"Ayo, Mas! Aku pengen ke kamar," pinta Shilla dengan manja, membuat Aji akhirnya mengangguk dan melangkah.Setelah mengantar Shilla ke kamar perempuan itu, kala keluar dari ruangan tersebut tangannya ditarik oleh sang ibu membuat Aji terkejut. Ia memandang wanita yang melahirkannya saat sampai, tatapan teduh Aulia layangkan pada sang anak. Lalu mengajak Aji duduk kursi."Ada apa, Mah?" tanya Aji membalas tatapan wanita yang telah melimpahkan kasih sayang pada dirinya."Jangan terlalu dekat dengan Shilla, kamu harus lebih memperhatikan Maura, dia baru beberapa hari habis melahirkan, Aji," nasehat Aulia membuat Aji mengangkat alisnya bingung."Sikapku sepertinya gak berlebihan, Mah. Aku bersikap seperti biasa," sahut Aji pelan."Maura juga sudah tau, kan, karena kami berteman," jelas Aji membuat Aulia menghela napas karena anaknya sama sekali tak peka dengan keadaan sang istri. "Iya, tapi harusnya kamu memberikan batasan pada Shi
jangan lupa terus dukung author agar smngt lagi"Mas, aku ingin ngomong empat mata denganmu," ajak Maura menarik lengan suaminya ke kamar."Ngomong apa, Sayang?" tanya Aji semangat, karena istrinya mulai mengajak bicara setelah cukup lama mereka saling diam."Shilla nginep berapa lama?" Maura bertanya kala mendaratkan bokong di kasur dengan tatapan sedingin es."Memang kenapa, Sayang. Shilla sudah Mas anggap seperti adik, orang tuanya pun menitipkan dia pada kami," ujar Aji memandang istri yang tak memberikan sedikit senyuman."Kalau gitu, kamu harusnya jaga jarak sama dia," ucap Maura membuat Aji mengernyitkan alisnya.Baru saja Aji hendak menjawab, Maura telah menyela. "Mas dan Shilla itu terlalu dekat, udah kaya prangko lengket banget!" tutur Maura dengan memggebu-gebu. "Mas itu pria beristri, harus menjaga jarak. Mas dan Shilla itu bukan mahram, Mas!!" sembur Maura membuat Aji perlahan menerbitkan senyuman.
Sudah sekitar dua puluh enam menit Maura berada di kamar menenangkan hatinya. Suara tangisan sang buah hati langsung membuat dia bangkit lalu dengan kasar mengusap air mata. Ia bertekad tidak akan berlarut-larut dalam kesedihan, dan akan terus memperjuangkan mahligai rumah tangga yang sudah lama ia serta suaminya bina."Sayang, anak kita nangis. Tolong keluar," panggil Aji seraya mengetuk pintu lalu perlahan benda itu terbuka.Maura membuka pintu, wajahnya terlihat sembab. Ia menatap datar sang suami, lalu melangkah menuju ruang tengah. Terlihat Aulia sedang kewalahan mendiamkan cucu pertamanya. Dengan sigap lekas mengambil bayi itu, dan cepat memberikan ASI dan duduk si sofa."Kamu kenapa, Ra?" tanya Aulia ikut duduk di samping sang menantu, menatap wajah sembab Maura."Aku gak papa, kok Mah," sahut Maura pelan seraya menggelengkan kepalanya. "Mah, aku boleh bicara sesuatu?" tanya Maura kala melihat suaminya mendekat."Kami mau
"Gak papa kok, La. Nanti Tante bisa ke rumah mereka jika kangen kedua cucu, Tante," bela Aulia lalu segera mengajak Maura agar cepat duduk di dalam mobil."Shilla belum selesai bicara," ucap Shilla membuat Aulia menoleh."Sudahlah, La. Biarkan mereka pulang," tambah Aulia menatap ke arah Shilla yang terus mencoba menghalangi kepergian mereka."Mas pergi dulu, jangan menyusahkan Mamaku," seru Aji kala istri dan anak-anaknya telah masuk mobil."Iya Mas," sahut Shilla pelan, lalu memandang kepergian mereka.Maura mengulas senyuman kala sampai ke kediaman. Ia melangkah masuk saat Aji membukakan pintu. Perlahan dia menghirup udara dalam rumah dan mengembuskan perlahan, sambil menatap Delia yang telah berlari ke kamar karena sangat merindukan mainannya."Ahh ... Lia sangat merindukan kalian," ucap Delia kala mendekati orang tuanya sambil membawa beberapa boneka di dekapan."Kamu istirahat saja, Mas siapkan air minum. Pasti ka
