Bab 43"Berasa jadi pengemis kalau begini caranya," gerutu Yuna. Dia terus mengeluh sambil mengamati barang-barang yang dipajang di rak dan mulai memilih barang yang sesuai dengan kebutuhannya."Kamu pakai sabun mandi dan shampo ini saja. Harganya lebih murah," tegur Yunita. Dia mengambil shampo dan sabun mandi cair kemasan reffil yang sudah diletakkan Yuna ke dalam troli, lalu menukarnya dengan shampo dan sabun mandi yang harganya lebih murah. Bukan cuma itu. Dia mengambil odol, sikat gigi, detergen, pelembut pakaian dari dalam troli, lalu menggantinya dengan produk serupa yang harganya lebih murah."Aduh, Ma. Masa Mama hitung-hitungan sama harga. Biasanya juga nggak," keluh Yuna lagi. Tapi dia memilih pasrah saja dan terus mendorong troli mengiringi ibunya."Mika jangan dibiasain lagi makan makanan cepat saji. Itu nggak sehat. Kamu bikin aja sendiri." Lagi-lagi Yunita menegur saat Yuna akan membuka freezer yang berisi dengan nugget, sosis, dan kawan-kawannya."Mana aku bisa bikin ya
Bab 44"Oh... maaf, saya nggak nyadar." Pria itu mengangguk, lalu mendekati ranjang, menatap putranya yang tertidur. Dua buah guling yang berbentuk boneka Keroppi dan Doraemon berada di sisi kanan dan kirinya."Nggak apa-apa, Dok. Kalau Dokter mau istirahat, kami bisa keluar kok. Nanti kalau Adek Gibran bangun, Dokter bisa dipanggil lagi kami," ujarku."Iya benar, saya memang mau istirahat sebentar. Nanti jam 13.30 siang akan ada operasi lagi. Mudah-mudahan tidak ada lagi pasien dadakan.""Oh, kalau begitu baiklah, Dok. Saya dan Naira akan keluar dulu sekalian mau shalat zuhur." Aku menarik Naira dan berjalan menuju pintu, keluar dari ruang peristirahatan itu. Masih ada waktu hampir satu jam, cukup untuk kami shalat zuhur dan makan siang. "Sekarang mbak Alifa seperti nyonya saja. Semua orang di rumah sakit ini hormat sama mbak Alifa," ujar Naira. Saat ini mereka tengah berada di salah satu lorong dan berpapasan dengan para petugas medis yang terlihat tersenyum dan mengangguk hormat k
Bab 45Keenan membuka mata dan terlonjak dari tempat duduk. Seketika ia merenggangkan tubuhnya dari wanita yang juga tak kalah kaget, karena ternyata Donita juga memejamkan mata sembari bersandar di bahu pria itu."Bu Eli," tegur wanita itu."Ternyata benar ya, rumor yang beredar jika seorang bos itu biasanya selingkuh sama sekretarisnya. Dan ternyata memang benar sih!" Tangan wanita itu sudah terulur bermaksud menarik Donita, namun Keenan lebih dulu membuat Eliana tidak berkutik. Dia malah menarik Eliana, lalu mengunci sepasang tangan wanita itu di belakang tubuhnya."Lepas, Mas. Kamu apa-apaan sih? Niat banget melindungi pelakor ini?!""Kamu pikir, aku diam saja melihat kamu mau berlaku seenaknya sama karyawan terbaik di perusahaan ini?!" Keenan balas membentak."Tapi dia pelakor, Mas. Aku dengar percakapan kalian barusan. Dia mengompori kamu supaya menceraikan aku!""Saya nggak mengompori Pak Keenan untuk menceraikan Ibu. Cuma yang bener aja sih, logikanya mana ada pria yang tahan
