PELET DARAH KOTORPart 18Selepas sholat maghrib, Ki Sukron menjamu Ikhsan dengan makanan yang sederhana dan seadanya saja, sambil berkali-kali kepala Dusun itu meminta maaf karena tidak bisa menyediakan yang lebih dari itu, karena kedatangan Ikhsan yang terbilang mendadak. Aki Sukron tinggal bersama istrinya, Nyai Darmi dan putri bungsunya, Hartini, gadis remaja berusia 17 tahunan. Anak pertama dan kedua dari si Aki, dua-duanya lelaki. Mereka memilih untuk meninggalkan Desa Kemangi dengan pergi merantau, dan justru itu yang menjadi kerisauan sepasang suami-istri sepuh tersebut, karena semenjak pergi meninggalkan desa, belum pernah sekali pun mereka pulang. Hartini, si bungsu yang beranjak remaja, sesekali mencuri pandang terhadap Ikhsan. Murid dari Kyai Maksum ini memang seperti memiliki kharisma yang tidak semua lelaki punya. Pembawaannya yang tenang, terkesan berwibawa. Juga didukung oleh paras wajahnya yang tampan. Ustadz Ikhsan ini secara diam-diam, adalah Ustadz idaman para
PELET DARAH KOTORPart 19"Ki, Juragan Karta itu apakah warga asli Desa Kemangi juga?"Ki Sukron belum sempat menjawab, tiba-tiba anak gadisnya yang masih remaja, keluar dari ruangan dalam. Suara kriet karena pijakan kaki jelas terdengar. Mayoritas rumah di desa ini memang terbuat dari kayu, dan untuk alas panggungnya dibuat dari batang bambu yang dipotong tipis kemudian dianyam, biasa disebut dengan bilik.Hartini melempar senyum kepada Ikhsan, sambil meletakkan piring kaleng yang berisi tales kukus dengan taburan kelapa yang diparut. Gadis remaja itu terlihat sudah berganti baju, berbeda dengan yang tadi dia pakai saat Ikhsan baru datang. "Dicicipi tales, nya, Aa," ucap gadis itu dengan suara yang lembut. Ki Sukron sang bapak terlihat menggeleng-gelengkan kepala, melihat tingkah menggoda putri bungsunya terhadap tamunya. "Sumuhun, Neng," jawab Ikhsan, tersenyum tipis saja. Ki Sukron mulai menjawab pertanyaan Ikhsan setelah Hartini masuk kembali ke ruangan dalam."Juragan Karta seb
Part 20"Sampurasun, Akii?" Keduanya menoleh cepat ke arah asal suara, dan Ki Sukron yang menyebutkan nama tamunya tersebut. "N-Neng A-asih ...?"Terlihat oleh Ki Sukron dan Ikhsan, Asih datang dengan salah seorang babu yang bekerja di rumahnya, bukan dengan Narti yang tadi ada bersamanya. "Abdi, Aki Sukron," jawab Asih, menjawab sapaan dari si kepala Dusun desa mereka. Ki Sukron lantas turun dari panggung bambu, sementara Ikhsan sendiri tetap duduk bersila di tempatnya semula. "Aya naon, Neng, malam-malam berkunjung ke rumah gubuk, Aki?" Asih menoleh ke arah babunya yang berdiri sedikit di belakangnya, dan si babu melangkah maju sambil memberikan rantang yang bersusun tiga kepada Aki Sukron."Iye, Aki, kebetulan tadi si bibik di imah buat combro, katimus, sama surabi. Aki 'kan sedang ada saudaranya yang datang, Kang Ikhsan. Biar dicicipi bareng-bareng di sini," ucap Asih menjelaskan maksud kedatangannya. Ikhsan yang mendengar namanya disebut, apalagi sambil dibawakan kue-kue, di
Part 21 Kembali ke percakapan antara Ikhsan dan Aki Sukron, setelah menyerahkan rantang bawaan Asih ke istrinya, yang sebagian dihidangkan pula untuk Ikhsan. Rejeki tak terduga menurut kepala dusun tersebut, karena memang sebenarnya Asih belum pernah melakukannya. Percakapan mereka sekarang beralih membahas soal hukuman yang diterima oleh Nyai Sumi. "Ki, hukuman pasung dan dibuang ke dalam hutan, memang sebelumnya pernah terjadi di Desa Kemangi? Atau baru Nyai Sumi yang dijatuhi hukuman seperti itu?" Ki Sukron terdiam sejenak, mencoba kembali mengingat-ingat soal peristiwa lama di desa yang dipimpinnya selama hampir 20 tahun ini. Bisa dibilang dan Aki Sukron sendiri mengakui jika jabatannya itu hanya seperti formalitas belaka, karena sesungguhnya yang paling berkuasa di desa ini adalah Juragan Karta dengan para centeng-centengnya. Nyi Darmi, istri dari Ki Sukron dan putrinya Hartini secara tiba-tiba keluar dari dalam rumah panggung. Suara kriet dari alas panggung yang terinjak-i
