Slavia mengambil piring, mengisinya dengan nasi dan memandang Shara.
“Sudah lama aku mau tanya soal ini, Kak ... Kalaupun aku hamil dan Kakak yang membesarkan anak aku nanti, apakah orang-orang tidak tambah julid? Maksud aku ... itu sama saja bukan anak kandung Kakak kan?”Shara ikut mengambil piring sambil menyahut. “Tenang saja, aku sudah menyiapkan rencana ini dengan sangat sempurna. Kalau nantinya kamu berhasil hamil, aku akan di rumah untuk mengurus kamu ....”“Nggak usah repot-repot, Kak!”“Apanya yang repot, dengan begitu orang-orang akan aku buat percaya kalau aku hamil dan harus istirahat total di rumah.”Astaga, batin Slavia dalam hatinya. Shara terlihat sangat terobsesi memiliki momongan hanya karena terbawa perasaan terhadap komentar teman-teman tongkrongannya.Setelah selesai sarapan, Slavia duduk-duduk di halaman belakang. Rumah Rio sangat besar dan terkesan sepi karena hanya ditinggali oleh dua anggota keluarga saja, pantas jika Shara merasa kesepian.“Aku mau pergi, kamu jaga rumah ya?” pesan Shara. “Seharian ini Mas Rio biasanya kerja di kantor, nanti ada ibu-ibu yang datang untuk beres-beres rumah. Terserah kamu mau ngapain, asal jangan sampai fisikmu capek. Ingat kalau saat ini kamu sedang mengemban tugas yang sangat penting, yaitu supaya bisa hamil anak Mas Rio!”“Iya, Kak ...” sahut Slavia lirih.Setelah Shara meninggalkan rumah, Slavia masih duduk di halaman belakang sembari menikmati semilir angin yang menerpa wajahnya.Aku jalani saja dulu, pikir Slavia. Toh aku juga belum dapat pekerjaan sejak lulus kuliah, hitung-hitung sambil belajar jadi istri yang baik.Untuk siapa pun jodohnya nanti ....***Shara tiba di rumah ketika hari sudah sore, hanya selang beberapa menit sebelum Arsen pulang kerja.“Aku agak tidak enak badan,” ungkap Rio ketika bertemu dengan Shara di dapur.“Mentang-mentang pengantin baru,” goda Shara. “Aku buatkan minuman jahe ya, Mas?”Rio mengangguk. “Bisa pijat sekalian juga tidak?”“Bisa, nanti aku minta tolong Via dulu ... Aku juga baru sampai rumah nih, Mas.”Rio seketika tertegun.“Kenapa harus Via?”“Karena dia juga istri kamu kan? Kami bisa urus kamu bersama-sama kok, Mas.”Rio diam saja, bahkan ketika Shara betul-betul memerintahkan Slavia untuk memijatnya di kamar utama.Dengan canggung, Slavia memberanikan diri untuk meminta Rio membuka bajunya.“Apa nggak risi, Kak? Pakai baju basah begitu ...” komentarnya.“Aku kan tadi tidur pakai baju ini,” ujar Rio. “Wajar lah kalau basah, tadi saja aku keringetan banyak sekali ...”“Kak Shara bilang jangan lupa Kakak diurusin, diperhatikan pola makannya, dikasih suplemen juga biar tahan cuaca ... Wah, segitunya ya Kak Shara masih perhatian sama Kakak?” kata Slavia lagi.“Begitulah, Shara sebenarnya adalah istri yang perhatian, karena itu aku tidak ingin kehilangan dia.” Rio menimpali.“Semoga kalian langgeng, syukur-syukur Kak Shara yang segera hamil dan bukan aku.”“Semoga, dia itu cuma terpengaruh sama teman-temannya yang suka pamer anak.” Rio mengernyit. “Ini kamu yakin bisa pijit?”“Coba dulu,” kata Slavia meyakinkan. “Sini, aku bantu ...”“Tidak usah, aku bisa sendiri. Aku sudah dewasa,” tolak Rio, yang kemudian membuka kancing kemejanya satu per satu dan mengusap sisa-sisa keringat dengan kemejanya tadi.Slavia menoleh dan melihat Rio yang sudah bertelanjang dada.“Kakak mau duduk apa tengkurap?” tanya Slavia. “Kalau duduk, aku bisa sambil nonton film.”“Tengkurap saja deh,” jawab Rio. “Aku masih mau tidur lagi.”Rio mengubah posisinya menjadi berbaring tengkurap. Dia bisa merasakan ketika Slavia mulai mengoleskan minyak kayu putih ke area yang akan dia pijit.Sesaat kemudian Slavia mulai memijat bahu Rio dengan kepala terarah ke layar televisi yang menayangkan film horor kesukaannya.