Bella dengan gerakan yang liar dan cepat, melompat-lompat dan berlari tanpa arah. Gerakan tubuhnya yang besar dan kuat menimbulkan kekacauan di sekitarnya.
Madeline berusaha mempertahankan kendalinya dengan berpegangan erat pada tali kekang. Wajahnya tampak tegang dan penuh ketegaran saat dia mencoba meredam gerakan kuda tersebut. Dia sudah berada posisi paling bahaya saat ini, tergantung pada satu sisi tubuh kuda."Sean!" Madeline tidak yakin dia bisa bertahan lebih lama lagi.Darren menunggangi Brown dengan cepat mengarahkan kuda tersebut menuju Madeline dan Bella. Setelah berhasil mendekati, Darren memegang tali kekang Bella, menariknya kuat bertahan dengan posisi yang sangat bahaya lalu melompat ke Bella. Brown jadi berlarian sendiri, sedangkan Darren sudah berada di atas Bella.Pria itu memegang kuat tali kekang Bella, kemudian membantu Madeline untuk duduk lagi dalam posisi yang aman. Darren memegang perempuan itu erat, membuktikan dia sudah aman sekarang."Bella!" Darren memanggil nama kuda itu. "Bella, hei gadis baik. Berhentilah mengamuk!"Membutuhkan tenaga cukup kuat untuk bisa mengendalikannya, tetapi Darren tidak menyerah. Dia kaki depan Bella terangkat naik, Madeline merasa tubuhnya seperti akan terpental ke belakang, untung Darren masih memeganginya kuat. Hanya dalam beberapa detik, sudah turun lagi dan Madeline merasa terpental kembali ke depan.Bella perlahan bisa dikendalikan, dia tidak lagi melaju kencang. Darren bisa memintanya untuk berhenti.Kuda itu berhenti. Madeline merasa sangat ketakutan hingga tubuhnya lemas. Dia nyaris jatuh ke tanah jika saja Darren tidak memeganginya.Darren turun, Madeline juga turun dengan dipegangi. Saat menjejakkan kaki ke tanah, kedua kaki Madeline begitu lemas. Dia tidak kuat berdiri.Darren memegang pinggangnya. "Kau sudah aman, Mady. Kau aman …."Madeline begitu ketakutan tadi. Meski dia terus berpikir kalau ini akan menyenangkan, dibawa lari kuda dengan kecepatan seperti itu yang bisa membahayakannya rasanya seperti akan mati.Madeline limbung, Darren memegang tubuhnya erat-erat. Dia memeluk perempuan itu memegangnya agar jangan tumbang."Aku di sini. Aku menjagamu." Darren berbisik dengan napas tersengal. Satu tangannya berada di punggung Madeline. Madeline sebelumnya begitu marah dengan Darren. Tentang hal semalam, yang sudah mereka lakukan dan tentang Cressida yang datang bersamanya. Namun, sekarang Madeline begitu tenang dan dia sangat nyaman mendengar suaranya.Madeline mengangguk. Dia biarkan dirinya nyaman dalam pelukan Darren. Perempuan itu akan memegang pinggang Darren mempererat pelukan mereka. Namun …."Mady!" Suara Sean terdengar.Ya Tuhan, Madeline hampir saja lupa kalau saat ini sedang bersama Sean. Kenapa dia bisa lagi-lagi lepas kendali. Ah, godaan Darren begitu kuat sampai dia selalu saja melupakan Sean.Sean segera mendekati Madeline. Wajahnya tampak penuh kekhawatiran sambil ia memeriksa kondisi wanita tersebut."Kau baik-baik saja?" Pria itu menyorot dia dari ujung kepala sampai ujung kaki. Memastikan kekasihnya itu tidak terluka sedikit pun.Madeline menatap Sean, dia coba merasakan kondisi tubuhnya. "Aku baik-baik saja, Sean."Sean memeluk Madeline, dia hanya ingin meyakinkan dirinya kalau kekasihnya itu baik-baik saja. Setelahnya, kembali dia memeriksa Madeline."Kau yakin baik-baik saja?" tanyanya lagi. "Jangan dipaksakan kalau memang merasa tidak enak."Madeline mengangguk dan meyakinkan Sean bahwa dia benar-benar dalam kondisi baik. "Aku serius, Sean." Kali ini Madeline sampai memegang wajah pria itu dengan senyum hangat terukir.Darren menyaksikannya dan dia bertanya sendiri. Apakah Madeline sengaja melakukannya? Dia sengaja membuat Darren cemburu di sini?Sean kelihatan bisa bernapas lega. Sekali lagi dia memeluk Madeline karena yakin wanitanya itu tidak