Maura bertekad menemui David Peters sekali lagi. Ia akan memohon agar David Peters mau membantunya. Bekerja paruh waktu setap hari ternyata sangat melelahkan. Hal ini berdampak pada produktivitasnya dalam mengerjakan tesis. Tadi pagi sebelum keluar kamar, Maura menyempatkan diri melihat kalender duduk di atas meja belajarnya. Ia mendapati tiga tanda silang pada kalender, artinya sudah tiga hari tesisnya tidak tersentuh.
Maura tengah memikirkan rencana untuk menemui David Peters lagi. Tiba-tiba terlintas dalam benak Maura untuk meminta bantuan Matt. Berdasarkan pengamatan Maura, Matt bukanlah orang yang sulit untuk dimintai tolong.
Apakah sebaiknya aku meminta nomor telepon Matt pada dekan?
Maura sangat berharap Matt bisa membantunya, menjadi perantara dirinya untuk bertemu David Peters. Maura memutuskan akan menemui dekan besok pagi untuk meminta nomor Matt.
*
Maura sudah sampai di kampus lebih awal dari biasanya. Jam dinding di lobi kampus baru menunjuk pukul enam empat lima. Maura bergegas menuju ruangan dekan. Ia yakin dekan sudah ada di ruangannya saat ini. Sesampainya di depan ruangan dekan, pintunya terbuka sehingga Maura dengan mudah dapat melihat ke dalam ruangan, memastikan dekan sudah datang atau belum. Senyum semringah menghiasi wajah Maura tatkala sosok yang dicarinya ternyata sudah berada di dalam ruangannya, terlihat sedang serius membaca.
Dua ketukan perlahan pada pintu sudah cukup membuat dekan mengangkat wajahnya dari kertas-kertas yang ada di atas meja.
“Ada apa sepagi ini, Maura?”
“Dean, bolehkah saya meminta nomor telepon Matt?” Maura langsung mengutarakan tujuannya. Ia selalu suka mengatakan segala sesuatu secara terus terang, tidak perlu berbelit-belit atau basa-basi.
“Saya akan menemui Tuan David Peters sekali lagi. Saya masih sangat berharap Tuan David Peters akan membantu saya.”
Dekan mengangguk paham. Kemudian ia mengambil selembar kertas berukuran kartu nama dan menuliskan nomor Matt di sana.
“Semoga beruntung.” Ujar dekan seraya menyodorkan kertas itu. Maura menerimanya dengan mata berbinar. Buru-buru ia mohon diri dan segera mengirim pesan pada Matt.
Beep. Ponsel Maura menyala. Satu pesan diterima. Dari Matt. Buru-buru Maura membuka pesan itu dan membacanya. Seulas senyuman yang kemudian berganti tawa menghiasi bibir Maura. Matt bersedia membantunya, memberi akses padanya untuk bertemu David Peters.
Hari ini pukul 10.00. Jangan terlambat.
Isi pesan terakhir Matt. Maura membalas pesan itu dengan “Ok” diikuti “thanks”.
Maura melihat jam tangannya, masih tiga jam lagi menuju pukul sepuluh. Mendadak Maura merasa sangat gugup. Maura teringat dengan kalimat terakhir yang diucapkan David Peters sebelum ia meninggalkan kantor lelaki itu. Maura terus berdoa agar David Peters tidak memberinya persyaratan yang tidak masuk akal. Tentu saja syarat melepas keperawanan demi uang untuk biaya kuliah adalah tidak masuk akal menurut Maura.
Berusaha mengatasi kegugupannya yang kian menjadi, Maura menuju salah satu bangku yang ada di taman kampus. Meskipun otaknya sedang tidak mau diajak bekerja sama untuk menulis tesis, setidaknya Maura ingin membaca draft tesisnya, mencoba menyegarkan ingatannya tentang apa yang terakhir kali ia tulis.
*
Lima belas menit sebelum pukul sepuluh, Maura sudah sampai di kantor David Peters. Di lobi Maura bertemu Matt yang terlihat menunggunya. Mereka berdua lantas menuju ruangan David Peters bersama-sama. Berkali-kali Maura menggosok telapak tangannya seolah ia sangat kedinginan. Matt melirik gadis itu sambil terseyum.
