Louis menghela napas. Tatapannya terkunci pada wajah bulat yang menggemaskan di hadapannya. "Kau boleh tinggal di sini satu hari lagi. Kita lakukan agenda yang tertunda, tapi ingat! Besok kau harus pulang bersama ibumu. Aku tidak bisa mengantar kalian karena hari ini, aku akan menunda banyak pekerjaan. Besok aku harus mengurusnya." "Benarkah?" Mata Summer berbinar. Tawanya bergema. Dengan penuh semangat, ia bangkit duduk menghadap Louis. "Kamu sungguh akan menghabiskan waktu bersamaku hari ini, Paman?" tanyanya dengan suara ringan. Louis mengangguk. "Ya." Summer langsung menghambur ke arah Louis, memeluknya erat. Kalau saja Louis tidak kuat menahan serbuannya, mereka berdua pasti sudah terguling ke lantai. "Terima kasih, Paman Louis. Kamu memang bijaksana! Aku janji tidak akan nakal. Aku akan menjadi anak baik selama kita bersama!" seru Summer ringan. "Jangan hanya saat kita bersama, Manusia Mungil, tapi selamanya. Teruslah menjadi anak baik supaya ibumu tidak pusing."
Pagi itu, Summer tak henti-hentinya tersenyum dan tertawa. Hatinya sangat bahagia. Louis betul-betul menepati janji. Ia menemani Summer menggosok gigi dan mencuci muka. Setelah balita itu selesai mandi, ia juga menyisir rambutnya. Louis jadi seperti sedang memanjakan anaknya sendiri. Menyaksikan hal itu, napas Sky terasa berat, matanya berkaca-kaca. Rasa bersalah mengendap di hatinya. Summer sudah berusia empat tahun, tetapi baru sekarang ia bisa merasakan kasih sayang dan perhatian dari “seorang ayah”. Sky merasa bertanggung jawab atas kemalangan putrinya. "Lihat, Mama! Aku akhirnya menjadi bersih dan wangi lagi. Rasanya segar sekali," tutur Summer begitu Louis selesai mengolesi wajahnya dengan krim. Wanita yang sejak tadi mengamati dari pintu pun tersenyum kecut. "Kamu bicara seolah-olah kamu sudah lama tidak mandi, Sayang." "Memang sudah lama, Mama. Sejak tiba di sini, baru pagi ini aku sempat mandi," aku Summer tanpa dosa. Alis Sky sontak terdongkrak naik. "Kenapa? B
Summer tampak sangat lucu dengan setelan balap mungil di tubuhnya. Apalagi, helm yang ia kenakan menjepit pipi gembulnya. Semua orang yang melihat merasa gemas. "Ayo mulai berlatih, Paman Louis! Hari ini, aku harus sudah bisa mengemudi!" seru Summer sembari mengepalkan tangan dengan erat. Saat ia menapakkan kaki di atas mini jeep, semangatnya semakin membara. Semua penjelasan Louis ia simak dengan saksama. Beberapa saat kemudian, ia sudah meluncur meski lajunya berkelok-kelok. "Woohoo! Mama, lihat aku! Aku sudah bisa mengemudi!" serunya sembari melambaikan tangan. Saat itulah, mobilnya berbelok drastis. Louis yang mengawasi dari belakang pun berseru, "Summer, pegang kemudi dengan dua tangan! Bisa gawat kalau kamu menabrak pagar." Melihat bagaimana Louis berlari mengejar gadis kecil, Sky terkekeh. Namun, ketika sesuatu melintas dalam pikirannya, tawanya mereda. Perlahan-lahan, sudut bibirnya berubah arah. Matanya berkaca-kaca. "Apakah aku egois telah membiarkan Summer tumbuh
