“Iya, Rio! Gue nemuin banyak kejanggalan tentang dia, tentang semua sikapnya selama gue menangani kasus ini. Lo bisa baca semuanya di situ,” tutur Abbiyya sembari menyodorkan berkas itu ke tangan Adhisti.Dengan cukup cepat, Adhisti segera mengambil benda itu dari tangan Abbiyya dan membukanya dengan sedikit sarkas. Sepanjang ia membaca, matanya sedikit memicing, lalu kembali membulat, dan tak lupa kerutan di dahi.“Gue tahu ini bukan alasan yang kuat, makanya gue nggak bawa berkas ini untuk dilaporkan ke kantor polisi. Ini cuma praduga gue, bukan bukti. Dan cuma lo yang bisa bawa bukti itu! Lo yang bisa cari tahu, Dhis!” bujuk Abbiyya masih terus memandangi Adhisti yang masih fokus membaca.“Tapi gimana kalau bukan dia pelakunya dan kita cuma habis-habisin waktu kita?” tanya Adhisti kini membalas tatapan mata Abbiyya.“Kita akan menyelidiki semuanya, Dhis! Semua kemungkinan adanya nama lain. Tapi tanpa melupakan Rio. Gue juga belum menemukan apa motivasi Rio dan gimana dia bisa kenal
Adhisti masuk ke dalam unit apartemen 702 usai bersama sang kakak memastikan Abbiyya telah pergi dari sana. Baru saja dua langkah kaki Adhisti memijak lantai unit milik Rio itu, sang pemilik tiba-tiba muncul dari arah dalam. “Lho, Adhis?!” pekik Rio tampak terkejut dengan kehadiran Adhisti di sana. Rafa yang awalnya merangkul Adhisti, kini langsung melepas rangkulannya. “Lo di sini? Lo udah bebas, Dhis?” lanjut Rio kini semakin berjalan mendekati Adhisti. Seperti yang diketahui, rasa kesal Adhisti atas Rio kembali muncul. Gadis itu kini telah memberikan tatapan tajam pada sang lawan bicara. “Lo buta, Bang? Nggak bisa liat? Udah tahu gue ada di sini malah masih tanya?! Gimana sih lo!” omel Adhisti sembari memutar bola matanya malas. “Dhis! Nggak boleh gitu, ah! Orang dia tanya baik-baik!” sergah Rafandra sontak menyikut lengan kiri Adhisti. “Bodo amat! Siapa suruh tanya hal yang nggak penting! Tanpa dia tanya pun semestinya dia udah bisa tahu! Makanya kalau punya mata sama otak it
“Permisi! Selamat pagi!” pekik suara seseorang dari arah luar unit apartemen Rio. Adhisti yang menyadari keberadaan orang lain di sana, segera melempar pakaian yang sedari tadi ia dekap untuk membatasi dirinya dari Rio juga mendorong cowok itu saat lengah. “Sialan!” umpat Rio saat tubuhnya kini terantuk dinding dan kehilangan Adhisti dari dekapannya. Adhisti yang mampu menggunakan waktu dengan baik, segera berlari ke arah pintu keluar dan mendapati Abbiyya berdiri dengan sebuah paperbag di tangannya sambil sedikit celingukan. “Biy!” pekik Adhisti langsung menghamburkan tubuhnya ke badan kekar Abbiyya lalu memeluknya erat. Abbiyya yang saat itu amat terkejut dengan tingkah Adhisti hanya bisa membiarkan gadis itu memeluknya tanpa membalas sedikit pun. Tangan Abbiyya masih mengawang sementara raut mukanya dipenuhi rasa bingung. “Dhis, lo kenapa? Hey, semua baik-baik aja ‘kan?” lirih Abbiyya lalu akhirnya sedikit menepuk pundak Adhisti. “Pergi! Ayo pergi dari sini!” Adhisti langsung
Abbiyya dan Adhisti kini duduk di salah satu set kursi dan meja salah satu tempat makan berbahan dasar daging tersebut. “Jadi apa rencana lo?” tanya Abbiyya saat mereka bersua telah lama beridam diri menunggu menu pesanan mereka datang. Adhisti menyeret pandangannya dari ponsel yang sedari tadi ia cekal ke arah Abbiyya. “Hmm, kenapa? Bentar, bentar! Dikit lagi filmnya ke upload! Gue bisa nggak makan kalau gue telat dikit!” tutur Adhisti sambil membentangkan telapak tangannya tepat di depan wajah Abbiyya saat pria itu hendak mengatakan sesuatu. “Jadi lo dari tadi ngurusin film gelap lo itu?! Kurang ajar nih anak! Lo nggak ada takut-takutnya gitu sama gue?! Gue bisa laporin lo ke polisi, lho!” pekik Abbiyya. “Abbiyya, tugas lo itu kasus mayat di balik plafon kamar gue. Bukan kasus pelanggaran hak cipta dan hak dagang! Udah deh! Diem aja!” sergah Adhisti. “Heh, berhenti gak! Gue cuma nunggu waktu aja buat laporin lo! Lo berhenti atau gue lapor sekarang!” sergah Abbiyya. “Hih bawel
