Mereka kembali melanjutkan perbuatan haram itu. Aku merasa aneh dengan Mas Agung padahal jelas-jelas istri ada di samping malah sibuk video call-an lagian Ainun juga kelewat gatal.
Kalau saja boleh, aku lebih memilih hidup dengan Mas Haiqal. Dia itu terkenal sabar dan bertanggung jawab, tetapi Ainun yang bodoh malah membuang suami seperti dia dan memungut sampah di sampingku.
Dosa sekarang dianggap manisan yang bisa dinikmati kapan saja. Mas Agung juga bodohnya gak ketulungan, masa iya berani menelepon selingkuhan ketika istrinya juga ada dalam kamar. Apa karena aku memejamkan mata?
Kalau mau selingkuh yang pintar dikit, Mas! umpatku dalam hati.
"Mas, kamu kok sekamar sama Ningsih, sih? Harusnya pisah, cari alasan gitu biar aku gak cemburu!" gerutu Ainun di seberang sana.
Tangan terkepal kuat. Dasar wanita penggoda!
"Gak apa-apa, Sayang. Toh, mas juga gak ngasih nafkah batin ke Ningsih walau dia selalu merengek minta itu kayak tadi. Cuman mas kepikiran kamu, orang setia!" ucap Mas Agung bangga dengan kebohongannya.
Sejak kapan aku merengek minta nafkah batin apalagi setelah mengetahui hubungan gelap mereka? No, itu tidak akan pernah terjadi bahkan aku menolak tegas jika saja dipaksa suatu malam nanti.
"Tetep aja, bisa-bisa Ningsih pepetin kamu, Mas!" rengek Ainun.
Perempuan itu memang tidak tahu malu, bisa-bisanya merengek manja pada suami orang. Dia harus dihajar suatu hari nanti sampai mulutnya dower dan tidak bisa berkata ba bi bu lagi.
"Gak, Sayang. Lagian kamu juga tidur sama Haiqal toh?"
"Apa, Mas?" tanyaku pura-pura mengucek mata. "Mas Haiqal kenapa?"
Mas Agung langsung menyembunyikan ponselnya di bawah bantal, tentu panggilan tadi belum dimatikan. Aku jadi ada ide untuk membuat perempuan itu tersiksa kecemburuan. Salah sendiri jadi pelakor.
Sedikit kugeser tubuh agar lebih dekat pada Mas Agung sekalipun hati menolak tegas. Suara kubuat manja. "Mas, aku selalu kangen sama kamu."
"Mas juga kangen, Dek. Tapi ini kenapa tiba-tiba bangun dan mepetin gini?"
"Aku cinta sama kamu, Mas!" seruku. Sekalipun bernada manja, tentu volume suara sedikit ditinggikan.
Mas Agung hanya tersenyum kikuk. Matanya sesekali melirik ke kanan dan kiri, mungkin khawatir pembicaraan kami didengar si Ulat Bulu. Akan tetapi, bukan Ningsih namanya jika menyerah begitu saja.
"Kamu gak cinta sama aku, Mas?"
"Cinta, Dek. Mas cinta banget sama kamu," bisiknya.
Aku menjauhkan wajah, lalu meminta mengulangi kalimat tadi dengan alasan kurang keras. Tanpa bantahan, Mas Agung menurut. Bisa dipastikan Ainun sedang mengamuk dalam diam.
"Sayaaaaang!" rengekku pada Mas Agung.
Lelaki itu mendekapku lembut dengan tangan kanannya. Entah, apa yang ada di pikirannya kini. Detik selanjutnya malah mendesakku untuk tidur lagi dengan dalih khawatir sakit atau loyo.
Namun, sebelum kembali memejamkan mata, aku membahas tentang Mas Haiqal yang sempat disebut suamiku. Dia langsung gelagapan, bibirnya bergerak tanpa suara.
"Aku gak pernah tidur sama Mas Haiqal, loh, Mas. Jangan nuduh sembarangan!" cebikku kesal.
"Iya, Sayang. Maafkan mas yang salah. Sekarang kamu tidur lagi dong, terlalu cantik kalau marah. Aku terkam tau rasa kamu!" ancam Mas Agung membuatku terpingkal.
"Ya udah, kalau mas mau terkam aku sekarang ayo. Udah siap nih, lagian Mas selalu rindu ingin itu sama aku, kan? Secara aku ini cantik, beda sama tetangga sebelah!" Sengaja aku mengibas rambut ke kanan.
Mas Agung hanya diam, dia kemudian merebahkan diri dan menutup mata rapat. Dia sangka aku bisa dibohongi, aku pun ikut merebahkan diri, lebih baik tidur untuk sesuatu yang lebih berharga besok pagi.
