Wanita itu hanya diam memperhatikan interaksi kedua orang didepannya. Tersenyum sinis saat ia melihat senyum Sasa begitu ceria saat mulai bercerita.
Namun sedetik kemudian ia begitu murka saat cucunya mengatakan hal diluar dugaannya.
"Heem, juga aku seneng banget karena ditemenin terus sama mama aku."
Sasa begitu ceria serta lugas saat mengatakannya, membuat hatinya panas hingga lepas kontrol.
"Mama kamu sudah mati!"
Semua orang menatapnya, Sabrian menatap penuh tanya siapa wanita yang baru saja berteriak tersebut.
"Siapa dia, udah tua sih tapi masih oke wajahnya," batinnya memperhatikan wanita disebelahnya tersebut.
"Oma aku takut," cicit Sasa yang bersembunyi dibelakang tubuh Bulan.
"Gpp sayang, nggak usah takut ya."
Sasa mencengkeram kuat lengan Bulan, tubuhnya bergetar hingga mengeluarkan keringat dingin dari tubuhnya.
"Sayang kesini yuk," panggil Sabrina.
"Mama," teriaknya
Bandara begitu riuh ramai, banyak orang berlalu lalang keluar masuk. Namun dari kejauhan seorang laki-laki nampak keluar dari bandara dengan begitu gagahnya. Tubuhnya yang tegab berbalut pakaian kerja, jas tersampir dilengan dengan satu tangan menarik koper. Begitu indah dipandang mata setiap wanita, namun wajahnya yang dingin membuat siapapun bergidik ngeri saat ditatapnya. "Selamat pagi tuan, selamat datang kembali ke indonesia." "Apa kabar kamu," tanyanya. "Tentu baik-baik saja, sesuai dengan yang tuan lihat." Laki-laki itu mengambil alih koper dan memasukkan kedalam bagasi mobilnya. Namun sebelum itu, ia lebih dulu membukakan pintu mobil untuk tuannya. "Kita pulang atau ke perusahaan tuan." "Perusahaan. Saya ingin memberi kejutan untuk papa saya," senyumnya sekilas. Dalam perjalanan ia hanya memandang keluar jendela, mengagumi kota yang sudah lama ia tinggalkan. "Bagaimana tentang informasi yang saya m
Tubuh gadis itu meringkuk disudut ruangan, memeluk lututnya hingga tubuhnya bergetar. Sasa menangis tanpa suara, Lastri hanya diam menatap cucunya dari sofa tempatnya duduk. "Mama," lirih Sasa memanggil Sabrina. "Sasa! Dia bukan mama kamu, " bentak Lastri menakuti Sasa. Didalam mobil Sabrina begitu nampak gelisah, bukan karena rasa takut melainkan ia mengkhawatirkan keadaan Sasa dirumah sendirian. "Tolong lepaskan saya, anak saya dirumah sendirian." "Tutup mulutmu, dia bukan anakmu!" "Terserah kalian bilang apa, tapi tolong lepaskan saya." "Tenang aja," santai mereka semua menikmati jalanan. Mobil itu terus melaju, menembus hamparan rumput disekitar jalan. Pemandangan yang cukup indah namun tak dapat Sabrina nikmati. "Lempar dia keluar," seru salah seorang laki-laki. Mobil masih melaju, namun laki-laki itu membuka pintu penumpang. Dengan teganya ia mendorong keluar tubuh Sabrina dari dalam mobil.
Antonio berjalan mendekati keduanya, semakin mendekat mengikir jarak antara mereka."Sayang, kamu mundur yang jauh ya nak." Antonio yang berusaha menahan amarahnya bersiap mendobrak pintu kamar mandi.Brakk.."Mamaa." Gadia kecil itu berlari ketakutan mencari mamanya.Memeluk erat tubuh Sabrina membuat Sasa sedikit merasa tenang."Bibi, tolong bawa anak saya ke kamarnya,"Nio menarik perlahan lengan Sabrina yang tengah terdiam memandangi kepergian anaknya. Dirangkulnya bahu Sabrina dengan begitu mesra dihadapan Lastri."Apa-apaan ini!" Amuk Lastri yang tak terima dengan sikap Antonio."Saya hanya memeluk istri saya," santai Nio mengejutkan semua orang, termasuk Sabrina yang saat ini direngkuhnya."Keterlaluan kamu. Semudah itu kamu melupakan anak mama Nio," tak terima posisi anaknya tergantikan membuat Lastri begitu murka.Selama ini ia masih menganggap Antonio sebagai menantunya, laki-laki yang
Sabrina begitu kesal dengan semua ucapan Antonio, ingin rasanya ia menenggelamkan laki-laki itu kedasar laut."Maaf ya pak tuan, saya gerah ini," mendorong pelan dada Antonio yang tak bergerak sama sekali."Aneh sekali panggilannya, " mengernyitkan dahinya."Ya terus mau dipanggil apa ?""Suamiku," lantangnya.Sabrina tak bisa berkomentar, ia yang terlalu terkejut hanya diam sambil membuka mulutnya. Dengan gemasnya Antonio menutup mulut Sabrina dengan tangannya."Tangannya," melepas paksa tangan Antonio."Saya cuma takut nanti kemasukan naga mulutny," canda Antonio dengan tampang dinginnya."Lagian juga aneh, ngapain saya manggil suamiku segala.""Kita akan segera menikah.""Menikah ???"Saking kagetnya hingga membuat Sabrina tak mengontrol suaranya. Dengan kencangnya ia berteriak tepat didepan Nio, memekakan telinga siapapun yang mendengar."Jangan aneh-aneh deh kalau ngomong, ming