“Gugup?”
“Sangat.”
“Kenapa?”
“Takut.”
“Takut ditolak proposalnya.” Maura melengkapi kalimatnya. Matt mengangguk paham.
Matt mengetuk pintu ruangan Dave. Setelah terdengar sahutan dari dalam, Matt meraih pegangan pintu dan mendorongnya. Dengan kode gerakan dagu, Matt meminta Maura untuk duduk di sofa dan menunggu.
“Bos, Nona Maura ada di sini.”
Mata Maura membelalak mendengar Matt menyebut namanya dengan didahului kata nona. Setelahnya Maura melihat David Peters yang menatap ke arahnya.
“Ada apa lagi?” Suara David Peters yang dingin semakin menciutkan nyali Maura. Mati-matian Maura berusaha mengenyahkan perasaan yang bisa melemahkan dirinya itu.
Aku harus mencoba lagi. Siapa tahu dia berubah pikiran, tidak lagi mengajukan syarat yang tidak masuk akal. Maura berusaha menyemangati diri sendiri. Maura kemudian berjalan mendekat ke arah meja David Peters.
“Tolong bantu saya, Tuan David Peters.” Ujarnya langsung tanpa berbasa-basi. Maura memang tidak suka basa-basi. Lebih tepatnya, ia tidak bisa melakukan itu.
“Sekeras apa pun saya bekerja, uang sejumlah itu sangat susah saya kumpulkan. Dan tesis saya jadi terbengkalai karenanya.”
“Tawaranku tetap sama!” Kalimat Dave membuat Maura menunduk. Dave memberi kode pada Matt untuk keluar dari ruangannya. Sebelum keluar, Matt melihat ke arah Maura dengan perasaan iba.
“Bagimana?” Dave mengubah posisi duduknya menjadi bersandar pada kursinya. Tangan kanannya memainkan pulpen yang sedari tadi dipegangnya.
“Jangan pernah berpikir aku mau bercinta denganmu karena aku tertarik padamu. Kamu bukan seleraku! Ini lebih seperti barter. Dan…. Kupastikan dalam barter ini kamu tidak dirugikan.” Dave tampak menarik salah satu sudut bibirnya. Ingin rasanya Maura segera keluar dari ruangan itu. Lagi-lagi dirinya direndahkan oleh Dave. Dave menganggap Maura tengah menjual dirinya demi uang untuk membayar kuliah.
“Bahkan aku sudah menyiapkan rencana yang akan membuatmu tidak bisa berkata tidak.” Demi mendengar kalimat Dave, Maura menegakkan kepalanya. Ia menatap Dave dalam-dalam, mencoba mencari tahu maksud dari kalimat laki-laki itu.
“Aku akan mencabut beasiswamu. Tak ada lagi tunjangan hidup dan asuransi.”
Maura menutup mulutnya dengan satu tangan. Air mata sudah tergenang di pelupuk matanya. Detik berikutnya, Maura tidak peduli apakah air matanya telah jatuh atau belum. Sementara Dave melihat Maura dengan menarik salah satu sudut bibirnya. Senyum sinisnya menunjukkan kepuasan yang teramat sangat. Puas karena berhasil membuat Maura tidak berdaya.
Dengan suara bergetar, Maura mencoba mengatakan apa yang mengganjal di hatinya, “Tuan bilang saya bukan selera Anda, tapi mengapa Anda menginginkan tubuh saya?”
Dave tertawa terbahak, “Karena kamu menyimpan sesuatu yang berharga dan aku sangat menginginkannya."
"Asal kau tahu, Nona. Tidak ada satu pun keinginanku yang tidak tercapai.” Dave menyandarkan tubuhnya ke kursi sambil melipat kedua tangannya di depan dada.
Air mata Maura mengalir lebih deras. Otaknya tidak berhenti menggaungkan kata pelacur berulang-ulang.