***
Fajar menyingsing, aku tengah sibuk menghidangkan sarapan pagi di atas meja. Tidak lama kemudian Mas Agung keluar dengan muka masam, ditekuk bagai pakaian kusut.
Tubuhku bergetar menahan tawa karena sudah tahu alasan dia badmood sepagi ini. Akan tetapi, aku harus bersikap biasa saja seolah tidak terjadi sesuatu.
Mas Agung menggeser kursi pelan, kemudian menjatuhkan bobot. Aku ikut duduk di sampingnya sambil menikmati sarapan pagi yang sangat indah.
Suasana begitu syahdu apalagi subuh tadi sempat gerimis tentu menyisakan tetes-tetes embun pada bunga yang aku tanam di depan rumah. Bibir mengulum senyum, hari begitu indah dengan udara sesegar ini.
"Dek, kenapa kamu ganti foto profil W h a t s A p p mas?"
"Foto apa, Mas?"
"Itu loh foto kita berdua yang romantis banget!"
"Lah, kok sewot? Iya memang kenapa? Aku istri kamu dan kamu suami aku. Kita ada di ikatan halal, kenapa harus menyembunyikan status, itu kan foto kita setelah menikah juga!" balasku ketus.
"Iya, tapi kenapa gak kamu pajang di akun kamu sendiri? Kan bisa."
"Loh, kenapa memangnya kalau pajang di akun kamu juga, Mas? Ada yang marah, enggak kan?"
Aku tertawa kecil, sementara Mas Agung geleng-geleng kepala. Dia kemudian fokus sarapan. Lagi aku terpingkal-pingkal dalam hati karena mengingat kejadian subuh tadi.
Jadi, Mas Agung itu sedang charger ponsel waktu mau ke masjid. Dengan gerak cepat aku ganti foto profil W h a t s A p p-nya. Eh, si Ainun malah buat status sindiran mengatakan aku pelakor.
Namun, aku hanya mengangguk pelan berusaha berprasangka baik. Barang kali perempuan gatal itu tidak punya cermin di rumahnya jadi bisa menuduh istri sah sebagai pelakor.
Kasihan!
"Mas mau ganti lagi pake foto sendiri!"
"Ganti aja gak apa-apa, Mas. Aku gak keberatan."
Mas Agung mendelik kesal, lalu beranjak meninggalkan meja makan. Tentu sebagai istri yang baik aku menyusul ke depan dan hal gila lainnya adalah si Ainun sudah ada di depan rumah. Matanya tidak lepas menatap pintu.
"Mbak Ainun ngapain ke sini?" tegurku.
Dia tersenyum manis. "Gak apa-apa, Ningsih. Cuman mau numpang lagi soalnya Mas Haiqal gak bisa ngantarin. Gak apa-apa?"
"Emang suami aku itu ekspedisi apa bisa nganterin kamu ke mana aja?" protesku.
Mas Agung langsung memegang bahuku lembut, lalu meminta izin dengan dalih yang sama seperti dulu yakni membantu tetangga itu hukumnya wajib. Melihat Ainun yang tersenyum penuh kemenangan, segera kupeluk erat Mas Agung sambil mencium pipinya.
Jijik dan muak, itu yang aku rasakan. Akan tetapi, demi membuat Ainun sakit hati, semua aku lakukan dengan terpaksa.
"Mas, cium!" rengekku manja.
Mas Agung melirik sekilas pada Ainun. Dia menolak, katanya malu dilihat orang lain. Dengan wajah ditekuk, aku melepas pelukan itu pura-pura ngambek. Mas Agung langsung mencium keningku lembut.
"Kenapa, Mbak, panas ya?" ledekku melihat wajah Ainun yang merah seperti udang rebus.
"Kamu ini kenapa sih sama tetangga sendiri judes amat!" tegur Mas Agung.Kelihatan sekali dia tidak suka aku memperlakukan Ainun seperti itu. Perselingkuhan mereka semakin jelas, tetapi aku butuh bukti yang cukup kuat.Tidak perlu menuntut harta gono-gini asalkan bisa lepas dari lelaki mata keranjang seperti Mas Agung. Entah bagaimana awal mula kedekatan mereka hingga berani pergi bersama di hadapanku."Emang Mbak Ainun panas kok, Mas!" protesku."Sorry, ya. Sebenarnya yang panas itu kamu karena Mas Agung mau nganterin aku sekalian. Pergi bersama pulang apalagi!" Ainun tersenyum manis."Tetanggaan juga bangga banget!"Ainun langsung meledakkan tawa mendengar ucapanku. Dia pasti mengira aku tidak tahu kedok mereka yang sebenarnya.Tiba-tiba Mbok Inah dan tiga ibu-ibu lainnya lewat, sepertinya mau ke pasar. Ada ide baru nih kebetulan sekali Mas Agung kalau ke kantor pasti melewati pasar."Sebentar, Mas!" Aku mencekal lengan Mas Agung, lalu memanggil Mbok Inah."Ada apa, Neng?" tanyanya.