Darma murka, amarahnya memuncak mendengar ucapan Lastri. Tak habis pikir dibuatnya, mengapa dia orang luar begitu ikut campur. "Jangan egois!" "Papa," Bulan mendekati suaminya, menenangkannya agar tak terbawa emosi. "Hak apa anda melarang anak saya," begitu ketusnya Darma bertanya. Bahkan itu bukan Darma yang selalu ramah. "Dia adalah suami anakku! Aku hanya melindungi posisi anakku dalam keluarga ini," serunya tak ingin kalah. Darma tertawa terbahak-bahak. Ia mentertawakan ucapan yang baru saja Lastri serukan. Posisi? "Apa yang mau anda lindungi disini? Posisi anak anda memang sejak lama sudah mati dalam keluarga ini." "Jangan keterlaluan Darma," teriak Lastri yang mulai terbawa emosinya. "Anak saya sudah mempertaruhkan nyawanya demi melahirkan cucu kalian, anak saya sudah begitu banyak berkorban waktu untuk kelurga ini." "Mempertaruhkan nyawa adalah tugasnya sebagai seorang ibu. Melahirkannya juga adalah
Syan menyeringai saat mendapat pembelaan dari mamanya. Carisa, ia bahkan tak bertanya lebih lanjut lagi tentang masalah anaknya karena selama itu berhubungan dengan Sabrina maka dialah yang salah."Memangnya apa rencana mama?""Kita bakar semua barang-barangnya."Tersenyum puas dengan ide mamanya, Syan mencoba menghubungi Sabrina. Namun tak satupun panggilan itu mendapat respon dari Sabrina."Ih kurang ajar banget sih," emosinya."Ada apa lagi Syan," dengan begitu sabar Carisa bertanya."Ini mah, masa Sabrina nggak angkat panggilan aku sih."Carisa mengambil ponsel yang Syan genggam, digenggamnya kedua tangan anaknya sambil berkata," Itu nggak penting. Sekarang yang terpenting adalah anak mama ini makan biar sehat.""Ahh, mama so sweet deh.""Tapi ya mah, barang apa yang kita bakar nanti. Secara dia kan nggak punya barang berharga dirumah ini?" lanjut Syan berfikir."Kata siapa nggak punya," dengan tel
Esok pagi yang begitu cerah, Sabrina tengah sibuk menyiapkan sarapan saat tiba-tiba saja Nio datang menghampirinya."Masak apa," tanyanya menyandarkan punggungnya pada lemari es."Air.""Baru tau saya kalau air berbentuk butiran," ledeknya."Punya mata bisa kali lihat sendiri saya masak apa pak," malas Sabrina berdebat."Mamaaa," Sasa berlari dari anak tangga mencari mamanya. Gadis kecil itu berlari sambil terus menangis memanggil-manggil mamanya."Mama, mama.""Pak dari pada nganggur disini bisa kali samperin anaknya, tuh nangis loh dia." omel Sabrina menatap Antonio yang hanya diam menatapnya."Baiklah, sesuai permintaan nyonya Nio saja.""Dih apaan sih," geli Sabrina mendengar Nio memanggilnya nyonya.Dipagi yang sama, Carisa juga tengah sibuk namun bukan menyiapkan sarapannya. Carisa terlihat sibuk mencari sesuatu didalam gudang."Mana sih," gumamnya terus saja membongkar barang satu persatu."Du
Kotak merah, kotak yang dulu digunakan Carisa untuk menyimpan benda milik Sabrina. Benda berharga dan satu-satunya milik Sabrina."Ternyata disitu ya," girangnya.Kalung putih bersinar, berhiaskan permata cantik berwarnakan ungu menghiasi kilau indahnya. Kalung yang menggugah untuk dimiliki oleh siapapun, tak termasuk Carisa."Kalau saja dulu papa nggak ngelarang aku buat ambil ini, pasti sekarang udah jadi milik aku.""Suruh bocah tengik itu kesini dulu aja," segera ia mengirimkan pesan singkat pada Sabrina untuk datang menghampirinya."Beres," senangnya. Ia pun segera pergi meninggalkan gudang dan membersihkan dirinya dari debu yang bersarang ditubuhnya.Sabrina begitu heran saat menerima pesan singakat dari Carisa, dalam benaknya ia bertanya-tanya mengapa ia diminta datang setelah diusir keluar dari rumah."Ada apa mama manggil aku ? Benda apa ya," gumamnya penuh tanda tanya.Namun ia tak ingin banyak berfikir, h