataku. Lalu kembali masuk ke dalam ruangan.
Bahkan, sebelum Daisy sempat membantah lagi.
***
Pukul lima sore, akhirnya pekerjaan aku dan Daisy selesai. Kami keluar gedung bersama menuju basement.
Aku mengerutkan kening, ketika Daisy membuka pintu belakang mobilku.
“Daisy, kau sedang apa?”
Daisy menatapku dan menutup pintu mobil kembali. “Maaf, aku pikir, aku boleh masuk.”
“Yah, boleh. Tapi kau duduk di depan, bukan di belakang.”
“Ng … aku di belakang saja, Pak,” ujar Daisy tidak enak hati.
“Kau anggap aku ini supirmu?”
“Ha?”
“Iya, aku supirmu. Dan kau nyonya yang duduk di belakang? Begitu?”
Daisy tercengang. “Sorry,” lalu duduk di depan bersamaku.
Aku menatap Daisy lagi—yang duduk diam tanpa mengenakan seatbelt-nya. Aku menghela napas, lalu mendekatkan diri ke arahnya. Daisy terperanjat, lalu refleks menamparku.
“Aw!” Aku meringis. Entah, untuk yang keberapa kali.
“Apa yang kau lakukan?”
“Kau belum pasang seatbelt!” Bentakku.
Daisy terperanjat kaget.
“Kau memang hobby menampar orang lain ya?”
“Ma-maaf.”
Aku segera memakaikan sabuk pengaman untuk Daisy. Kemudian, mobil kami melesak meninggalkan basement gedung perusahaan.
Lagu maroon five terus berkoar di stereo mobilku. Sedangkan aku dan Daisy saling diam, terpaku memandang jalanan di depan.
“Bagaimana pacarmu?” Aku memulai percakapan.
Daisy menoleh ke arahku. “Ha?”
“Pacarmu,” kataku lagi.
“Ooh ….” Daisy memandang ke depan. “Aku tidak tahu. Dia tidak ada kabarnya lagi.”
“Kau yakin? Ng … maksudku, kau tidak berusaha untuk menyembunyikan dia kan?”
“Tidak!” Daisy berseru. “Aku tidak berniat untuk menyembunyikan dia.”
“Yasudah, kenapa kau marah-marah.”
Daisy mendengus kesal. “Lagipula, aku kan sudah janji akan melunasi uang kakakmu.”
“Berapa sih hutang ayahmu dengan Vespa Butut itu?” Tanyaku.
“25.000 USD,” jawab Daisy.
“Berarti hutangmu sudah lunas. Jadi, kau tidak perlu lagi bergantung padanya. Aplagi, menikah dengan si Vespa Butut.”
Daisy hanya diam tidak menanggapi.
“Kau masih mencintai Vespa Butut?” Aku bertanya lagi. Karena diam Daisy membuatku ambigu. Sebenarnya, bagaimana perasaan Daisy dengan Vespa Butut itu?
Daisy menggeleng pelan. “Aku cuma takut, tidak ada lelaki yang akan melindungiku lagi."
“Memangnya, vespa butut melindungimu?”
Daisy mengangguk. “Setidaknya, dia selalu melindungiku, setiap kali ada laki-laki jahat yang menggangguku. Aku sudah terbiasa hidup dengan Tonny.”
“Daisy, masih banyak laki-laki yang lebih layak bersanding denganmu. Dibandingkan si Vespa Butut bodoh itu.”
Setelah mamakan waktu setengah jam, akhirnya kami sampai di salah satu rumah sakit langgananku. Aku membawa Daisy untuk bertemu Dokter—yang biasa menangani keluargaku—setiap kali mereka sakit.
Dokter Gideon memeriksa kondisi luka memar yang ada di tubuh Daisy. Wanita itu sempat meringis berkali-kali setiap kali Dokter Gideon memeriksa keadaannya.