“Kau tidak harus menjawabnya sekarang, tapi kudengar deadline pembayaran tuition fee sampai akhir bulan ini. Artinya, masih ada dua pekan untuk memberi keputusan.”
Maura masih berdiri mematung sambil terus menangis.
“Dan sekarang kamu bisa keluar!” Usir Dave. Lelaki itu berkata sambil kembali menegakkan badannya, menekuni kembali berkas-berkas di hadapannya.
Maura menyeka air matanya sebelum keluar dari ruangan Dave.
***
Bunyi notifikasi pesan membangunkan Maura dari tidurnya. Sepagi ini siapa yang mengiriminya pesan. Maura melihat penunjuk waktu di ponselnya. Pukul enam tepat. Rasanya Maura ingin menunda membaca pesan itu dan melanjutkan tidurnya. Tapi itu tidak dilakukannya setelah membaca nama pengirim pesan. Dekan.Maura, jangan lupa menghadiri malam inaugurasi. Tahun lalu kamu tidak hadir karena belum datang. Jadi untuk tahun ini kamu tidak punya alasan untuk tidak datang. Jangan lupa, pukul tujuh tepat!Maura melempar ponselnya ke salah satu sudut tempat tidurnya. Rasa malas kembali menyelimutinya. Padahal hari ini, ia sudah merencanakan untuk menghabiskan waktu di perpustakaan sebelum bekerja pada pukul enam sore. Maura yang tersadar dengan jadwal kerjanya pun segera bangun dan mencari ponselnya. Tak lama jemari Maura pun bergerak dengan lincahnya di atas
“Aku tidak bisa menari, Tuan David.” Maura mencoba meyakinkan Dave. Dave hanya diam, seolah tidak mendengar apa yang dikatakan Maura. Maura mengulangi kalimatnya dengan berteriak di dekat telinga Dave.“Aku tidak bisa menari, Tuan David. Kumohon carilah partner lain.” Maura mencoba menggerakkan tangannya agar terlepas cari cengkeraman Dave.“Tidak akan. Kamu tidak bisa ke mana-mana.” Dave semakin mengeratkan cengkeramannya. Maura meringis kesakitan.“Apa yang Anda inginkan, Tuan?” tanya Maura lagi. Dave menyeringai aneh sehingga Maura bergidik melihatnya.“Anda menerorku!”
“Finally….” Suara Tim mengejutkan Matt. Ia mengalihkan pandangannya dari ponsel yang sedari tadi dipegangnya. Alisnya terangkat kala Maura tidak juga keluar. Tim menepuk jidatnya, masuk kembali ke dalam.“Ada apa lagi, Mauraaa…” Tim mencoba menahan emosi. Maura nyengir kuda, “Aku malu.” Tim meraih tangan Maura dan menggandengnya keluar.“Tadaaa….” Kali ini Maura, Tim, dan Kim muncul di hadapan Matt. Mata Matt berbinar melihat sosok di depannya. Maura benar-benar terlihat sangat berbeda. Tak akan ada yang menyangka jika gadis ini adalah korban bullying, perundungan, di kampus. Sebutan grossy, si kotor, label abadi yan
Maura merasa Matt terlalu lama menjemputnya sehingga begitu sosok Matt berdiri di depannya, Maura sengaja memanyunkan bibirnya. Berpura-pura marah pada Matt. Matt terkekeh melihat sikap Maura. Hatinya sangat senang. Maura yang cantik sekarang sedang marah padanya.“Lama sekali, Matt. Kamu sengaja ya?”“Maaf, aku harus berdandan dulu sebelum menjemput princess.” Maura menonjok bahu Matt pelan. Yang ditonjok pura-pura mengaduh kesakitan. Kemudian mereka berdua terbahak bersama.“Mau pulang sekarang?” Maura hanya mengangguk. Matt berjalan menuju mobil diiringi Maura.“Bagaimana pestanya?” pertanyaan Matt memecah keheningan di antara keduanya
