BAB 11Airin yang masih berdiri di balik pintu pasrah saja saat Dazel merengkuh tubuhnya dan membawanya ke dalam pelukan. Tangan kekar Dazel erat memeluk tubuh mungil Airin, napasnya terasa sesak oleh impitan yang ia rasakan di dadanya. Perlahan Dazel mengusap lembut pipi Airin dan bodohnya, ia pun menikmatinya, ia pejamkan mata untuk meredam gejolak di dada. Hingga ia merasakan sesuatu menyentuh bibirnya. Ingin berontak, tetapi serangan yang dilancarkan Dazel membuatnya tak berkutik bahkan balik membalasnya. Lagi, pertahanan Airin jebol karena pesona dan buaian Dazel.Dering ponsel menghentikan aktivitas mereka. Airin segera melepaskan diri dari pelukan dan tangan Dazel yang mulai menjelajah area lainnya. Mata Airin membulat saat melihat layar ponsel dan tertera nama si penelepon. Papi. Jantungnya seakan berhenti berdetak untuk sementara, ia panik. Rasa bersalah dan takut mendera hatinya.“Siapa yang telepon, Yank, udah malam, loh, ini?”“Ratih, di kamar depan. Mungkin dia enggak b
BAB 12[Sayang, ayolah ....] Kembali Dazel mendesak Airin. “A—aku, Zel ....”[Sayang, aku tau kamu juga menginginkannya, ‘kan? Ya? Aku ke kamarmu sekarang, ya? Tunggu aku.]“Jangan, Zel ... biar aku yang ke kamarmu.”[What? Seriously? Kamu mau ke sini?]“Ya, aku turun sekarang.[Ok, Sayang, aku tunggu di kamar 603, ya.]“Oke.”Airin segera menutup teleponnya, dadanya bergemuruh hebat. Ia tak percaya dengan apa yang diucapkannya barusan. Wanita itu masih ragu dengan keputusan yang baru saja diambilnya. Haruskan ia menepati ucapannya dan menemui Dazel di kamarnya? Dalam rasa bimbangnya ia berjalan mondar-mandir sampai sekitar sepuluh menit kemudian ponselnya kembali berdering, rupanya Dazel sudah tak sabar menanti kedatangannya.Airin menarik napas panjang lalu mengembuskannya perlahan. Wanita rupawan itu kembali mengganti baju tidur yang ia kenakan dengan pakaian yang dipakai tadi saat menemui Dazel di kafe. Dengan sangat berhati-hati dan debaran dada yang semakin tak menentu, ia lal
BAB 13Waktu sudah hampir Magrib saat pesawat yang membawa Airin dan Ratih tiba di Jakarta. Langit sore ini sangat cerah, tetapi tidak dengan hati Airin yang dilanda perasaan tak menentu.“Rin, lo, balik dijemput ?” Ratih bertanya saat mereka baru saja turun dari pesawat.“Bram bilang, sih, begitu tadi waktu menelepon.”“Kapanlah gue bisa seperti kalian, saling sayang, perhatian ....”“Makanya kawin! Kerja mulu, sih.” Airin terkekeh menggoda Ratih.“Apa iya, gue kerja mulu.” Terdengar suara Ratih lirih.Setelah melewati proses baggage reclaim, keduanya berjalan menuju pintu kedatangan. Dari jarak beberapa meter Airin sudah melihat Bram menunggunya di pintu kedatangan.“Lo dah ditunggu Bram, tuh, Rin,” ucap Ratih seraya menunjuk Bram dengan cara memonyongkan sedikit bibirnya.“Iya, eh, lo gue anter, ya?” Airin menawarkan pada Ratih untuk mengantarnya pulang.“Enggak apa-apa, lah, gue bisa naik taksi, kok.” Ratih menolak karena merasa tak enak pada Bram meski sebenarnya ia tahu, Bram p
BAB 14Menikmati secangkir cokelat panas seraya duduk di balkon menjadi pilihan Airin. Sementara Bram sudah terlelap sejak tadi. Malam semakin beranjak menuju larut, senandung angin malam dan kerlip bintang menjadi hiasan malam yang menemani Airin yang terlarut dalam lamunan.Tiba-tiba saja ia teringat akan ponselnya yang sejak sore ia matikan, perlahan ia bangkit dari duduknya dan dengan langkah pelan serta hati-hati merogoh ponsel dalam tas yang diletakkannya di sofa kamar.Sekilas menatap suaminya yang terlelap, lalu kembali ke balkon dan menghidupkan ponselnya.Drett dret dreett ....Pesan masuk begitu banyak sesaat setelah ponsel diaktifkan. Airin melihat ruang chat berwarna hijau dan begitu banyak pesan yang dikirimkan oleh satu kontak. Dazel.[Rin, udah jalan ke bandara?][Hati-hati, Sayang, sampai Jakarta kabari aku, ya.][Sayang, sudah sampai Jakarta?][Sayaaang ....][Sayaaang ....][Airin Sayang, tolong balas pesanku.][Sayang, please jangan buat aku khawatir.][Oke, mung
