"Apa maksdumu menggulung rambutmu ke atas? kau mau aku tergoda melihat kulit lehermu itu? jangan harap!" kata menohok yang tiba-tiba Barak ucapkan pada Miranda, berhasil membuat Miranda menoleh ke arah suaminya. Tak ada niatan sedikitpun di hatinya untuk menggoda laki-laki angkuh dan sombong seperti Barak. "Aah ti tidak! Aku memang kegerahan. Aku jalan begitu jauh. Sehingga keringat ini membuatku teriksa. Jadi aku ikat saja rambutku, setidaknya ini bisa membuat rasa gerahku sedikit berkurang," jawab Miranda polos. Ia malah menggosok gosok Lehernya, hingga nampak sedikit kemerahan di leher putihnya itu. Lagi-lagi, itu berhasil membuat Barak semakin tak bisa diam. Sebagai lelaki normal, ia tentu merasa tergoda melihat kemolekan tubuh istrinya itu. Walau hanya di pandang dari luar, sudah bisa ditebak, kalau isinya sama mulus dan putihnya seperti apa yang nampak. "Kalau kau terus menggosok lehermu begitu. Aku akan menurunkanmu di jalan sekarang juga!" hardik Barak, yang semakin tak kua
"Cepat turun! perihal barusan tak usah kau anggap serius. Itu hanya kesalahan kecil yang tak akan pernah terulang lagi!" gertak Barak menyuruh Miranda untuk tak mengingat kejadian barusan di mobil. Rasa malu sebenarnya yang sedang di rasakannya saat ini, membuatnya harus bersikap lebih dingin dan kejam, agar Miranda benar bisa melupakan kejadian yang hampir membuatnya tak bisa tidur semalaman. "Lagian juga, siapa yang mau dicium sama dia?" dasar laki-laki aneh!" Miranda yang geram mendengar perkataan Barak, mengelus perutnya, seperti seorang ibu hamil. Barak terus berlalu meninggalkan Miranda yang masih terpaku. seolah tak terjadi apa-apa, Barak sangat pandai menyimpan ekspresi wajahnya dengan keangkuhannya. "Kau pilih Pilihlah! baju mana yang akan kau ambil. Ingat, kau harus memilih pakaian yang sesuai dengan selera Mama!" kata Barak sambil memainkan ponselnya, tanpa sedikit pun menatap wajah istrinya. Miranda hanya berjalan-jalan melihat semua pakaian yang tergantung
"Ceroboh kau ini! sudah tak pandai menjaga penampilan, tak pandai juga kau menjaga matamu?! Hanya membawa barang begini saja, kau tak bisa? Lalu apa kelebihanmu?!" sambil berkacak pinggang, Barak menghakimi Miranda yang jatuh terpeleset. Bukannya menolong, justru dengan seenaknya, Barak memaki istrinya di depan umum. Ia tak peduli seberapa pasang mata menatapnya dan Miranda. Dengan keangkuhannya, Barak mempertontonkan siapa dirinya pada orang yang berlalu lalang. "Tega sekali kamu mas, kenapa sampai hati kamu memarahiku di tempat umum begini? Apa tak bisa kau membantuku, aku sedang kesulitan membereskan semua baju ini?" lirih Miranda sambil menahan tangis yang siap meledak. Barak jongkok, dan memegang dagu Miranda. "Ini hanyalah permulaan, atas keberanianmu menerima lamaran mamaku," sambil memicingkan sebelah matanya, tatapan Barak terlihat penuh dendam. Namun, tiba-tiba sebuah tangan kekar meraih Miranda dan membantunya untuk berdiri, dari ke tidak berdayaannya. "Mbak engg
"Mas... kau tak apa-apa kan?" tanya Miranda yang khawatir dengan kondisi Barak. Namun Barak tak menjawab sepatah kata pun.Ia hanya fokus dengan setir didepannya. Miranda memberanikan diri memegang tangan Barak. Ia berharap, Barak bisa menoleh dan menjawab pertanyaannya. Namun sikap angkuh yang sudah melekat dalam jiwanya, membuatnya tak sedikitpun peduli dengan perhatian Miranda."Lepaskan tanganmu! Berani nya kau memegang tanganku begitu?!" bentak Barak, sambil melepaskan tangan Miranda dari atas tangannya. "Maaf mas, aku hanya_ "Hanya apa? Dasar wanita jalang! Beraninya memegangku. Aku tak suka kau perhatikan!" sungguh hinaan yang keluar dari mulut Barak, telah berhasil mengiris hati Miranda. Sosok yang sangat ia hormati, bisa mengeluarkan perkataan buruk seperti itu? Miranda tak bisa lagi membendung air mata nya. Semenjak tadi ia bertahan untuk tak mengeluarkan air mata, namun ia hanya manusia biasa. Rasa sakit mendengar perkataan yang amat kotor keluar dari seseorang