Empat hari berlalu, Maura benar-benar sibuk mengurus kedua anaknya. Ia belum terbiasa, wajah lelah terlihat jelas di paras yang ayunya. Langit sebentar lagi gelap, hanya cahaya rembulan yang menerangi. Suara angin bertiup kencang, disertai rintik-rintik hujan mulai membasahi bumi, perlahan semakin deras. Perempuan tersebut memeluk kedua buah hatinya, melirik jam menunggu sang suami pulang. "Bunda ... Lia takut," keluh Delia dengan tubuh gemetar, ia memeluk tubuh sang Bunda dengan erat. "Jangan takut, ada Bunda, Bunda bakal jagain kalian," hibur Maura dengan suara pelan, ia terkejut kala suara petir menggelegar membuat bayi mungil yang terlelap di dekapannya terbangun dan menangis. "Cup, cup, cup, Sayang jangan menangis. Ada Bunda disini," ucap Maura berusaha agar sang bayi tenang ia mulai menimang sedangkan Delia memeluk kakinya."Bunda, jangan tinggalin Lia," pekik gadis itu sangat erat memeluk kaki sang Bunda."Bunda gak a
"Bunda, dede nangis." Maura terkejut kala Delia memegang tangannya membuat ia menoleh. "Ayo kita ke kamar," ajak Maura lalu melirik ke kamar bertabrakan dengan manik Aji yang memandangnya. "Ma ... Mas bisa jelaskan," kata Aji berusaha mengejar Maura tetapi ditahan Shilla."Mas, aku masih pusing," rajuk Shilla membuat Aji mengembuskan napas lalu menghempaskan tangan wanita itu dari lengannya. "Lepas! Istriku bisa salah paham karna kita berduaan di kamar, apalagi kamu bersandar dibahuku!" sentak Aji lalu melangkah pergi membuat Shilla mendengkus murka. "Menyebalkan!" maki perempuan itu setelah Aji hilang dari pandangannya dan pintu kamar pun tertutup. Maura segera menimang buah hati. Ia dengan sayang menciumi pipi putranya, sementara Delia tengah menanggalkan pakaian karena hendak membersihkan diri. Baru saja membuka pintu kamar mandi, mereka menoleh mendengar suara Aji. "Ma ... kamu salah paham," ucap Aji membuat Ma
"Gue juga bakal pergi! Ayo Mas, kita berangkat bareng, anterin aku ke rumah," ajak Shilla dengan nada emosi menyahuti ucapan Maura, tetapi bernada lembut pada Aji."Aji udah mau telat, gak bisa anterin kamu. Mendingan sono cepat pergi!" usir Maura seraya mengibaskan tangan."Jangan bersikap seperti itu, Ma. Aku bakal anter kamu. La ... kamu pulang pake taksi aja," tutur Aji membuat Maura tersenyum dan Shilla menghentakan kaki dan melangkah pergi."Ayo Sayang," ajak Aji menggenggam tangan Delia."Asikk ... diantar Papa," sorak Delia gembira, lalu melangkah bersama menuju mobil."Lia pengen di depan, Pah," pinta Delia kala sang Papa membukakan pintu belakang."Ah ... putri kecil Papa mau di depan, ayo silahkan masuk princess kesayangan Papa," goda Aji sembari membukakan pintu depan lalu membantu Delia duduk di mobil, tak lupa juga memakaikan sabuk pengaman di pinggang gadis kecil itu.Setelah semua di dalam mobil, Aji seg
Aji pulang menampilkan riak muram, lalu ia membuka pintu dan menjatuhkan bokong ke sofa. Terlihat Delia berlari menghambur ke pelukkan sang Papa, Aji dengan sigap mendekap Delia agar tak jatuh. Gadis kecil itu melabuhkan kecupan di pipi Aji membuat dia terdiam, karena tak biasanya sang anak sambung bertingkah. "Papa ganteng ih. Mau Lia ambilin minuman dingin?" tanya Delia lalu meminta agar dia diturunkan dari pangkuan."Wahh anak Papa lagi baik nih, boleh dong, tau aja Papa lagi haus," balas Aji membuat Delia mengulas senyum lalu pamit pergi ke dapur."Ini Pah," teriak Delia membuat Aji menoleh melihat anak sambungnya tengah membawa gelas berisi air dan ia berjalan membuat isinya tumpah-tumpah. "Ini Papa, aku berhasil membawanya sampai sini," ucap Delia dengan senyum ceria membingkai di bibirnya."Ahhh ... terima kasih, Sayang. Kamu sudah berkerja keras," puji Aji mengambil gelas itu yang isinya tinggal setengah, lelaki tersebut langs