“Kamu kenapa nontonnya film hantu?” komentar Rio sambil memejamkan mata. “Cewek kan biasanya suka drama romantis!”“Seleraku kan beda, Kak!” Slavia menoleh dan memperkuat pijatannya di bahu kekar Rio. Satu tangannya terulur dan memegang lekukan di bahu Rio kemudian tangan satunya masih bergerak memijat.Alih-alih merasa risi, tangan Slavia yang halus dan bersentuhan langsung dengan kulitnya membuat Rio serasa membeku. Dia memejamkan kedua matanya sambil berusaha rileks, tapi sentuhan Slavia lama-lama membangunkan sisi dirinya yang lain.“Vi, sudah cukup enakan ini.” Rio mengingatkan.Slavia lantas menuang beberapa tetes minyak kayu putih kemudian membalurkannya dengan merata di punggung Rio.Untuk beberapa saat lamanya Slavia mengusap-usap sekujur punggung suaminya dengan tangannya yang halus, membuat Rio seakan melayang hingga langit ke tujuh.Ketika Rio merasakan ada sesuatu yang mengganjal dan membuatnya tidak nyaman, mendadak dia membalikkan badannya dan tanpa sengaja menindih satu lengan Slavia yang masih terjulur.“Eh Kak, aduh! Tangan aku kejepit nih!” protes Slavia panik. “Kakak kenapa sih balik badan nggak bilang-bilang?”“Kak, beneran ini tangan aku nyelip di bawah badan Kakak!” seru Slavia lagi sambil berusaha keras menarik tangannya yang tertindih tubuh Rio.Tanpa diduga, Shara masuk ke dalam kamar utama sambil membawa secangkir jahe panas mengepul.“Mas, diminum dulu air jahenya ...” Shara terkesiap ketika melihat penampakan yang ada di depan matanya.“Kak, aku kejepit nih!” teriak Slavia kesal, belum menyadari kedatangan kakaknya.“Ya ampun, apanya yang kejepit, Vi?” seru Shara sambil meletakkan cangkir jahenya di atas meja samping tempat tidur.“Eh, Kak Shara!” Slavia menoleh sambil membungkuk karena lengannya yang masih terhimpit tubuh Rio. “Ini ... tanganku ketindih.”Shara mengerjabkan matanya heran, karena menurutnya bukan Slavia yang tertindih melainkan Rio. Jelas-jelas matanya melihat Slavia yang posisinya membungkuk menindih Rio yang berbaring di bawahnya.“Ya sudah, nanti jangan lupa air jahenya diminum.” Shara berbalik dan buru-buru pergi meninggalkan kamar utama secepat mungkin.Rio membuka sebelah matanya.“Kak, bangun! Tangan aku nih ...” rengek Slavia. “Aku sudah kesemutan ini!”“Apa sih, ribut sekali cuma tangan kamu saja yang kejepit,” gumam Rio. Dia membuka matanya dan melihat kepala Slavia membungkuk tepat di atas dadanya.“Serius Kak, tangan aku kesemutan ini ...” keluh Slavia lagi. “Kakak cepat bangun dong.”“Ini sudah ada yang bangun gara-gara kamu,” celetuk Rio.Slavia mendongak dengan wajah berkeringat. Rio sampai bisa melihat bulu matanya yang panjang dan lentik di kedua matanya yang besar seperti boneka.Dari sepasang mata boneka yang dimiliki Slavia, pandangan Rio perlahan turun ke daerah perbukitan yang tersembunyi di balik kaos berkerah yang dipakai istri keduanya.Slavia mengikuti arah pandangan Rio yang mencurigakan, kemudian dengan satu tangannya yang masih bebas, dia langsung mendorong pelan wajah kakak iparnya itu sejauh mungkin.“Ingat istri kamu, Kak!” omel Slavia antara malu dan marah. “Bukannya nolong aku, kamu malah lihat-lihat nggak jelas! Mata keranjang!”“Duh ...” Rio memegang wajahnya. “Kan kamu sendiri yang menunjukkannya ke aku. Jangan menuduhku seakan-akan aku ini laki-laki mesum seperti di luaran sana ....”“Memang itu kenyataannya,” sergah Slavia membela diri. “Terus ini gimana urusannya, Kak? Tangan aku sudah mati rasa.”Bersambung—“Memang itu kenyataannya,” sergah Slavia membela diri. “Terus ini gimana urusannya, Kak? Tangan aku sudah mati rasa.”“Tenang saja ...” Rio berkata santai. “Biar aku yang coba geser ...”“Aduh, Kak! Aduh!” rintih Slavia, saat Rio baru bergerak sedikit saja.“Apa sih, ini juga aku baru bergerak sedikit.” Rio memandang Slavia heran. “Katanya aku disuruh nolong?”