BAB 15“Selamat pagi, Sayang ....” sapa Bram pagi hari saat masuk ke ruang makan dan mendapati istri tercinta sedang menyiapkan sarapan. “Hai, selamat pagi, Pi, kok, tumben udah rapi banget, Sayang?”“Iya, Mi, hari ini Papi ada meeting dengan relasi kita yang dari Kalimantan, rencananya siang nanti tapi ternyata beliau memajukan jadwalnya ke pagi ini, ya sudahlah, Papi juga lagi enggak ada janji, kok, pagi ini.” Bram menjelaskan seraya menarik kursi dan mendudukinya. “Kopinya, Pi,” ucap Airin seraya menyodorkan secangkir kopi yang hanya diberi gula setengah sendok makan saja, karena Bram sudah harus mengurangi konsumsi gula. “Terima kasih, Sayangku.”“Mau sarapan apa, Pi? Aku tadi sudah buatkan roti isi dan ada nasi goreng putih kesukaan Papi juga, lho,” ujarnya menawarkan.“Wah, nasi goreng putih, ya? Aku makan itu aja, Mi.” Semangat sekali Bram saat mendengar Airin memasakkan makanan kesukaannya. “Oke, aku ambilkan, ya,” dengan cekatan Airin melayani suaminya.“Mi, kayaknya aku
BAB 16Tepat pukul 11:00 Dazel mengabari Airin kalau dia sudah ada di Bogor dan sedang meeting dengan relasi yang ada di sini. Sementara Airin masih berada di butik karena ia janji bertemu dengan desainer yang akan menjadi rekan bisnisnya ini pada waktu jam makan siang.[Yank, aku sudah di Bogor dan ini sedang meeting, tapi keknya agak lama, Yank,] kata Dazel mengawali percakapan.[Oke, aku di butik masih nunggu orang, nih.][Berkabar, ya, Sayangku.][Ok.]Airin duduk di ruang kerjanya yang ia desain menghadap ke arah jalan raya. Letak ruangan yang berada di lantai atas membuatnya merasa nyaman membuka lebar-lebar jendela yang membuat ia bisa melihat dengan bebas keadaan jalanan di depannya.Lalu, ia bangkit dari duduknya dan berjalan ke arah jendela dan berdiri di depannya menatap keluar, pikirannya menerawang jauh, saat ini dirinya dan Dazel sedang berada di kota yang sama tanpa membuat janji terlebih dahulu. Ada rasa rindu yang membuncah di dalam dadanya pada laki-laki berperawakan
BAB 17Lima belas menit berlalu, belum ada tanda-tanda Dazel akan segera tiba. Perlahan Airin merebahkan badannya, suhu ruangan yang sejuk membuat matanya mulai diserang rasa kantuk. Ia pejamkan mata dan menekan kuat dadanya untuk mengurangi debaran yang tak kunjung mereda.Baru saja ia hampir terlelap, tiba-tiba terdengar suara ketukan di pintu, dibiarkannya beberapa saat hingga kembali terdengar suara ketukannya dan setelah yakin berasal dari pintu kamarnya, ia pun perlahan bangkit dan berjalan untuk membukakannya.Dengan rasa berdebar Airin membuka daun pintu dengan perlahan sekali, seraut wajah yang sangat ia rindukan ke ini benar-benar nyata ada di hadapannya.“Hai ....” Begitu sapa Dazel saat telah memasuki kamar dan Airin kembali menutup pintunya.Mereka berdiri berhadapan, tetapi Airin hanya menunduk dan kedua jari tangannya saling bertaut. “Hei, kenapa? Katanya kangen? Sini ....” Tanpa menunggu jawaban Dazel menarik Airin ke dalam pelukannya. Airin pasrah saja saat Dazel me
BAB 18Guyuran air hangat kembali memulihkan tenaga Airin yang sempat habis terkuras tadi, Airin selesai lebih dulu dan gegas keluar dari kamar mandi meninggalkan Dazel yang masih membersihkan diri.Airin terkekeh saat kembali memunguti pakaiannya yang berserakan di lantai dan kembali mengenakannya. Lututnya masih terasa gemetaran dan perutnya pun terasa sangat lapar sekali. Permainan Dazel benar-benar membuatnya bertekuk lutut dan lupa siapa dirinya dan siapa Dazel.Dazel keluar dari kamar mandi dengan segaris senyum di bibirnya, dilihatnya Airin yang sedang merias diri di depan cermin dan ia berkata dalam hati, “Aku harus bisa memilikimu, Airin. Kamu perempuan yang mampu menyita semua pikiranku. Aku sangat mencintaimu dan inginkan kamu menjadi istriku.”“Yank ....” Airin memanggil Dazel manja.“Ya, kenapa, Sayang,”“Aku—lapar,”“Ya sudah, habis ini kita makan dulu, Sayang,”“Tapi tolong bantu keringkan rambut aku dulu, Yank,” pinta Airin yang masih membalut rambutnya yang basah meng