Share

Bab 6 Rumah Neraka

"Mama tidak perlu datang ke sekolah, Oma Rosie dan Mama Soraya yang akan mengurus semua keperluan sekolah," kata Amanda, menutup pintu mobil agak kasar. Mobil mewah itu pun meluncur di jalanan, membawa Amanda pergi.

Hah, Mama Soraya? Aku tersenyum sendiri, rasa getir melingkup di dada.

Aku merogoh ponsel yang berdering dari dalam tas, Mandala menelepon.

"Halo," sahutku sembari berjalan kembali ke motor.

"Apa bisa datang ke kantorku? Kita perlu bicara tentang Amanda."

"Bisa, tunggu saja." Aku langsung mematikan panggilan. Kebetulan sekali aku juga ingin bicara dengan Mandala.

Waktu sudah menunjukkan pukul empat sore ketika kakiku berderap di lobi kantor Mandala. Aku berhenti di meja resepsionis, bertanya ruangan Mandala.

"Anda sudah ditunggu Pak Mandala. Silakan ikuti saya."

Aku mengikuti perempuan mungil itu, sepatu high heels-nya menimbulkan bunyi di lantai. Beberapa karyawan terlihat mulai meninggalkan meja untuk pulang.

"Silakan masuk," ucapnya setelah mengetuk pintu.

Mandala duduk di balik meja kerjanya, dia melepas kacamata--mengulas selarik senyum. Kemudian dia berdiri sambil berkata, "Silakan duduk, Hasna. Apa kamu akan terus berdiri di depan pintu?"

Aku duduk di sofa berwarna hitam, mengamati ruang kerja Mandala yang bernuansa monokrom.

"Aku ingin memberitahu, kalau Amanda pindah--"

"Aku sudah tahu, satu jam yang lalu,"potongku cepat. "Amanda sudah pindah sekolah sejak lima hari yang lalu, kenapa baru sekarang aku diberitahu?!"

"Lima hari yang lalu?" Mandala bertanya heran.

"Iya."

Mandala mengusap wajahnya, tercenung sejenak. "Tapi, baru tadi pagi mamaku memberitahu."

"Apa kamu tidak memperhatikan seragam Manda?" tanyaku jengkel. "Orang tua Manda itu kamu, bukan Mamamu. Aku minta, mulai detik ini, setiap keputusan mengenai Amanda aku harus tahu!"

"Maafkan aku," ucap Mandala.

"Seharusnya kamu tidak pernah kembali, teruslah bersembunyi di luar negeri. Kehadiranmu hanya merusak hubunganku dengan Manda." Aku beranjak dari sofa. "Bilang ke Mamamu jangan meracuni pikiran Amanda," lanjutku, lalu melangkah ke pintu.

"Hasna, maafkan aku ...."

"Tadi kamu sudah minta maaf," sahutku.

"Untuk masa lalu kita."

Tanganku yang sedang memutar handle pintu, berhenti bergerak.

"Aku belum sempat meminta maaf atas kesalahanku dulu, yang telah melukaimu." Ucapan Mandala membuatku terpaku.

"Semua sudah berlalu, hiduplah di masa sekarang," tukasku, membuka pintu.

"Tetapi, aku ingin memutar masa lalu," ungkap Mandala.

Kepalaku menoleh, kutemukan ekspresi wajah Mandala yang muram. Matanya lekat menatapku. "Seandainya waktu bisa berputar kembali, apa yang ingin kamu lakukan?"

"Tetap berada di sisimu apa pun yang terjadi," jawab Mandala.

"Jika waktu bisa diputar, aku tidak ingin bertemu denganmu," ujarku, berbalik dan meneruskan langkah ke luar dari ruang kerja Mandala.

Aku menghela nafas, melepas berat yang menjerat jiwa. Tidak ada masa lalu yang bisa diubah.

***

Mbak Niken masih berada di ruang tengah, dia belum pulang ke rumahnya sendiri. Perempuan yang usianya lebih tua dariku itu sedang ribut dengan suaminya, masalah momongan yang tidak kunjung hadir.

