Share

07 : Chocho Home Schooling

TITI POV

            Aku sedang menggandeng Chocho saat berpapasan dengan perawat bisu Mas Aro yang keluar dari kamar tuannya sambil menyusut airmatanya.  Siapa ya nama perawat ini?  Adam?  Alam?  Ih, aku emang susah mengingat nama orang. 

Paling si Adam abis dimarahin Mas Aro.  Ih, si jutek itu!  Bisa gak betah tuh si Alam kena judesnya dia, emang bibir seksinya perlu di sambel!  Eh, ntar makin pedes dong.  Lagian, ngapain coba aku membatin bibir seksi Mas Aro?!

            "Kak Titi!  Sekolah!" ucap Chocho membuatku tersadar.

Chocho menarik tanganku, kami berjalan menjauhi kamar kakaknya.  Aku tersenyum padanya.

            "Yuk, kita main sekolahan dulu.."

Memang aku suka mengajak Chocho main sekolahan.  Sebenarnya lebih mirip home schooling.  Aku ingin kemampuan intelektual Chocho juga berkembang.  Sebenarnya dia bukan anak bodoh, daya serapnya sangat bagus.  Terbukti beberapa kata bahasa Inggris yang kuajarkan padanya bisa diterapin olehnya.  Terutama kata 'I love you', dia sering banget mengungkapkan itu padaku.  Dasar bocah, mungkin dia gak mengerti maksud sebenarnya, dia pakai kata itu untuk mengungkapkan sayangnya padaku sebagai baby sitternya. 

Aku telah mendandani Chocho seperti pelaut.  Kami akan mengadakan mini show dengan iringan lagu 'Baby Shark'.  Begitu lagu itu kusetel, Chocho mulai bergoyang dengan mulut komat-kamit.  Aku melongo menyaksikannya.  Kok gayanya seksi abis?!  Dia bergaya seperti oppa-oppa boyband Korea yang video musiknya sering kusetel itu.  Chocho bisa menirunya dengan keren!  Bahkan tatapan matanya berubah menjadi lebih matang, sensual, dan cool.  Astaga, astaga, hatiku berdebar kencang memperhatikannya.

            "Chocho keren!!  Chocho cool!"

Spontan aku memeluknya saking senangnya diriku.  My baby..  Sesaat dia nampak normal seperti cowok seumurnya.

            "Baby Shark!  Baby shark!"  Dia melonjak kegirangan sambil menunjuk dirinya.  Aku mengangguk sedih.  Kini ia terlihat seperti bocah tuna grahita lagi.

            "Mommy Shark! Mommy Shark!" 

Dia menunjuk diriku.  Whatever lah, batinku sembari menyusut airmataku.  Miris melihat tingkah polos yang tak sesuai dengan umurnya itu.  padahal dia begitu tampan, keren, manis, dan sangat penyayang.

            "Grandpa Shark!  Grandpa Shark!" teriak Chocho, jarinya menuding seseorang.

Pandanganku langsung bertabrakan dengan orang itu.  Dia menatapku begitu dalam hingga aku tak bisa mengalihkan mataku darinya.  Tahu-tahu dia sudah ada di depanku.  Kapan dia mendorong kursi rodanya?  Aku ta menyadarinya karena fokus pada matanya doang.  Mas Aro menghapus airmata yang menetes di pipiku.  Kami saling menatap tanpa kata.  Kurasa aku bisa tenggelam dalam tatapan mata Mas Aro yang begitu membius.  Bibir Mas Aro mulai mendekati bibirku.  Apa dia akan menciumku?  Jantungku berdetak kencang menunggu ciumannya. 

Namun mendadak Chocho menyeretku menjauh sambil berteriak, "sekolah!  Sekolah!"

Aku tertawa, sembari menghembuskan napas lega.  Yaelah didekat Mas Aro membuat pasokan oksigenku menipis seketika!

            "Yuk, kita mulai belajar!" kataku bersemangat.

