POV Aravi‘Sudah tahu kekanak-kanakan ngapain kamu ngejar-ngejar aku. Sudah saja cari yang lebih dewasa. Berhentilah mengejar ku seperti orang yang konyol.’Aku terkekeh mengingat ucapan Lita tadi pagi. Konyol? Katanya aku terlihat konyol mengejarnya. Apakah memang seperti itu di matanya. Ku usap wajahku dengan gerakan kasar. Ku tarik napasnya dengan pelan berulang kali. Aku sendiri tidak mengerti mengapa aku bersikap demikian. Apakah terlalu berlebihan sikapku? Aku hanya tidak ingin kembali kehilangannya. Kenapa dia masih meragukan perasaanku. Kenapa segala perlakuan lembutku tak ada yang bisa menyentuh hatinya? Apakah benar hatinya sudah mati? Aku berusaha konsentrasi mengerjakan pekerjaanku secepat mungkin. “Rav, makan yuk.” Redi tiba-tiba masuk ke ruangan ku lalu duduk di depan kursiku.“Duluan. Aku belum lapar.”“Ayolah, semalam bilang pengen makan soto depan bank itu loh.”Aku menghela napas lemah mendengar tempat kerja Lita disebut. “Malas.”“Loh biasanya semangat, kan ada p
POV ThalitaSiang hari ketika jam makan siang aku menyempatkan diri untuk pergi ke supermarket. Hira meminta dibelikan coklat sebagai syarat agar mau masuk sekolah. Bersama dengan Mela aku melangkahkan kakiku masuk ke dalam Mall. Ketika baru membuka pintu lobi, aku tertegun melihat keberadaan Mas Ravi yang tengah berada di salah satu brand roti terkenal. Entah kenapa kali ini aku berharap ia akan menyapa. Namun, lagi-lagi aku harus menelan rasa kecewa saat ia mengabaikan kehadiranku. Bahkan ketika berpapasan denganku ia memiringkan tubuhnya tak ingin bersentuhan denganku. Ada apa? Kenapa aku merasa sakit hati dengan sifatnya tersebut. Tak sadar aku menunduk menahan rasa pedih yang aku rasa. Bahkan ketika Mela melemparkan pertanyaan aku hanya diam saja. Aku menyeret Mela turun ke supermarket, meski begitu pikiranku terus saja tertuju pada perubahan Mas Ravi, belum lagi rengekan Hira yang meminta untuk bertemu.“Kau ada masalah apa sih sama Pak Ravi, Ta?” tanya Mela.“Gak ada apa-apa.”
“Kata siapa?” Aku mendorong mangkuk sop milikku ke tengah meja lalu menarik teh hangat mendekat. Ku sesap pelan minumanku itu.“Kata Redy.”“Oh iya.” Aku tersenyum tipis mengambil jas yang sejak kemarin aku bawa yang aku letakkan di totebag. “Aku mau mengembalikan jas ini. Makasih ya, Mas.”Dia menerimanya, namun matanya tak lepas memandang ke arahku. “Oh cuma mau mengembalikan jas saja. Aku pikir ada apa,” sahutnya lirih. Nadanya terdengar jika ia merasa kecewa. Aku menoleh ke arahnya, terlihat ia mulai menikmati semangkok sop miliknya. “Aku mau minta maaf soal ucapanku yang waktu itu.”“Yang mana?” tanyanya balik. Aku menggigit bibir bawahku. “Yang itu loh...”“Yang mana? Ucapanmu itu kan banyak.”“Mungkin yang udah buat Mas sakit hati atau tersinggung.”Dia mengangguk pelan tersenyum tipis. “Lupakan saja. Aku mengerti. Jadi, nyari aku cuma buat ngomong ini doang.”“Ya emang mau ngomong apalagi?”Dia menghela napas kesal. “Aku pikir kamu mau bicara tentang kelanjutan hubungan kit
POV Thalita Aku menceritakan niat Mas Ravi pada ibu dan kakakku. Bagaimanapun aku tidak bisa memberi keputusan seorang diri, meski yang menjalani rumah tangga itu nanti aku sendiri.“Yang mau menjalani rumah tangga itu kamu, jadi ibu serahkan keputusan itu padamu. Pesan ibu libatkanlah Allah dalam keputusanmu. Mintalah petunjuk pada-Nya agar kamu tidak salah memilih. Saran ibu sholat istikharah sampai kamu mendapatkan sebuah jawaban.” “Apa yang ibu katakan itu benar, Lita. Bagi Mas yang penting kamu bahagia. Selama Ibunya Ravi sudah memberikan kalian restu, itu tidak akan menjadi masalah.”Aku menghela napas lega ketika mengingat pesan ibu dan juga kakakku. Terhitung sudah beberapa hari aku tidak bertemu dengan Mas Ravi usai pembicaraan kami tempo hari. Terakhir kali saat itu ia mengantarkan aku pulang sambil menemui Hira. Mas Ravi juga mengatakan ada kunjungan keluar kota pada Hira, hingga akhirnya putriku tidak lagi merengek padanya. “Ibu apa Paman Ravi masih lama di sana?” tany