Bab 46"Ibu, apa kabar?" Aku mencium tangan yang mulai agak keriput itu. Hari ini RSIA Hermina kedatangan tamu istimewa. Dialah Ibu Wardah Aurora, ibunda dari dokter Aariz El Fata, yang merupakan pemilik rumah sakit ini."Saya sangat sehat dan bahagia, apalagi hari ini bisa berjumpa sama kamu, Alifa. Kenapa jarang sekali main ke rumah utama, hmm...? Saya sangat merindukan cucu saya," ujarnya ramah."Aduh... maaf sekali, Bu. Kebetulan Dokter Aariz maupun Mas Atta belum sempat mengantar. Karena kalau bersama dengan adek Gibran, biasanya saya diantar langsung oleh salah satu dari mereka," jelasku. Sebenarnya agak sungkan juga. Aku melihat jelas dari sorot matanya seperti menahan kerinduan."Wanita yang penurut." Perempuan tua itu mengusap kepalaku, sentuhan yang hangat. "Saya merasa sangat senang, karena di bawah asuhanmu cucu saya tumbuh menjadi anak yang sehat dan bahagia.""Saya senang sekali bisa menyusui dan mengasuh Adek Gibran. Dia menganggap saya seperti ibunya sendiri, Bu." Aku
Bab 47[Selamat hari ibu, wanita yang hebat!Teriring doa, semoga tetap menjadi seperti ini, memberikan cinta yang besar kepada putramu.Alifa, bolehkah saya minta sesuatu? Saya ingin agar kamu menjadi Ibu yang sebenarnya untuk cucu saya, Gibran dan calon adik-adiknya nanti. Menikahlah dengan Aariz. Saya mohon....]Tubuhku lemas seketika. Bahkan secarik kertas itu terlepas dari peganganku, jatuh ke lantai.Isi kotak itu memang benar sebuah boneka beruang yang cantik dan berukuran mungil. Namun bukan itu saja. Ada sebuah kotak yang ternyata isinya adalah satu set perhiasan bertahtakan berlian. Sepertinya satu set perhiasan ini dipesan khusus, karena kotak perhiasannya tertera logo merek perhiasan itu."Mbak dilamar?" cicit Naira."Aku tidak mengerti, Naira. Ini membingungkan. Aku nggak tahu." Menggunakan tanganku yang gemetar, aku segera membungkus kembali barang-barang itu, berikut dengan kertas yang berisi tulisan tangan bu Wardah. Aku membungkusnya seperti semula, lengkap dengan p
Bab 48"Ke rumah utama?" Aku sangat terkejut. Ini memang sudah lewat seminggu dari momen hari ibu, dan ini adalah hari terakhir tugas dokter Aariz sebelum menjalani masa cuti tahun baru.Di benakku langsung terbayang sosok ibu Wardah. Wanita baik hati itu pasti kini tengah menunggu jawabanku. Tapi apa yang harus kujawab? Terlalu banyak hal yang harus dipertimbangkan, termasuk ketidaktahuan dokter Aariz kalau ibunya sudah melamarku untuknya.Aku tidak bisa memprediksi bagaimana sikap dokter Aariz selanjutnya. Apakah ia memarahi ibunya, atau justru memarahiku yang tidak tahu apa-apa?Heran, kenapa bu Wardah bersikap begini? Wanita itu terlihat bijaksana, tapi kenapa malah memperlakukan putranya seperti anak kecil yang harus dipilihkan mainan?Aku benar-benar tidak habis pikir.Aku tidak bisa membayangkan bagaimana terkejutnya dokter Aariz ketika mengetahui jika ibunya sudah menjodohkannya dengan seorang perempuan."Iya, Alifa. Mama meminta kita semua untuk makan malam bersama. Kangen cu
Bab 49"Menikah?" Pria itu spontan mendekatkan telinganya ke mulut sang bunda. "Mama bilang apa tadi?""Jangan pura-pura tuli, Aaariz!" Wardah yang merasa jengah langsung mendorong wajah putranya dengan keras "Mama melihat hubunganmu dengan Alifa sudah cukup dekat. Kalian pun tampaknya merasa nyaman satu sama lain. Jadi kapan Mama bisa mendapatkan kabar baik itu?""Aku dan Alifa hanya berteman, karena Alifa itu ibu susu Gibran. Mama sendiri tahu, kan? Aku menerima keberadaan Alifa sebagai ibu susu yang Mama pilihkan untuk anakku." Aariz menatap ibunya dalam-dalam, berupaya menjelaskan, namun wajah itu terlihat sangat serius, bahkan mata tajamnya tak lepas memandangi mereka berdua. Sementara Atta duduk sedikit agak menjauh. Pria itu tengah fokus dengan ponselnya, seolah tak peduli jika di dekatnya ada perdebatan serius.Demi Tuhan, Atta hanya berpura-pura. Dia hanya sekedar memainkan game offline yang tak memerlukan fokus. Telinganya sudah tegak, ingin tahu bagaimana hasil pembicaraa