“Pelan-pelan geraknya, kena goncangan dikit aaja rasanya sakit!” keluh Slavia. “Badan aku juga pegel membungkuk seperti ini terus.”“Iya, iya, aku tolong. Tapi jangan protes,” kata Rio memperingatkan. “Jangan bilang aku mesum lagi, awas kamu.”“Pelan-pelan tapi, Kak ...” Slavia mengingatkan.Rio mengangkat kedua tangannya ke atas dan melingkarkannya ke punggung Slavia. Dengan sangat hati-hati Rio memutar posisinya untuk membaringkan perempuan itu di tempat tidur. Perempuan anggun seperti Slavia memang harus diperlakukan dengan sangat hati-hati supaya tidak terluka sedikit pun.Saat Rio sedang membaringkan Slavia dengan kedua tan
“Nggak mau lah!” tolak Slavia keras-keras.“Tidak usah gengsi,” kata Rio sambil tersenyum samar. “Daripada nanti kamu penasaran terus sama badan aku dan membayangkan yang tidak-tidak, lebih baik kamu rasakan saja sendiri.”“Kita kan sudah pernah melakukannya, Kak. Lupa ya?” tanya Slavia dengan wajah merona merah.“Memang pernah, tapi bukankah kita harus terus melakukannya sampai kamu hamil?” jawab Rio lugas.“Hamil ...?”“Iya, itu kan tujuan utama dari pernikahan ini.” Rio menyahut kalem.“Tapi ... seandainya Kak Shara yang hamil duluan, kita bisa bercerai kan Kak?” tanya Slavia memastikan. “Ada rasa tidak tega melihat Kak Shara diduakan seperti ini, dan ternyata akulah pihak ketiga itu ....”Rio menarik napas pasrah, sungguh ujian kesabaran yang sangat luar biasa.“Kak, kok diam?”“Masalahnya itu nyaris tidak mungkin, Shara sudah sangat putus asa.” Rio berkata sambil menggerakkan tangannya yang menumpang di atas lengan Slavia. Kemudian pelan-pelan dia berbaring telentang di samping a
“Makanya kalian usaha yang keras, Mas!” desak Shara. “Aku tidak mau kamu sama Via terlalu lama jadi suami istri—aku sebenarnya ... cemburu.”“Salah siapa,” komentar Rio acuh. “Bukankah ini yang kamu inginkan?”Shara menarik napas.“Kita kan sudah sejauh ini,” katanya mengalah. “Gimana kalau kamu sama Via pergi bulan madu, mau nggak?”Rio diam sembari berpikir.“Pergi bulan madu?” tanya Rio ragu.“Iya, bulan madu seperti yang kita lakukan dulu,” jawab Shara. “Siapa tahu Via bisa hamil setelah kalian pulang dari bulan madu.”“Tidak.” Rio menggeleng tegas.“Kenapa tidak mau?” tanya Shara bingung.Rio memandang Shara.“Tidak usah pakai bulan madu, bukan kewajiban.” Rio mengingatkan Shara dengan tegas.“Bulan madu bisa membuat kalian lebih fokus pada tujuan,” sahut Shara tidak mau kalah.“Ra, aku itu ingin tetap berjarak sama Via,” sahut Rio kesal. “Aku tidak mau jarak itu jadi hilang gara-gara tuntutan kamu.”Shara langsung membantah pendapat suaminya mentah-mentah.“Kamu salah, Mas. Niat
Di ruang tamu, Shara masih menyangga kepalanya dengan tangan. Dia menyesal, tadi itu dia kelepasan karena rasa cemburunya yang sudah tidak terkontrol lagi.Shara hanya ingin Slavia cepat mengandung anak Rio dan melahirkan, setelah itu dia bisa segera mengakhiri pernikahan mereka.***Rio tiba di rumah dan merasakan aura suram yang menyambutnya.“Sepi sekali, aku kira kamu belum pulang.”Shara menoleh ketika Rio muncul di kamar sebelah.“Eh Mas, kamu sudah pulang!” Shara mau tak mau menyambut suaminya. “Kamu sudah lihat Via belum?”Rio menggeleng.“Aku langsung ke sini tadi, jadi belum sempat ke kamar utama. Memangnya kenapa?”Shara menarik napas dan wajahnya mendadak murung, dia lantas menceritakan keributan kecil yang sempat terjadi antara dirinya dan Slavia.“... takutnya Via ngambek dan minta cerai betulan, Mas ... Gimana ini?”Rio menghela napas, masalah ternyata tidak henti-hentinya mampir setelah semua hal yang dia lakukan.“Kamu juga sih, jangan terlalu menekan Via. Hamil itu t