Berhubung cuaca lagi panas banget, kulepaskan kostum pelaut Chocho.  Kini dia mengenakan tshirt putih polos plus topi merah yang menutupi rambutnya.  Murid super tampanku itu tampak serius mengikuti pelajarannya.

            "Jadi Dedek, kalau ada orang asing kita mesti bagaimana?  Boleh gak langsung ngikut?" tanyaku menegaskan.

Chocho menggeleng.

            "Terus kalau si Om asing menawarkan coklat, Chocho mau?" aku sengaja memancing Chocho dengan sesuatu yang disukainya.

Chocho mengangguk antusias.

            "Coklat!  Choco suka!  Mau!  Mau!"

Haishhhhh!!!  Susah deh kalau begini, Chocho kan maniak coklat.  Sebaiknya jangan memakai coklat sebagai contoh.

            "Kalau si Om menawarkan donat, Chocho mau diajak pergi?" pancingku lagi.

Dia mengernyitkan dahi seakan tengah berpikir keras.

            "Kak Titi ikut?" tanyanya polos.

            "Ya enggaklah!  Ngapain si Om ngajak Kak Titi?!  Kak Titi bukan anak orang kaya!"

Chocho menggeleng tegas, "Kalau Kak Titi gak ikut Chocho gak mau!"

            "Kalau Kak Titi gak ikut tapi Chocho dikasih coklat sama si Om, apa Chocho mau ikut  Om asing?"

Chocho menggeleng berkali-kali.

            "Kak Titi harus ikut!  Chocho mau coklat!  Kak Titi ikut!"

Tepok jidat deh.  Gak mudah mengajar anak tunagrahita, walau dengan masalah sosial yang sangat umum.  Pemikiran mereka terlalu sederhana.  Tapi aku gak bakal menyerah, aku akan berjuang mengentas Chocho dari dunia mirisnya!

            "Gak boleh Chocho, meskipun ditawarin coklat Chocho tetap gak boleh ikut orang asing sembarangan.  Terlepas Kak Titi ikut atau tidak."

Chocho mengangguk, entah dia paham atau enggak.  Mungkin dia sekedar patuh pada omonganku.  Entah sejak kapan, semua omonganku ditelan mentah-mentah olehnya.  So sweet emang, tapi itu juga membuatku takut jika aku mengajarnya kurang tepat.  Mudah-mudahan itu tak terjadi karena aku tulus ingin memberikan yang terbaik bagi Chocho.  Bocah itu telah merebut semua simpati dan perhatianku. 

Aku menyayangimu, Chocho..

==== >(*~*)< ====

           

"Selesai!"  Aku berseru riang selesai menyisir rambut Chocho.  

Kutambahkan aksesoris topi yang kupasang terbalik di kepalanya.  Dia nampak keren, wangi, dan ganteng banget setelah kudandani seusai mandi sore.  Ih, Chochoku memang sempurna tampilannya.  Dia seperti boneka ganteng bagiku.  Akhir-akhir ini aku suka merubah style dandanan Chocho mengikuti moodku.  Kadang style imut seperti bocah, kadang style punk, kadang style ala boyband korea, kadang ala bisnisman.  Hehehe..  Gak masalah sih, diapain aja Chocho selalu terlihat ganteng... meski dengan dandanan sekonyol apapun! 

Aku mengagumi hasil dandananku.  Chocho terlihat menggemaskan!  Cup.  Kukecup pipinya gemas.

            "Saatnya Pangeran keluar dari sarangnya.  Yuk, kita keluar!" ajakku padanya.

Cup. 

Sekonyong-konyong Chocho mengecup bibirku sambil berkata, "i love you!"

Aku terdiam sejenak.  Akhir-akhir ini Chocho sering mencium bibirku.  Apa aku harus memberitahunya kalau dia tak boleh mengecup bibir orang sembarangan?  Tapi dia hanya mengecup bibirku saja, tak pernah bibir orang lain.  Bahkan akhir-akhir ini dia hampir gak pernah mencium orang lain selain aku, meskipun itu di pipi doang.  Ah, kurasa itu karena semua kasih sayangnya ditumpahkan padaku yang notabene adalah pengasuh yang merawatnya selama 24 jam.  Sudahlah, biarkan saja Chocho dengan caranya mengekspresikan rasa sayangnya. 

