Share

3. Talak

Bab 3

Pagi ini, ruang makan terasa mencekam layaknya pemakaman. Tidak ada obrolan di sela sarapan, tidak pula canda tawa yang biasanya tercipta. Kehangatan sepasang suami istri itu sirna dalam sekejap karena pernyataan sang suami tadi malam yang menginginkan perpisahan. 

"Mau tambah makannya, Mas?" Laila bertanya ketika melihat piring Ibram telah tandas. Sementara Laila sendiri, isi piringnya bahkan belum habis setengahnya. Ia rasanya kehilangan selera makan karena masalah yang tengah menimpa rumah tangganya. 

"Apa sekarang kita bisa melanjutkan pembicaraan yang tadi malam?" ujar Ibram serius, tanpa menggubris ucapan Laila sebelumnya.

Laila terdiam, kemudian ia meletakan sendok yang dipegangnya begitu saja. 

Wanita itu menghala napas pelan, kemudian menatap suaminya dengan  tanpa gentar. Sepertinya memang laki-laki di depannya ini sudah tidak sabar untuk melepaskan ikatan pernikahan yang terjalin di antara mereka agar bisa segera menjalin hubungan baru dengan perempuan lain. 

"Sebelum itu, boleh aku bertanya beberapa hal terlebih dulu, Mas? Aku harap Mas Ibram bisa menjawabnya dengan jujur," ujar Laila pelan. 

"Apa yang mau kamu tanyakan?" balas Ibram terlihat tenang. 

"Sejak kapan Mas Ibram mengkhianatiku?" tanya Laila. Ia berusaha keras menyembunyikan kesedihan, meski sebenarnya ia yakin Ibram juga tahu bagaimana keadaan hatinya saat ini. 

Ibram terdiam sejenak. Kemudian, dengan pelan ia melontarkan jawaban, "Sepuluh bulan. Aku mengenalnya mungkin sudah ada satu tahun lebih, tapi baru berhubungan dengannya sejak sepuluh bulan yang lalu."

Laila cukup terkejut mendengar kenyataan itu. Sepuluh bulan yang lalu berarti sebelum dirinya hamil. Tak Laila sangka, sudah selama ini Ibram bermain hati dan ia sama sekali tak tahu. Entah dia yang terlalu mudah dibodohi atau Ibram yang terlalu rapi dalam bermain api. 

"Kenapa, Mas? Alasan apa yang membuat Mas Ibram tega menodai pernikahan kita?" tanya Laila lagi.

"Maaf, Laila, mungkin jawaban ini akan menyakitimu, tapi aku rasa memang sudah saatnya kamu tahu." Ibram memandang Laila dengan mata elangnya. Tidak ada lagi panggilan kesayangan yang biasanya ia sematkan untuk sang istri. 

Laila mengangguk. Ia berusaha menguatkan hati untuk mendengar apa pun jawaban Ibram.

"Awalnya aku hanya sedang lelah dengan hubungan kita. Aku sudah menunggu lama untuk memiliki seorang anak, tapi kamu tak juga hamil. Aku lelah terus ditanyai tentang keturunan. Muak rasanya ketika suara-suara sumbang itu mulai mempertanyakan siapa yang tak subur di antara kita. Hingga akhirnya aku bertemu dia di kafe tempatnya bekerja. Dia perempuan yang cantik, lembut, dan ceria. Hidupku rasanya lebih berwarna setelah mengenalnya. Aku yang memang saat itu sedang jenuh dengan rumah tangga kita, mencoba peruntungan dengan memintanya menjadi kekasihku. Aku sangat senang saat dia menerima pernyataan cintaku, terlebih selama kami menjalin kasih, dia sangat pandai mengambil hatiku. Aku memang sempat ingin mengakhiri hubunganku dengannya saat tahu kamu hamil. Tapi sayangnya tidak semudah itu. Aku sudah terlanjur mencintainya dan rasanya aku tidak sanggup jika harus berpisah. Maaf, Laila, aku memilih dia. Kami mungkin akan segera menikah setelah kita bercerai," jelas Ibram panjang lebar. Ia sengaja mengatakan kejujuran tanpa ada yang ditutup-tutupi. Ia hanya tidak ingin Laila berharap lagi padanya.

Hancur sudah perasaan Laila mendengar ungkapan hati suaminya. Ia menunduk dengan air mata yang sudah membasahi pipi. Meski sebisa mungkin berusaha terlihat tegar, nyatanya Laila tak sekuat itu. Pertahanannya runtuh juga di depan Ibram.

"Tenang saja, aku tidak akan pernah melalaikan kewajibanku terharap anak yang saat ini kamu kandung meski nanti kita berpisah. Harta yang saat ini kita miliki pun akan aku bagi dengan adil. Kamu bisa membuka usaha dengan itu agar bisa melanjutkan hidup," kata Ibram lagi.

Laki-laki itu sebenarnya iba melihat Laila yang menangis tergugu di depannya. Namun, janjinya untuk menikahi Rini tidak bisa ia tunda lagi. 