Saat mereka berdua sedang bersitegang, tiba-tiba nenek mengetuk pintu dari kamar. Belum sempat terucap maaf dari mulut Barak, nenek sudah menggagalkan niat Barak. "Miranda! Ada tamu yang mau bertemu denganmu!" ujar nenek dibalik pintu kamar. Seketika Miranda dan Barak terdiam, mendengarkan nenek berbicara. "Siapa nek?" tanya Miranda. Seingatnya, ia tak mengenal siapa pun di tempat neneknya ini. "Aku keluar dulu mas," ucap Miranda dan bergegas keluar kamar, untuk menemui orang yang nenek maksud. Barak hanya bergeming. Dia tak mau berbicara apapun pada Miranda, yang lebih memilih meninggalkannya sendirian, ketimbang berdiam di kamar bersamanya. Dengan berlari kecil, Miranda menemui tamu yang sudah menunggunya. Langkahnya sejenak ia pelankan, saat melihat punggung seseorang yang berdiri menatap keluar. "Laki-laki? siapa dia? Apa temannya mas Barak?" Miranda bertanya pada dirinya sendiri. Kemudian, untuk memastikannya, ia semakin mendekati lelaki itu. "Ehemm... maaf, den
Seperti biasa, Barak berlalu tanpa menghiraukan Miranda sama sekali. Kedatangan Miller ia jadikan alasan untuk bisa pergi dari rumah nenek. Ia akan membawa segudang alasan untuk mama Anita, agar mama Anita mau mengabulkan keinginannya ,untuk berpisah dengan Miranda. "Hahaha...sebuah alasan yang sangat bagus. Dengan begini, aku bisa dengan mudah melepaskan gadis kampung itu," batin Barak, yang saat ini sedang mengendarai mobilnya. Barak bersiul dengan bersemangat. Betapa dia sangat bahagia karena perkiraannya, pernikahannya dengan Miranda akan segera berakhir dan Barak bisa bebas dari hubungan yang tak membuatnya nyaman. Barak memasang wajah kecewa. Kini, ia tengah bersandiwara di hadapan Mama nya. Sambil sedikit memijit hidungnya agar terlihat merah. Ia memang pandai berakting. Pandangan Anita langsung tertuju pada Barak, ketika anak semata wayangnya itu menginjakan kaki di rumahnya tanpa istrinya. Ia memandang dengan heran. Pasalnya, Mama Anita yakin, kalau usahanya kemarin, denga
"Andai saja dulu aku tak menerima tawaran nenek, untuk menikah dengan Barak, pasti aku takkan selalu merasa kecewa dan sakit hati seperti ini," lirih Miranda menyesal. Namun nasi sudah menjadi bubur. Pernikahannya sudah berlangsung. Tak mungkin jika dia harus meminta berpisah begitu saja. Nenek dan ibunya pasti akan kecewa pada Miranda. Sungguh Miranda berada dalam kebimbangan. Segera ia seka air mata yang keluar tanpa bisa di kompromi itu. Dengan menggunakan tisu, ia hapus tetesan air mata yang kini membasahi pipinya. Miranda keluar dari kamar mandi. Ada hati yang terluka dan tak mudah ia sembuhkan begitu saja, saat mendengar suaminya yang masih menyebut nama mantannya. Mungkin itulah alasan mengapa Barak membenci nya. Miranda duduk di samping Barak, di kasur yang sama. Ia hanya diam, bingung harus melakukan apa. Di lihatnya wajah suaminya yang penuh dengan keringat. Terlihat suaminya yang ke gerahan. Badannya mulai menggeliat kesana kemari. Merasakan panas di tubuhnya. Segera ia
"Ayo panggilkan Barak, kita makan bersama. Perit Mama sudah kapar sekali. Mama sudah tak sabar ingin mencicipi masakanmu!" ujar mama, yang kini sudah duduk di kursi meja makan. Dengan begitu bersemangat dan berantusias, mama menatap lapar makanan dimeja makan itu.Miranda menghela nafasnya sebelum menuju kamar Barak. Ia tahu, perlakuan apa yang akan ia dapatkan dari suaminya, namun ia harus melaksanakan apa yang mama perintahkan. Dengan langkah ragu, Miranda terus melajukan kakinya. "Hrrr... sampai kapan aku begini?" keluh Miranda, yang sebenarnya sudah sangat lelah, walau baru sebentar ia menjadi istri Barak. "Tok tok tok! mas...! sudah siang. Mama menunggumu di meja makan!" Miranda memanggil Barak. Hanya hitungan detik saja, Barak sudah keluar dengan pakaian rapi nya. Tercium aroma bulgary, menjadi ciri khas Barak. Tanpa melirik istrinya, Barak berjalan dengan angkuh dan matanya lurus menatap ke depan. Selamat pagi anak mama! Tumben jam segini baru bangun?" tanya Mama Anita yang