kenapa-napa.Sementara itu, Cressida telah memacu kuda miliknya dengan cepat dan kuat, melintasi padang rumput. Rambut panjangnya berkibar di udara, menyisakan jejak perjalanan mereka yang bisa dilihat oleh mata telanjang.Namun, setelah cukup jauh Cressida mulai merasa ada sesuatu yang tidak beres. Dia menoleh ke belakang dan mengamati jarak yang telah mereka tempuh. Tidak ada siapa pun atau apa pun yang menyusul mereka.Dengan alis berkerut Cressida memerintahkan Chloe agar untuk berhenti. Kuda tersebut meredam langkahnya sampai akhirnya berdiri diam di tengah jalur tanah bebas."Ke mana Darren?" Perempuan itu bertanya sendiri. "Harusnya, dia bisa menyusulku lebih cepat dari yang aku duga!"Cressida mengarahkan Chloe agar kembali ke jalan yang tadi.Saat mendekati tempat itu, Cressida melihat Darren malah memperhatikan Madeline yang sedang bersama Sean. Ekspresi Madeline yang tampak tenang dan bahagia bersama dua pria tersebut, membuat Cressida kesal. Tanpa berpikir panjang lagi, dia turun dari kudanya dan berjalan cepat menuju Darren."Kenapa kau tidak menyusulku!" teriak Cressida, suaranya bergema di udara sejuk pagi itu. Wajahnya memerah dan matanya memancarkan kekecewaan Darren menoleh kepada Cressida, wajahnya tetap tenang meski ada sedikit kebingungan yang terpancar dari matanya. Dia hanya mendengkus kecil sebelum akhirnya membuka mulut untuk menjawab."Ada insiden," ucap Darren dengan suara yang datar. "Madeline hampir saja celaka."Cressida mengangkat tangan, menghentikan kata-kata Darren. "Aku tahu," potongnya cepat. "Madeline memang amatir soal berkuda. Harusnya pengawas kuda mengikutinya.""Bukan begitu, Madeline?' Cressida meliriknya dengan tatapan yang sangat meremehkan.Madeline memelotot mendengar itu. Ada apa dengan Cressida ini? Kenapa dia jadi menyalahkan Madeline untuk Darren yang tidak menyusulnya? Padahal, sudah jelas dari tadi juga ada Sean yang menjaganya. Itu Darren sendiri yang berinisiatif. Sejenak suasana menjadi hening, hanya suara desiran angin dan hembusan napas kuda-kuda yang bisa didengar. Darren tahu kalau Madeline sedang dihina, tetapi dia tidak bisa melakukan apa-apa. Sean justru yang bisa pasang badan."Ini bukan salah Mady. Aku yang kesulitan mengontrol Green sampai dia membuat Bella kaget."Cressida acuh tak acuh mendengar itu. Dia lebih peduli dengan bagaimana Darren harus bersikap padanya."Tunggu!" Cressida menyadari Darren seperti menahan sakit dari tadi di pergelangan kirinya. Dia mendekati Darren, memaksa agar pria itu menggulung baju panjangnya. "Kau terluka!" Cressida memekik.Madeline berubah pucat. Jangan-jangan, saat melompat dari kuda tadi dan dia memegang tali kekangnya begitu kuat sampai jadi begitu lengannya.Sean mendekati kakaknya untuk memastikan. Saat diperiksa, ternyata itu sudah kelihatan sedikit bengkak dan biru. "Jangan berkuda, aku akan panggilkan pengawas untuk membawamu ke klinik.""Sudahlah." Darren kurang suka mereka perhatikan seperti ini. "Kalian sebaiknya mengurus Madeline. Aku yakin dia juga terluka."Madeline mengepal tangan. Darren akan terus bersikap begini. Dia memang sok perhatian dan kadang bisa keras kepala sekaligus sok cuek!"Sean!" Madeline memanggil kekasihnya. "Bisa bawa aku kembali?"Sean sempat agak bingung tadi antara menolong kakaknya dulu atau mengurus Madeline. Akan tetapi saat Cressida menawarkan diri untuk bisa mengurus Darren. Itu membuat Sean bisa memilih Madeline.Darren hanya bisa menatap mereka dengan cemburu."Aku akan membawamu ke klinik." Cressida membantu Darren berjalan. Dia memanggil pengawas kuda untuk mengurus Brown dan juga Chloe.Ben, dokter yang ditugaskan di klinik itu cukup terkejut saat melihat Darren masuk ke ruangannya dengan bantuan Cressida. "Darren, apa yang terjadi?" tanya dokter yang cukup mengenal Darren sebagai seorang penunggang kuda