Ganis berbaring gelisah di atas kasur di atas dipan reotnya. Ingatannya melayang pasa saat Ramon menciumnya. Entah kenapa rasanya masih ia ingat. Ia kemudian bangun dan mengibaskan kepalanya. Ia harus melupakan pria itu. Pria itu bukan pria baik dan ia wajib membencinya. Ia akan keluar saja. Ia tak bisa memejamkan matanya barang sejenak pun. Bayangan kepergian Marco dan juga perbuatan bejat Ramon silih berganti mengisi mimpinya membuatnya nyaris tak bisa terlelap. Perasaannya campur aduk. Ia turun dari ranjangnya. Ia akan kembali bekerja di kedai minuman itu dulu sebelum ia mendapatkan pekerjaan baru. Tanpa ponsel dan KTP mencari pekerjaan akan menjadi lebih sulit. Ganis teringat tas favoritnya yang juga ketinggalan di mobil Ramon. Ia menyadari kalau ia masih memakai kemeja dan juga celana dari lemari kamar dimana ia kehilangan kegadisannya. Badannya sebenarnya belum sehat benar tapi ia beranikan untuk mengguyur tubuhnya malam itu. Ia ingin membersihkan sisa-sisa perbuatan Ramon. "A
Sofia terus menggoda Ramon. Ramon tak bisa mengenyahkan wajah Ganis. Ramon kemudian mulai menguasai permainan. Dengan bayangan Ganis dipikirannya ia mulai membalas sentuhan Sofia. Keduanya segera terlibat dalam pergumulan panas. Sofia mulai mendesah dan menggelinjang oleh perlakuan Ramon. Sampai akhirnya keduanya mencapai klimaks. "Ganis!!" seru Ramon saat ia merasakan ledakan yang kuat dalam diri Sofia. Sofia yang baru saja mencapai puncak langsung kesal. Kenapa Ramon tak menyebut namanya seperti biasanya. Siapa Ganis itu?Ramon segera terkulai di samping Sofia. Sofia ingin protes dan bertanya tentang siapa Ganis tapi Ramon telah memeluk dan mencium dahinya kemudian segera memejamkan matanya. Sofia yang biasanya langsung ikut terlelap bersama Ramon kini tak bisa lagi untuk terlelap. Sebuah nama yang diucapkan Ramon tanpa sadar tadi mengusik pikirannya. Seharusnya ia tak cukup khawatir dengan hubunganya dengan pria dipelukannya itu. Apalagi sejak kematian Marco, Ramon telah mengajakn
"Aku sudah rusak. Lantas buat apa aku menjadi gadis bermartabat. Biarkan jadi jalang sekalian. Bukannya dari awal kau menyebutku jalang?" pekik Ganis histeris. Ia sudah lelah sebenarnya. Baginya sama saja ditangkap Dannis atau malah bersama Ramon saat ini. Ganis terus meluapkan emosinya pada dada bidang Ramon.Ramon dengan sedikit ragu akhirnya membelai rambut Ganis lembut. Ia kehilangan kata-kata. Ia hanya bisa mencoba untuk menenangkan Ganis dengan mengusap-ngusap punggungnya. Mata gadis itu tampak memerah dan sembab."Biarkan aku memperbaiki yang rusak itu Ganis," ucap Ramon trenyuh. Ia sudah menghancurkan masa depan seorang gadis yang sebenarnya butuh arahan dan bimbingan. Menurut informasi ayah Ganis sudah pergi entah kemana. Kini ia hanya tinggal dengan ibu dan ayah tirinya. Kalau tak salah ayah tiri Ganis sedikit mesum sampai Ganis memilih berpenampilan tomboy dan tak mau berlama-lama tinggal di rumah."Jangan ucapkan jalang lagi," sahut Ganis lirih. Kini ia mulai berhenti teri
"Kau ingin aku jadi pembantumu?" seru Gnais terpaksa menghabiskan oseng sayurnya. "Terserahlah kau menyebut apa. Aku jarang mengunjungi bungalow ini. Aku hanya ingin ada yang merawat bangunan ini sampai mungkin suatu saat ada yang menyewa. Aku juga ingin saat aku datang berkunjung ada seseorang yang menyiapkan makanan dan keperluan lainnya," jelas Ramon lebih detail. Ganis mengankat bahu tak bisa putuskan. "Entahlah apa aku bisa tinggal di rumah saja," ucapnya berpikr. Ia masih saja takut kalau Ramon akan memaksanya melakuakn hal yang tak seharusnya padanya lagi. Ramon tahu tak semudah itu membuat Ganis percaya padamu. Mungkin masih butuh waktu. Ia hanya ingin menebus kesalahannya dengan menjamin kehidupan Ganis. Ini juga sebagai bentuk hormat pada Marco sebagai sahabat gadis itu. "Kau masih bisa menikmati masa mudamu. Tentu saja dengan hal positif. Kuliah mungkin bisa jadi pilihanmu," tawar Ramon bangkit dari duduknya. Ia segera berjalan menuju kamar.
