Share

Bab 5

"Tetep mau ke pabrik?" tanya Mama saat kami tengah menikmati sarapan pagi. 

Aku mengangguk seraya menyuapkan nasi ke dalam mulut dengan cepat. 

Pagi ini aku bangun kesiangan. Bukan karena saking nyenyaknya tidur di kasur besar, tapi karena Saffa yang merengek minta pulang. Ia tidak bisa tidur karena tidak ada boneka kesayangannya yang diambil ibu waktu itu. 

Mama dan papa bergantian membujuk bahkan menggendong putriku, hingga akhirnya Saffa bisa tidur karena sudah terlalu lelah menangis. 

"Kenapa harus ke pabrik, sih, Al. Sudahlah, mendingan kita jalan-jalan saja, yuk. Belanja, bermain dan membeli boneka untuk Saffa," tutur Mama membujuk. 

Namun, keputusanku sudah bulat. Aku akan tetap pergi ke pabrik untuk bekerja. Menjalankan misi, yang semalam sudah aku bahas dengan papa. 

"Tidak bisa, Mah. Alina harus tetap bekerja. Dan ... titip Saffa, ya, Mah?" ujarku melirik pada putri kecil yang ikut sarapan bersama kami. 

"Gak usah dititipin juga, Saffa sudah jadi tanggung jawab kami, Al. Percaya sama Mama, Saffa akan baik-baik saja di sini." Mama berujar yakin.

Aku percaya, dan sangat percaya jika Mama bisa menjaga Saffa dengan baik. Namun, masalahnya ada pada Saffa. Gadis kecil itu merengut enggan aku tinggal. Wajar, rumah ini dan kedua orang tuaku masih asing untuk Saffa. Alhasil, kami membutuhkan banyak waktu untuk membujuk putriku itu. 

Setelah sarapan dan berhasil membujuk Saffa, aku pun segera berangkat ke pabrik. Pagi sekali aku berangkat, karena jarak pabrik dari rumah Papa lumayan jauh. 

"Berangkat, Di," ujarku setelah masuk ke dalam mobil. 

"Tetap kerja, Non? Saya kira, Non Alina tidak akan ke pabrik lagi," ucap Adi membuka percakapan. 

Adi melirikku dari kaca spion depan. Ia menyimpan ponselnya di dashboard mobil, lalu mulai menghidupkan mesin mobil. 

"Mana bisa begitu, Di. Aku harus tetap kerja, untuk menghidupi putriku," ucapku.

"Alah, modus. Palingan, Non Alina mau berbuat sesuatu. Mana mungkin sudah kembali ke istana masih mau kerja jadi upik abu. Pasti ada sesuatu, ini," ujar Adi diakhiri dengan kekehan. 

Aku hanya mengerucutkan bibir seraya menatap layar ponsel. Ponsel baru, yang dibelikan Mama malam tadi. 

Apa yang aku pakai sekarang ini, semua serba baru. Termasuk dalaman. Identitas Mas Haikal benar-benar sudah hilang dari dalam diriku. Akan aku buang jauh-jauh semua tentang dia, meskipun hanya bayangannya sekalipun. 

"Non."

"Hem." Aku bergumam menjawab panggilan Adi.

"Boleh nanya sesuatu, gak?" 

Aku menghentikan jari-jariku yang sedang menjelajahi layar ponsel sejenak, lalu kembali berselancar di dunia maya.

"Tanya aja, Di."

"Non Alina sudah berpisah resmi, atau masih secara agama?" 

Aku melirik sekilas pada Adi yang juga tengah melirikku lewat kaca spion depan. 

Pertanyaan yang aneh. 

"Kenapa tiba-tiba kamu nanya gitu? Kepo," ucapku kembali mengalihkan pandangan pada ponsel. 

"Hanya nanya, Non. Biar tidak suntuk di perjalanan."

Aku diam. Menurutku, pertanyaan Adi tidak penting harus aku jawab. Itu sudah sangat pribadi, dan aku bukan tipe orang yang mudah membahas masalah rumah tangga dengan orang lain. 

Kisahku dengan Mas Haikal memang sudah selesai tiga bulan yang lalu. Surat dari pengadilan pun sudah aku pegang. Bahkan, aku menghabiskan masa iddahku di rumah dia. Bukan karena aku tidak tahu malu, tapi demi menjaga harga diriku sebagai seorang wanita. Rasa sakit kutekan, demi sebuah kebebasan yang sesungguhnya. 

"Maaf, Non, saya lancang," ucap Adi menyadari kebisuanku. 

"Tak apa, Di. Aku hanya sedang tidak ingin membahas masalah itu," pungkasku. 