“Lukanya tidak terlalu serius,” kata Dokter Gideon sambil menuliskan resep. “Aku akan memberiksan obat untuk penghilang rasa sakit dan nyeri, ya,” lanjut Dokter Gideon lagi.
Lalu Dokter Gideon menatapku. “Pacar barumu?” Ngomong-ngomong, Dokter Gideon hanya dua tahun lebih tua dariku. Dia duda anak satu. Kami cukup akrab dan sering kumpul bersama setiap kali ada acara penting.
“Dia sekretarisku,” jawabku.
“Oke, kau bisa tebus obatnya di apotek.” Dokter Gideon memberikan selembar resep padaku.
Kemudian kami pamit dan kembali melanjutkan perjalanan, setelah berhasil menebus obat di apotek.
“Dia sudah punya pacar?” Tiba-tiba Daisy bertanya, ketika kami dalam perjalanan.
“Siapa?”
“Dokter Gideon.”
Aku menatap Daisy sepintas sambil menyipitkan mata tajam. “Dia duda. Kenapa?”
Daisy menggeleng sambil senyum-senyum sendiri. “Dia tampan juga.”
“Dasar gila,” ledekku. Kembali fokus pada jalanan di depan.
“Kau sebut aku apa tadi?” Sepertinya Daisy tidak terima.
“Gila. Wanita gila.” Aku memperjelas kalimatku.
“Kenapa kau sebut aku gila? Aku hanya mengaguminya.”
“Yup. Kau bukan seleranya. Jadi jangan bermimpi.”
Daisy mendengus kesal. Ia melipat tangan di dada dan kembali menatap lurus ke depan.
***
Aku tidak memberitahu Evans, kalau aku dan Daisy akan datang mengunjunginya. Rehan bilang, kalau Evans sedang ada di showroom tempat dia bekerja. Jadi, kami langsung menuju ke sana.
“Evans ….” Aku melihat Evans sedang memperbaiki sesuatu di kolong mobil.
Evans langsung keluar dari kolong mobil, dan kaget saat melihat kehadiranku.
“Drew?” Evans mengambil kain untuk membersihkan tangannya. “Sedang apa kau di sini?”
“Perkenalkan, ini Daisy.” Aku menunjuk Daisy. “Dia adiknya Kareen.”
“Shit!” Evans mengumpat. Lalu melempar kainnya ke lantai dan berlari.
Mengetahui hal itu, Daisy langsung mengambil kunci inggris di lantai dan mengejar Evans.
“Mau kemana kau, laki-laki bajingan!”
Evans masuk ke dalam ruangan officenya dan mengunci pintu. Sedangkan Daisy, terus memukul pintu dengan kunci inggris, sambil berteriak.
“Keluar kau, sekarang juga! Atau, aku akan membunuhmu, Evans! Kau sudah membuat kakakku hamil.”
Teriakan Daisy, mampu membuat rekan kerja Evans keluar dari ruangan mereka masing-masing. Dan para pelanggan, ikut menonton aksi Daisy.
“Keluar kau, Evans! Aku akan menghancurkan pintu ini, jika kau tidak keluar!” Teriak Daisy lagi penuh emosi.
Salah seorang laki-laki—yang aku tebak adalah manager dari showroom ini, datang menghampiri Daisy.
“Permisi, Bu, apa yang sedang terjadi?” Tanya lelaki itu dengan lembut. Sepertinya, dia juga takut dengan Daisy. Aku hanya tertawa memperhatikan mereka semua, sambil melipat tangan di dada. Ini pertunjukan yang menarik, bukan?
“Laki-laki bajingan yang ada di dalam, sudah menghamili kakaku. Aku hanya minta pertanggung jawabannya saja! Dia sengaja kabur dari kami!” Ujar Daisy marah-marah.
Lelaki itu pun mengetuk pintu Evans. “Evans, jika kau tidak keluar. Kau akan dipecat.”
“Pak, tolong bilang sama wanita itu, untuk tidak membunuhku.” Teriak Evans dari dalam dengan suara bergetar.