Sumi kembali tertawa terbahak-bahak. Bahagia sekali dia nampaknya sudah membuat Asih menderita. Sumi pun pergi berlalu dengan diikuti oleh dua centeng suaminya. Kembali berkeliling menagih warga yang sudah berhutang riba kepadanya. Sumi sudah tidak lagi terlihat, dengan langkah terpincang-pincang Narti mulai menghampiri Asih yang terduduk di galangan. Dia sibuk membersihkan wajah dan tubuhnya dengan genangan air. Matanya terlihat berkaca-kaca. Tubuhnya memang merasakan sakit akibat perbuatan Asih, tapi luka yang menggores dalam dan berdarah justru ada di dalam hatinya. Sudah terlalu sangat menyakitkan perbuatan maupun perkataan Sumi terhadapnya. "Sih, Asih! Maneh tidak kenapa-napa 'kan? ucap Narti dengan nada panik, saat sudah ada di dekat sahabatnya itu. Entah kenapa, hari ini Asih merasakan jika dirinya sedang cengeng sekali. Biasanya, dia tidak pernah menangis saat dizholimi Sumi, tetapi tidak hari ini, hatinya merasa nelangsa sekali."Sabar, ya, Sih. Si Dazzal itu pasti akan me
Bagian 23Mata Asih membulat sempurna mendengar pengakuan dari sahabatnya, Asih. Dia seperti tidak percaya jika kematian Dadang akibat santet yang dilakukan oleh Nyi Warsinah. "Maneh benaran, Nar?" Narti mengangguk, matanya menyiratkan kemarahan dan kebencian. "Nyi Warsinah menawarkan kepada urang, ingin dibuat seperti apa Dadang, urang bilang ingin dia mati. Urang sakit hati, Sih. Urang hampir setiap hari dihajar dan disiksa fisik serta batin urang. Urang hanya dijadikan sebagai sapi perahan. Mematikan suami urang adalah cara yang tepat agar urang terlepas dari penderitaan.Urang tidak menyesal, Sih. "Berarti maneh tau, Nar, saat-saat Dadang meregang nyawa?" Narti mengangguk cepat, kemarahan di sorot matanya masih terlihat jelas. “Nyi Warsinah lantas menyuruh urang pulang, setelah selesai menjalani ritual, hampir dua hari urang di hutan bersama Nyi Warsih. Waktu urang bilang takut kalau pulang akan disiksa suami urang lagi, Nyi Warsih bilang Dadang hanya tinggal menunggu mati. "
Part 24"Pertolongan naon, Narti. Harta? Pesugihan?""Menghabisi nyawa seseorang, Nyi. Seperti saat Nyi Warsih menghukum suami saya, Dadang."Nyi Warsinah menatap tajam, selesai Narti berucap seperti itu. "Ikut aing," ucapnya, berbalik badan lantas berjalan menembus kegelapan. Nyi Warsinah tidak membawa obor, tetapi seperti tidak menemui kesulitan menapaki jalan yang gelap. Narti dan Asih dengan masing-masing membawa obor mengikuti di belakangnya. Menembus di antara dua pohon yang sangat besar, menyibak rerumputan dan akar-akar pohon yang menjuntai, akhirnya mereka sampai di goa tempat Nyi Warsinah tinggal. Goa yang gelap gulita tanpa ada penerangan sedikit pun. Goa itu mulai terlihat sedikit terang setelah Asih dan Narti, dengan masing-masing membawa obor mulai masuk ke dalam goa. Pintu masuk goa yang tertutup ilalang dan akar-akar pohon, sekilas tidak ada yang mengira ada lobang gua di tempat itu. Goa berlobang di luar kecil sebagai pintu masuk, ternyata besar di bagian dalam.
Part 25"Siapa lagi pelakunya, Nyi Warsih, selain bapaknya si jalang Sumi?" tanya Asih dengan tatapan mata yang penuh dendam dan kemarahan."Sepertinya Juragan Karta, Sih. Karena 'kan bapaknya si Sumi setelah menghianati bapakmu, dia kerjasama dengan Karta," ucap Narti, mencoba menebak menurut pemikirannya. "Benar itu Nyi, Karta si orang lain itu selain Darto bapaknya si Sumi?""Yang urang lihat bukan si Karta, tetapi si Ruslan, tangan kanannya. Urang nteu ngerti, apa Karta tau atau tidak peristiwa itu," jelas Nyi Warsinah. "Jadi si Ruslan dan Darto pelakunya. Kasihan almarhum bapak, menjadi korban fitnah mereka, bahkan dibunuh juga oleh mereka," ucap Asih dengan nada geram. "Juragan Karta sepertinya tau, Sih. Karena Ruslan itu orang kepercayaannya. Siapa tau dia hanya diperintahkan oleh Karta untuk menghabisi nyawa ibumu itu," ujar Narti lagi. "Siapa yang ingin kalian buat mati, Neng Asih. Sumi anak si Darto atau si Karta. "Sumi pastinya, biar matinya tragis seperti si Dadang da