"L-Louis?" Sky memaksakan senyum. "Kenapa kau melihatku begitu?" "Bukankah aku yang seharusnya bertanya kepadamu? Kenapa kau menggenggam ponselku dan mengerang begitu?" Louis menaikkan sebelah alis. Ekspresinya tampak curiga dan nada bicaranya dingin. Sky pun berkedip-kedip. "Oh, ini ... aku ...." Louis pun mengambil ponsel dari tangan Sky. Sambil sesekali melirik si tersangka, ia memeriksa apa yang berbeda. "Emily menelepon?" simpulnya kemudian. "Ya!" Sky cepat-cepat mengangguk. "Karena itulah, aku berani mengangkatnya." "Dia bilang apa?" Sky menggaruk pelipis sebentar. "Dia bertanya kau sedang apa. Mungkin, dia mau memastikan kau bersikap baik kepada aku dan Summer. Karena itu, aku memperlihatkan kepadanya bagaimana kamu mengajari Summer mengemudi." Mendeteksi kekakuan Sky, mata Louis kembali menyipit. "Lalu, dia bilang apa lagi?" Rahang Sky sontak bergetar. Mulutnya membuka dan menutup, menunggu keputusan otak. Haruskah ia menjawab yang sebenarnya? "Emily bilang k
"Ayo kejar aku, Mama, Paman! Kalau kalian berhasil, aku akan mentraktir kalian es krim!" seru Summer dengan suara yang sangat lucu. Akan tetapi, Sky malah semakin geram. "Kami tidak butuh es krim darimu, Sayang. Sekarang juga, cepat kemari! Jangan ke mana-mana lagi! Kamu bisa ditendang kuda nanti!" omelnya. Malangnya, Summer tetap tidak menggubris. "Kuda-kuda itu tidak akan berani menendangku, Mama. Mereka justru akan takut padaku karena aku berpakaian seperti astronot. Mereka mungkin mengira aku alien yang akan menculik mereka! Oh, itu mereka!" Tiba-tiba, Summer mengubah haluan lagi. Sky dan Louis sontak meringis. "Summer, jangan dekati kuda-kuda itu!" Sky berusaha menambah kecepatan. Namun ternyata, Louis-lah yang melesat. "Summer, berhenti!" "Apa? Tambah kecepatan lagi? Oke!" Balita itu terkikik usil. Louis pun berlari semakin gesit. Ia harus menangkap sang balita sebelum mobilnya menabrak kuda. Melihat kepedulian Louis terhadap Summer, hati Sky menghangat. Untuk perta
"Selesai!" Summer merentangkan tangannya dengan senyum semringah. "Sekarang saatnya aku mandi dengan sampo dan sabun yang wangi." Mendengar seruan sang putri, Sky pun mematikan air. Ia bermaksud menemaninya ke kamar mandi. Namun, belum sempat ia melangkah, Summer sudah lebih dulu bicara. "Mama, aku sudah besar. Aku bisa mandi sendiri. Mama tidak perlu menemaniku," angguknya mantap. Mata Sky membulat. "Kamu yakin?" "Yakin, Mama. Aku janji tidak akan melompat-lompat. Kalau lantainya licin, itu bisa berbahaya. Dan kalau aku menemui kesulitan, aku pasti akan memanggil Mama. Sekarang," Summer tersenyum misterius. "Mama di sini saja. Bantu Paman Louis membersihkan diri. Dia sudah membantuku tadi, jadi Mama harus membalas kebaikannya. Oke?" Ekspresinya menjadi semakin lucu dengan alis yang dinaikkan seperti itu. Sky menarik napas panjang. Lirikan matanya tertuju pada sang pria. Ia mengerti bahwa itu adalah kesempatan emas. "Baiklah." Belum sempat Sky bicara lebih dari satu kata,
Selama ini, setiap kali Emily bertanya tentang penampilan Sky, Louis selalu menjawab dengan candaan. Hal itu sering membuat Sky kecewa dan kesal. Namun tadi, jawaban Louis terdengar jujur dan spontan. Sky tidak bisa berhenti tersenyum karenanya. Bahkan, saat mereka sudah menunggangi kuda, sudut bibirnya masih terangkat ringan. "Sayang, apakah kau suka dengan kuda itu?" tanya Sky ringan. Balita yang sedang mengelus kuda pun menoleh. Wajahnya sama ceria dengan wajah sang ibu. "Ya, Mama! Dusty sangat kuat! Padahal, aku dan Paman Louis berat, tapi dia sanggup membawa kami. Dia sudah bekerja keras hari ini. Dan dia sangat cepat! Apakah Mama lihat bagaimana dia berlari tadi?" Sky mengangguk dengan senyum manis. "Ya. Kuda Mama sampai tertinggal jauh tadi." Rasa bangga semakin terpancar dari mata abu si gadis kecil. "Aku sudah seperti koboi cilik yang sedang menggembala sapi bersama ayahnya. Kuda kami melaju cepat karena harus mengejar ternak. Kalau ada sapi yang nakal, aku bisa memut