"Dari mana kamu?!" tanya Mas Agung begitu aku tiba di rumah.Memang jam sudah menunjuk angka delapan malam, tetapi di klinik tadi sangat antri. Melinda juga lapar, jadi kami singgah makan tadi khawatir penyakitnya kumat.Namun, aku tidak menyangka kalau Mas Agung akan pulang cepat dariku hari ini. Matanya menampilkan semburat merah tanda marah. Aku bahkan muak melihatnya."Dari klinik, Mas. Kenapa semarah itu? Aku kan sudah minta kamu nganterin, tapi gak bisa karena harus pergi sama teman-teman. Untung ada–""Haiqal?" potong Mas Agung.Seandainya Mas Haiqal tidak akan kena sembur jika aku mengangguk, sudah pasti kulakukan untuk memanas-manasi Mas Agung. Dengan terpaksa aku menggeleng. "Melinda!""Benar?"Aku memutar bola mata malas, melangkah kaki masuk kamar seraya menyindir pedas, "ya iyalah, Mas, sama Melinda masa sama Mas Haiqal. Aku kan gak berani selingkuh sama tetangga sebelah, lagi pula dosa kalau selalu berduaan dengan yang bukan mahram!""Video call aja kami gak pernah loh,
Sabtu tepat pukul sepuluh pagi, Melinda sudah ada di rumah. Aku sengaja memintanya membawa beberapa buah jambu ke sini sebagai alasan ngidam biar Mas Agung tidak curiga.Kami mengobrol masalah perselingkuhan karena kebetulan Mas Agung sedang berbaring santai di sofa dekat kami duduk. Senyumnya tidak pernah sirna."Serius, Lin? Kok tega ya si Agung selingkuh padahal istrinya itu cantik loh, lagi hamil pula.""Iya, Ning. Aku tuh ya kalau lihat si Agung, pengen kujambak rambutnya," balas Melinda.Kami memang punya teman sekolah dulu, namanya Agung Rifaldi. Cerita sebenarnya adalah teman kami itu menghamili pacarnya kemudian menghilang tanpa jejak.Jadi kalau misal si Buaya yang sedang main hp itu protes, kita bisa menyangkal sambil nunjukin gosip terbaru di grup alumni."Memangnya Agung sekarang secakep apa sih, Lin sampai selingkuh gitu?" Ketika aku melirik sedikit Mas Agung sudah berhenti memainkan benda pipih itu."Ya masih sama kayak dulu. Perutnya buncit, kulit kecokelatan, mukanya
"Apa kamu sudah memikirkan rencana dengan matang, Lin sampai nekat berbuat seperti tadi?"Melinda mengangguk. Akan tetapi, katanya rencana itu masih rahasia jangan sampai aku mengambil tindakan sendiri berujung gagal.Benar juga, dalam keadaan hati yang patah tentu bisa membuatku salah dalam melangkah apalagi jika sudah tersulut emosi. Tindakan Mas Agung memang sudah melebihi batas."Ingat lagi satu hal, kamu gak boleh lemah. Apa pun yang terjadi nanti, jangan pernah menangis! Biar saja bahkan sangat bagus kalau Mas Agung menceraikan kamu. Lelaki pecundang sepertinya tidak pantas mendapat kesempatan kedua.""Lalu, kapan kuberitahu mertua tentang perselingkuhan Mas Agung?""Di waktu yang tepat.""Jangan sampai Mas Agung malah memfitnahku lebih dulu.""Kan gak ada bukti, Ning. Lagian kamu juga gak selingkuh, kenapa harus takut? Lagian ya jangan sampai kita ngadu ke mertuamu tanpa bukti yang kuat, padahal mereka malah mendukung kedekatan Ainun sama anaknya."Aku mengangguk paham dengan p
Tepat pukul tiga sore, Mas Agung sudah rapi dengan kemeja kotak dan celana bahannya. Dia beberapa kali menyemprot parfum dan mengubah model rambut. "Mau ke mana sih, sebenarnya?" "Urusan mendadak, pekerjaan kantor. Kamu gak usah nanya, nanti mas pulang agak malem kayaknya, jadi tidur saja!" "Baiklah!" Aku mendesah pelan. Ya mau bagaimana lagi, pasti Mas Agung tetap nekat pergi walau aku berontak sekali pun. Tidak ada niat untuk mengintip lagi karena sudah tahu akan pergi dengan siapa. Sepuluh menit kemudian, deru mobil kembali terdengar memasuki halaman rumah. Anehnya Mas Agung tidak langsung masuk melainkan mengetuk pintu beberapa kali. Dengan penuh rasa malas kulangkahkan kaki ke depan. Begitu daun pintu terbuka lebar, aku memekik dengan suara tertahan. "Mama? Papa?!" "Maaf karena tidak mengabari lebih dulu," kata mama dengan senyum khasnya. Punggung tangan mereka aku cium penuh takzim, kemudian menyilakan masuk rumah dan membawa tas ukuran sedang itu ke kamar kosong depan k
