Share

Perbedaan Raihan dan Daffa

Setibanya di kantin, Raihan bertemu Ciara. "Siang adik," sapanya dengan senyuman cukup lebar. 

"Hah, kenapa kakak beli pembalut!" heboh Ciara kala melihat isi kresek Raihan. 

"Buat cewek yang lagi haid, kasian udah rembes. Kamu juga pernah seperti itu di haid pertama kamu, kakak yang selamatkan. Sekarang kakak mau jadi hero buat cewek itu. Sudah dulu ya, kasihan ceweknya nunggu lama!" Raihan melesat. 

"Ish, siapa cewek yang dimaksud? Masa iya Kak Raihan langsung punya cewek anak kampus ini, kan ini hari pertama Kak Raihan di sini," bingung Ciara. 

Fani menghampiri Ciara yang tidak kunjung memesan makanan padahal dirinya dan Alia sudah memilih bangku dan menunggu. "Kok ngelamun sih, kita kan sudah lapar," protes kecilnya lebih banyak mengeluh. 

"Sorry, tadi ada kakak aku. Kamu lihat tidak?" 

"Oh, yang barusan?" 

"Iya, itu kakak aku." 

"Iya ampun ... tinggi sekali." 

"Iya, kan sudah aku bilang Kak Raihan tiang listrik," kekeh Ciara. 

Di sisi lain, Raihan sudah sampai di tempat Naila menunggu. "Ini, pakai ya. Terus jaketnya jangan dilepas." Senyuman teduh Reihan. 

"Tapi kan ini jaket kamu." 

"Tidak apa, kita tetangga kan, nama kamu Naila kan?" Kemarin saya bertanya sama Tante Rumi." Masih senyuman teduh Raihan.

"Iya, saya juga ingat kamu. Ngomong-ngomong, terimakasih banyak." 

"Iya." Raihan senang membantu Naila karena kemarin gadis ini juga membantunya. Tangan kanannya mengulur, "nama saya Raihan." 

Naila juga mengulurkan tangan kanannya. Maka, telapak tangan keduanya bertautan. "Naila." 

Kini, Raihan dan Naila sudah berpisah. Gadis ini sudah memakai pembalutnya, jaket laki-laki itu juga tetap melingkar di pinggangnya. 

"Kalau saya ke rumah pakai jaket ini pasti Daffa tahu dan marah, tapi mau bagaimana lagi, celana saya sudah kotor terkena darah." Naila kebingungan, tapi andai dirinya bisa berkunjung sebentar ke rumah orangtuanya maka jaket milik Raihan akan dititipkan di sana. 

Cukup lama Naila menyusul ke kantin karena langkah patah-patahnya. 

Ciara segera mengenali jaket yang melingkar di pinggang Naila. "Kok, seperti jaketnya Kak Raihan." 

"Tadi emang ada laki-laki yang pinjamkan jaketnya, namanya Raihan." 

"Wah, tidak salah. Pasti Kak Raihan. Kakak bilang mau tolong cewek yang rembes. Jadi itu kamu, Nai?" 

"Iya." Anggukan Naila yang tidak menduga pada hal kebetulan ini.

"Bagus deh, saya kira Kak Raihan tolong cewek tidak jelas," kekeh Ciara.

Fani membantu memesankan makanan untuk Naila karena iba dengan langkah kaki kawannya. Jadi, sekarang keempat gadis itu makan bersama. 

Daffa juga sedang kuliah, tapi di universitas berbeda dan tentu saja tempat itu lebih terkenal dari tempat Naila menimba ilmu karena laki-laki ini berasal dari keluarga berada. 

Daffa adalah mahasiswa populer karena ketampanannya, dia seorang idol kampus. Banyak gadis tergila-gila padanya, tapi tidak satupun yang membuat ketertarikannya mencuat. Semua gadis-gadis itu hanya dianggap pemuas saja sama seperti Naila walau hanya Naila yang pernah dia sentuh. 

Daffa dan kelima kawannya baru saja menyelesaikan materi. Di kampus ini hanya kelima kawannya yang tahu setatus barunya yang adalah seorang suami.

"Bagaimana rasanya menikah?" goda Gavin. 

"Biasa saja," jawab datar Daffa. 

"Masa sih, bukannya enak," goda Gavin lagi. 

"Enak di ranjang saja, tapi saya malas kasih makan Naila!" aku Daffa. 

Rico memerotes kecil, "Dosa tahu, istri harus dapat nafkah lahir, bukan cuma batin saja, jangan lupa uang belanjanya." 

"Tidak peduli!" Datar Daffa. 

Kelima kawannya hanya saling memandang, tapi tidak lagi membahas pernikahan Daffa karena mereka tahu pernikahan itu atas dasar perjodohan. 

