Share

6. Percobaan Kedua

"Hai, Lova. Apa kabar?"

Lova menelan saliva. "Ba-baik, Mas. Mari masuk." Perempuan itu mundur beberapa langkah agar Ardhan bisa masuk.

Pria berpenampilan kasual itu melangkahkan kakinya. Tidak ada yang berubah dari dalam apartemen ini. Semuanya tertata persis seperti terakhir kali Ardhan melihatnya. Dia jadi penasaran apa saja yang Lova lakukan selama di sini.

"Kamu betah?" Pertanyaan itu bukan sekadar basa-basi.

"Betah, Mas." Sejujurnya Lova bosan karena tidak banyak hal yang bisa dia lakukan selain membaca buku.

"Jika kamu butuh sesuatu, katakan saja. Jangan ragu," ucap Ardhan sambil mendudukkan dirinya di sofa bed yang menghadap ke layar tv besar.

"Iya, Mas. Mbak Tami sudah mencukupi kebutuhan aku selama di sini."

Ardhan manggut-manggut. Syukurlah. Khatami harus memperlakukan Lova dengan sangat baik. Ardhan tidak bisa memastikan keadaan Lova secara langsung. Dia hanya mengetahuinya dari Bu Mar.

Ardhan melirik Lova yang mematung di depan pintu. Jari jemari perempuan itu terjalin. Situasinya masih secanggung waktu itu. "Apa kamu tidak pegal, Lova? Duduklah." Ardhan menepuk ruang kosong di sampingnya.

Seperti biasa, Lova tidak akan banyak berkomentar dan langsung menurut. "Mas mau minum sesuatu?" tanyanya lembut.

"Tidak usah. Nanti saya ambil sendiri."

"Makan sesuatu?"

"Saya sudah kenyang. Sebelum ke sini saya sudah makan malam. Kamu sendiri?"

"Sudah."

Khatami menyuruh Ardhan memakan makanan yang mengandung aphrodisiac. "Pokoknya kali ini harus berhasil, Mas. Waktunya semakin menipis," ucap Khatami sebelum Ardhan pergi.

"Bukan saya yang menentukan akan berhasil atau tidak," jawab Ardhan.

"Ya kamu harus berusaha keras. Atau kamu memang mau bercerai dariku? Kamu sudah tidak mencintaiku?" tanyanya menuduh. Mata Khatami seketika memanas. Hanya butuh beberapa detik sampai dia menangis.

Ardhan menghela napas lelah karena Khatami selalu memulai drama. Namun, dia sendiri tidak tahu harus menjawab apa. Yang ada di kepalanya justru pertanyaan serupa.

Apa Ardhan sudah tidak mencintai Khatami?

Atau, lebih tepatnya, apa Ardhan pernah mencintai Khatami?

Ardhan tidak tahu. Dulu dia menikahi Khatami karena desakkan Freya sahabatnya. Freya bilang, tidak ada perempuan yang bisa mencintai Ardhan seperti Khatami. Selain Sekar tentunya.

Khatami sudah naksir Ardhan sejak SMA. Namun, Ardhan jatuh hati kepada Freya. Sahabatnya dari kecil itu ternyata tidak memiliki perasaan yang sama. Dan karena itu jugalah Ardhan menerima Khatami. Hanya untuk pelarian dari patah hatinya ditinggal menikah oleh perempuan yang dia suka.

"Mas, aku mau mempersiapkan diri dulu."

Suara Lova yang lemah lembut berhasil menarik Ardhan dari lamunannya. Ardhan menoleh. "Apa kamu masih membutuhkan obat?"

Ardhan sudah menyiapkannya meskipun dia harus mengkhianati hati nuraninya yang berteriak melarang.

"Kita coba dulu tanpa obat. Kalau aku tidak bisa ... baru aku akan meminumnya lagi."

Setelah itu Lova pergi ke kamar. Ardhan mengernyit heran karena kamar yang Lova tuju bukan kamar utama. Beberapa menit kemudian, Lova keluar lagi. Ardhan seketika terpana.

Wajah Lova memanas karena malu saat Ardhan tidak melepaskan tatapan darinya. Lova sudah latihan memakai lingerie ini berkali-kali. Namun, mendapati Ardhan melihatnya secara langsung membuat Lova ingin kembali ke kamar dan mengunci pintu.

"A-aku ... sudah siap, Mas," ucap Lova, lalu membuang pandangan.

Ardhan menelan ludah. "Cantik." Dia memuji tanpa sadar.

Lova segera mengingatkan kepada dirinya sendiri jika yang Ardhan puji itu pasti lingerie-nya.

"Mas wudu dulu," ucap Lova.

Ardhan langsung berdeham. Dia bangkit berdiri. Pria itu berbelok ke kamar mandi. Setengah benaknya terus membayangkan tubuh indah Lova, membuat dorongan besar itu hampir tidak bisa Ardhan tahan.

Dia cepat-cepat menyelesaikan urusannya, lalu menemui Lova yang sudah berada di kamar. Harum dari lilin aromaterapi langsung menyerbak memenuhi penciuman. Suhu tubuh Ardhan semakin meningkat. Matanya berkilat.