“Gerah Kak, gerah banget!” Slavia mengipas-ngipas bagian depan bajunya. “Aku pengin ....”“Pengin apa sih?”“Aku pengin nyanyi-nyanyi ... ayo!”Shara melotot saat Slavia berlenggak-lenggok di depannya, segera dia berteriak, “Mas! Mas Rio! Tolong bantu aku, Mas!”“Ya, sebentar!”Shara memandang aneh ke arah adiknya yang kini bertingkah sangat tidak wajar.“Vi, kamu kenapa?” tanya Shara bingung saat Slavia mengipas-ngipas bagian depan bajunya lagi sambil melompat-lompat disertai senyuman lebar menggoda. “Via!”“Ayo kita joget!” racau Slavia lagi. “Aku butuh teman, ayo!”Bingung, Shara meraih jaket yang teronggok di sofa dan melingkarkannya di pinggang Slavia. “Jangan ditarik-tarik baju kamu, Vi! Mas Rio, kok lama banget sih?”“Iya, iya! Ini lagi jalan!”Sesampainya di ruang keluarga, Rio menghampiri Shara yang masih kerepotan mengatasi Slavia. Cepat-cepat dia mengambil alih istrinya yang sedang bertingkah seperti sedang berada di tempat hiburan.“Mas, tolong antar Via ke kamar saja!” pi
Rio mengernyit sambil menyingkirkan rambut lurus Slavia yang menutupi bagian depan tubuhnya.“Aku mau sama suami aku ...” celoteh Slavia lagi.Rio tidak menanggapi, hanya dalam waktu yang singkat saja dia dan Slavia sudah berpindah tempat.Slavia membuka matanya saat ujung hidung Rio mengenai kulit lehernya dan membuatnya meremang. Tangannya bergerak untuk menyingkirkan wajah Rio dan bersiap bangun, tapi Rio mendorongnya kembali agar berbaring di tempatnya.Setelah memastikan Slavia tidak akan menolaknya, Rio menanggalkan semua bajunya dan bergegas menunaikan kewajibannya sebagai seorang suami sebagaimana yang juga dia lakukan terhadap Shara, istri pertamanya.Rio mengecup lembut bibir Slavia sebelum dia berguling ke samping, dan memeluk erat tubuh istrinya di balik selimut yang hangat.***“Ya ampun, jam berapa ini?”Saat tersadar kembali, Rio baru dihinggapi rasa bersalah ketika menyadari bahwa dia telah melakukan kewajibannya sebagai seorang suami di saat Slavia dalam kondisi tidak
“Vi?”Menjelang tengah hari, Shara tiba di rumah dan mendapati adiknya ketiduran di kamar utama.“Ya ampun, habis ini Mas Rio kan pulang, dia malah masih tidur.”Shara meletakkan tasnya di atas meja, lalu membangunkan Slavia yang masih terpejam.“Eh, sudah pulang Kak?” Slavia terbangun dengan kaget, padahal Shara merasa tidak berteriak kepada adiknya. “Mas Rio mana?”“Aku nggak bareng Rio, mungkin dia pulang sebentar lagi. Jangan lupa kamu layani dia ya, siapkan makan siangnya ....”“Lho, bukan Kakak saja yang siapkan?” Slavia langsung membulatkan matanya, dia tentu tidak berani selancang itu dekat-dekat Rio tanpa komando.“Sudah kamu saja, nggak apa-apa.” Shara menggeleng.“Tapi aku jadi nggak enak sama Kakak, aku sama Kak Rio khusus buat mewujudkan target saja ...” ucap Slavia pelan. “Jadi biar waktu kalian berdua nggak akan berkurang banyak.”Shara menatap Slavia selama beberapa detik, kemudian memeluk sang adik dengan penuh haru.“Terima kasih kamu sudah banyak mengerti, Vi.”“Sud
Slavia melepas tangan Rio kemudian berdiri dari duduknya untuk membuat kopi di dapur.Rio cukup terkesan dengan situasi sekarang ini, Slavia terlihat sudah menerima pernikahan mereka dengan lebih lapang sementara Shara juga jarang bersikap labil seperti sebelumnya.Satu minggu berlalu, Shara dengan antusias meminta Slavia untuk menggunakan testpack di suatu pagi.“Ini tinggal dicelupkan saja, Kak?” seru Slavia dari balik pintu kamar mandi sementara Rio masih tertidur di kamar tamu karena semalam adalah gilirannya bermalam dengan Shara.“Iya, pastikan yang kamu cek adalah air seni pertama kamu!” balas Shara yang berdiri menunggu dengan tidak sabar. “Habis itu kamu diamkan saja selama beberapa detik.”“Oke!” Slavia melakukan seluruh instruksi yang diberikan Shara dengan baik, setelah itu dia keluar untuk menunjukkan hasilnya kepada sang kakak.“Berapa garis, Vi?” tanya Shara antusias.“Ini ... satu terang banget, Kak.”“Yakin cuma satu? Sini aku lihat!”Slavia menyerahkan testpack itu k