Aku membawa Chocho keluar kamarnya dan bertemu dengan Mas Aro yang sedang mengantar dokter pribadinya keluar.  Kurasa dokter itu hendak pulang seusai memeriksa Mas Aro.  Begitu melihat Chocho, dokter itu menyapa dengan ramah.

            "Halo, Chocho ya?  Manis sekali kamu, Nak."

Dia menepuk kepala Chocho pelan.  Chocho menatapku penuh arti.

            "Om asing," ucapnya pelan.

Bocah pintar!  Dia bisa menyerap ajaranku dengan baik.

            "Tak apa, Dek.  Om ini dokter yang memeriksa Kak Ander," kataku menjelaskan.

Chocho mengamati dokter itu dengan raut wajah khawatir.  Aku tahu Chocho tak mudah menerima kehadiran orang lain.  Aku menggengam tangan Chocho dan mengecup punggung tangannya lembut.

            "Tak apa, ada Kak Titi.  Dedek gak usah takut.  Lagian, Om dokter gak gigit kok."

Dokter itu tersenyum kecut mendengar komentarku.  Kusadari tatapan tajam Mas Aro tertuju kearah tautan tanganku dan Chocho.  Aku jadi jengah dan hendak melepas tanganku, namun Chocho justru balik menggenggam tanganku erat.

            "Chocho mau coklat?" dokter itu mengiming-imingi sambil menunjukkan coklat di depan wajah Chocho.

Mata Chocho berbinar menatap coklat itu, dia bimbang, dan menatapku galau.  Sengaja aku diam saja karena ingin tahu respon Chocho.  Dia menggigit bibirnya sambil menatap coklat itu penuh minat.

            "Om asing.  Tak mau coklat!  Chocho jangan dibawa pergi!"  Tiba-tiba Chocho berteriak sambil menepis kasar tangan dokter yang memegang coklat itu.

            "Chocho!!" bentak Mas Aro kesal.

Chocho kaget dibentak kakaknya, dia ketakutan dan meringkuk dalam pelukanku.  Aku jadi serba salah menghadapi situasi ini.  Yang aku lakukan hanya mengelus rambut Chocho untuk menenangkannya. 

Mas Aro menghembuskan napas panjang, lalu berkata tegas pada adiknya, "Chocho, minta maaf sama Pak Dokter."

Chocho menggeleng keras.

            "Chocho gak salah!  Gak minta maaf.  Minta maaf cuma kalau salah.  Chocho gak salah!"  Dia terus mengulang kata-kata itu hingga membuat Mas Aro semakin tersulut emosinya.

            "Patuh pada Kakak!  Minta maaf sekarang atau...."

            "Chocho gak mau!"

Plak!  Aku terkejut ketika Mas Aro mendadak menampar pipi Chocho.  Chocho juga syok, mungkin ini pertama kalinya Mas Aro memukul adiknya.  Airmata Chocho mengalir deras tanpa suara.  Dapat kurasakan perasaannya yang hancur.  Tak tahan aku melihatnya.  Kupeluk Chocho erat dan kukecup airmatanya.  Kulihat Mas Aro mengepalkan tangannya menahan emosi.

            "Sudahlah Tuan Xander, lupakan saja.  Dia masih kecil," Dokter itu berusaha menengahi.  Mungkin dia merasa tak enak hati sendiri.

            "Bawa masuk Chocho ke kamarnya!" perintah Mas Aro dingin.

Aku tahu ucapannya itu ditujukan padaku.  Tanpa berkata apapun aku menggandeng Chocho masuk ke kamarnya.  Dua jam kemudian aku keluar dari kamar Chocho setelah berhasil menenangkan bayi malangku itu.  Chocho telah tertidur setelah capek menangis.

            "Titi, aku mau bicara," terdengar suara seseorang memanggilku.