Tidak ada obrolan lagi antara aku dan Adi hingga akhirnya kami sampai di depan pintu gerbang pabrik. 

Saat turun, aku jadi pusat perhatian karena keluar dari mobil sedan buatan Jerman berwarna putih mengkilap. 

Kasak-kusuk orang-orang kudengar tidak enak di telinga. Ada yang bilang itu adalah taksi online, tapi tak jarang juga ada yang mengatakan jika yang baru saja mengantarkanku adalah pelangganku.

Duh, pemikiran yang sangat sempit. Apa hanya karena jadi janda, aku rela menjajakkan diri pada seorang pria? 

Itu tidak mungkin. 

"Lin, tadi siapa? Pacar atau langgananmu? tanya wanita berambut pirang saat aku melewatinya. 

"Bosnya kali," timpal teman yang ada di sampingnya.

Aku sama sekali tidak menghiraukan ucapan-ucapan sumbang mereka. Bergegas masuk ke dalam pabrik, lalu berjalan ke arah kamar kecil. Mencuci muka mungkin akan membuat suasana hatiku kembali dingin. 

"Baru beberapa bulan menjanda, sekarang sudah berani diantar laki-laki kaya. Atau jangan-jangan ... sebenarnya wanita penggoda?" 

Aku berhenti melangkah, menatap tajam pada seorang wanita yang baru saja menyindirku. Dia memang tidak menyebut nama, tapi kata-katanya sangat jelas mengarah padaku yang berada tak jauh dari tempatnya berdiri. Dan hanya ada kami berdua di tempat ini. 

"Apa kata-katamu tadi untukku?" tanyaku seraya melangkah pelan ke arahnya. 

"Iya, untukmu."

"Terima kasih. Kata-kata mutiaramu sangat bagus. Tapi ... apa kamu tidak tersindir dengan kata-katamu itu?" 

Wanita beralis tebal itu menatapku penuh tanda tanya. "Apa maksudmu?" tanyanya.

Ah, aku kira mantan maduku itu pintar. Ternyata tidak secerdas yang aku pikirkan. Atau, dia sedang berpura-pura polos seperti saat mengatakan kepada semua orang tentang pernikahannya dengan Mas Haikal yang dia akui atas permintaanku. 

Dasar ratu drama. 

Aku kembali melangkah. Mengikis jarak, membuat dia berada dalam ancaman. Suatu keuntungan kami bisa bertemu di sini. Karena apa? Karena di sini tidak ada CCTV yang akan merekam perbuatanku pada wanita sok kaya itu. 

"Wanita penggoda. Bukankah kata itu sangat pantas untukmu? Kamu menggoda seorang pria yang pada saat itu masih menjadi suami wanita lain. Lalu kemudian menikah, tanpa sedikit pun memikirkan perasaan istrinya," ujarku mengeratkan gigi gemas. 

Ingin sekali aku mencakar wajahnya dan memakan dia hidup-hidup. Namun, itu tidak akan menyenangkan untukku. Yang menyenangkan ialah ... aku terus berjalan hingga membuat dia memundurkan langkah kakinya menghindariku.

"Untuk apa aku harus memikirkan perasaanmu? Aku menikah karena Haikal yang minta. Dia bosan padamu yang tidak bisa memberikan apa yang dia inginkan. Sedangkan dariku, semuanya dia dapatkan. Kehangatan, kebahagiaan, bahkan kekayaan."

"Bangga dengan itu?" ujarku sembari terus melangkah. 

"Ya, tentu saja. Buktinya, setiap hari Haikal terus memuji kecantikanku dan menjelekkanmu. Kamu tidak ada apa-apanya dibandingkan diriku, Alina," ucap Amira dengan begitu pongahnya. 

Aku berhenti melangkah. Menelengkan kepala memastikan jika target akan mengenai sasaran. 

"Benarkah? Ok, kita lihat, apakah Haikalmu itu akan datang menolong ketika istrinya ini berada dalam ...."

BYURRR!!

Aku mengangkat kedua tangan, mendorong pundak Amira hingga ia tercebur ke dalam ember besar berisikan air kotor bekas mengepel lantai. Kemudian aku berlari tunggang langgang menjauh dari area toilet sebelum ada orang lain yang melihat keberadaanku. 

"Alina!!" 

Bersambung

Comments (17)
goodnovel comment avatar
Yani Cahaya
hahahha blas dendam di mulai
goodnovel comment avatar
Rinaray Uyahmandaun
terbaiklah Alina terus bangkit
goodnovel comment avatar
Bunda Cayang
lanjut kn balas dendam mu alina... aku suka caramu...
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status