Lova beringsut mundur. Bulu kuduknya meremang. Dia tidak pernah melihat pria kelaparan seperti ini. Rasanya waktu itu Ardhan tidak begini. Atau mungkin Lova yang tidak sadar karena terpengaruh obat.

"Katakan kalau kamu tidak menginginkannya, Lova," ucap Ardhan dengan suara baritonnya sambil melangkah mendekati Lova. "Selagi kewarasan saya masih ada."

"Aku bersedia, Mas." Jantung Lova berdebar kencang.

"Bukan bersedia, tapi ingin atau tidak."

Lova menggigit bibir bawahnya. Dia tidak bisa menjawab Ardhan dengan ucapan. Lova lantas mengangguk.

Keduanya jatuh bersama ke tempat tidur.

"Jangan lupa baca doa, Mas." Lova mengingatkan. Waktu itu Lova tidak tahu Ardhan membaca doa dulu atau tidak.

Ardhan mengiyakan, lantas membaca doa sebelum mereka benar-benar bersatu.

Lova berusaha terus mengingat Khatami. Lova tidak boleh terbuai oleh sentuhan Ardhan yang membangunkan hasrat primitifnya. 

Setengah dirinya berjuang mempertahankan kesadaran. Sadar jika apa yang sedang dia lakukan tidak lebih dari sekadar pekerjaan. Namun, setengah dirinya yang lain sudah terlena. Lova merasa terbang tinggi ke angkasa, meninggalkan semua masalah yang ada. Hanya tersisa kesenangan.

Lova terus berperang dengan dirinya sendiri, hingga ledakan kepuasan itu tidak bisa dia cegah. Lova terengah.

Ardhan tersenyum sambil merapikan beberapa helai rambut Lova yang menempel di wajah perempuan itu. Ardhan menyelipkannya ke belakang telinga Lova. Dia lalu berbisik, "Saya belum selesai, Lova."

🍼🍼🍼

"Ya Rabbi ... buatlah hamba segera mengandung agar apa yang hamba lakukan tidak sia-sia. Dan berikanlah ketenteraman serta kebahagiaan untuk pernikahan Mbak Tami dan Mas Ardhan. Aamiin."

Ardhan tidak mengalihkan matanya dari Lova sejak perempuan itu menggelar sajadah dan melakukan salat malam. Ardhan sebenarnya sudah bangun saat Lova turun dari tempat tidur dan keluar kamar. Namun, Ardhan memilih pura-pura masih terlelap.

Ardhan tidak menyangka Lova akan meminta kebaikan untuk pernikahannya dan Khatami di dalam doanya. Perempuan itu bahkan tidak berdoa untuk urusan dirinya sendiri selain memohon hidayah dan ampunan.

Sedang asyik memperhatikan Lova, perempuan itu tiba-tiba menoleh. Ardhan segera menutup matanya.

"Mas," panggil Lova setelah berada di samping Ardhan. "Sebentar lagi subuh." Lova menggoyangkan tubuh Ardhan pelan.

Ardhan pura-pura mengerjap, lalu menguap. "Lova?" tanyanya seperti baru menyadari keberadaan Lova.

Perempuan itu tersenyum. "Bangun, Mas. Salat subuh."

"Ah, iya." Ardhan bangkit ke posisi duduk.

Saat bersama Lova, dia harus membiasakan diri bangun pagi-pagi sekali dan sembahyang. Pria itu segera beranjak ke kamar mandi.

Ketika Ardhan kembali, Lova sudah menyiapkan pakaian ganti untuknya. Sebuah kemeja lengan panjang warna navy dan celana bahan. Tidak ada baju koko apalagi sarung. Beruntung masih ada pakaian Ardhan yang ditinggal di sini.

"Kalau Mas Ardhan tidak suka dengan pilihan aku, ganti saja, Mas. Masih ada beberapa setel."

"Suka. Terima kasih sudah repot-repot. Omong-omong, Lova. Kenapa kamu tidur di sini, tidak di kamar yang satunya? Di sana lebih luas dan ada kamar mandi di dalam."

"Itu kan kamar Mas Ardhan dan Mbak Tami."

"Apartemen ini sudah jadi milik kamu."

"Di sini saja, Mas. Aku sudah nyaman di sini."

"Baiklah. Saya pergi ke masjid dulu."

Lova mengangguk. "Fii amanillah," ucapnya.

Langkah kaki Ardhan terasa ringan. Hatinya juga lebih tenang sepulang dari rumah ibadah yang selama bertahun-tahun tidak pernah Ardhan datangi. Sebenarnya Ardhan juga malu karena dia melakukan ini karena Lova.

Saat Ardhan tiba, Lova sedang mengganti seprai. "Kenapa tidak Bu Mar saja yang melakukannya?" tanya Ardhan.

Wajah Lova justru memerah. "Tidak mungkin, Mas."

Ardhan memiringkan kepalanya tidak mengerti. Dia baru paham setelah melihat noda hasil semalam di seprai bermotif bunga sakura itu. Dan karenanya Ardhan kembali teringat Lova yang memanggil Ardhan saat perempuan itu berada di puncak kepuasaannya.

Ini gawat. Mengingatnya membuat Ardhan ingin mendengar suara Lova lagi. Ardhan menelan ludah. Celananya terasa sempit.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status