Kali ini dia memanggil namaku dengan benar, kurasa dia sedang serius.  Aku mendekatinya dan berdiri di depannya.  Mas Aro menatapku tajam dan dingin.

            "Bagaimana keadaan Chocho?" tanyanya singkat.

            "Tidur setelah capek menangis.  Dia sakit hati padamu," sindirku kesal.

            "Hari ini untuk pertama kalinya aku memukul adikku," katanya seakan pada dirinya sendiri sambil menatap telapak tangannya.

Aku trenyuh melihatnya.  Kurasa dia memang sangat menyayangi adiknya.

            "Maaf..." 

Belum sempat aku menyelesaikan ucapanku, dia sudah memotongnya dengan dingin, "ini semua salahmu!!"

Aku terhenyak mendengarnya.  Dia secara terang-terangan menimpakan semua kesalahan padaku.  Tapi aku mau menerimanya karena merasa bersalah pada Chocho.  Anggap aja aku yang salah, biar Chocho gak disalahin lagi hingga jadi sedih.

            "Ya ini salahku.  Aku kurang hati-hati dalam mengajar Chocho.  Pemikirannya terlalu sederhana, aku kurang mengantisipasi hingga terjadi hal ini."  Aku menghela napas panjang.

            "Aku minta maaf," ucapku lesu.

Grepppp.  Aku kaget, mendadak Mas Aro menarik pinggangku dan menekan ke tubuhnya.

            "Kau.....!  Sihir apa yang kau pakai hingga membuat kami seperti ini, hah?!" desisnya tajam.

            "Aku tak pakai sihir atau pelet!  Chocho bisa merasakannya, aku tulus menyayangi....."

Ucapanku terhenti saat aku menyadari sesuatu.  Kami?  Apa itu termasuk dirinya?  Aku menatapnya bingung.

            "Jangan melihatku seperti itu, Titi!!  Kau membuatku kehilangan akal sehat!!"

Apa arti semua ini?  Tengah aku kebingungan, Mas Aro menyambar bibirku dan menciumnya dengan ganas.  Aku gelagapan.  Lagi-lagi dia menciumku.  Perasaanku bergetar, spontan aku mengalungkan lengan ke lehernya.  Kami berciuman sangat lama dan menghentikannya saat merasa pasokan oksigen kami telah menipis.  Mas Aro menatapku dengan pandangan galau.

            "Ini salahmu, kau membuat semuanya kacau!" ucapnya ketus.

            "Apa?!  Aku tak berbuat apapun," protesku.

            "Aku cemburu.. pada adikku sendiri!  Ini gila!!" teriaknya frustasi.

Aku terdiam.  Perasaanku kacau banget.  Dia menyukaiku?  Tapi mengapa justru terkesan dia membenciku?!

            "Titi, sepertinya kau tak cocok bekerja disini.  Aku sudah memanggil Pak Frans untuk kembali mengasuh Chocho sementara waktu ini.  Saat Pak Frans datang kau boleh pergi dari sini," putus Mas Aro.

Aku dipecat?!  Setelah dia menciumku dan mengakui kalau cemburu padaku, lalu dia memecatku?!  Apa-apaan ini?!  Dasar orang kaya brengsek!  Seenaknya saja dia mempermainkan nasib orang lain!!  Tapi aku masih punya harga diri.

            "Baik, kalau Mas memecatku tolong bayar pesangonku.  Juga tentang hutangku.."

            "Akan kuatur semuanya!" potongnya dingin sebelum ia menyeret kursi rodanya meninggalkanku.

Dasar pria arogan!!  Nyaris kulempar dia dengan sandalku, lalu aku teringat aku lagi gak pakai sandal.  Mendadak hatiku menjadi sedih begitu teringat sebentar lagi aku tak bisa melihat Chocho. 

Chocho, sebentar lagi Kak Titi akan pergi.  Chocho harus tetap menjadi anak yang baik, ceria, dan bahagia ya.  

Airmataku menetes tanpa terasa.

==== >(*~*)< ====

Bersambung

                                   

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status