“Arif, maksudnya apa? Ibu tidak mengerti!” Pelan-pelan kutanya anakku agar mau bercerita kembali.
“Sepeninggal Ibu, Ayah bilang tidak usah sekolah karena hanya membuang-buang uang. Awalnya aku keberatan karena aku sedih harus berpisah dengan Bu Guru dan teman sekelas tapi ayah malah memukulku dengan sapu, ayah juga menamparku, ayah bilang aku harus menurut apapun perkataan ayah dan tante Mala,” jawab Arif sambil memainkan robot yang dibawa Tuan Rey.
“Jadi selama ini kamu tidak sekolah?” tanyaku memastikan?
Arif menggeleng.
“Bagaimana dengan Adikmu?” tanyaku lagi.
Dia juga tidak sekolah, Bu. Kadang aku kasihan liat Ririn soalnya Tante Mala menyuruh Ririn mengerjakan semuanya, dari bersih-bersih sampai memasak. Kalau ada yang tidak sesuai pasti ditampar. Kalau aku membantu pasti aku juga ikut dipukul.”
Pandangan mataku tiba-tiba kabur, sekuat tenaga aku menahan agar tak menangis. Ibu mendekat dan mengelus pundakku, seakan menguatkanku. Kulihat juga raut wajah Tuan Rey berubah, entah apa aku tidak mengetahuinya.
“Tetap pancing Arif untuk menceritakan semuanya sebagai bukti ke polisi, aku sudah merekamnya.” Tuan Rey berbisik padaku.
“Arif, kalau boleh tahu apa yang terjadi setelah Ibu pergi?”
Arif hanya diam.
“Tidak apa-apa kalau Arif belum bisa cerita, Ibu tidak memaksa.
“Permisi, waktunya Arif minum obat.” Datang seorang suster membawakan obat untuk arif.
“Iya, Suster.” Aku menerima obat darinya.
“Yuk, Nak minum obatnya dulu biar cepet sembuh dan bisa pulang.” Aku mengambil segelas air minum untuknya.
Prang!
Gelas jatuh dan pecah. Arif menghempaskan gelas itu dengan tangannya.
“Aku tidak mau sembuh, aku tidak mau pulang. Aku mau di sini saja biar ayah tidak memukulku. Ayah jahat! Aku benci Ayah!!” Arif berteriak sambil menutup kepalanya dengan tangan.
“Ya, Allah ... Arif.” Aku panik. Suster datang dan menyuntikkan obat penenang. Agak susah memegangi Arif yang masih berteriak dan meronta-ronta.
Arif mulai tenang dan tertidur.
“Anakku kenapa suster? Tadi dia baik-baik saja, bahkan dia juga senang sudah bisa sekolah lagi, Tapi kenapa dia bisa berteriak histeris seperti tadi?” tanyaku pada suster itu.
“Biar dokter yang menjelaskan, Bu. Nanti saya panggilkan. Saya Permisi.” Suster itu kemudian pergi.
Tak berapa lama dokter datang, aku segera menanyakan hal yang sama padanya.
“Anak Ibu mengalami trauma, mungkin karena kekerasan fisik yang diterimanya selama bertahun-tahun menjadikannya seperti ini. Emosinya tidak stabil. Nanti saya akan kasih surat rujukan untuk ke psikiater, agar traumanya tidak berlanjut sampai dewasa.”
“Lalu apa yang harus saya lakukan, Dok?” Aku pun bertanya.
“Sebaiknya Ibu tidak memaksanya bercerita ataupun mengingatkan Arif tentang ayahnya. Tapi nanti lebih jelasnya Ibu bisa tanyakan kepada Psikiater itu,” ujar Dokter kemudian.
“Baik, kalau sidah tidak ada pertanyaan, saya permisi, masih ada pasien yang akan konsultasi.”
Aku mengantar dokter sampai pintu ruangan.
