El bersiul pelan sambil menyisir rambutnya ke arah belakang. Afdi dan Ardan terfokus pada layar playstation yang menampilkan permainan football, sedangkan Ilham, cowok itu asyik sendiri menikmati keripik kentang bumbu balado ukuran jumbo di tangannya.
"Woh, ganteng banget gue," celetuk El menatap pantulan dirinya di cermin."Dari tadi yang ada ngurusin rambut mulu, kayak cewek aja," timpal Ilham kembali memasukan keripik kentang ke mulutnya.Afdi dan Ardan masih setia pada permainan mereka. Sama sekali tak terganggu dengan celotehan keduanya."Kayak nggak tau aja, orang kasmaran kan emang 11 12 sama orang gila," ujar Afdi tanpa menoleh.El mengambil bantal di atas kasurnya. Melempar asal ke arah Afdi yang masih setia menatap layar permainan, dan tepat sekali mengenai wajahnya."Allahuakbar.""Yes, gue menang," girang Ardan detik itu juga.Afdi mendengus kecewa. Ia kalah permainan karena tiba-tiba di timpuk. Yang tadi awalnya fokus mencetak gol jadi buyar seketika dan berujung kebobolan."Tuh kan El, gue kalah, lo sih!"El mengedikan bahunya acuh lalu berjalan duduk di samping Ilham, langsung saja merampas keripik kentang di tangan cowok itu."Busyet dah, main rampas aja lo!"El mengunyah keripik kentangnya. "Sekarang gue tanya, nih keripik lo dapat dari mana?""Di dekat PS.""PS-nya punya siapa?""Lo,""Berarti ini punya ....""Lo,""Nah, tuh ngerti." El kembali memasukan tangannya ke dalam plastik, mengambil beberapa keripik dan langsung di masukan ke mulutnya. Ilham mendengus, pandangannya langsung berubah menatap Afdi yang masih bergumam tak jelas."Eh Afdodol gantian. Enak aja lo 'kan tadi udah perjanjian siapa yang kalah nanti gantian sama gue."Afdi mendengus, meskipun tak rela, ia berdiri dari posisinya. Ilham sempat menepuk punggung Afdi, sebelum akhirnya mengambil Stick PS.Afdi menghempaskan bokongnya ke sofa dengan mata yang melirik El yang sedang memakan keripik, sesekali menjilati tangan kanannya."Ih jorok amat sih, lo, jilatin tangan!"El menoleh sebentar lalu kembali fokus pada keripiknya. "Abis enak, bumbunya nempel di tangan 'kan sayang.""Ah, elah lo."Untuk sesaat mereka terfokus pada layar permainan. Ardan dan Ilham menggerakkan tombol stick-nya, saling menyerang satu sama lain."Lo beneran suka Ika?" tanya Afdi penasaran.El menggapai air yang ada di atas meja. Meminumnya sampai habis lalu kembali melihat Afdi. "Kalau iya, kenapa? Lo suka dia juga, kalau emang, gue saranin lo mundur baik-baik."Afdi mendengus, bukan seperti itu maksudnya. Cowok itu salah mengerti, lagian sebelum mengincar Ralika ia harus siap secara mental dan fisik."Ya nggak, gue bukannya suka sama Ika. Gue cuman heran aja, lo kok bisa suka sama dia?" Kembali Afdi bertanya.El mengedikan bahunya."Nggak tau, dia terlalu menarik." El kembali memakan keripiknya sampai habis, "lo tau nggak Ralika suka apa?"Afdi menggeleng cepat. "Mana gue tau, emang gue emaknya.""Ya elah, biasa aja keleus. Gue nanya baik-baik."Afdi melirik El sekilas. "Iya-iya, yang gue tau Ika itu orangnya memang tertutup. Kaku gitu, tapi jago banget berkelahi."El tercengang, kagum."Hebat banget."Afdi memutar bola matanya. "Aduh, ternyata selain bego, lo juga pelupa. 