Sky mematung. Tubuhnya terasa dingin, sarafnya menegang. Ia tidak bisa membayangkan apa jadinya kalau kunci itu sungguh hilang. Posisi mereka saat ini cukup jauh dari kandang. Bagaimana mereka bisa kembali dengan tangan terkunci? "Apa katamu, Sayang?" tanyanya lagi, berharap Summer mengucapkan sesuatu yang berbeda. "Kuncinya hilang, Mama. Dia tidak ada di dalam kantongku," jawab Summer dengan alis berkerut. Tidak percaya, Sky memeriksa sendiri saku sang putri. Ia juga meraba-raba pakaian si gadis kecil. Tidak menemukan apa-apa, ia mendesah lirih, "Kamu tidak bercanda, kan, Sayang? Apakah kamu sengaja menyembunyikan kuncinya supaya Mama dan Paman Louis terus dekat?" Louis spontan melirik. Ia tidak menduga Sky bisa menyuarakan pendapat sejujur itu. "Tidak, Mama. Aku sudah berjanji tidak akan menjadi anak nakal lagi tadi. Aku juga sudah bertekad untuk menjaga pemberian Tuan Rodriguez dengan baik. Mungkinkah kuncinya jatuh sewaktu kita berkuda tadi?" Sementara Sky menghela
"Wow! Eksperimen kalian memang keren! Selamat, Summer, River. Kalian berhasil melakukannya dengan benar. Menyusun stik es krim agar reaksi berantainya tidak putus bukanlah hal yang mudah," puji Brandon, membuat mata para bocah berbinar-binar. "Paman benar! Susunan stiknya memang rumit dan sulit untuk dilakukan!" seru River sambil mengangguk yakin. "Untung saja kerja sama kami baik. Eksperimen terselesaikan dengan sempurna!" lanjut Summer bangga. "Omong-omong, Paman, Bibi, apakah kalian punya waktu untuk kami? Masih ada satu eksperimen yang perlu kami lakukan, tapi kami tidak bisa melakukannya berdua." Brandon dan Briony mengangkat alis. "Eksperimen apa?" tanya mereka bersamaan. Summer dan River saling lirik dan bertukar senyum. Selang beberapa saat, Brandon dan Briony telah berdiri di tengah pekarangan. Mereka menghadap satu sama lain dengan jarak sekitar 10 meter. Masing-masing dari mereka menggenggam ujung dari seutas tali. "Hei, Summer, apakah tali itu tidak kepanjangan?"
Selama beberapa saat, Summer membiarkan River mengamati hasil eksperimennya. Setiap bocah laki-laki itu berdecak kagum, hati Summer berbunga-bunga. Ia merasa bangga pada dirinya sendiri karena telah berhasil membuat percobaan yang mengagumkan. "Wow, apakah ini kertas daur ulang?" River menyentuhkan telunjuk mungilnya pada sebuah kertas tebal dengan permukaan tak rata dan warna yang agak kusam. Summer mengangguk mantap. "Ya, itu adalah percobaan ketigaku, tapi hasilnya belum memuaskan. Aku akan mencoba untuk membuatnya lagi sampai hasilnya sebagus kertas biasa." "Apakah kalau sudah berhasil, kau mau menjualnya?" Bibir Summer mengerucut. "Entahlah, aku belum yakin tentang itu. Mungkin, aku akan menggunakannya untuk mencetak buku-bukuku terlebih dahulu. Setelah itu, baru aku akan memperluas penggunaannya. Aku berharap, dengan adanya kertas daur ulang ini, penebangan pohon bisa berkurang. Orang-orang tidak perlu menggunakan kertas baru. Kertas-kertas lama juga bisa." River mengang