Maura menyapukan pandangannya ke seluruh sudut kamar pribadi Dave. Kamar yang sangat luas dengan dominasi warna hitam dan putih. Sebuah set meja kerja terletak di salah satu sudut kamar yang berdekatan dengan rak buku setinggi dinding. Sepasang meja kecil dengan lampu tidur yang bertengger manis di atasnya mengapit tempat tidur berukuran super. Di seberang tempat tidur, menempel pada dinding, terdapat cermin seukur dinding. Terdapat dua pintu di dalam kamar itu, entah apa yang ada di baliknya. Decak kagum tak jarang terdengar dari bibir Maura. Sampai-sampai ia tidak menyadari bahwa Dave sudah masuk ke dalam kamar, memandangi Maura dengan pandangan yang susah ditafsirkan. Yang pasti, sorot mata Dave menunjukkan bahwa laki-laki sedang dalam pengaruh alkohol.Dave berjalan mendekati Maura. Dilihatnya gadis itu terkejut dengan kehadirannya. Maura mundur perlahan untuk menghindari Dave. Dengan sigap, Dave merai
Maura bergegas menuju kamarnya. Dalam hati Maura bersyukur karena lingkungan asrama sedang sepi. Sesampainya di dalam kamar, Maura menghempaskan tubuhnya ke atas tempat tidur. Ditatapnya langit-langit kamar selama beberapa saat. Maura mengubah posisi tidurnya, menelungkup dengan membenamkan wajah ke dalam bantal miliknya. Sejurus kemudian, tangisnya pun pecah lagi. Maura menumpahkan semua perasaannya melalui tangisan. Ia teringat ibunya. Membayangkan ibunya ada di sampingnya. Menyuruhnya merebahkan kepala di pangkuan lalu dengan pelan dan penuh sayang, ibunya akan membelai rambutnya. Sambil sesekali mengatakan hal-hal yang bisa menenangkan hatinya. Tapi di sini, di negeri yang sangat jauh dari rumahnya, Maura harus berjuang sendiri. Mengatasi kesedihan sendiri.Entah sudah berapa lama Maura menangis, tapi ia tidak peduli. Tadi ia sempat tertidur karena kelelahan. Begitu bangun, ia menangis lagi, meskipun k
Maura mendengus, kesal, begitu resepsionis mengatakan bahwa Dave sedang ada meeting di luar. Maura diminta datang lagi keesokan hari di waktu yang sama. Maura meninggalkan kantor Dave dengan perasaan marah. Ia merasa dipermainkan oleh Dave. Namun, Maura buru-buru mengenyahkan pikiran negatif bahwa Dave mempermainkannya. Mencoba memahami bahwa pekerjaan Dave tentulah sangat banyak. Tak ingin membuang waktu, Maura bergegas kembali ke perpustakaan.Maura menaiki satu demi satu anak tangga sebanyak tiga tingkat sebelum masuk ke lobi. Ia melewati ruang dekan dan ruangan-ruangan kantor lainnya. Ujung dari deretan kantor itu adalah pertigaan yang masing-masing cabangnya mengarah pada perpustakaan, auditorium, dan ruang kelas. Maura menghentikan langkah ketika beberapa gadis menyuruhnya menepi. Dilihatnya sosok yang ingin ditemu
Beep… Beep…Maura meraih ponsel yang tergeletak di sisi kirinya. Nama Matt muncul di layar dengan dua pilihan ikon telepon dalam warna merah dan hijau. Maura sengaja menyapukan ujung telunjuknya ke arah ikon berwarna merah. Saat ini ia sedang di perpustakaan, mengerjakan tesisnya sehingga ia enggan terganggu dengan apa pun termasuk panggilan ke ponselnya. Tak menunggu lama setelah panggilan terputus, Maura menulis pesan singkat kemudian dikirim kepada Matt.Call me after five minutes, please. Pesan yang dikirim Maura langsung ditandai dengan centang dua.Maura bergegas mengemasi barang-barangnya dan menuju bagian peminjaman buku. Hari ini Maura meminjam cukup banyak buku karena ia berencana tidak keluar asrama selama beberapa hari ke depan. Maura ingin fo