Keesokan paginya saat sarapan bersama, Adhisti tampak telah berpakaian rapi dengan sebuah paperbag yang ia letakkan di sebelah kursi makannya. “Mau ke mana, Chaay? Kenapa pagi-pagi udah rapi gitu? Perasaan lo selalu di rumah terus. jangan keseringan main di luar, Chaay! Lo masih dalam status tahanan kota!” pekik Rafa lalu menyuapkan makanan ke dalam mulutnya. “Iya, Bang! Gue inget. Tapi gue nggak bisa terus di sini, gue butuh wi-fi, Bang! Lo tahu ‘kan gue nggak pernah keluar kamar karena wi-fi lancar jaya. Nah kalau gini, ‘kan gue mesti cari tempat lain,” dusta Adhisti. “Oh, iya! Gue lupa soal itu!” pekik Rafa. “Dipindah aja, Raf! Paket wi-fi lo di unit 706 suruh sambungin ke sini aja, daripada di sana malah dipake sama tetangga. Di sini pasti sinyalnya kecil banget!” sahut Rio kini ikut buka suara. “Eh, iya juga! Gini aja deh, Chaay! Selepas gue jaga warnet nanti, gue ke kantor mereka buat minta pindah ke sini. Jadi lo nggak perlu keluar-keluar segala!” Rafa bangkit dari kursiny
“Noda merah?!” sergah Abbiyya langsung menatap tajam Adhisti. Adhisti sedikit mengerutkan wajahnya lalu tangannya menarik sisi lain selimut itu dan membaliknya ke arah Abbiyya.“Noda merah, kan?” tutur Adhisti sambil mendongakkan wajahnya guna melihat ekspresi wajah Abbiyya atas apa yang ia tunjukkan.“Darah?” lirih Abbiyya lalu kembali mengarahkan tatapannya ke arah Adhisti.“Pikiran gue mulai travelling! Ini darah pembunuhan atau apa? Kenapa ada di selimut? Mana dimasukin ke kantong plastik hitam lagi?!” papar Adhisti.“Kita bisa bawa ini ke laboratorium forensik biar diperiksa sama tim di sana. Lo masukin lagi ke kantong plastik. Kita cari bukti lainnya kalau ada,” tutur Abbiyya sembari membantu Adhisti meringkas selimut itu lagi.“Lo sama tim lo belum ngecek tempat ini? Kenapa barang segede ini belum kalian temuin?” Tangan Adhisti menali kantong plastik hitam itu dengan cukup kuat. Nadanya seperti menyindir kesatuan tim Abbiyya.Abbiyya yang kini kemandangnya sinis tampak hendak m
“Angkat! Jangan kasih tahu dia kita ada di mana dan jangan sampe dia curiga!” pekik Abbiyya lalu langsung meminta Adhisti untuk menekan tombol terima di layar ponselnya itu. “Halo! Kenapa?!” sergah Adhisti langsung terdengar jutek tanpa ada sedikit pun rasa ramah dalam setiap suku kata yang ia tuturkan. [“Kenapa lo ngegas terus sih sama gue, Dhis! Gue belum ngomonh apa-apa, lho! Kenapa lo main ngegas kaya gitu?”] tutur Rio dengan nada yang sedikit mendayu. “Basi! Buruan mau ngomong apa?! Gue sibuk!” tukas Adhisti kini tampak menyilangkan salah satu tangannya di depan dada. [“Balik, gih! Kelarin kerjaan lo di unit aja! Ini wi-finya udah kelar! Barusan petugasnya balik dan gue coba udah bisa kok! Lancar jaya!”] Rio terdengar sangat bangga dengan apa yang ia paparkan itu. “Makasih! Tapi nanggung, gue udah bayar kafenya! Rugi kalau nggak diselesaiin sekalian! Lagian Bang rafa juga belum balik dari warnet ‘kan? Gue nggak mau di ujit berdua aja sama lo! Dasar mesum!” Abbiyya sedikit me
Adhisti berdiri di depan kamar Rio, tangannya melekat di daun pintu itu lala mengetuknya perlahan. “Bang Rio! Ini Adhisti! Boleh masuk?” panggil Adhisti di sela-sela ketukan tangannya. Tak ada jawaban dari dalam, Adhisti segera menggeser tangannya ke atas knop pintu, lalu perlahan ia memutar benda seukuran genggamannya itu. Sebuah ruangan dengan aksen temaram kini hadir di hadapan Adhisti. “Gue harus nemuin apapun itu yang bisa bikin Rio masuk penjara! Gue bakal pastiin kalau Rio yang udah bikin Mawar hamil dan bunuh cewek itu!” gumam Adhisti lalu masuk ke ruangan tersebut. Dengan cukup pelan Adhisti kembali menutup pintu itu. Ia berbalik dan mulai mengedarkan pandangannya ke seisi ruangan. Hanya ada meja kerja, ranjang, sebuah laci kecil di sebelah ranjang, lemari pakaian, tempat sampah, juga kaca yang menggantung di sebelah lemari pakaian. Adhisti langsung berjalan menuju meja kerja Rio dan mengamati beberapa benda yang ada di atas meja kayu itu. Sebuah laptop yang berdampingan