"Masih betah mengeram di rumahku?" tanyaku sembari tidur di atas karpet lusuh dan mengangkat kedua tangan ke atas. Meregangkan otot yang kaku.

"Aku boleh menginap di rumahmu, ya?"

"Kalau bertengkar jangan lari, diselesaikan baik-baik lalu berlanjut di atas ranjang." Aku menggoda Mbak Niken.

"Sialan kamu, Hasna," umpat Mbak Niken, satu bantal melayang, jatuh tepat di mukaku. "Kamu tuh, cari lelaki sana. Menikah. Biar tidak kesepian."

"Kalau jodoh pasti bertemu di pelaminan," selorohku.

"Ah, kamu masih mencintai Mandala. Nyatanya sampai sekarang masih betah sendiri."

"Ngawur."

"Nama Amanda pun singkatan dari Abimanyu Mandala. Cintamu pada Mandala tidak berubah sedikit pun," ujar Mbak Niken.

"Tambah ngawur, sok tahu." Aku mendengus kasar.

"Ngomong-ngomong soal Amanda, bagaimana?"

"Dia sudah pindah sekolah," jawabku, memejamkan mata yang lelah. "Mereka tidak memberitahuku terlebih dahulu."

"Paksa saja Amanda, biar balik ke rumah ini lagi," saran Mbak Niken, ngawur lagi.

"Aku tidak akan memaksa Amanda, Mbak. Biarkan dulu." Aku menarik nafas dalam. "Aku akan terus memantaunya, saat ini hanya doa yang menjadi tumpuanku."

Mbak Niken hanya mengangguk-anggukan kepalanya. Dia ikut tiduran di atas karpet, kami sama-sama memandangi plafon yang catnya sudah mengelupas.

"Aku bermasalah karena tidak kunjung punya anak, sedang kau bermasalah dengan anak," kata Mbak Niken. "Ada yang mengetuk pintu, tuh ...."

"Iya, aku dengar. Baru saja ingin istirahat, ada yang mengganggu," keluhku, menyeret langkah kaki dengan malas.

Benar-benar membuatku langsung merasa muak, Bu Rosie sudah berdiri dengan angkuh. Mau apa lagi perempuan itu?

"Ya?"

"Aku mau pinjam akta kelahiran Amanda," ucap Bu Rosie.

"Sebentar, ya." Aku tidak mempersilakan masuk Bu Rosie, karena dulu dia pernah berkata 'najis masuk ke rumahku', jadi kubiarkan dia berdiri di teras. Aku mengambil satu lembar fotocopy akta kelahiran Amanda. Lalu kembali keluar.

Kuulurkan satu lembar fotocopy pada Bu Rosie. Keningnya berlipat-lipat saat membaca akta kelahiran, matanya nyalang tajam.

"Kenapa tidak ada nama Mandala?"

"Bukannya Bu Rosie mengajukan pembatalan pernikahan kami, Bu Rosie juga yang memisahkan kami. Ya, tidak mungkin ada nama Mandala. Karena hanya aku orang tua Amanda," jelasku.

"Harusnya kamu lebih mementingkan Amanda ketimbang egomu!" Suara mantan mertuaku itu memekik.

"Terserah aku." Aku menyilangkan kedua tanganku di dada. "Bu Rosie yang terhormat, tolong jangan meracuni pikiran Amanda dengan menjelekkan diriku. Apa Amanda tahu, drama kolosal yang kau lakukan untuk memisahkan aku dari Papanya?"

"Kau--" Bibir Bu Rosie mengunci sendiri. Dengan bersungut-sungut dia pergi dari rumahku.

Kepalaku tambah berdenyut pening, tidur di balik selimut adalah tempat paling nyaman. Bisa menguapkan rasa sedih yang berkecamuk.

***

"Mak, beli mie instan kuah dua, sawi hijau satu ikat. Berapa, Mak?"

"Delapan ribu," jawab Mak Rum. Dia mengambil mie instan dari rak. "Amanda sekarang tinggal sama Papanya? Sudah lama tidak kelihatan."

"Iya, Mak."

"Kamu pasti kesepian, ya, Hasna?"