profesional dan mengetahui bahwa dia sangat terampil dalam olahraganya."Dia cedera." Cressida yang menjelaskan."Bagaimana bisa?" Ben bertanya kembali."Tentu saja bisa." Cressida yang masih mewakili Darren untuk menjawab. "Hari ini dia mau jadi pahlawan bagi seorang gadis."Darren mencebik. "Mulutku tidak cedera. Masih bisa dipakai untuk bicara. Jadi, kau tidak perlu mewakiliku untuk menjawab pertanyaan Ben!"Wah, sepertinya mereka sedang bertengkar. "Mari aku periksa." Ben meminta Darren agar duduk dan dia akan memeriksa cedera tangan pada pria itu.Ben melakukan serangkaian pemeriksaan awal pada Darren. Dia memeriksa gerakan send
Madeline tiba di apartemen bersama Sean. Mereka berdiri di depan pintu apartemen, lampu lorong yang redup menciptakan suasana yang sedikit tegang."Kau mau mampir?" tanya Madeline sambil menoleh ke arah Sean. Suaranya terdengar ragu dan gugup."Kenapa harus tanya?" balas Sean dengan senyum tipis di wajahnya. Dia tampak tenang dan santai, seolah-olah memang sudah seharusnya Madeline membiarkan dia masuk. Madeline tampak ragu untuk membuka pintu apartemen. Tangannya berhenti di gagang pintu, tidak yakin apakah harus membukanya atau tidak.Sean kemudian memegang tangan Madeline. "Aku mengganggumu?" "Tidak, bukan begitu." Madeline menggeleng cepat. Segera dia tepis pikirannya dan segera memasukkan kode kunci."Ayo masuk." Pintu terbuka, Madeline empersilakan Sean untuk masuk lebih dulu.Sean pun masuk dan langsung duduk di sofa yang ada di ruang tamu. Sofa berwarna putih yang terlihat agak kotor."Aku akan buatkan minuman untukmu," kata Madeline sambil bergerak menuju dapur kecil di bel
Madeline duduk termenung sendiri setelah Sean pergi. Dia menyadari kalau ada pria yang datang ke sini. Lantas apakah Sean juga bisa mereka kalau aroma tubuh yang tertinggal ini adalah aroma tubuhnya Darren?"Apa yang harus aku lakukan?" Madeline bergumam sendiri. Dia tidak masalah kalau Sean benar marah dan meninggalkannya. Namun, yang sudah-sudah pria itu bisa bersikap begitu baik. Ini yang membuat Madeline akan semakin merasa bersalah. Bagaimana dia harus menjelaskannya nanti jika Sean mau memaafkan? Haruskah dia mengatakannya langsung dan membiarkan hati laki-laki itu hancur lalu hubungan mereka ini berakhir?Tidak. Madeline rasa itu bukan ide baik. Sebaiknya Madeline menunggu waktu yang tepat untuk bisa menjelaskan. Pasti akan ada kesempatan untuknya dan dia akan pilih momen di mana itu tidak akan menghancurkan perasaan Sean.*Setelah melalui hari yang panjang, Cressida kembali ke rumahnya. Setidaknya, dia tahu di rumahnya yang mewah di pusat kota Manhattan, New York, akan me
Sean memegang setir mobil, termenung cukup lama. Dia memandangi mansion Darren yang megah dari balik kaca mobilnya, menimbang-nimbang apa yang harus dia katakan dan bagaimana dia harus bertindak.Setelah mengumpulkan cukup keberanian, Sean akhirnya membuka pintu mobil dan berjalan menuju mansion tersebut. Langkahnya terasa berat.Begitu masuk ke dalam mansion, seorang wanita berseragam kerja berwarna putih dengan apron hitam dan dasi kupu-kupu kecil di lehernya menyambut Sean.Dia Josy. Wanita bermata biru cerah dan selalu tampak penuh semangat. Wajahnya tampak awet muda meski kerutan sudah mulai tampak di beberapa bagian wajahnya."Kakakku ada?" tanya Sean."Ada, Tuan Muda," jawab Josy sambil memberikan senyum hormat kepada Sean. Dia kemudian membungkukkan badannya sedikit sebagai tanda hormat sebelum mempersilakan Sean untuk masuk lebih jauh ke dalam mansion.Darren duduk dengan tenang di ruang santainya yang luas dan nyaman bergaya klasik Eropa, dengan dinding-dindingnya dilapisi
