Hari ini, secara mengejutkan mbak Yayuk datang bersama mbak Nur dan Siti. Begitu hebohnya mereka saat melihtku, untungnya ibu sudah berangkat rewang sejak pagi tadi.Hajatan tempat bu Ifah memang masih besok, tapi ibu sudah ditunjuk jadi koki utama, jadi harus datang lebih pagi untuk mempersiapkan segala sesuatunya besok. Ibu memang sudah biasa mengurusi masak untuk hajatan besar. "Kamu tau ngak, aku memvideo full ibumu yang berakting kemarin dan dia berhenti menangis saat semua barang di masukkan ke dalam rumahku. Nih lihat!". Aku memegang ponsel mbak Yayuk. Ibu menangis, meronta dan meraung didalam rumah lalu berhenti saat semua barang itu masuk ke dalam rumah mbak Yayuk. Akmal bahkan lebih sibuk membuat status di banding menenangkan ibunya yang kesurupan. Sungguh, ibu yang berakting, aku yang malu sendiri. "Akmal bikin status lagi nih"Mbak Nur memberikan ponselnya padaku, aku melihat ponsel mbak Nur. Ada kiriman screenshot dari adik iparnya, aku baru ingat, adik ipar mbak
Setelah semalam kuposting juga video lain yang direkam mbak Yayuk. Karena berita itu, bahkan beberapa pembeli membatalkan pesanannya. Bayangkan berapa kerugian yang aku tanggung!Aku juga harus membela diriku sendiri. Mana bisa aku biarkan orang menilaiku minus, sementara apa yang mereka bilang tak benar sedikitpun. Arya bahkan menelpon meminta penjelasanku atas sikap ibu dan Akmal, bisa-bisanya mereka membohongi publik.Hari ini aku putuskan untuk menemui mereka, coba kulihat seberapa banyak mereka akan membela diri. Mbak Yayuk menjemputku dengan mobilnya dan aku menuju rumahku sekarang.Sampai di sana aku terkejut, banyak orang di depan rumah ibu, bahkan mobil mbak Yayuk tak bisa bergerak cepat. "Ada Apa sih mbak?""Nggak tau, tadi mbak berangkat belum ramai begini"Mbak Yayuk pun binggung dengan situasi ini, dia masih sibuk menyetir sementara aku membuka kaca jendela saat melihat Siti."Siti, ada apa?""Mbak Sari?" Siti tanpa diminta langsung masuk ke dalam mobil, dia duduk di bel
Wajah ibu memutih, melihat kemarahan mbak Asya. Akmal yang sejak tadi menatapku nyalang bahkan menunduk karena takutnya.Mbak Asya memang terkenal dengan galaknya, bahkan tak segan memaki siapapun yang menganggu ketentramannya. Terlebih selama ini, mbak Asya rajin mengirim uang pada ibu."Tenanglah mbak" Aku memintanya tenang. Suaranya sudah melengking menusuk telinggaku."Ini semua salah Sari, Sya! Ibu tidak tau dari mana video itu berasal." ibu menunduk, menjawab pertanyaan mbak Asya. Aku hanya tersenyum kecut mendengarnya."Ibu yang berada di video itu, masih mau bilang tidak tau? Kamu Sari, jelaskan!""Jangan membentakku!"Aku menatapnya tajam, enak saja dia main bentak sesuka hatinya. Dia pikir aku takut padanya."Kenapa kamu berteriak! Jaga bicaramu padaku. Kamu itu istri Aldo, jadi hormati aku!" Dia melipat tangannya di depan dada."Lagian bagaimana bisa kamu dibilang mencuri oleh ibu mertuamu sendiri, apa memang kamu terbiasa mencuri?"Aku memutar bola mata malas, melipat tang
"Sari!"Mbak Asya berdiri di pagar rumah ibu, aku sudah ada di depan rumah mbak Yayuk, saat mbak Asya tiba-tiba menyusulku dari belakang. "Bisa kita bicara dulu?"Aku melihat keadaan sekitar, setelah akhirnya aku menganggukkan kepala. Kuputuskan menggajaknya masuk kerumahku sendiri. Aku selalu membawa kunci di dalam tasku."Masuklah mbak"Aku terkejut, rumah ini tak seperti keadaan rumah terakhir saat aku tinggalakan. Baru beberapa hari aku pergi, rumah ini sudah meirip tempat pembuangan sampah."Ada apa ini Sari, Kenapa berantakan sekali?"Aku dan Mbak Asya memandang tumpukan mangkok di meja, bungkus mie instan. Termos air panas di lantai, sisa nasi bungkus, dan entah kuah bekas apa hingga kecoklatan di mangkok."Duduk diteras saja mbak" Aku tutup kembali pemandangan yang membuat mataku sakit bahkan perutku mual."Aku ingin kau jawab jujur Sari, apa betul selama ini kamu hanya diberi satu juta oleh Aldo" mbak Asya menatapku lekat.Kuhela nafas perlahan. "Iya mbak, bahkan dua bulan in
