Gia berharap bertemu kuntilanak daripada harus berurusan dengan senior galak ini lagi. Setidaknya, kuntilanak masih bisa diajak tertawa bersama sambil nongkrong di atas pohon. Senior bermulut cabe ini sama sekali tidak berniat tersenyum pada Gia. Wajahnya kaku, tidak ada tanda-tanda kebahagiaan di sana.
"Eh, hai, Bang," sapa Gia mencoba ramah sambil melambaikan tangan dan senyuman tiga jari.
"Mana otak manusianya?" tanya lelaki yang paling dihindari Gia hari ini. Suara beratnya terasa menusuk telinga Gia.
"Ini ada di dalem sini, Bang," jawab Gia sambil menunjuk kepalanya.
"Gue nggak segan-segan bikin gule otak manusia," seru si senior galak. Dia bersuara perlahan dan tajam, tepat di telinga kiri Gia.
Gia kaget dan seketika mundur menjauh. Sayangnya, ada dinding yang menghadangnya. Muka Gia sudah nyaris seputih dinding di belakangnya.
"Kenapa lo telat?" tanya si senior galak. Tangannya dilipat di depan dada. Kaki kirinya bergeser memperlebar jarak dengan kaki kanannya, membuat auranya semakin menakutkan di mata Gia.
"Lo udah gue ingetin kemarin dan sekarang masih telat juga. Gue yakin itu otak emang udah dibikin gule," tambahnya dengan nada sinis, tidak peduli Gia bahkan belum menjawab pertanyaannya tadi.
Gia hanya bisa meringis ketakutan. Dia menunduk, enggan melihat singa kelaparan di depannya.
"Sanggup berdiri nggak lo?" tanya si senior galak itu masih dengan suara berat dan tajam.
"Sanggup, Bang," sahut Gia cepat, takut kalau terlambat menjawab singanya jadi semakin galak. Gia menyesal tidak pernah betah menonton Planet Animal. Dia tidak tahu bagaimana cara menjinakkan singa kelaparan yang sedang mengincar mangsa.
"Sekarang ikut gue!" perintahnya. Sang senior galak pergi ke dalam auditorium.
Gia hanya mengekor dengan kepala terus menunduk. 'Sial! Sial! Sial!'
Auditorium ini besarnya seukuran lapangan basket. Gia terus masuk ke bagian depan auditorium, di mana ada dua senior perempuan yang sedang menjelaskan entah apa. Gia terlalu takut untuk berpaling dari lelaki di depannya, takut tiba-tiba dia menerkam dan mencabik-cabik tubuhnya secara tiba-tiba. Hidupnya masih terlalu dini untuk berakhir hari ini. 'Gue masih perawan. Jangan sampai gue mati dalam keadaan perawan.'
Senior galak tadi berbisik kepada senior wanita berambut sebahu membawa mikrofon. Entah berdiskusi apa mereka. Tidak lama senior wanita tadi mendekati Gia dan memberikan mikrofon sambil tersenyum ramah.
'Ah, ternyata nggak semua senior sadis, ya.' Hati Gia sedikit lebih tenang. Hanya sedikit karena matanya masih bisa menangkap senior galaknya terus mengawasi.
"Perkenalkan diri lo, terus nyanyi pelangi-pelangi yang huruf vokalnya diganti O semua," perintah senior wanita tadi.
Gia baru tahu kalau ternyata senyum iblis itu memang benar adanya.
Gia mengembuskan napas berat. Dia memandangi barisan mahasiswa baru berseragam hitam putih di hadapannya. Gia kemudian maju beberapa langkah. Dia menepis rasa malunya jauh-jauh.
"Nama gue-" Belum selesai Gia memperkenalkan diri, ada yang memotong kalimatnya.
"Pakai kata yang formal. Nggak usah sok akrab," bentak senior galak yang tiba-tiba berada di belakang Gia. Gia spontan menaikkan bahunya kaget.
"Nama saya Anggiana Praba, biasa dipanggil Gia," kata Gia mulai memperkenalkan diri. Suasana hening. Pandangan mata semua orang yang ada di auditorium tertuju kepadanya. Gia menarik napas dalam-dalam sebelum melanjutkan.
"Polongo-po..."
"Yang keras!" bentak senior galak tepat di telinga kanan Gia. Suaranya menggema ke seluruh auditorium karena berhasil ditangkap mikrofon di tangan Gia.
'Ini lakik nggak pernah diajarin sopan santun emaknya apa, ya? Kebiasaan banget motong kata-kata orang. Untung gue sabar jadi cewek cakep.' Gia mengomel dalam hati.
"Polongo-polongo olongkoh ondohnyo. Moroh ko-"
"Mana suara kenceng lo tadi?" potong senior galak untuk kesekian kalinya.
Dia sudah mulai membuat Gia panas dan sakit hati. Gia menggenggam erat mikrofon menggunakan kedua tangannya. Dia harus segera menyelesaikan ini.