Tiba-tiba, Summer dan River melangkah mundur. Namun, setelah hitungan ketiga, mereka malah berlari maju. Mereka tanpa ragu menabrak Brandon dan Briony. Saat mereka terpental dan jatuh ke lantai, mereka malah tertawa terpingkal-pingkal. "Summer, kamu benar! Kita terpental karena gaya dorong yang kita berikan kembali kepada kita!" ujar River seraya mengatur napas. "Itulah Hukum Newton ke-3. Aksi sama dengan reaksi! Sekarang, bagaimana kalau kita beralih ke agenda selanjutnya? Ayo ke ruang eksperimen dan memulai eksperimen yang sesungguhnya!" "Ayo!" Kedua bocah itu bergegas bangkit dan berlari ke pekarangan barat. Melihat kecepatan mereka, Brandon dan Briony hanya bisa berkedip-kedip dengan mulut ternganga. "Astaga .... Apa yang salah dengan mereka? Apakah mereka mengira kita ini benda mati? Mereka bahkan tidak sempat meminta maaf sebelum pergi," desah Briony, tak habis pikir. Ia tidak sadar jika tubuhnya masih menempel pada Brandon. Sambil menghela napas, Brandon mengusi
"Sampai jumpa, Mama, Papa! Semoga perjalanan kalian lancar! Bersenang-senanglah bersama penguin di Kutub Selatan!" ujar Summer sembari melambaikan tangan dengan sekuat tenaga. Senyumnya semringah, kakinya sesekali melompat. Louis dan Sky balas melambai dari jendela mobil mereka. "Sampai jumpa nanti, Sayang. Jangan lupa pesan Mama! Jadilah anak baik. Jangan membuat masalah selama Mama dan Papa pergi, oke?" pesan Sky dengan mata berkaca-kaca. "Tenang, Mama. Aku ini anak baik. Aku tidak mungkin membuat masalah. Mama dan Papa fokus pada bulan madu saja!" angguk Summer sambil berkacak pinggang. Dari sisi Sky, Louis menunjuk sepupunya. "Briony, tolong awasi Summer dengan baik. Kami percayakan dia kepadamu," tuturnya serius. "Kurasa tidak ada yang perlu kuawasi, Louis. Putrimu adalah anak yang cerdas dan manis. Lagi pula, bukan hanya aku orang dewasa yang ada di rumah ini," celetuk Briony ringan. "Ya, ada Kakek, Nenek, Bibi Emily, Paman Cayden, Paman Russell, dan Paman Brand
Louis meringis. Sambil mengelus kepala sang putri, ia memberi penjelasan, "Papa dan Mama tidak mau mengganggu pikiranmu. Kami berencana untuk membicarakannya setelah kamu memutuskan untuk lanjut bersekolah atau belajar mandiri." "Papa dan Mama seharusnya tidak perlu menunggu. Itu sama sekali tidak mengganggu pikiranku," geleng Summer lucu. "Jadi, kau tidak keberatan kalau ayah dan ibumu pergi berbulan madu?" selidik Brandon, penasaran. Summer mengangguk. "Tentu saja tidak. Orang yang baru menikah memang seharusnya pergi berbulan madu, seperti Paman Cayden dan Bibi Emily. Gerry dan Merry juga." "Benarkah? Kamu tidak keberatan kalau Mama dan Papa berpergian berdua, sedangkan kamu di rumah?" tanya Sky spontan. Summer mengerjap. "Oh? Aku tidak ikut?" Para orang dewasa sontak menggigit bibir menahan geli. Sementara itu, River menjawab, "Tentu saja kau tidak boleh ikut, Summer. Itu bulan madu, bukan liburan. Hanya pengantin baru yang akan berangkat. Kehadiran orang lain hanya
"Kenapa perempuan tidak boleh menyatakan perasaan, sedangkan laki-laki boleh? Bukankah itu tidak adil?" tanya Summer dengan bibir mengerucut. Mendapat pertanyaan semacam itu, sebelah pipi River mengembung. "Entahlah, aku juga tidak tahu. Tapi kenyataannya seperti itu. Di semua film yang kutonton, selalu laki-laki yang menyatakan cintanya kepada wanita. Di kehidupan nyata juga, selalu laki-laki yang berlutut melamar pacarnya untuk menikah." Alis Summer tertaut lebih erat. Matanya berkedip-kedip bingung. "Benar juga. Dulu, Papa-lah yang melamar Mama. Paman Cayden melamar Bibi Emily, dan Kakek melamar Nenek. Kenapa selalu laki-laki yang melamar?" "Summer, River, kalian terlalu kecil untuk membahas itu," tutur Renata bijak. "Fokus saja pada masa kanak-kanak kalian." "Ya, Mama. Aku dan Summer tidak akan memikirkan tentang itu lagi. Kami akan fokus pada sekolah saja," angguk River mantap. Mendengar pernyataan tersebut, Louis dan Sky bertukar pandang. Mereka merasa iba kepada bo