"Hati-hati, Mas. Mending nikahnya sama yang Mas Darwis kenal lebih dulu. Sekarang perjodohan singkat begitu miris, tidak sedikit dari mereka yang merana karena kurang bahagia!" saranku. "Bagaimana dengan pernikahanmu? Kalian kan kenal cuma sebentar abis itu langsung nikah setahun lalu." Pertanyaan yang bagus, tetapi aku harus tetap berbohong untuk menjatuhkan Mas Agung nanti. Biar saja sekarang terkesan mengalah, aku bahkan tidak peduli kalau dia mengejek dalam hati. "Bahagia, dong, Mas. Apalagi Mas Agung akrab sama tetangga sebelah," sindirku langsung. "Maksudnya?" tanya mama. Sebagai sesama perempuan, dia pasti langsung menaruh curiga. "Mas Haiqal, Ma. Dia akrab banget sama Mas Agung. Mereka sering berbagi cerita dan pengalaman agar rumah tangga bahagia tanpa pelakor!" "Bener, Ma." Mas Agung menambahkan. Aku menoleh menatap wajah yang suka berbohong itu. Huh, apanya yang benar? Nyatanya adalah sering jalan berdua sama Ainun padahal masing-masing sudah punya pasangan. Mereka ti
"Mas gak berangkat kerja? Kok keasyikan bobo?"Mas Agung menggeliat. Sekarang hari senin dan jam sudah menunjuk pukul tujuh pagi, akan sangat telat kalau baru mau mandi dan bersiap ke kantor apalagi jalanan relatif macet.Berulang kali kupul pelan betisnya supaya mau menjawab. Nihil, dia malah menutupi seluruh tubuh dengan selimut. Sekarang bukan hari libur nasional ketika aku cek kalender tadi."Mas, apa jangan-jangan kamu sengaja mau jadi pengangguran?!" tanyaku sedikit berteriak.Mas Agung membuka mata yang masih lengket itu. "Hari ini libur dulu, aku mengambil cuti karena tidak enak badan."Baru saja aku ingin menempelkan punggung tangan di dahinya, tangan ditepis kasar. Lelaki penipu itu gegas melangkah masuk kamar mandi. Tiba-tiba suara percikan air terdengar mengusik pendengaran.Ponsel yang sedang di-charger aku sambar apalagi sudah penuh sejak tadi malam. Ada beberapa pesan W h a t s A p p. Merasa yakin Mas Agung lagi mandi, aku melakukan cara-cara itu lagi agar bisa membuka
Ainun sudah datang, tetapi dia hanya membawa kursi plastik. Entah dia dapat dari mana yang jelas itu hanya pura-pura saja. Bibirnya kembali mengulum senyum."Oh iya, Ning, tadi aku denger kamu mau minjem motor kan?"Aku menepuk jidat. "Iya, Mbak. Bisa, kan? Toh Mbak Ainun juga sering minjem suami aku!"Raut wajah perempuan itu berubah masa, dia kemudian melirik pada Mas Agung yang hanya bisa mengatup bibir. Merasa tidak mendapat pembelaan, dia langsung menyerahkan kunci motor fino."Mas, genteng kan gak lama dibenerin, abis itu langsung ke apotik ya! Kalau aku balik dan kamu masih di sini, berarti bukan cuma genteng yang kamu urus!""Bener cuma genteng, Dek.""Kali aja kamu mau ngambil jatah mantan, aku aduin sama Mas Haiqal loh!"Perempuan yang tadinya berwajah masam itu berubah tegang. Dia pasti takut ditinggal Mas Haiqal secara lelaki itu lebih ganteng daripada suamiku.Aku tersenyum pada Ainun, kemudian menyalakan mesin motor yang memang terparkir di depan rumah. Bensin full tangk