"Dian_!" perintah Andika tegas."Baik, Pak!" jawab Letnan Yusa. "Tunggu! Selidiki juga tentang Alex dan_," Andika menghentikan ucapannya sejenak dan berusaha menelan salivanya yang tercekat di tenggorokan."Dan siapa, Pak?" tanya Letnan Yusa penasaran."Ranti," lirih suara Andika, namun tegas."Ranti? Siap, Pak!" Letnan Yusa bergegas keluar dari ruangan Andika dan mulai meneliti data-data melalui komputernya.Tentu saja, data komputer hanya menyajikan sebagian dari data kehidupan dari ketiga orang tersebut. Besok dia akan menyebar anak buahnya untuk mencari informasi di lapangan.Karena sudah terlalu larut, akhirnya Andika memutuskan untuk pulang lebih dulu sambil memikirkan langkah selanjutnya untuk dapat segera menuntaskan kasus yang sedang diselesaikan.***Dari rumah sakit, Ranti tidak langsung pulang ke rumahnya karena Dian mengajaknya makan malam lebih dulu di sebuah restoran.Karena memang perutnya sudah keroncongan, tentu saja Ranti tak menolak.Ting!Ranti melirik gawai yang
Di depan mobil yang ditumpanginya, ternyata ada dua orang pengendara motor yang cukup mencurigakan. Keduanya mengenakan pakaian dan aksesoris yang serba hitam. Wajah mereka sama sekali tidak terlihat hanya menyisakan mata mereka yang nampak nyalang menatap ke arah Driver taksi online yang ditumpangi Ranti."Woooyyy! pak, pakai mata donk. Awas, Lu, kalau motor gua sampe lecet!" Teriak salah seorang dari mereka dengan galak."I-iya, Mas, maaf! Saya kurang hati-hati," jawab Driver itu mengalah. Padahal siapapun yang melihat pasti tahu bahwa kedua orang itu lah yang salah dan menghalangi jalan."Mas-mas, Nenek moyang lu!" sentak salah satunya lagi seakan tak terima dengan panggilan itu."Maaf, Den!" Lirih suara Si Bapak tercekat di tenggorokan.Tanpa menjawab lagi, kedua orang itu langsung tancap gas dan meninggalkan mereka dengan suara bising dari knalpot kendaraannya."Kok, aku seperti pernah lihat motor itu, ya? Tapi di mana?" gumam Ranti mengerutkan dahi mencoba mengingat. Namun, teta
Dengan berat, Ranti membuka matanya yang terasa perih.Dia berusaha menarik napasnya yang sesak, namun dadanya terasa sakit, seperti ditimpa oleh batu besar hingga membuatnya terengah-engah dan sulit bernapas.Setelah menarik napas dalam secara perlahan, dia merasa lebih baik.Matanya memandang berkeliling, mencoba memahami apa yang terjadi dan di mana dia berada saat ini.Dia merasa sebuah tangan dingin sedang menggenggam jemari tangannya.Kesadarannya mulai pulih, melirik ke sisi kanan, ternyata ibunya yang sedang menggenggam tangannya dengan erat.Bu Diah duduk di sisi pembaringan, tubuhnya membungkuk lelah dan kepalanya diletakkan di tempat tidur. Wajahnya yang mulai keriput menghadap ke arah putrinya yang terbaring di atas tempat tidur.Ranti menatapnya dengan haru. Dia mulai teringat kejadian yang dialaminya sebelum terbangun di kamar yang dia yakini sebagai kamar rumah sakit. Semua kejadian itu terekam ulang dengan jelas dalam ingatannya.Lalu, siapa yang telah membawanya ke ru
Inspektur Andika terdiam sesaat seraya menatap tajam ke manik mata Ranti, membuat wajah wanita cantik itu memucat dan tertunduk seketika."Mereka bilang, ada yang datang dan menghajar mereka sebelum polisi tiba di lokasi," jawab Andika singkat.Tentu saja, dia seorang polisi, seharusnya dia lah yang meminta keterangan."Berarti bayangan yang datang itu buka polisi," gumam Ranti seolah bicara pada dirinya sendiri. Sang Inspektur yang berwajah tampan namun tegas itu langsung menatapnya dengan tajam, penuh tanya."Apakah Ibu Ranti sempat melihat siapa yang datang?" tanya Andika segera."Saya hanya melihat sekilas bayangan hitam yang langsung menghantam orang yang memukul dan menendang saya sebelumnya. Setelah itu, semuanya menjadi gelap," jawab Ranti dengan pandangan menerawang, mencoba mengumpulkan memorinya."Apa Ibu tidak mengenalnya sama sekali?" tanya Andika lagi, menegaskan."Maaf, Pak! Saya benar-benar tidak ingat apapun setelah itu. Sepertinya orang itu berpakaian hitam-hitam, ka