“Kau akan mati, jika kau tidak keluar!” Maki Daisy.
Akhirnya Evans membuka pintunya. Daisy hendak melayangkan kunci inggris ke kepala Evans, tapi aku segera menahan tangannya.
“Lepaskan aku, Drew. Bajingan ini harus mati!” Seru Daisy sarkastis.
“Tolong aku, Pak.” Evans berdiri di balik punggung bosnya.
“Kita bicarakan hal ini baik-baik, Daisy,” kataku. Lalu menatap Pak Manager. “Boleh kami meminjam ruangan ini sebentar untuk bicara?”
Pak Manager langsung mengangguk. “Silakan, silakan.”
Aku langsung menarik Evans dan Daisy ke dalam ruangan. Aku membuat mereka duduk terpisah, agar Daisy tidak terlalu brutal.
“Kenapa kau kabur?!” Daisy langsung memulai percakapannya dengan mata menyipit tajam.
“Aku ….” Evans tampak gemetaran. “Aku, belum siap menjadi Ayah.”
“Tapi, kau harus bertanggung jawab!”Teriak Daisy.
“Aku … aku tidak tahu harus bagaimana. Aku dan Kareen tidak mungkin bersatu.”
“Kenapa tidak mungkin?”
“Karena aku tidak mencintai Kareen.”
“Sialan!” Daisy beranjak dari kursi dan hendak melompat ke arah Evans. Lalu mencabik-cabik lelaki itu. Tapi, sebelum hal itu terjadi. Aku segera menarik Daisy, dan membawanya kembali duduk.
“Tenang, Daisy…,” sahutku.
“Kau minta aku untuk tenang? Aku tidak bisa!” Bentak Daisy padaku. Lantas Daisy kembali menatap Evans. “Aku tidak peduli, apa alasanmu. Aku hanya ingin kau bertanggung jawab, Evans! Kau harus menafkahi kakakku dan juga anak di dalam kandungannya!”
Evans diam. Dia menatapku dengan nelangsa. Aku hanya mengangkat bahu.
“Kareen tidak tahu, kalau sebenarnya aku ini orang miskin,” kata Evans putus asa.
“Sekarang dia sudah tahu. Dia tahu, kalau selama ini, kau menggunakan identitas Drew. Tapi bagaimanapun juga, kau yang sudah menghamili Kareen. Bukan Drew.”
“Yup!” Aku ikut menyambung.
“Oke baiklah. Tapi, beri aku waktu untuk mempersiapkan semuanya. Termasuk secara financial dan juga mental. Secepatnya, aku akan menikahi Kareen,” jelas Evans.
“Apa jaminanmu?”
“Apa jaminanku! Kau sudah tahu semuanya tentangku, kan? Kau bisa mencariku di mana saja. Apalagi, Drew ada di pihakmu sekarang.”
“Aku butuh Kartu identitasmu.” Daisy mengulurkan tangan.
Evans mengeluarkan kartu identitasnya dari dompet. Lalu memberikannya pada Daisy.
“Oke?” Tanya Evans memastikan, ketika Daisy memeriksa kartu identitas Evans.
“Aku butuh surat pernyataan di atas matrai. Dan Drew sebagai saksinya. Jika kau berbohong, siap-siap kau akan masuk penjara. Aku punya pengacara untuk mengangkat kasusmu.” Daisy mengancam. Berhasil membuat Evans takut.
Evans pun tampak pasrah. Dia hanya mengangguk. “Baik, baik. Aku setuju.”
Setelah itu, Daisy mulai membuat surat pernyataan yang di tandatangani di atas matrai. Lalu, Daisy juga meminta nomor ponsel Evans, jika sewaktu-waktu Evans diajak untuk menemui Kareen.
Setelah semua proses yang bikin heboh selesai. Aku dan Daisy kembali menuju mobil.
