Dua jam sudah aku dan Fito berada di rumah Erna, rasa cemas begitu bergelayut dalam hati. Takut, jika Mas Bo'eng bangun dan mencari makanan. Karena hari ini, Nyonya besar itu tidak membeli sayur. Pasti ia akan seperti orang gila. Terkadang, aku malu bila bertemu dengan tetangga. Mereka semua menjadi pendengar setia, jika teriakan suami ataupun mertuaku mulai meninggi. Makanya, aku lebih memilih untuk mengalah dan diam.
"Kamu kenapa, sih? Dari tadi, kok, gelisah?" tanya Erna.Aku membantunya menyiangi sayuran untuk menu besok, tanganku membantu tapi pikiranku ada di rumah itu. Suara Mas Bo'eng pun belum terdengar, apakah sudah sesore ini dia belum juga bangun? Ke mana mereka?"Ah, gak apa-apa. Cuma takut Mas Bo'eng nyariin, karena hari ini gak masak," terangku. Walaupun suamiku kasar dan tidak memedulikan aku, hati ini masih ada rasa kasihan kepadanya. Biar bagaimanapun juga, dia masih suamiku, Ayah dari Fito.Erna memberiku segelas teh manis hangat, "Dia pasti bakalSetelah mendengar alasannya, Erna menyuruhku untuk membantunya sementara. Hitung-hitung, untuk tabungan. Meski sedikit, lama-lama akan terkumpul banyak."Ya sudah, untuk sementara ini, kamu jualan seperti tadi aja? Biar Fito bermain sama Mita, selama kamu berjualan. Kasihan kalau diajak, gimana?" tanyanya. Tentu saja aku langsung mengiyakan."Apa gak terlalu merepotkan?" tanyaku masih sesenggukan."Fito, kan, sudah gak digendong-gendong lagi? Jadi, gak merepotkan pastinya." Erna menepuk-nepuk pundakku dengan lembut. Ada kekuatan baru mengalir begitu saja."Aku pulang dulu, ya. Takut mereka kunci lagi," pamitku pada Erna. Fito masih tertidur, gegas menggendongnya dengan hati-hati. Hati ini telah menyimpan dendam, dalam diam aku akan bertahan. "Sekali lagi, terima kasih, ya," ujarku kemudian.Erna tersenyum sambil berkata, "Semangat, ya."Setelah masuk lewat pintu belakang, Mas Bo'eng melihatku menggendong Fito. Ia dan keluarganya seperti sengaja tak melihatku.
Tiga bulan sudah aku berjualan sayur matang milik Erna, uang yang aku dapatkan dari keuntungan, telah aku sisihkan tanpa sepengetahuan Mas Bo'eng dan ibunya. Lambat laun, aku mulai berpikir, jika memasak sendiri akan jauh lebih untung. Tapi, ada rasa tidak enak di hati. Bagaimana kalau Erna tidak suka? Uang yang kudapatkan dari penjualan, sudah mulai terasa jumlahnya."Kalau masak sendiri, pasti jauh lebih banyak keuntungannya. Selain itu, aku, kan, sudah ada pelanggan tetap," ucapku dalam hati. Tapi, aku takut Erna jadi salah paham padaku.Beberapa hari lalu, Azam datang ke rumah ini, memberikan kesempatan kepada Mas Bo'eng untuk mengelola usaha konter barunya nanti. Rencananya, Azam akan membuka cabang di dekat sini. Setidaknya, suamiku ada pekerjaan.Azam juga menyuruh Mas Bo'eng untuk mengontrak rumah, atau tinggal di dalam kios baru nanti. Ibu mertuaku membujuk Mas Bo'eng untuk memberikan gaji pertamanya nanti, sebenarnya aku tidak mempersoalkan hal itu. Toh, kewaji
Erna menyuruhku untuk datang melihat konter baru secepatnya, emosi meluap bercampur sedih. Kenapa Mas Bo'eng tidak juga berubah? Erna memboncengku dengan motornya, saat sampai di depan konter itu, aku hanya melihat karyawan lainnya.Menurut Erna, ada sekitar empat karyawan termasuk Melly. Namun, hanya ada dua yang sedang berjaga. Aku pun tidak melihat adanya Mas Bo'eng.Melly adalah seorang perempuan berumur sekitar 18 tahunan. Rumahnya tak jauh dari konter ini. Ibunya Melly adalah langganan Erna."Mau cari apa, Mbak?" tanya perempuan berhijab maron pada kami."Mas Bo'eng sama Melly di mana?" tanyaku langsung. Terlihat ia begitu terkejut dan menoleh ke belakang lalu temannya berdiri mendekati kami.Konter ini terbilang cukup luas, karena dua ruko dijadikan satu. Etalase disusun leter L, aku dan Erna berdiri dekat sekat penghubung pintunya."Emm. Mbak siapa? Mas Bo'eng belum datang, Melly hari ini juga tidak masuk." Perempuan itu bernama Siti. Aku tak bisa membendung emosi lagi."Ke ma
Dasar pecundang sejati, aku hanya bisa bersembunyi dan terus berlari dari kenyataan. "Manusia lemah dan bodoh. Sudah mendapati siksaan batin sedemikian rupa, masih saja mau bertahan dengan keadaan ini." Mungkin kalian pun juga mengatakan hal yang sama seperti itu. Ya, benar! Aku memang bodoh. Karena keterbatasan ilmu pengetahuan, akhirnya diri ini terjebak di dalam prahara kebodohanku sendiri.Erna menatapku iba, tanpa menceritakan tentang sumber tangisanku, ia sudah tahu permasalahannya. Tangannya meraih bahuku dan memeluknya. "Sabar, ya, Jul. Tuhan sedang menguji, tetap percaya pada-Nya." Aku membenamkan kepalaku di pelukannya."Kurang apa aku, Na? Selama ini, aku gak pernah menuntut apa pun dari Mas Bo'eng. Aku dengan ikhlas menerima semua kekurangannya," ucapku sambil tergugu. Erna mengusap-usap bahuku."Kekurangan kamu adalah terlalu sabar! Pemaaf!" rutuknya."Aku hanya mencoba menjadi istri yang gak neko-neko, Na.""Justru itu, si Bo'eng mengambil kesempatan atas kelemahanmu!" t