“Sampai seperti itu anakmu, Ris?” Tuan Rey bertanya padaku.
“Iya, Tuan,” jawabku lirih.
“Risma ... lihat aku!” Aku pun menatap mata birunya.
“Kamu harus kuat, kamu harus balas, dan kamu harus tega juga kepada mereka! Setelah Arif dan Ririn sembuh jangan biarkan keluarga suamimu mengambil kedua anakmu. Nanti aku juga akan menghubungi pengacaraku untuk membantumu. Jadi kau harus tetap tegar!” Tuan Rey menatapku serius.
“Baik, Tuan,” jawabku.
Dia memandangku, “Bisa aku minta tolong berhenti memanggilku Tuan? Aku bukan lagi majikanmu karena kamu sudah tidak bekerja padaku. Panggil saja, Rey.”
“Tapi, Tuan ....”
“Sssttt ... bukan Tuan, tapi Rey.”
“Baiklah, Rey.” Akhirnya aku menurut saja.
“Aku pamit dulu. Besok aku ke sini lagi. Kalau kau butuh bantuan hubungi saja aku.”
“Iya, Terimakasih, Rey.”
Dia pamit pada Ibu lalu keluar ruangan. Sepeninggalnya, aku senyum-senyum sendiri.
“Ehem ... “ Ibu berdehem, lalu tersenyum.
“Sepertinya kamu bahagia sekali dijenguk majikanmu. Tapi ingat Risma, kamu masih istri orang. Seleseikan dulu masalahmu dengan suamimu, setelah itu terserah kamu.”
“Ah, Ibu. Dia Cuma majikanku, Bu.” Aku menyangkal ucapan Ibu.
“Ya siapa tahu apa yang terjadi besok?”
Drrt ... Drrtt ... Drrt
Saat masih mengobrol dengan Ibu, gawaiku berdering.
“Halo.”
“Bos, Ibu mertua anda mengamuk di rumah,” jelas preman yang kutugasi mengawasi rumah Mas Rido.
“Hah?”
Bab 8“Hah?!Ibu mertuaku akhirnya tahu, aku kemarin sempat heran kenapa Bu Nining, Ibu mertuaku tak ada saat aku mendatangi rumah Mas Rido.“Nanti aku ke sana,” jawabku lalu menutup panggilan.“Siapa yang menelepon Ris?” Ibu bertanya padaku saat aku sudah mematikan panggilanku.“Bu Nining, Bu. Kata orang suruhanku dia ngamuk-ngamuk di rumah Mas Rido. Katanya mencariku, Bu.”“Lalu kamu mau ke sana?” tanya Ibu kemudian.“Entahlah, Bu. Menurut Ibu gimana baiknya?”“Biarin aja dia ngamuk-ngamuk, nanti juga berhenti sendiri. Ini sudah hampir malam, besok saja kamu ke sana. Kamu juga butuh istirahat, balas dendam jug
Ting.Bunyi pesan masuk di gawaiku. Aku lalu membukanya[Anak Ibu sudah sadar, dimohon ke ruang ICU sekarang. Terima kasih.]Subhanallah ... Terima kasih Ya Allah. Aku segera bergegas ke ruang ICU setelah berpamitan dengan Arif, dia sudah ceria kembali.“Gimana keadaan anak saya, Suster?” Aku langsung bertanya pada Suster yang sudah menungguku.“ Badannya masih lemas karena baru sadar dari koma, sebaiknya jangan diajak bicara dulu. Menunggu sampai anak Ibu benar-benar kuat.”Aku segera masuk ke ruangan anakku dirawat, dia menoleh, tersenyum melihatku. Aku senang melihatnya, lalu ikut tersenyum.Setelah dilakukan serangkaian tes kesehatan, akhirnya Ririn dipindahkan ke ruang rawat, jadi satu dengan Arif. Alhamdulillah ... ini perkembangan yang baik.Sampai di ruangan Arif, ternyata Ibu sudah datang. Ada juga Rey disana. Mau apa dia pagi-pagi sudah di sini?“Sarapan dulu Ris, setel