“Kau punya pengacara?” Tanyaku, mengingat ancaman Daisy kepada Evans. Seolah-olah, Daisy punya segalanya untuk membuat Evans K.O
“Tidak,” jawab Daisy singkat.
“Lalu, pengacara yang kau bilang tadi pada Evans?”
“Aku kan, punya kau sebagai jaminan.”
“Aku?” Aku menunjuk diriku sendiri.
“Yup!” Daisy mengangguk mantap. “Kau adalah sepupunya Evans. Sekarang, kau ada di pihakku. Jadi, jika suatu hari nanti Evans kabur. Kau yang akan menyediakan pengacara untukku.”
“Apa?”
Yukkk bantu dukung karyaku. Jangan lupa vote dan comment yah!
Pukul dua belas siang, aku menyelesaikan semua pekerjaanku dan keluar dari ruangan. Aku melihat meja kerja Daisy sudah kosong. Berkas-berkas yang tadinya berantakan, kini sudah ditata rapi di atas meja. Mungkin Daisy sudah pergi makan siang, pikirku. Dan sepertinya aku sedang tidak mood untuk makan siang. Jadi, aku memilih untuk menikmati segelas kopi di cafe seberang kantor—yang baru saja buka seminggu lalu. Betapa terkejutnya aku, ketika sudah tiba di cafe dan melihat Daisy dan Gideon duduk berdua di salah satu tempat makan yang berada di sudut jendela. Aku melihat mereka tertawa sambil menceritakan sesuatu. Aku berusaha mengabaikan mereka, lalu memesan segelas Americano di meja barista. Sambil menunggu pesananku selesai, aku curi-curi pandang ke arah Daisy dan Gideon. Cerita mereka sepertinya semakin seru. Padahal, mereka baru pert
Aku mendongak, ketika Daisy datang membawakan kotak bekal di atas meja. “Apa ini?” “Buka saja, Pak,” kata Daisy penuh semangat. “Buatanku sendiri, di jamin higenis.” Aku mengerutkan dahi. Lalu membuka kotak bekal tersebut. “Taco? Buatanmu sendiri?” “Yup! Bapak harus cobain. Aku sengaja masak ini, agar Bapak sarapan pagi dengan teratur,” katanya. Berhasil menyentuh hatiku. Aku menatap taco cukup lama. “Tidak ada racunnya, kan?” Daisy cemberut. “Aku tidak sekejam itu.” “Baiklah.” Aku langsung mencoba taco pertama buatan Daisy. Aku mengunyah perlahan sambil meresapi rasanya yang nikmat. Aku menatap Daisy sejenak—yang sedang menunggu respons dar
Seharian bekerja membuat kepalaku rasanya ingin pecah. Aku butuh hiburan dan mangsa baru. Malam ini, aku pergi ke kelab malam sambil menikmati sebotol wiski. Aku duduk di depan bar, sesekali menatap ke lantai dansa dan mencari perempuan cantik yang bisa aku ajak tidur malam ini. “Hai ….” Salah seorang perempuan berambut merah menghampiriku. Matanya agak sipit, bibirnya sedikit tebal, dan berbadan sexy. “Maukah kau berdansa denganku?” Perempuan itu menarik dasiku, sambil tersenyum centil. “Namamu?” Tanyaku. “Eva.” Eva berbisik di telingaku. “Aku bisa meluangkan waktu untukmu.” Aku memperhatikan tubuhnya lagi dari atas sampai ujung kaki. Aku menyukai kaki Eva yang jenjang. Tapi, entah mengapa tiba-tiba saja sosok Daisy terlintas di otakku.