Setelah selesai, Azam mengantarkan kami pulang. Hari ini, aku begitu bahagia bisa menemaninya. Azam mengatakan, bahwa ia habis berbelanja untuk kebutuhan konter barunya. Membeli beberapa alat untuk menservis HP. Dalam perjalanan pulang, aku lebih banyak diam. Sedangkan Fito, tengah asyik bermain mainan baru yang dibelikan oleh Azam tadi.Kami melewati konter Mas Bo'eng, sekilas aku melihat suamiku sedang memangku perempuan itu. "Ada apa?" tanya Azam yang tanpa sadar mengikuti arah mataku."Gak ada apa-apa," jawabku asal."Rencananya, aku ingin memasang cctv di sana." Hatiku berdebar. Seolah Azam tahu apa yang sedang aku pikirkan."Oh. Oh, ya, Zam ... Melly itu siapa yang masukin kerja?" tanyaku iseng. Entah kenapa, saat menyebutkan nama perempuan itu, hatiku begitu sakit sekali. Tenggorokan tiba-tiba begitu tercekat.Azam mengerutkan dahi, "Melly? Siapa dia?" Pertanyaan Azam membuatku bertanya-tanya, apa semua hak telah diserahkan sepenuhnya kepada suamiku? Dari memilah karyawan, hing
Pukul sembilan pagi, aku dan Fito baru keluar dari kamar. Beberapa cemilan dan susu kotak rasa coklat, telah pindah ke perut Fito. Aku memang sengaja menunggu mertuaku mengantar Risa kerja. Mereka semua telah pergi, hanya ada aku dan Fito di rumah ini.Aku mengajak Fito mandi dan bergantian denganku. Piring kotor telah menumpuk di atas wastafel dapur, sebenarnya aku tidak betah melihat rumah berantakan seperti itu. Akan tetapi, aku ingin memberikan pelajaran untuk mertuaku. Bisa-bisanya mereka tega membohongiku selama ini. Mendukung Mas Bo'eng tinggal sendiri tanpa kami!"Baiklah, ini, kan, yang kalian mau?" Aku bergumam. Sesak rasanya. Setelah selesai mandi, aku merias diri dengan make-up dari Azam kemarin. Cantik juga wajahku kalau berdandan. Dengan tersipu malu dan tersenyum sendiri.‘Terima kasih, Azam. Dari dulu, hanya kamu yang membuatku tersenyum bahagia.’"Fito, ayo, kita main ke rumah Mbak Mitta," ucapku kepada Fito yang masih bermain dengan mobilannya."Iya, Ma." Anak itu me
Erna menyenggol lenganku. "Cie, dari tadi senyum-senyum terus?" ledeknya."Erna, apa aku salah kalau menerima semua kebaikan dari Azam?" tanyaku."Tentu aja gak salah, kan, bukan kamu yang minta?""Aku takut dibilang pelakor nanti, apalagi kalau sampai Lisa tau," jawabku kemudian."Kamu jangan mengirimkan pesan WA duluan, biar aja si Azam yang duluan kirim." Aku mengangguk paham.Benar juga, untuk apa juga aku mengirim pesan duluan? Di dalam kontak, hanya ada nomor Erna dan Azam yang baru kusimpan dalam memori telepon.Bahkan, aku tidak tahu berapa nomor telepon suamiku sendiri. Setengah jam telah berlalu, suara mertuaku terdengar dari dalam rumah. Sepertinya, dia baru kembali."July! Buatin kopi!" teriaknya."Baru pulang, tuh. Sana buatkan dulu, biar Fito di sini aja," ucap Erna.Aku melangkahkan kaki dengan malas, masuk melewati pintu belakang kembali. Namun, aku terkejut melihat mertuaku berkacak pinggang, "Bisanya ngerumpi aja!" bentak mertuaku.Tanpa berkata apa pun, aku mengambi
Pukul satu siang, saat aku sedang membantu Erna merajang sayuran untuk esok, suara Mas Bo'eng terdengar begitu melengking dari dalam rumah kontrakan mertuaku. Mungkin saja ibunya mengadu seperti biasa."Juliii! Sini lu!" teriak suamiku."Loh, itu suara si Bo'eng? Pasti mertuamu ngadu, tuh, ke dia.""Paling juga tar malam si Risa bakalan nambahin." Aku berjalan pulang ke rumah, Fito masih bermain di dalam. Setelah pamit, aku langsung berlari kecil sampai ke pintu dapur. Benar saja, Mas Bo'eng sudah ada di sini."Kenapa?" tanyaku pada lelaki itu.Mas Bo'eng duduk di sofa ruang tamu, awalnya ia membulatkan matanya seperti ingin menerjang musuhnya. Namun, detik kemudian ia terperangah melihatku. Mas Bo'eng menatapku dari ujung rambut, hingga ke ujung kaki sambil melongo."K-ka-kamu, kamu kenapa?" tanyanya dengan tergagap. Sudah lama sekali Mas Bo'eng tidak berbicara memakai "aku kamu" denganku, selama ini dia hanya memakai "lu gue" saaj. Namun, hari ini berbeda.Hatiku puas dan senyum dal