"Ada korban pembunuhan lagi, ciri-cirinya sama dengan korban-korban sebelumnya," jawab Letnan Yusa dengan nada kelam.Andika mendesah."Sampaikan pada Letnan Ardi, saya akan langsung menuju tempat kejadian, kirim lokasinya sekarang!" perintah Andika sambil melangkah keluar ruangan dan mengajak beberapa anggota lain untuk menuju lokasi pembunuhan yang dikirimkan oleh Letnan Ardi."Aa! Letnan Yusa, lanjutkan memeriksa ponsel Vira, barangkali kita menemukan petunjuk!" perintahnya sebelum menghilang di balik pintu."Siap!" jawab Yuda meskipun tahu bahwa Sang Komandan mungkin sudah menjauh dan tak lagi mendengar ucapannya.Dia kembali menekuni dan memcoba memeriksa ponsel Vira."Pasti ini!" Dengan wajah tegang, Yusa meneliti setiap detail yang ditampilkan di layar handphone itu.Pada aplikasi pesan seluler menampilkan pesan ancaman dari nomor tak dikenal kala itu. Letnan Yusa langsung menghubungkan Ponsel tersebut ke dalam laptopnya.Yusa mencoba memanggil nomor yang tertera pada layar ter
Narendra terlonjak dari duduknya dan menatap Ranti, hampir tak percaya."Jadi, dengan kata lain ... korbannya adalah ... Istri baru Ayah?" tanya Pemuda tampan berkulit coklat itu, seakan tak percaya."Bisa jadi_," jawab Ranti ragu."Maksud Kakak?" Narendra belum paham."Sebab yang kudengar tadi, korbannya adalah wanita muda. Apa mungkin Ayah mempunyai istri yang masih muda?" Ranti mencoba berpikir logis."Huh!" Narendra mendengus kesal,"Buaya, tetap aja buaya! Nggak akan mungkin jadi cicak!" rutuknya lagi.Tentu saja Ranti mengerti maksud ucapan adik satu-satunya itu. Dia mengangguk setuju."Apa perlu kita cari tau informasinya?" tanya Ranti sedikit ragu sambil menatap lekat wajah Narendra."Buat apa? Hanya akan menyakiti hati Ibu!" jawabnya ketus."Tapi dia tetap ayah kita, Rend. Meskipun kita menolak, darah tetap lebih kental." Ranti meraih tangan adiknya dan menepuk-nepuk punggung tangannya."Terserah Kakak aja! Aku malas ikut campur!" gumam Narendra pelan, hatinya sama sekali belu
"Ibu jangan dengarkan gosip yang nggak jelas. Nanti malah mengganggu kesehatan Ibu sendiri," ucap Ranti lembut sambil merangkul bahu Bu Diah dengan tangan kanan dan menggendong Aira di kiri."Ibu lihat berita di Televisi," jawab ibunya terdengar pasrah. Ranti jelas tahu, meskipun telah bercerai dan diperlakukan tidak adil oleh mantan suaminya, namun dalam hati ibunya masih mengharapkan hal yang baik untuk ayah dari anak-anaknya itu."Memangnya, ada berita apa di televisi, Bu?" tanya Ranti dengan nada penasaran. Namun, dia tak ingin putri kecilnya mendengar ucapan orang dewasa. Akhirnya, dia meminta adiknya untuk membawa Aira bermain."Aira, Sayang. Masuk dulu, gih, sama Om. Nanti Mama susul!" perintahnya dengan halus sambil mencium kedua pipi gembil gadis kecil itu yang langsung mengangguk."Safira, istri barunya ditemukan tewas di rumahnya, ciri-cirinya hampir sama dengan korban pembunuhan Malaikat Maut sebelumnya," terang Bu Diah setelah Aira masuk ke dalam rumah. Sementara dia dan
"Apa, Pak? Coba tolong diulang!" ucap Ranti dengan mimik yang minta penjelasan.Andika tidak langsung memberi jawaban. Dia mengencangkan Sabuk pengaman dan meminta Ranti melakukan hal yang sama dengan isyarat jari tangannya.Ranti pun mengikuti instruksi dari Andika dan mengenakan sabuk pengamannya."Bukankah kamu sendiri yang bilang untuk tidak menimbulkan kehebohan saat kita mencari ayahmu?" Andika balik bertanya saat mereka mulai melaju membelah jalan raya."Tentu saja, lalu?" Ranti makin tak mengerti. Dia menatap Andika dari samping dengan kening berkerut."Hemmm, ganteng juga," bisik hatinya konyol."Menurut kamu, apa pendapat orang kampung kalau melihat lelaki dan perempuan datang bersama?" Kembali Andika mengajukan pertanyaan.Ranti mengangguk mengerti."Okay! Saya mengerti, Pak," jawab Ranti mengulas senyum manis, membuat jantung Andika mulai berdetak tak normal."Ngomong pakai bahasa non formal aja, setidaknya untuk misi ini," pinta Andika membuat Ranti kembali tersenyum."Ba