'kan udah gue jelasin waktu awal lo masuk."El menggaruk tengkuknya, ia sama sekali tak tersinggung Afdi mengatakan bego. Bahkan julukan yang lebih parah malahan. Tapi, pelupa? Memangnya kapan Afdi bicara tentang Ralika?"Emangnya kapan?""Udah lupain, mau denger lagi nggak?"El langsung diam kemudian mengangguk kecil."Orangnya agak galak gitu. Bahkan, gue nggak pernah ngeliat dia berinteraksi sama orang lain, kecuali pas rapat OSIS atau ngehukum orang. Kayaknya dia nggak minat punya temen."El tertegun. Apa Ralika sedingin itu sampai-sampai teman saja tidak punya?"Tapi, cewek rambut pendek yang nyamperin Ralika di lapangan kemarin, katanya temennya. Pake bawain Ralika air minum malah."El tidak tau nama cewek itu. Lagian juga dia tidak mau tau, enak saja mengatakan dirinya playboy walau kenyataan ia sering menggoda cewek. Tapi, bukan berarti playboy 'kan?""Maksud lo Lea? Tuh cewek memang dari awal sok akrab sama Ika. Memang sih, dia sering bilang temennya Ika. Tapi, kayaknya Ika nggak pernah anggap Lea temennya deh, kasian amat."☁☁☁El melirik arloji yang melingkar di tangannya. Di telinganya terpasang earphone yang memutar salah satu lagu dari One Direction, sesekali kepalanya mengangguk-angguk mengikuti nada musik."Mas, daritadi muter-muter. Kapan saya nganter mas ke sekolahnya?" tanya Jodi, supirnya, yang sejak tadi bingung. El melepaskan sebelah earphone-nya."Tunggu 10 menit lagi, Pak. Muter-muter aja dulu. Nanti baru ke sekolah," ucap El tetap tenang."Kalau nanti Mas telat gimana?""Santai aja, Pak, emang itu tujuan saya."Jodi melihat El dari kaca spion depan mobil, dengan pandangan bingung. Aneh sekali? Disaat semua orang datang lebih pagi ke sekolah agar tidak terlambat majikannya itu justru sengaja melambatkan diri.Untuk beberapa menit Jodi terus melakukan mobilnya memutari area jalan, selama sepuluh menit tentunya."Nah, udah pas jamnya, baru ke sekolah, Pak."Jodi mengangguk. Ia memutar setop kontak mobil menuju arah tempat yang seharusnya menjadi tujuan.Tepat di depan gerbang sekolah. El turun dari mobil, setelah melambaikan tangan pada Jodi. Mobil hitam itu melaju dengan kecepatan normal meninggalkan area.El menjinjitkan tubuhnya menatap ke dalam gerbang. Dari sana, ia bisa melihat seseorang sedang berdiri. Dengan langkah santai El berjalan mendekat."Selamat pagi!"Dadang menoleh mendapati El tengah tersenyum. Beberapa murid ikut menoleh dengan tas yang masih tersampir di punggung mereka. Mereka murid terlambat."Gue telat ya. Duh sorry kesiangan."El dengan seenaknya baris. Langsung berdiri di depan seseorang yang sedang kini sedang menatapnya datar."Gue dapat hukuman 'kan, Ra?"Semua orang menatap El tak percaya. Ralika menatapnya sekilas, sama sekali tak berniat membalas perkataan El yang dengan terang-terangan meminta hukuman.Perhatian Ralika teralih memandangi semua murid tak tau aturan di depannya."Kalian tau sekolah ini punya peraturan?" Mereka semua diam. Beberapa, memang adalah kakak kelas Ralika. Namun, tak ada yang berani protes."SMA Dharma menerapkan peraturan agar datang jam 7.15 pagi," lanjutnya. "Sekolah ini punya peraturan, kalian tidak bisa datang seenaknya."Ralika jadi seperti guru BK yang sedang menegur muridnya, wajahnya sangat kontras dengan hawa sekitar yang terasa menegangkan. Semuanya masih tetap diam tak berani bersuara, meski begitu El tetap saja memperhatikan Ralika tanpa sedikitpun beralih.Ternyata perkataan Afdi kemaren tidak sia-sia."Ika itu orangnya tertib banget dan kalau ngehukum nggak tanggung-tanggung, kayak guru BK.""Kalau guru BK-nya cantik kayak Ralika gue rela dihukum."Afdi memutar bola matanya. "Setiap Hari Rabu, biasanya Ika gantiin Bu Rina, yang ada keperluan di luar sekolah. Dia yang bakal ngehukum murid yang terlambat," jelas Afdi.El memegang dagunya. "Kalau gitu gue harus telat," ujarnya mantap."Hah?"Ternyata benar apa yang dikatakan Afdi, El kira temen sebleng-nya itu berbohong. Tapi tidak, mungkin setelah ini dia akan mentraktir Afdi nanti."Kalian pergi ke lapangan, hormat pada bendera."Mereka pergi dari tempat berdiri langsung pergi menuju lapangan. Tapi, tidak dengan El, cowok itu sama sekali tak beranjak dari tempat berdirinya, bergeser saja tidak."Kamu ngapain masih di sini? 