Seusai kuliah, Daffa tidak lantas pulang karena harus segera berkerja di perusahaan Haris. "Pa, boleh tidak Daffa tidak usah bekerja? Enak sekali Naila cuma kuliah, sedangkan Daffa banting tulang," adunya seiring menggerutu. 

"Sudah kewajiban laki-laki mencari nafkah untuk istrinya dan suatu hari untuk anak dan istri," tutur santai Haris tanpa menggubris kalimat Daffa. 

"Tapi pa, itu tidak adil!"

"Adil, Naila melayani kamu dengan tulus siang dan malam. Maka, kamu harus nafkahi Naila sesuai haknya." Kini Haris berkata tegas. Maka, Daffa tidak bisa membantah atau mengeluh, apalagi memerotes seperti yang baru saja dilakukannya. 

Sementara, Naila baru saja keluar dari bus. Dirinya harus berjalan sekitar dua puluh meter untuk mencapai lokasi tempatnya bernaung. 

Raihan menghentikan motornya kala melihat Naila sedang berjalan pincang menyusuri jalanan daerah. "Mau naik," tawaran ramahnya. 

Naila segera menoleh ke arah Raihan. "Tidak usah, terimakasih." 

"Yakin, memangnya tidak sakit berjalan pincang begitu?" 

"Tidak kok." Naila memberikan jawaban yang sama seperti pada kawan-kawannya. 

Raihan mengingat status Naila yang adalah seorang istri maka dirinya mengerti jika Naila sedang menjaga fitnah tetangga. "Iya sudah, tapi hati-hati." Senyuman tulusnya. 

"Iya. Eu-bagaiman jaket kamu?" 

"Pakai saja dulu," tawaran tulus laki-laki dengan perawakan sixpack. 

"Maaf ya, mungkin kamu harus menunggu jaketnya kering karena harus saya cuci dulu." 

"Iya, tidak apa. Pakai saja selama kamu butuh." Senyuman tulus Raihan masih memancar, "iya sudah, saya duluan," pamitnya karena beberapa tetangga mulai memandangi dirinya dan Naila. Laki-laki ini tidak ingin Naila dicap tidak baik sebagai seorang istri. 

Raihan berlalu terlebih dahulu, sedangkan Naila masih harus berjalan pincang dan terhuyung-huyung hingga tiba di rumah. Jaket milik Raihan segera dicuci memakai mesin supaya cepat kering. Naila juga menitipkan jemurannya di halaman tetangga dengan alasan tambang jemurannya penuh. Semua itu dilakukan agar Daffa tidak marah karena jaket milik laki-laki lain. 

Sore harinya Daffa pulang, tapi sejak kemarin dirinya tidak menyantap masakan Naila. Sama halnya dengan sore ini walau istrinya sudah menawarkan dengan santun. 

"Saya akan makan di luar, kamu makan saja sendiri," tolak Daffa kala Naila baru saja selesai memasak telur balado.

"Uang sisa amplop tinggal sedikit lagi, nanti saya mau minta uang buat masak," ucap santun Naila. 

"Minta saja sama orangtua toh mereka yang menikahkan kita." Santai Daffa seiring menghisap rokok. 

"Mana bisa seperti itu." Suara pelan dan hati-hati Naila agar tidak menyinggung Daffa. 

"Saya imam kamu, turuti perintah saya!" tegas Daffa, kemudian bergegas mandi. 

Namun, baru saja sampai di ruangan lembab itu. Daffa melihat celana berdarah milik Naila yang masih menggantung. "Ck, baru saja seminggu menikah sudah datang bulan. Kalau begini saya semakin tidak betah di rumah!"

Daffa segera menyelesaikan mandinya kemudian menemui Naila yang masih sibuk di dapur karena semua urusan rumah menjadi tanggung jawabnya. "Malam ini saya tidak akan pulang. Jangan hubungi saya!" 

"Tapi, bagaimana kalau orangtua kita tiba-tiba datang dan menanyakan kamu?" 

"Think smart girl, kamu bisa buat alasan masuk logika, kan!" Daffa segera berlalu, dia memacu motornya entah kemana. Naila tidak pernah tahu.

Saat hendak keluar daerah, Daffa berpapasan dengan Raihan yang sedang berkumpul dengan beberapa pemuda. Para pemuda menyapa Daffa sebagaimana pada seorang kawan. Lalu, salah satu pemuda berkata setelah Daffa berlalu, "Beruntung sekali Daffa dapat Naila, salah satu cewek paling cantik di daerah sini." 

Jadi, itu suaminya Naila. Hati Raihan. 

Bersambung ....

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status