“Risma ...!!!Tiba-tiba ada yang memanggilku dan ....Plak!Ibu mertua langsung menamparku.Tak terima ditampar aku hendak membalas menamparnya, tapi teringat dia sudah tua jadi kudorong saja sampai terjatuh.“Aduh, bok*ngku! Kurang aj*r kau, Risma! Tidak sopan pada orang tua. Mau apa kau datang ke sini, hah?!“Dia mau minta ganti rugi satu milyar, Bu. Atas uang yang selama ini dikirim, kalau gak bisa dia minta sertifikat rumah dan surat mobil.” Mas Rido mengadu kepada Ibunya.“Apa?! Seenak udelmu aja minta uang satu milyar, apalagi sertifikat itu punyaku, atas namaku. Mobil juga punya Rido. Jangan kasih ke wanita gila ini, Rido.”“Aku juga nggak mau ngasih, Bu. Tapi kalau nggak dikasih Risma akan melaporkan kita semua ke penjara,” ungkap Mas Rido.“Mana paham dia soal laporan ke penjara, dia kan Cuma lulusan SMP, paling dia hanya menggertak saja,” u
Bab 11Aku baru saja pindah ke Amerika, membantu ayahku mengurusi bisnis keluarga kami. Aku memutuskan membeli rumah dan tinggal sendiri daripada bersama ayahku. Aku pun mencari Asisten Rumah Tangga yang akan membantu mengurusi rumah, hingga dari yayasan penyalur ART memberikan CV seorang wanita bernama Risma. Dia berasal dari Indonesia, tanah kelahiran Ibuku.Wajah Risma cantik, bersih, tanpa make up menor, mengingatkanku akan almarhumah istriku. Kerjanya rajin dan masakannya enak. Tinggal berdua di rumah menimbulkan benih cinta di hatiku, walaupun aku tahu dia sudah bersuami. Aku hanya diam, tak mau aku mengganggu rumah tangga orang lain. Sampai akhirnya Risma berpamitan, mengundurkan diri dan akan kembali ke Indonesia saat kutanya alasannya ternyata suaminya selingkuh. Akhirnya aku ikut ke Indonesia dengan dalih menengok Ibuku, padahal aku tak bisa jauh dari Risma.Saat mendengar dia di rumah sakit, secepat kilat aku datang. Ternyata anaknya terluka dan koma akibat perbuatan ayahny
Bab 12“Rey ... Rey ....” Risma menangis, tangannya gemetar melihat begitu banyak darah.“Tolong, siapa saja tolong bantu aku membawanya ke rumah sakit.” Risma melihat sekeliling, lalu dari arah belakangnya seseorang mendekat.“Aku akan membantumu, Mbak!” ucap Lita, dan Imran—suaminya—segera memapah Rey untuk membawanya ke rumah sakit.Sesampai di rumah sakit tindakan langsung dilakukan. Risma sempat mengambil gawai Rey di mobil, hendak menghubungi Nyonya Riana, Ibunya Rey.“Halo, Rey,” ucap Riana di seberang“Ini Risma, Nyonya. Tuan Rey masuk rumah sakit, jadi korban penusukan.” Risma mengadu sambil menangis.“Apa?! Rumah sakit mana? Aku kesana sekarang!”Risma memutuskan panggilan setelah memberi tahu rumah sakitnya. Tak berapa lama Nyonya Riana datang dan duduk disampingnya. Sekilas Risma menceritakan semua yang terjadi. Dan seperti yang ia duga, Nyonya Risma tak bisa memaafkannya.“Jadi ini semua gara-gara kamu?! Ku kira wanita mana yang membuatnya sampai terbang ke sini. Jadi kam