Ponselku berdering dan nama Rehan berkelap-kelip di layar. “Ya?” Sahutku setelah panggilan kami tersambung. “Pak, saya menemukan keberadaan Vespa Butut di Hotel Calton,” ujar Rehan, setelah aku menyuruh Rehan untuk memat-matai Vespa Butut beberapa hari ini. Aku ingin, Daisy segera tahu seperti apa laki-laki brengsek yang coba Daisy pertahankan selama ini. Aku mengernyit. Hotel Calton adalah hotel murahan yang dikenal sebagai tempat para laki-laki hidung belang yang kere. “Kau yakin?” Aku memastikan. “Aku yakin, Pak. Nomor kamarnya 202.” “Oke.” Aku memutuskan sambungan sepihak dan keluar dari ruangan. Daisy masih sibuk dengan pekerjaannya, padahal waktu sudah menunjukkan jam makan siang.
“Daisy, tunggu … kau mau kemana?” Aku berusaha menarik lengan Daisy, saat perempuan itu ingin menyebrangi jalan dan menunggu di halte bus.“Aku mau pulang, Pak.” Daisy menarik tangannya dari sentuhanku.“Kita pulang bersama.”“Aku bisa pulang sendiri.”“Okey, aku minta maaf.” Akhirnya, aku mengakui kesalahanku.Daisy berhenti memberontak dan menghadapku. “Kenapa kau lakukan ini semua, Pak?”“Aku peduli padamu.”“Sejak kapan, kau peduli dengan karyawanmu? Bukankah, dari dulu kau selalu mengincar karyawan untuk kau ajak berkencan? Maaf Pak, aku tidak tertarik.”
Aku puas, karena akhirnya Tonny di penjara, dengan bukti-bukti yang kuat kalau dia memang menggelapkan dana kakakku.Tapi sepertinya, berbeda dengan Daisy. Dia tampak sangat murung selama bekerja.“Ehem ….” Aku berdehem sembaru berjalan menghampiri meja Daisy.Daisy langsung mendongak. Terlihat seperti kaget saat mengetahui keberadaanku ada di dekatnya.“Pak ….” “Ya. Apa yang membuatmu termenung?”“Aku ….” Daisy gagu. “Aku tidak menung. Aku hanya, sedang mengecek schedulemu.” Aku mencondongkan kepala ke arah monitor Daisy. Dan dia tidak membuka folder apapun di komputernya.“B
“Dreww!” Ah! Sial! Aku sudah hafal dengan pemilik suara tersebut. Aku mengambil bantal di sisi kiri dan menutup wajahku dengan bantal. Tak lama kemudian, aku mendengar suara pintu kamarku terbuka dengan cara di banting. “Drew! Kenapa kau tidak angkat teleponku?” Yap. Siapa lagi kalau bukan si menyebalkan. Alexa. “Astaga, Drew. Kau belum siap-siap?” Aku bisa membayangkan ekspresi Alexa begitu melihat kamarku yang sedang berantakan. “Drew!” Alexa menarik bantalku. “Ini sudah pukul dua siang. Dan kau masih tidur?” Alexa geleng-geleng kepala sambil berkacak pinggang. “Dasar pemalas.” “Apa mau mu sih, Alexa? Kenapa kau selalu menggangguku tidur?” “Temani aku ke pesta pernikahan Dean hari ini.” Aku mengucek mataku dan mema
Aku berdiri di ambang pintu ruanganku, bersedekap, sambil memperhatikan Daisy dari jauh. Pertemuan mengejutkan dengan Daisy yang pergi ke pesta bersama Gideon membuatku curiga. Sebenarnya, mereka ada hubungan apa, sih?Ponselku berdering nyaring. Membuat kepala Daisy mendongak dan mencari si pemilik handphone. Lalu, mata kami berserobok. Daisy agak terkejut saat melihat keberadaanku. Aku segera mengambil ponsel dari saku celana dan masuk ke dalam ruangan sambil menerima panggilan telepon.“Apa?” Sahutku setelah terhubung dengan panggilan Alexa.“Kau ini, tidak pernah sopan dengan kakakmu!” Alexa menggerutu di seberang sana.“Iya. Kenapa?” Aku merubah intonasi menjadi lebih lembut. Lalu, berjalan menuju kursiku dan duduk bersandar di sana.