Setibanya di kediaman River, Summer dan kedua orang tuanya langsung disambut hangat. Mereka berkenalan sebentar, lalu beralih ke ruang makan. Summer terbelalak melihat banyaknya hidangan yang tersaji di sana. "Wow, makanannya banyak sekali, Nyonya Young. Apakah ada tamu lain yang kalian undang?" seru balita itu dengan raut hebohnya. Melihat betapa bulat mata Summer, Renata Young terkekeh. "Tidak, Summer. Semua ini untuk menyambut kamu dan orang tuamu. Kami sengaja menyiapkan banyak hidangan karena River bilang kamu suka makan." "Ya!" Summer melompat kecil. "Aku memang suka makan. Aku butuh banyak asupan gizi supaya cepat besar dan bertambah cerdas. Terima kasih banyak atas perhatian kalian, Nyonya Young." Merasa gemas, Renata mencubit pipi sang balita. "Justru kamilah yang seharusnya berterima kasih padamu, Summer. Sejak berteman denganmu, River berubah menjadi jauh lebih baik." Bukan hanya Summer, tetapi Sky dan Louis juga terbelalak. Mereka penasaran dengan penjelasan det
"Mama, Papa! Cepat kemari! Aku sudah menemukan bukuku! Kalian tidak akan menyangka di mana dia dipajang!" Summer melompat-lompat sembari menggoyang tangan ayah dan ibunya. Melihat semangat putri kecilnya itu, Sky kembali menatap Louis. "Mungkinkah ...." "Ayo cepat, Mama, Papa! Jangan bengong saja," desak Summer lagi. Saking tak sabarnya, kakinya sampai berlari di tempat. Dengan raut penuh tanya, Sky pun berjalan mengikuti sang balita. Sesekali, ia melirik suaminya. Louis hanya tersenyum penuh makna. Ternyata, Summer membawa mereka menuju rak best-seller. Setibanya di sana, balita itu langsung melompat, mempersembahkan apa yang tersaji di hadapannya dengan tangan terentang lebar. "Ta-da! Lihat ini, Mama, Papa! Akhirnya, bukuku berada di rak best-seller, sama seperti buku Mama!" serunya dengan suara melengking yang menghangatkan. Senyumnya sangat lebar. Matanya berkaca-kaca. Melihat tumpukan buku tersebut, Sky terkesiap. Air matanya ikut menggenang. "Sayang?" Ia meng
"Mama berencana untuk membuat kampanye lingkungan. Mungkin, Mama bisa bekerja sama dengan ayahmu, bibimu, dan yang lain. Konsep kampanye ini juga bisa dikemas dalam marketing di sektor mereka," terang Sky dengan suara mantap. "Bagaimana menurut kalian?" "Itu bagus, Sky," sahut Emily cepat. "Aku memang selalu mengusahakan produk fashion-ku ramah lingkungan. Tapi hal itu masih kurang disebarluaskan. Desainer lain juga memandang hal ini sebelah mata. Padahal, menurutku, fashion bukan hanya soal gaya, tapi juga tentang pesan yang ingin kita tunjukkan kepada orang lain lewat penampilan. Salah satunya, dampak terhadap lingkungan. Untuk apa tampil keren kalau apa yang kita kenakan merugikan bumi dan lingkungan?" Louis pun menambahkan, "Kurasa, perusahaan kita memang perlu kampanye semacam itu. Apalagi, hal tersebut memang sering menjadi poin plus dalam hal-hal yang kita kembangkan. Apartemen terbaru Savior, contohnya. Orang-orang membeli bukan karena konsep green-building, tapi karena m