"Mas, apa aku boleh meminta sesuatu sebelum kita berpisah?" Laila berkata dengan suara paraunya, setelah ia bisa menguasai diri. Meski tak ada lagi air mata, Laila tak bisa bohong jika dadanya masih terasa begitu sesak.

"Apa yang kamu minta? Aku akan berusaha memenuhinya sebagai permintaan maafku," balas Ibram yakin. 

"Mas boleh menalakku hari ini juga. Tapi karena aku sedang hamil, maka izinkan aku tetap tinggal di sini bersamamu hingga aku melahirkan. Biarkan aku menunggu masa idahku di rumah ini. Apa Mas Ibram bisa mengabulkannya?" Laila menatap laki-laki yang masih menjadi suaminya itu dengan sendu. 

"Kenapa harus seperti itu?" Ibram tampak keberatan dengan permintaan Laila. 

"Bukan hal yang mudah menjalani kehamilan tanpa didampingi suami, Mas. Orang-orang di luar sana pasti akan menggunjingkanku. Aku takut tidak kuat mendapat tekanan seperti itu dan nantinya akan berakibat fatal pada calon anak kita. Selain itu, aku juga ingin Mas menjadi laki-laki pertama yang dilihat putri kita saat nanti ia lahir ke dunia, jadi tolong saat aku melahirkan nanti, Mas ikut menemaniku, meski tak ikut masuk ke ruang persalinan. Aku juga ingin Mas Ibram yang mengazani calon anak kita," ucap Laila memberi penjelasan. Meski nanti Ibram akan menceraikannya, Laila akan tetap memperjuangkan hak-hak anak yang dikandungnya. 

Ibram terdiam beberapa saat,  menimbang-nimbang tentang permintaan Laila. Sebenarnya ia tak ingin menyetujui apa yang menjadi permintaan Laila. Ia ingin segera menyelesaikan hubungannya dengan Laila, agar tak ada lagi beban yang mengganjal. Namun, setelah dipikir-pikir, sepertinya memang lebih baik jika mereka tetap tinggal satu atap sampai Laila melahirkan. Masih ada rasa iba di hati Ibram saat membayangkan omongan-omongan buruk yang akan diterima Laila karena kesalahannya. Ibram jelas tahu bagaimana tajamnya mulut-mulut para tetangga.

"Baiklah, aku penuhi semua permintaanmu. Silakan tetap tinggal di sini. Kamu tetap di kamar yang lama, biar nanti setelah pulang dari bekerja aku pindahkan semua barangku ke kamar tamu," putus Ibram pada akhirnya.

"Terima kasih, Mas. Oh iya, satu lagi, tolong rahasiakan terlebih dulu perceraian ini dari orang tua kita dan jangan dulu ajukan perceraian ke pengadilan agama. Aku ingin menjalani sisa kehamilanku dengan tenang, jadi aku mohon pengertian dari Mas Ibram," pinta Laila sendu. 

Laila tentu tahu jika kabar perceraian ini sampai ke telinga orang tua mereka, pastilah urusannya akan menjadi lebih rumit, terlebih jika Ibram mengakui tentang perselingkuhannya. Laila tak ingin ada keributan. Ia ingin calon anaknya tetap merasa tenang, meski sebenarnya keadaan orang tuanya sedang tak baik-baik saja. 

Ibram mengangguk saja. Toh, kelahiran anak mereka tak akan lama lagi. Ibram masih bisa bersabar sedikit lagi untuk mempersunting Rini.

"Mas bisa mengucapkan talak sekarang," ujar Laila. 

Meski tadi malam Laila berharap jika pernikahan ini masih bisa diselamatkan, nyatanya setelah mendengar pengakuan Ibram, wanita itu menjadi begitu kecewa. Sudah selama itu ternyata Ibram berhasil membodohinya dan Laila tak bisa membayangkan apa saja yang sudah Ibram dan wanita itu lakukan di belakangnya. Sepertinya memang tak ada lagi alasan Laila untuk bertahan, karena Ibram pun sudah tak ingin bersamanya lagi.  

"Baiklah." Ibram menarik napasnya panjang, lantas menatap serius pada Laila.  "Laila Ayu Ningrum binti Ahmad Zainal, aku Ibram Adi Nugraha dengan sadar menalakmu dengan talak satu. Aku berlepas diri dari tanggung jawabku terhadapmu, dan kamu aku lepaskan dari kewajibanmu sebagai istriku." Kata-kata itu terucap dalam satu tarikan napas. 

Laila mengangguk. Berkali-kali ia bisikan kalimat penguat untuk dirinya sendiri. Meski hatinya telah patah, ia tak ingin menangis lagi. Biarlah kesedihan ini ia bagi hanya dengan Tuhannya saja. Ibram atau siapa pun tak perlu tahu seberapa terlukanya dia.  

Mulai detik ini, statusnya bukan lagi istri dari Ibram. Wanita itu hanya berharap semoga ke depannya ia akan kuat berdiri di atas kakinya sendiri, karena sekarang ia tak lagi memiliki sandaran yang bisa dijadikannya tempat berbagi luka dan keluh kesah. 

Bersambung ...

Kaugnay na kabanata

Pinakabagong kabanata

DMCA.com Protection Status