Setelah selesai berdoa masih dalam kehenngan mereka kembali berjalan beriringan menuju mobil. Bunyi dering ponsel Ramon menghentikan langkah mereka. Ganis ikut berhenti sambil mengedarkan pandangan di sekitar makan."Bos aku sudah dapatkan Dannis. Dia ada di ruang penyekapan," ujar anak buah Ramon yang lain."Tahan saja di situ. Kalian juga boleh sedikit bermain-main dengannya," ucap Ramon kini menatap pada Ganis.Ganis mendengar kata bermain-main dengan sedikit berjengit. Seperti cerita teman-teman Marco kalau Ramon telah menyekap mereka. Ia membayangkan Dannis yang sekarang sudah babak belur dianiaya anak buah Ramon."Nis!" panggil Ramon masih dengan ponsel terhubung dengan anak buahnya."Ya," sahut Ganis menoleh."Kata teman-teman Marco, Dannis telah melecehkanmu. Kemarin juga anak itu berusaha untuk menculikmu. Sekarang Dannis sudah ada di tangan anak buahku. Kau bisa membalas Dannis dengan tanganmu sendiri. Atau mungkin kau bisa menyuruh anak buahku membalaskannya untukmu," tawar
Kali ini Ganis duduk di jok depan di samping Ramon. Meskipun Ramon masih terlihat tidak nyaman dengan keberadaan kucing di pangkuan Ganis."Kau tak perlu memberikan kartu tabungan pada ibuku. paling juga akan dihabiskan ayah untuk fiya-foya," kata Ganis menatap jalan raya."Ayah tirimu terlalu mengerikan dan ibumu sangat bisa dimanfaatkan. Aku hanya memberi sedikit karena telah mengizinkanmu bekerja denganku,""Aku tak harus bekerja di tempatmu," kata Ganis masih enggan untuk menerima tawaran Ramon. "Kau mau tinggal dimana? tak ada yang lebih aman selain kerja di bungalow. memang kau punya pilihan lain?" ujar Ramon sambil terus menyetir membelah jalanan kota yang lumayan padat. Ganis terdiam karena memang tak punya tujuan. "Tenang saja aku juga tak tiap hari pulang ke bungalow. Beberapa Minggu ke depan aku akan sangat sibuk bekerja. Sambil menjaga bungalow kau bisa melakukan apapun yang kamu mau," jelas Ramon berusaha membujuk Ganis."Apapun itu?" mata Ganis menatap kaca spion dari
Malam itu di sudut gemerlapnya kota Buenos Aires tampak Sofia sedang setengah mabuk menikmati pesta barbeque di salah satu rumah sahabatnya semasa sekolah dulu. Sofia sengaja mengikuti acara semacam reuni itu karena ia juga sudah kangen acara pesta yang merupakan budaya negaranya. Hampir 2 tahun tinggal di Indonesia membuatnya sangat menyukai segala hal tentang kota asalnya. "Kau Benar-benar akan menikah Sofia?" tanya Sebastian. Pria yang juga pernah menjalin hubungan degan Sofia semasa kuliah dulu. Matanya menatap tubuh Sofia yang saat itu tampak kian menggoda dengan gaun yang menampilkan lekuk tubuhnya. "2 bulan lagi. Bersama Ramon Soares. Abyaksa Soares. Pria paling diinginkan di seluruh kota?" ujar Sofia yang tak bisa menahan ucapanya. Minuman telah menghilangkan kewarasannya. "Kau tidak sepenuhnya mencintainya Sof," kata Sebastian yang memang lebih mengenal Sofia. Awalnya Sofia bersama dengan Ramon hanya karena keinginan ayahnya yang memang telah mengabdi pada perusahaan keluar
Ciuman lembut itu perlahan menjadi pagutan kecil yang segera menjadi ciuman menuntut tatkala Ganis tanpa sadar membalas ciuman Ramon. "Kak Ramon aku mencintaimu," gumam Ganis tersenyum masih dengan mata terpejam. Ada kehangatan yang menjalar di dada Ramon mendengar perkataan Ganis. Jantung Ramon berdesir setelah sekian lama. Ternyata di alam bawah sadarnya Ganis menekan perasaan cintanya pada dirinya. Ramon rasa ini sungguh tak benar. Harusnya ia tak boleh merasakan ini. Perasaan berbunga-bunga seperti seorang remaja. Ia sudah punya tunangan dan umurnya juga sudah hampir kepala empat. Sangat tak pantas. Ramon segera bangkit untuk mengambil bantal dan juga selimut untuk Ganis. Ia ingin Ganis tetap menjadi gadis lugu dan tak ingin merusaknya dengan hubungan tanpa harapan.***** Ganis terbangun dan merasakan sebuah beban di perutnya. Ia melihat Katy tengah tidur di dekat kepalanya. Ia sedikit terkejut karena Ramonlah yang kini tertidur di atas perutnya. Ia menatap sekeliling. Di luar