Bab 50"Siapa yang bilang kalian sudah dewasa?! Bagi Mama, kamu dan Atta adalah anak-anak kecil yang tetap butuh bimbingan. Mama wajib mengarahkan kalian, memastikan agar jalan hidup kalian lurus, tidak bengkok. Asal kamu tahu, Winda itu tidak sebaik yang kamu kira, dan kamu akan rugi besar, karena sudah memperjuangkannya. Lagi pula, keluarga Subrata tidak merestui kalian. Apalagi yang kamu harapkan, Aariz?" Rasanya Wardah ingin meledak saja. Memberi pengertian pada putranya di tengah keinginannya untuk menjaga sebuah rahasia, ternyata amatlah sulit."Ada Gibran di antara kami, Ma.""Mereka sudah menyerahkan Gibran sama kamu. Dan itu berarti Gibran adalah anak kamu, bukan anak Winda!""Tetap saja Gibran lahir dari rahimnya, Ma!""Aariz, menjadi seorang ibu bukan hanya sekedar hamil dan melahirkan, tetapi juga mengasuh dan mendidik anak-anaknya. Kamu tentu ingat, jika seorang ibu itu adalah pendidik yang paling utama, dan semua peran itu diambil oleh Alifa, kecuali hamil dan melahirkan
Bab 118Pria itu tersenyum samar lalu menghela nafas. Dia mengulurkan tangan yang disambut oleh Alifa dengan sebuah kecupan."Baik-baik di rumah ya. Dan tolong, jangan banyak pikiran. Yakinlah, semua akan baik-baik saja."Bagaimana mungkin dia bisa dengan begitu ringannya mengucapkan kata baik-baik saja, sementara aku sendiri merasa jika semuanya akan bertambah rumit? Ini tidak semudah logikanya.Firasatku mengatakan jika akan ada sesuatu setelah ini, jika kami terlambat untuk saling memperbaiki hubungan.Komunikasi diantara kami bahkan hanya seperlunya saja. Ini sangat menyedihkan.Aku menatap sendu langkah-langkah tegap suamiku yang tengah berjalan menuju mobilnya. Tidak ada lambaian tangan dan senyum manis. Dia pergi begitu saja. Agaknya bersikap manis kepadaku sekarang bukanlah hal yang mudah untuknya. Padahal bulan demi bulan sudah berlalu.Ah, kenapa aku jadi terlalu berharap? Bukankah dia sendiri yang bilang jika dia tidak mencintaiku? Bahkan percintaan panas tadi malam pun bi
Bab 117 "Kamu ingin aku menjadi suamimu seutuhnya, Alifa? Kamu ingin aku memberikan nafkah batin untukmu?" tebaknya, yang sialnya tebakan itu memang benar. Pria itu kembali menggeser tubuhnya dan kini kami kembali merapat. "Kalau itu adalah kemauanmu, baiklah. Aku akan memberimu nafkah batin. Bukankah seorang pria tidak memerlukan perasaan jika ingin melakukan hubungan intim?" "Kamu salah paham, Mas. Bukan itu maksudku." Aku merasa mas Aariz seperti meledekku. Kenapa aku jadi terlihat seperti wanita murahan yang menuntut untuk dibelai meski itu oleh pasangan halalku? "Aku tidak sedang salah paham. Jika memang seperti itu yang kamu inginkan, maka aku akan memenuhi semua keinginanmu, tapi dengan syarat, kamu nggak boleh minta cerai," ujarnya seolah bernegosiasi. "Bagaimana mungkin Mas bisa melakukannya? Mas tidak mencintaiku, kan? Pernikahan ini Mas lakukan hanya karena ingin menyenangkan hati Mama." Aku memejamkan mata, berusaha menahan air mata ini. Aku malu seandainya harus