Madeline menemui Sean segera setelah dia menerima telepon. Mereka bertemu di taman kota. Bagi Sean, tempat itu cukup romantis dengan lampu-lampu kota yang berkelap-kelip dan gemerlap di kejauhan. Pohon-pohon besar berdiri tegak, memberikan nuansa hening dan damai. Di malam hari, suasananya menjadi lebih tenang dan indah dengan pemandangan langit malam yang ditaburi bintang. "Maafkan aku, Mady," ujar Sean dengan nada serius. Madeline diam. Sejujurnya, dia merasa bersalah karena Sean tidak tahu bahwa kekasih yang dipujanya ini telah bercinta dengan kakaknya sendiri.Rasa bersalah mendera Madeline. Dia tidak kuat menyimpan kebohongan ini lagi. Hatinya hancur saat membayangkan betapa sakitnya Sean jika mengetahui semua ini. Sean adalah laki-laki baik. Mencintainya tanpa syarat, dan memberikan segalanya untuk membuatnya bahagia. Dan Madeline? Dia telah mengkhianati cinta mereka dengan cara paling buruk yang bisa dibayangkan oleh siapa pun.Malam itu menjadi semakin dingin seiring waktu be
Madeline merasa ketakutan yang begitu mendalam saat laki-laki tersebut semakin memperketat cengkeramannya dan memutar tubuhnya dengan kekuatan yang lebih besar. Dia berteriak dengan maksud memohon agar nyawanya tidak diambil. "Jangan bunuh aku!"Kejutan yang tidak terduga melanda Madeline saat dia melihat wajah pria itu dengan jelas. "D-Darren?" Madeline berkata dengan suara yang gemetar, matanya masih memancarkan ketakutan yang mendalam. "Ini aku, Madeline." Dengan napas tersengal berusaha menenangkan Madeline.Madeline merasakan betapa takutnya dirinya saat itu. Air matanya tidak bisa terbendung lagi dan mengalir deras di pipinya. Dalam keadaan yang rapuh, dia memeluk Darren dengan kuat, seolah mencari perlindungan. Darren dengan lembut mengusap bahu Madeline. "Jangan takut, aku di sini untuk melindungimu." "Aku takut," ucap Madeline dengan suara terputus-putus, masih dalam ketakutan yang melumpuhkan dirinya. Dia bingung dan tidak tahu apa yang harus dikatakan atau dilakukan dal
Cressida merasa begitu senang ketika melihat Darren memasuki ruangan. Dia segera berdiri dari kursinya, matanya berkilauan dengan antusiasme dan senyuman lebar terpampang di wajahnya.Namun, Darren tidak membalas senyumnya. Sebaliknya, ekspresi wajahnya tegang dan matanya memancarkan kemarahan yang tidak bisa dia sembunyikan. Cressida tidak menaruh curiga mengapa Darren tidak senang melihatnya."Apa yang kau lakukan pada Madeline!" Darren berteriak, suaranya bergema di seluruh ruangan, membuat Cressida terkejut."Apa?" Cressida menggelengkan kepalanya, tidak mengerti. Dia menatap Darren dengan tatapan bingung."A-ku tidak melakukan apa-apa," jawab Cressida, suaranya gemetar. Dia tidak mengerti mengapa Darren begitu marah padanya. Dia berusaha mencari tahu apa yang dia lakukan salah, tetapi dia tidak bisa menemukan jawabannya. Darren menggenggam sesuatu di tangannya. Dengan gerakan cepat, dia membuka layar ponsel dan menunjukkan sebuah foto kepada Cressida. Foto itu adalah foto seoran
Ellena duduk di sisi tempat tidur putrinya. Dia menatap Cressida yang masih berbaring tak sadarkan diri, hatinya remuk melihat keadaan putrinya. "Cressida, Sayang, kenapa kau melakukan ini?" bisiknya lembut, suaranya serak oleh tangis. Matanya berkaca-kaca, menatap putrinya yang tampak begitu rapuh di atas tempat tidur rumah sakit. Darren juga ada di sana. Dia menatap Cressida, matanya terasa dingin dan tak berperasaan. Anehnya, dia tidak merasa bersalah sama sekali atas percobaan bunuh diri yang dilakukan Cressida. Tidak mau dianggap sebagai monster, Darren dengan ragu-ragu meraih dan menyentuh tangan Cressida yang terbaring lemas. "Putriku hampir memotong nadinya karenamu!" pekik Ellena tiba-tiba menyalahkan Darren atas kejadian ini. "Tega sekali kau mengakhiri hubungan kalian!" Darren hanya bisa menghela napas, mencoba menahan amarah yang mulai membanjiri hatinya. Dia tidak bersalah, tetapi dipojokkan. "Sikap Cressida yang keterlaluan," balas Darren dengan nada datar, mencoba