'Kan saya sudah bilang tadi hukumannya.""Ya, gue nggak mau sama kek gitu, terlalu mainstream. Yang lain deh, kayak dinovel-novel gitu. Hukumannya gue jadi pacar lo," ujarnya tanpa beban sedikitpun.Ralika melebarkan matanya. Yang benar saja, cowok itu berkata sesantai itu?"Ini kehidupan nyata bukan cerita fiksi. Kamu itu sekarang murid SMA Dharma dan wajib mengikuti segala peraturan yang ada!"El memasukan kedua tangannya ke saku celana. Di sekolahnya dulu saja ia tidak mau mengikuti peraturan, bahkan absennya bolong-bolong."Justru itu, gue kira hukumannya nggak sebanding. Kalau cuman berdiri sambil hormat di tiang bendera itu terlalu biasa buat gue."Ralika menghembuskan napas kasar. Percuma saja berdebat dengan cowok itu. "Baiklah, sekarang kamu bersihin toilet yang ada di dekat kelas 10."El tersenyum. "Okey, tapi nggak ada jaminan kalau gue nggak bakal kabur."Kamu mau kabur?"El mengedikan bahunya. "Nggak tau, tapi daripada gue kabur lebih baik lo awasin gue di sana, yuk."El sedikit lagi menggapai tangan Ralika, tapi dengan cepat cewek itu menepisnya kasar"Kasar banget," gumamnya sambil meringis."Saya sudah bilang, kamu jangan kurang ajar! saya bisa saja bikin kamu babak belur!" Setelah berkata seperti itu Ralika berjalan terlebih dahulu."Eh tunggu dong!"El berusaha mengejar hanya saja ia sedikit kesusahan menyamai langkah Ralika yang bisa dikatakan cepat.Mereka berdua melalui koridor yang nampak sepi dikarenakan pelajaran sudah dimulai.Sesampainya di toilet Ralika berhenti, ia memutar tubuh menghadap El yang berlari di belakangnya lalu berhenti dengan nafas masih terengah."Lo jalan cepat banget, sih?!"Ralika tetap diam, tidak berniat membalas ucapan El. Ia melirik ke arah toilet yang terbuka. "Cepat bersihkan! saya tunggu disini."El menghembuskan nafas kasar. Tak pernah dalam hidupnya yang namanya menerima hukuman. Okey, memang di sekolah lamanya dulu ia sering membolos dan seringkali keluar masuk BK, guru pun juga sudah angkat tangan menanggapi sikapnya yang kelewat jahil. Kalau pun dia mendapat hukuman, El pasti akan segera kabur dan menyuruh adik kelas atau anak cupu yang menggantikannya.El mengambil alat pel di dekat dinding. "Okey, gue bakal bersihin nih toilet."Belum sampai menuju pintu toilet El berbalik menatap Ralika kemudian tersenyum. "Kalau yang ngawasin cantik kayak lo, gue bakal mau di hukum tiap hari."Ralika masih diam. Melihat tingkah El yang membuatnya heran sendiri. Bahkan, saat dihukum pun tetap saja punya cara untuk merayunya. Aneh sekali.Ralika masuk ke kelas pada jam istirahat. Ia tak bisa masuk pelajaran pertama karena harus mengawasi cowok tak tahu malu itu membersihkan toilet, meski sebenarnya Ralika harus menghela napas ribuan kali, mendengar gombalan receh tak bermanfaat El. Bagaimana pun ia tak mau mengabaikan amanat Bu Rina, dengan pergi karena jenuh mendengar perkataan tak berguna cowok itu."Ika!"Matanya tertuju pada seorang cewek berambut ikal yang mendekat ke arahnya dengan membawa sebuah buku sambil senyum melebar."Nih."Ralika bergeming menatap sebuah buku yang di sodorkan Lea. "Untuk apa?"Lea tersenyum, cewek itu menarik tangan Ralika lalu meletakan buku tulis itu di telapak tangannya."Ini buku catatan gue, tadi 'kan lo nggak masuk kelas gara-gara gantiin Bu Rina. Jadi, lo pinjem aja buku catetan gue."Ralika menatap Lea tidak berekspresi kemudian matanya turun menatap buku tulis tersebut, perlahan tangannya membuka tiap lembar buku itu dengan teliti. Catatan materi di buku itu lengkap, semua rangku