“Dia adalah Aida, asisten pribadiku, dulunya. Sekarang aku tugaskan dia untuk menemanimu, Risma.” Nyonya Riana memperkenalkan wanita itu kepadaku.“Tapi kenapa, Nyonya? Saya bukan pengusaha ataupun orang penting yang harus didampingi asisten pribadi. Maaf, saya menolaknya, Nyonya.”“Kau tak usah menganggapnya asisten, jadikan dia temanmu, Risma. Dia akan membantumu membalas keluarga suamimu itu.” Rey menimpali.“Kamu dan Rey bukan muhrim, dan kamu masih bersuami, tak baik selalu kelihatan bersama. Jadi, lebih baik kau bersama Aida saja,” ujar Nyonya Riana.“Sudahlah, kau menurut saja, semua sudah kuatur. Kau turuti saja semua rencana ini,” kata Rey meyakinkan Risma.“Mulai besok Aida akan tinggal di bersamamu, ujarnya kemudian.Risma menghela napas. “Baiklah, Tuan.”“Oke, Risma. Aku manggil nama aja ya? Kayaknya kita seumuran. Kita pergi sekarang.” Aida menarik tangan Risma.“Sebentar, aku pamit dulu. Tuan Rey, Nyonya Riana, saya permisi dulu.” Risma sedikit membungkukkan badannya.Ia
Azan berkumandang, aku segera bangun dan melakukan kewajiban sebagai umat muslim, berserah diri kepada Tuhan atas apa yang akan terjadi selanjutnya.Aku kebawah hendak memasak sarapan, tapi ternyata di dapur sudah ramai, para asisten rumah tangga tampak sibuk di tugasnya masing-masing.Aku kembali keatas, hendak mandi dan mempersiapkan diri. Di pintu lemari sudah digantung pakaian yang akan kupakai hari ini, aku tersenyum, biasanya aku yang melakukan pekerjaan itu, menyiapkan baju dan perlengkapan Rey sebelum kerja, tapi sekarang aku yang dilayani. Memang roda kehidupan akan berputar.“Risma, sudah belum? Ayo sarapan dulu, kita harus segera berangkat kerumah mertuamu.” Terdengar suara Aida di depan pintu.“Iya, sebentar lagi selesei.” Teriakku dari dalam kamar.Aku mengambil gawaiku dan menghubungi Ibu, memberitahunya bahwa akan ada yang menjemput kepulangan Arif dan tak usah kuatir masalah biaya karena sudah dibayar lunas.Arif dan Ririn akhirnya boleh pulang. Ya, Ririn juga boleh pu
Bab 15“Risma ... sayang.” Tiba-tiba Mas Rido memegang tanganku.Aku menghempaskannya kasar. Tidak sudi dipegang oleh tangannya.“Aku masih suamimu, kamu pasti tak akan membiarkanku tidur di jalan kan? Bukannya dulu kamu bilang susah senang kita sama-sama? Sekarang aku baru kesusahan ayo kita berjuang bersama, biarkan aku dan Mala tinggal di rumahmu, ya?” Mas Rido mengatakan permintaan yang sungguh tidak masuk akal.“Aku tidak sudi! Aku beri waktu sampai besok untuk meninggalkan rumah ini. Terserah kalian mau kemana.” Aku berlalu pergi.“Risma, bagaimana keadaan Arif dan Ririn?” Mas Rido berteriak.Aku berhenti.“Yang jelas mereka lebih bahagia tinggal bersamaku,” ucapku tanpa menoleh kebelakang, lalu masuk ke dalam mobil. Di sana Aida sudah menungguku.“Sudah?” tanya Aida.Aku mengangguk.“Mau langsung pulang?” tanyanya kemudian.“Kita kerumah sakit dulu, aku ingin menjenguk Rey.”Aida langsung pamit begitu mengantarku ke rumah sakit. Ia bilang ada urusan mendadak.Aku segera menuju