Bab 116"Tidak mungkin! Kamu pasti bohong, kan? Anakku bernama Zaid, dan dia sudah meninggal dunia!""Dan kamu percaya begitu saja?!" sinisnya. Eliana memang memilih untuk memberitahu Keenan dan Donita, supaya Keenan berpikir untuk merebut kembali Alifa dari dokter Aariz. Dan ia akan mengambil kesempatan itu untuk mendekati pria kaya raya itu. Kebetulan dia sendiri sudah cukup kenal dengan dokter Aariz. Bukankah dokter Aariz yang menanganinya saat melahirkan Sherina? Itu akan menjadi jalan yang cukup mudah untuknya bisa meraih simpati pria itu.Dia tidak peduli jika drama rumah tangga ini akan terus berlanjut, yang jelas dia akan mengambil sesuatu yang dirasa lebih menguntungkan untuknya, lagi pula apa gunanya mengemis rujuk dengan Keenan? Yang ada, dia harus dipaksa untuk menerima Sherina yang jelas-jelas dia tidak suka, sementara dokter Aariz tidak punya anak. Itu yang ada di dalam pikirannya sekarang.Soal bagaimana respon bu Wardah, itu akan di pikirkannya nanti."Apa mungkin mas
Bab 115"Awas hati-hati, Mbak!" peringati Ina saat Donita mencoba menggendong Sherina. Bobot tubuh Sherina cukup berat, apalagi saat ini wanita itu tengah hamil dan perutnya sudah membuncit."Its, oke. Nggak masalah," ujar Donita. Wanita itu tersenyum. Tak ada penolakan dari balita mungil itu. Malah tangan kecilnya melingkar di leher Donita."Ma ma," ocehnya riang. Lalu tertawa-tawa."Ya ampun... kamu menggemaskan sekali sih." Wanita itu balas ketawa. Dia membawa Sherina berjalan menuju pintu utama lantaran suara bel di depan pintu terdengar.Nampaknya ada tamu untuk mereka.Tanpa memeriksa siapa yang datang dari kaca kecil yang berada di tengah-tengah pintu, Donita langsung membuka pintu begitu saja. "Bu Eli." Refleks wanita itu mengeratkan gendongannya."Apakah kamu kaget jika aku datang kemari? Apakah kamu mengira, jika saya tidak tahu di mana tempat tinggal kalian sekarang?" Terlihat sekali jika Eliana tengah memindai penampilan Donita saat ini.Donita hanya mengenakan dress over
Bab 114"Kenapa jadi begini? Kenapa mereka sampai bisa punya anak??!" Gigi-gigi perempuan itu gemertak. Dia bahkan langsung mengurangi kecepatan laju mobil. Emosinya sudah naik ke ubun-ubun.Ini fakta baru yang ia temukan dari Winda saat perempuan itu datang ke resepsi pernikahan Alifa dengan Aariz. Begitu rapatnya Atta menyimpan rahasia itu hingga setahun kemudian baru terungkap.Eliana tidak menyangka jika saat itu Alifa tengah hamil dan perempuan itu ternyata tidak memberitahu Keenan sama sekali. Seandainya dia tahu lebih awal, mungkin ia akan langsung melenyapkan bayi itu sejak masih dalam kandungan. Dia tidak sudi jika warisan Keenan nanti jatuh ke tangan anak dari istri pertama Keenan. Dia sudah berusaha semaksimal mungkin, mati-matian agar bisa hamil, termasuk dengan cara minta dihamili oleh Roger. Eliana tidak suka anak-anak, tapi jika begini caranya, sepertinya dia mulai putar haluan. Dia akan mengambil kembali Sherina untuk mengalihkan perhatian Keenan pada istri pertamany
Bab 113"Memang disengaja. Apa kalian pikir aku sepolos itu?" ujar Alifa santai. Dia membiarkan Gibran dan Anindita di pangkuan baby sisternya masing-masing, karena bajunya yang sudah kotor, takut jika cairan jus itu ikut mengotori baju yang dikenakan oleh anak-anaknya."Kalau Mbak tahu, kenapa nggak protes? Atau minimal Mbak minta ganti rugi kek. Atau bikin dia minta maaf sama Mbak. Padahal suaminya Mbak Alifa kan pemilik rumah sakit itu," saran Naira."Dia udah minta maaf kok. Kalian nggak usah khawatir. Santai saja. Aku memang sengaja bersikap pura-pura nggak tahu di hadapan dia, biar dia puas.""Apa yang Mbak rencanakan?" selidik Naira. Gadis ini tentu tahu karena sudah mengenal Alifa lebih lama daripada Maya."Mas Aariz bilang, aku nggak boleh menanggapi apapun yang terjadi di rumah sakit.""Dokter Aariz bilang begitu?" tanya Naira. Tentu saja dia tak tahu saat Aariz dan Alifa bertemu di ruangan direktur. Dia dan Maya sedang berada di taman bersama dengan anak-anak asuhnya."Iya.