"El kita nggak balik, nih?" ucap Afdi. Sejak tadi mereka berdiri di depan kendaraan itu cukup lama, tapi tak ada tanda-tandanya El akan menawarkan untuk naik, malah dengan santainya menatap gerbang sambil memainkan kunci mobilnya.El menoleh. "Kalian kalau mau balik, balik aja, ngapain nungguin gue."Ketiganya saling pandang. "Jadi kita nggak pulang naik mobil lo, nih?""Nggak! lo semua pulang sendiri lah!"Afdi langsung cemberut. El sama sekali tak mengijinkannya ataupun yang lain menaiki kendaraan berwarna hitam itu."Ya, terus lo mau bawa nih mobil sendiri, gitu? Ngapain coba nyuruh supirnya pulang naik taksi, kalau nyatanya nggak ngajak kita pulang bareng," celetuk Ardan.El memandang ketiga temannya sambil berkacak pinggang. "Gue sengaja nyuruh Pak Jodi pulang duluan, biar Ralika pulang bareng gue. Bukan ngajak lo bertiga balik!"Ilham yang mendengar penuturan El menepuk jidatnya. "Ealah, ternyata lo ogeb banget!"El langsung menjitak kepala Ilham cukup keras. "Lo nggak nyadar lo
El memejamkan matanya menikmati hidup yang kadang menyenangkan. Tidak ada pelajaran matematika yang memenuhi kepalanya, tidak ada ocehan dari guru yang super duper galak seperti Bu Wike.Free class menurutnya hal yang sangat membahagiakan, rasanya seperti di atas awan. "Gue bosan di kelas mulu."El membuka matanya menoleh ke kanan dimana Afdi sedang menekuk wajahnya. "Mendingan kita ke lapangan basket aja ngeliat pertandingan," ucapnya lagi."Kalau lo mau ke lapangan, ke lapangan aja," Pandangannya berubah memandang Ilham dan Ardan, "lo berdua juga bisa ikut. Gue mau tidur di kelas, lumayan free class capek begadang semalam."Afdi berdecak. "Ya nggak seru kalau lo nggak ikut 'kan jadi nggak lengkap, Emgansi.""Emgansi? Apaan tuh?" bingung Ardan."Empat cogan bergengsi," ujar Afdi menaik turunkan alis.Ardan bergidik melihat tingkah Afdi. "Jijik gue ngeliat lo kayak gitu."El masih menatap ketiga temannya, malas, memindahkan kedua tangannya menjadi bantal. "Kalian kalau mau kelapangan,
Ralika mengelus kepala wanita yang terbaring lemah di hadapannya kini. Matanya tertutup dengan beberapa alat medis tertempel memenuhi tubuh. Suara alat deteksi jantung terdengar mengalun normal mengikuti irama jantungnya. Hal itu menandakan masih ada kehidupan di balik wajah pucat itu.Ralika bangkit dari duduknya lalu berjalan menuju pintu, ia sempat berbalik sebentar sebelum akhirnya keluar dengan wajah tertunduk.Untuk beberapa jam yang lalu Ralika sempat khawatir saat Niken ke sekolahnya dan mengatakan 'rumah sakit' Seperti ada dentuman keras yang menyerang dada, pikiran buruk tak bisa dibendung akan kemungkinan yang terjadi. Ruang tempat Nilam--mamanya-- dirawat saat itu sedang tertutup karena dokter sedang menanganinya. Lutut Ralika melemas untuk beberapa saat, yang hanya bisa dilakukannya hanya berdo'a dalam hati.Setelah beberapa menit, pintu ruangan terbuka, dokter dan beberapa suster keluar. Buru-buru Niken mencecar sang dokter dengan berbagai pertanyaan. Dokter itu terdiam