Sesuai apa yang telah kami sepakati. Hari Jumat sore usai pulang kerja, aku angsung bertolak pulang ke Yogyakarta menggunakan kereta. Sempat ditawarkan bareng oleh Mas Ravi. Namun, aku jelas menolak mencegah fitnah yang timbul mengingat status kami belum sah. Perjalan dari Jakarta menuju Jogja menggunakan kereta api membutuhkan waktu sekitar 7 jam 30 menit. Pada pukul dua dinihari aku sudah tiba di stasiun Jogya. Prayi adiknya Mas Dani sudah menunggu di sana. Kebetulan ia juga tengah cuti kerjanya, karena istrinya sudah mau melahirkan. Prayi langsung membawaku ke rumah. Tampak ibu dan bapak mertuaku masih menunggu kedatanganku. Sementara Prayi langsung kembali ke rumahnya. Ibu dan Bapak memintaku langsung istirahat. Pagi harinya aku langsung meminta ijin untuk pergi ke makam Mas Dani. Dengan meminjam motor Prayi aku bertolak ke makam. Aku juga membersihkan makam ku.“Aku datang bersama putrimu, Mas. Dan kedatanganku ini juga ingin meminta ijin untuk menikah lagi. Maaf, bukan aku ta
POV AuthorKarena tanggal pernikahan sudah di tentukan satu bulan dari sekarang. Semua harus disiapkan dengan matang. “Sebenarnya ya, Mas. Cukup akad nikah dan selamatan kecil-kecilan saja sudah cukup, Mas. Aku tidak perlu hajatan yang mewah-mewah. Toh kita juga sudah pernah melakukan pernikahan.”Ravi tersenyum kecut mendengarnya. “Aku tahu, Dek. Tapi, keadaanya berbeda dulu aku menikah karena perjodohan. Sedangkan kini aku menikah dengan orang yang aku cintai. Anggap saja ini wujud syukur karena akhirnya kita bisa bersama.”Kalau sudah seperti itu Lita hanya bisa diam. Kabar rencana pernikahannya juga sudah menyebar ke penjuru kantor Lita dan Ravi. Semua orang bersemangat menggodanya, kecuali Pak Yusuf. Lelaki itu yang lebih banyak diam dan uring-uringan. Pantas saja Lita selalu menjaga jarak dengan lawan jenis usai kematian suaminya. Ternyata ada yang ia tunggu, begitulah pikirannya. Karena Lita tidak membawa motor jadi pulang kerja barengan sama Ravi. Mereka pun mampir ke tempat
POV Thalita Aku menatap pantulan diriku dari cerminan rias kamarku. Dengan menggunakan gaun pengantin berwarna putih dipadukan dengan jilbab yang senada, rangkaian melati menjuntai indah dari kepalaku. Tanganku yang sudah dirias dengan hena terlihat berkeringat, aku merasa dingin, gemetar dan gugup menjadi satu. “Kau gugup?” Mba Atika yang sejak tadi menemaniku bertanya. “I—iya.”Mba Atika terkekeh geli. “Ini bukan pernikahanmu yang pertama tapi kamu masih gugup dan malu saja.”“Ini berbeda lain dari yang lain.” Aku mendengus mengingat lagi pernikahanku dengan Mas Dani kala itu. Tidak ada rasa getar atau gugup sekalipun, mungkinkah karena kami menikah karena dijodohkan, meski pada akhirnya cinta itu tumbuh di antara kami. Sedangkan kini kami saling mencintai.“Jelas beda. Karena ini sekarang kan mau menikah sama sang cinta pertama.” Mba Atika semakin gencar menggoda membuat aku mengerucutkan bibirku kedepan. Namun, karena candaannya pula aku melupakan rasa gugupku.“Baiklah. Sekar
POV ThalitaAku benar-benar tak habis pikir. Hira terang-terangan melarang Mas Ravi masuk ke dalam kamar. Berbagai cara sudah ku lakukan untuk memberinya pengertian. Bahkan ibu dan kakak ipar ku juga turut andil membujuknya. Namun semuanya sia-sia.“Hira, katanya kangen sama nenek. Ayo tidur sama nenek.”“Gak mau ah. Mau sama ibu saja.” Hira justru menelupsupkan kepalanya di ceruk leherku. “Tidur sama Budhe yuk?” bujuk Mba Siti juga.“Enggak mau, Budhe. Mau sama Ibu.”“Katanya kemarin kangen sama Budhe.”“Aku gak mau ninggalin Ibu. Nanti Ibu di ambil sama Paman,” katanya membuatku terperangah. Bahkan ibu dan Mba Siti melongo, pada akhirnya keduanya memilih menyerah dan keluar dari kamar.Aku menghela napas panjang terdengar suara Mas Ravi yang tengah mengobrol dengan saudaraku di luar. Ku putar otak untuk kembali memberinya pengertian. Kemarin saat belum halal putriku merengek minta Ayah baru, sekarang saat kami sudah halal putriku terang-terangan menolak Mas Ravi. Ya Allah... Naman