Bab 112Dokter Ariana dan Dena memang bersalah, tapi itu tidak adil buat mereka. Gara-gara Atta, mereka sampai kehilangan pekerjaan. Meski nantinya mereka masih bisa praktek di rumah sakit lain, tapi akan sulit sepertinya. Sudah bukan rahasia lagi, jika terdapat kasus yang fatal, maka mereka akan kehilangan kepercayaan dari rumah sakit manapun.Setelah menyelesaikan urusan makan anak-anaknya, Alifa segera menelpon Atta."Dokter Ariana dan Dena dikeluarkan dari RSIA Hermina, Ta. Apakah kamu sudah tahu?" tanya Alifa begitu panggilannya tersambung. Pria itu memang selalu cepat merespon apabila Alifa yang menghubungi. Terbukti hari ini, panggilannya yang langsung tersambung saat ia baru saja memencet tombol berwarna hijau."Malah mereka sudah datang kemari. Katanya disuruh oleh suamimu," tukas pria itu dengan nada santai. "Memangnya kenapa, Mbak Alifa? Apakah ada masalah?""Ini nggak adil untuk mereka. Mereka kan cuma melakukan perintahmu. Kenapa malah mereka yang mendapatkan hukuman? Ken
Bab 111"Mau apa kamu kemari?" sambut Aariz saat perempuan itu sampai di ruangan pribadinya."Aku bosan di rumah, jadi aku bawa anak-anak kemari. Kami ingin bermain di taman," sahut Alifa."Kenapa harus kemari? Seperti tidak ada taman lain saja. Di pusat kota ada taman bermain yang bagus, bahkan di dekatnya ada mall. Kamu bisa bermain sepuasnya di sana dengan anak-anak." Pria itu mendengus, namun ia tidak bisa menolak kedatangan Alifa, atau akan terjadi pertengkaran yang membuat keadaan semakin rumit.Alifa tidak tahu dengan kehebohan yang terjadi di sini, setelah dokter Ariana dan Dena di keluarkan dari rumah sakit ini."Aku hanya ingin bermain di sini. Di taman kota terlalu ramai, sedangkan di sini suasananya lebih adem. Lagi pula....." Alifa menelan ludah, tak melanjutkan kalimat yang mungkin saja akan membuat Aariz salah paham."Kamu ingin dekat denganku?" tebak pria itu.Tuh, kan, benar tebakannya?"Terserah apa asumsi Mas, lagi pula aku tidak akan mengganggu pekerjaan Mas. Kami
Bab 110 "Saya akui ini kesalahan saya. Tapi saya nggak menyangka Mas Aariz melakukan hal sejauh ini, padahal seharusnya dia bisa meminta pertanggungjawaban saya. Saya udah bilang berkali-kali kalau mau marah, marahlah kepada saya," ujar Atta seraya menatap dokter Ariana, Dena, dan Arum bergantian. Wajahnya menyiratkan penyesalan. Bagaimana tidak? Gara-gara ulahnya yang ceroboh, dua perempuan ini sampai kehilangan pekerjaan, padahal keduanya begitu mencintai dunia medis. "Semua udah terjadi, Mas. Dan kemungkinan setelah ini kami akan sulit praktek," lirih Dena. Dibandingkan dokter Ariana, Dena lah yang paling cemas dengan kondisi mereka saat ini. Karena ia adalah tulang punggung keluarga, punya ibu yang sudah tua dan tidak bisa bekerja lagi. "Untuk satu atau dua bulan ke depan, sebaiknya kalian istirahat dulu. Anggap saja cuti panjang. Nanti aku pikirkan jalan keluar untuk kalian. Sebagai kompensasi, saya akan membayar gaji kalian sama seperti gaji yang kalian terima sewaktu mas