Ralika memijat pelipisnya, pelan. Cukup lelah dengan kegiatannya hari ini, ditambah lagi ia sekarang selalu merasa terganggu dengan kehadiran cowok aneh yang selalu muncul bak hantu yang bergentayangan di dekatnya.Cowok itu selalu punya cara menimbali perkataanya dengan gombalan yang tentu saja percuma. Ralika sama sekali tak terpengaruh, lagian di dunia ini tidak ada orang yang tulus. Semuanya hanyalah dusta. Ralika menghembuskan napas kasar, mengingat semuanya. Ia sama sekali tak mengerti kenapa cowok itu tak juga menjauh darinya, sikap tegas dan flat-nya dianggap angin lalu saja. Untungnya bel masuk berbunyi, ia bisa terbebas dari jin bentuk manusia itu.Ralika tersenyum sinis. Memikirkan semua keadaan yang terjadi. Baginya, semua orang sekarang sulit dipercaya. Semua hanya memanfaatkannya, mereka hanya mementingkan kebahagiaan mereka sendiri."Lo kenapa?" tanya Lea yang baru memasuki kelas. Keadaan kelas juga sudah mulai ramai, "capek ya? Pasti capek lah, orang lo dari tadi ngur
Ralika baru saja meletakan kunci motornya di atas nakas, kakinya segera melangkah menuju kamar karena suara tangisan yang sejak tadi terdengar di gendang telinganya. Ralika berhenti disebuah kamar, membuka pintunya sedikit kemudian, menatap siapa yang ada di sana. Niken seperti sangat kesusahan menenangkan balita berumur dua setengah tahun itu, walaupun dirinya berusaha sabar agar balita itu tidak menangis lagi, tapi malah tangisan itu semakin kencang.Ralika membuka pintu itu sepenuhnya, sehingga terdengar bunyi decitan, saat itulah Niken menoleh, lalu tersenyum. Ralika mendekat, langsung mengambil alih sang adik yang ada dalam dekapan tantenya itu."Sini Tante biar Ika aja yang Gendong Nayla."Sesaat setelah mendekap sang adik, tak ada lagi suara tangisan, malah sekarang Nayla nampak menatap Ralika dengan mata bulatnya."Memang cuma kamu yang bisa tenang dia kalau lagi gelisah." Niken sedikit menyentuh pipi Nayla.Ralika sadar akan hal itu. Ia memang jarang sekali mempunyai waktu u
"Ra, makasih udah temenin gue beli perlengkapan prakarya."Ralika mengangguk kecil sambil membuka sealt belt, tangannya beralih ingin membuka pintu mobil sebelum El menghentikannya."Ra," panggil cowok itu."Hati-hati ya." Ralika mengangkat sebelah alis. "Takutnya nanti lo jatuh,"Ralika menghela napas, ia kira apa? Ternyata cuman itu. Setelah keluar dari mobil, El menunggu beberapa detik lalu kembali membuka suara. "Jatuh cinta," sambungnya.Setelah berkata seperti itu---sama seperti tadi. Cowok itu langsung melajukan mobilnya dengan cepat, tak menghiraukan tatapan Ralika yang menajam. Sungguh El itu sangat aneh dan ajaib, heran sendiri melihat cowok itu masih sempat menggodanya.Dasar!"Ika."Ralika menoleh ke belakang. Niken berjalan mendekat ke arahnya dengan raut yang kurang mengenakan, wajah khawatir serta ragu tercetak jelas, seperti ingin mengatakan sesuatu tetapi lidah terasa keluh."Ada masalah apa, Tante? Kok tadi nyuruh Ika cepet pulang?" Ralika langsung menanyakan hal yan
El dengan santainya memasuki area rumah sambil bersiul, jarinya memilin kunci motor sambil melirik ke kanan ke kiri. Kondisi rumahnya sangat sepi, seperti tidak ada penghuninya.Cowok itu sedikit heran apalagi ada begitu banyak kulit kacang yang berserakan di lantai, dan ya setau El mamanya itu sangat menghindari makanan itu dengan alasan nanti jerawatan. Oke, El memang tau wanita itu agak sulit dengan yang namanya makan. Makan kacang takut jerawatan, makanan berlemak takut berat badan naik, terus mereka juga selalu melakukan diet yang kadang membuat geleng-geleng."Maaa!"Tak ada sahutan. Yang terdengar hanyalah suara detakan jam, sama sekali tak menunjukan ada orang di sana."Woy!"El terperanjak, merasakan sebuah tepukan disertai teriakan di belakang gendang telinganya. Saat menoleh, seorang cewek berambut pendek dengan topi hitam di kepalanya, sedang menyengir."Bang, muncul dari mana lo?" El sempat menunduk mencari lobang jikalau Mona baru saja muncul dari sana, pasalnya tadi sam