"Sudah mulai terbiasa," jawabku seraya menyodorkan uang sepuluh ribu. Setelah menerima kembalian, aku mengembangkan payung. Melangkah perlahan pulang ke rumah.

Angkasa sungguh gelap gulita, kadang kilat berbekas membentuk garis panjang. Malam yang sangat kaku dan dingin.

Aku mengecek pesan di ponsel. Amanda masih mengabaikan pesan-pesan yang kukirim, hanya dibaca atau dibalas seenaknya. Telepon pun tidak pernah diterima. Dia semakin menguji kesabaranku.

Ada mobil yang tidak asing terparkir di pinggir jalan, tepat di depan rumahku. Tampak Amanda dan Mandala sedang duduk di teras.

"Mama, dari mana, sih?"

"Mama beli mie instan dari warung Mak Rum." Aku meletakkan payung, kemudian memasukkan anak kunci pintu.

"Ih, makanan tidak sehat."

Aku tidak menghiraukan komentar Amanda. "Mari masuk."

Amanda langsung masuk, menyenggol bahuku dengan kasar. Terlihat jelas dia tidak suka berada di rumah ini. Pintu kamar di tutup keras oleh Amanda.

"Malam ini Manda akan menginap di rumahmu," ucap Mandala.

"Kamu tidak perlu memaksanya," sahutku.

"Dia harus dipaksa," tandas Mandala. "Eh, aku boleh buat mie instan di rumahmu? Sudah lama sekali aku tidak makan mie instan."

"Boleh," jawabku. Sedetik kemudian aku merasa menyesal, seharusnya aku tidak mengizinkan Mandala. Ya, sudahlah.

"Aku akan ke warung beli mie instan."

"Ehhh, tidak perlu. Aku sudah beli," cegahku.

Sementara aku memasak mie instan, Mandala duduk di kursi meja makan. Aku memasukkan telor, dua cabe rawit utuh dan segenggam sawi hijau ke dalam mie instan. Hmm, aromanya menggelitik perutku.

Aku menaruh mie instan di meja makan. "Makanlah."

"Terima kasih, Hasna." Mandala mengambil garpu.

Kami berdua tidak bicara, menikmati mie instan masing-masing. Sesekali aku memperhatikan Mandala, sepertinya dia memang sudah lama tidak makan mie instan. Atau bisa jadi dia kelaparan. Mandala menghabiskan mie instan sampai tak bersisa sedikit pun.

"Besok aku akan menjemput Amanda," kata Mandala setelah berpamitan. Dia berlari kecil menuju mobilnya.

Aku mengunci pintu, kembali ke dapur, membersihkan meja dan mencuci piring.

"Mama, masih mencintai Papa?"

Amanda mendadak muncul, membuatku terkejut. "Kamu mengagetkan mama."

"Mama, mau merebut Papa dari Mama Soraya?"

"Pertanyaan macam apa itu?" Aku memandangi Amanda.

"Siapa tahu Mama ingin kembali menjalin hubungan dengan Papa," papar Amanda, enteng.

"Tidak mungkin Mama merebut Papa dari Soraya," tegasku, mengelap tangan yang basah.

"Baguslah, karena aku lebih suka Papa tetap berdampingan dengan Mama Soraya. Ah, gerah sekali di dalam kamar ...."

"Nyalakan kipas anginnya," sahutku.

"Rumah ini benar-benar seperti neraka, kumuh dan sempit, aku pasti tidak bisa tidur."

Aku mengumpulkan kesabaran untuk tidak marah, aku berjalan masuk ke kamar Amanda. Mengambil tote bag miliknya.

"Mama akan pesan taksi, pulanglah ke rumah Papamu." Aku menyodorkan tote bag Amanda.

Amanda bergeming.

"Rumah ini memang kumuh, tetapi telah menaungimu selama 15 tahun," ujarku. "Pulanglah, supaya kau bisa tidur nyenyak."

Walaupun sebenarnya, malam ini aku ingin sekali tidur di samping putriku, mengobrol sebelum tidur, bercanda seperti dulu.

Kenyataannya, harapanku menguap jauh.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status