Hari ini aku mengurus surat gugatan. Mbak Yayuk dan mbak Nur kembali menjemputku. Aku sudah bilang akan mengurusnya sendiri, namun mereka tak tega, membiarkan aku berjalan sendiri dengan kaki yang sakit.Mereka menyarankan aku menemui pengacara. Karena aku ajan memperjuangkan rumah itu, sepertinya aku memang butuh pengacara. Kutemui seorang pengacara, kenalan suami mbak Nur yang seorang pemborong besar. Kami berencana bertanya-tanya dulu tahapan perceraian dan beraba biayanya untuk membayar mereka.Aku menceritakan dulu duduk persoalan dalam rumah tanggaku. Mereka mendengarkan dan memberikan masukkan."Kapan mbak siap, kami akan tunggu. Nanti akan saya carikan pengacara yang bagus." Seorang lelaki paruh baya memandangku. Aku hanya terdiam."Jika boleh tau, berapa biaya untuk seluruh proses ya pak? Kuberanikan diri bertanya Sebab tak ada banyak tabungan aku miliki sekarang."Sekitar dua puluhan mbak, itu jika segera selesai, jika membituhkN banyK waktu, biayanya tentu menyesuaikan" A
Ibu menangis terisak, mendengar isi surat Pakde Azhari. Aku ingat betul wajahnya. Dia dulu sering mengantarku sekolah. Saat itu usiaku tujuh tahun. Budhe Sukma meninggal karena sakit. Meninggal bersama janin enam bulan didalam kandungan. Janin yang di nanti begitu lama oleh pakde dan budhe. Namun Allah memanggil mereka bersamaan.Setelah pemakaman budhe, aku ingat pakde mengamuk, memecahkan barang-barang dirumahnya. Dua bulan lebih pakde tak mau bicara. Hanya aku yang dia respon saat kuberikan minum atau makan. Ya, mbah ti sering memintaku memberikan makanan pada pakde. Sebab hanya aku yang diterimanya dengan baik.Hingga suatu pagi, pakde tak ada dirumah. Tak dapat dicari dimanapun. Dan meninggalkan surat yang isinya jangan mengharapkan dia hidup lagi. Dan semua orang diminta untuk melupakannya.Sejak saat itu, tak ada lagi kabar pakde Azhari. Tak sedikitpun kami tau dimana dia. Hidup atau mati. Bahkan ketika mbahti dan mbah kakung meninggal pakde tak datang. Dan sekarang, orang-ora
"Sari!" Suara terkejut mas Aldo dari atas ranjang. Remang kulihat pergerakan lain dibelakangnya. Apa ada orang lain bersamanya?"Mas, ada siapa?"Suara perempuan di belakang mas Aldo. Ku buka tirai dan jendela kamar. Nampaklah dua manusia itu terduduk di atas ranjang. Matanya menyipit karena silaunya cahaya."Kurang ajar kamu mas!"Kulempar mereka dengan berbagai benda di atas meja rias. "Sari, sabar sari. Jangan begini""Aduh sakit mas, aduh" Suara perempuan itu meminta perlindungan mas Aldo. Mas Aldo memeluknya. Ku angkat kursi rias karena melihat mereka berpelukan. Mas Aldo berdiri hanya dengan celana pendeknya."Jangan Sari. Letakkan" Pintanya dengan suara memelas."Mas!" Perempuan itu memanggil mas Aldo. Aku menatapnya nyalang."Turun kamu dari ranjangku!" Aku berjalan mendekatinya. Mas Aldo memasang badan. Panas sudah dadaku melihatnya lebih membela perempuan itu dibandingkan aku."Kamu membelanya mas? Iya!""Bukan membela, mas hanya takut kamu menyakitinya"Aku menatap tak per
"Apa maksudmu tak ada yang boleh tinggal dirumah itu!"Mas Aldo mengulang kalimatku dengan nada yang lebih tinggi."Sampai putusan sidang, kamu atau aku. Kita sama-sama keluar rumah itu""Tidak bisa!" Ibu menatapku tajam."Kenapa tidak bisa, Ibu takut rumah itu jatuh ketanganku? Atau ibu takut anakmu dan pacar barunya itu tinggal dirumah ini? Seperti ibu yang dulu keberatan juga aku tinggal disini" Sekalian saja aku bongkar sikap ibu mertuaku selama ini. Semua mata menatap tak percaya. Ibu nampak salah tingkah."Pak RT, maaf. Jika pengurus disini masih mengizinkan rumah itu ditempati mas Aldo dan perempuan itu, saya akan membawa masalah ini kekantor polisi" Ancamku. Meski tak akan aku lakukan. Enak sekali jika hanya masuk penjara, bisa ditebus uang, bahkan mungkin hanya kurungan beberapa bulan. Aku ingin lebih dari itu. Aku ingin lima tahunku di bayarnya setimpal, rasa sakitku terbayar lunas, bahkan penghianatan ini juga!"Bagaimana mas Aldo, saya serahkan pada mbak Sari mau lapor a