"POLONGO-POLONGO OLONGKOH ONDOHNYO. MOROH KONONG HOJOO, DO LONGOT YONG BORO. POLOKOSMO OGONG SOOPO GORONGON. POLONGO-POLONGO COPTOON TOHON." Gia berteriak sekeras mungkin. Suara cemprengnya pecah menggema di setiap sudut auditorium. Peduli setan dengan rasa malu. Dia tidak mau tahu berapa puluh orang yang muntah darah mendengar suaranya.
Saat Gia berhasil menyelesaikan nyanyian tidak jelasnya, seketika tepuk tangan membahana, membuat Gia merasa bangga. Gia lupa dirinya sedang dipermalukan. Gia tidak tahu bahwa tepuk tangan itu sebenarnya wujud rasa syukur karena suara Gia akhirnya berhenti.
Gia melemparkan senyum semanis mungkin ke semua penjuru auditorium. Gia bahkan membungkuk memberikan ucapan terima kasihnya.
"Udah ngayal jadi juara Indonesian Idol-nya?" tanya suara berat dan serak di samping kiri Gia.
Gia seketika tersadar. Wajahnya merah menahan malu. Sontak tawa menggema, menertawakan Gia.
'Ayah, Bunda... Gia minta dirukyah aja, dong. Sial amat seharian.' Gia menangis dalam hati. Ingatkan Gia untuk meminta Bunda membeli kembang tujuh rupa nanti.
Selesai konser tunggal Gia barusan, Gia diperintahkan bergabung ke dalam barisan. Acara selanjutnya berjalan normal, seakan-akan tidak terjadi apa-apa tadi. Beruntung tidak ada korban tewas setelah mendengarkan suara hancur Gia.
Seharian OSPEK berlangsung di dalam auditorium. Materinya hanya seputaran pengenalan kampus, dosen, dan mata kuliah yang diselingi acara santai menyanyikan mars fakultas dan meneriakkan yel-yel.
Tidak ada OSPEK yang sadis, yang mengharuskan makan makanan yang sekaligus dicampur dengan minuman dalam satu wadah, masuk ke got, atau mandi tahi kuda, tidak ada. Semua acara berjalan dengan menyenangkan, kecuali bagi Gia memang. Tapi sejauh ini, Gia pun bisa menikmatinya.
Sudah pukul empat sore. Kegiatan OSPEK hari kedua ditutup dengan doa bersama. Saat ketua pelaksana yang sekaligus menjabat ketua BEM FH membubarkan barisan, Gia merogoh ranselnya. Diambilnya smartphone warna rose gold yang seharian ini belum dijamahnya lagi. Gia langsung menelpon Ayah. Dia tidak akan mau kalau harus pulang naik angkot lagi.
"Ayah, Gia jemput, dong," rengek Gia saat panggilannya dijawab.
"Udah selesai?" tanya Ayah lembut.
"Iya, ini barusan kelar," jawab Gia sambil berjalan keluar auditorium.
"Ya, udah. Tungguin, ya. Ayah baru mau keluar kantor," sahut Ayah.
"Siap, Bos. Jangan lama-lama."
"Iya iya. Udah dulu, ya," pamit Ayah lalu menutup panggilan.
Gia memasukkan ponsel ke dalam ransel, lalu memandang sekeliling. Ruangan besar itu seketika sepi, hanya tinggal beberapa senior di sana, salah satunya si senior galak. Gia bergidik ngeri. Segera dia menjauh dari tempat mengerikan itu.
Setelah merasa aman, Gia menghentikan langkahnya di taman kampus. Ada empat bangku panjang dari beton melingkari taman. Gia duduk di bangku terdekat. Dia menyandarkan bahunya ke leher bangku, lelah.
Gia merasa sangat lemas. Beruntung, rasa mualnya tidak kambuh seharian tadi. Gia bahkan bisa menghabiskan dua mangkok bakso saat istirahat siang. Semangkuk es campur juga menambah penuh isi perutnya.
Tiba-tiba dahinya terasa hangat. Gia memandang ke atas. Ada gelas kertas berukuran besar menempel di dahinya. Dari aromanya, Gia tahu kalau gelas itu berisi teh melati. Gia menangkup gelas tersebut dengan kedua tangannya. Hangat. Gia buru-buru menghirup wanginya, membuatnya merasa nyaman.
Gia segera membalikkan badannya, tanpa berdiri. Dia penasaran siapa yang memberinya teh melati hangat ini. Setidaknya, dia harus mengucapkan terima kasih.
Mata Gia terpaku pada perut six pack yang tercetak samar dari kaus hitam yang dimasukkan ke dalam celana jins hitam. Kedua tangan orang itu masuk ke dalam saku. Gia menelan ludah karena melihat sesuatu yang lebih panas dari teh dalam genggamannya. Segera dia mengangkat kepalanya. Seketika Gia membuka mulutnya lebar-lebar.
'Mampus!'
Senior galaknya berdiri menjulang. "Belum pulang?" tanyanya tanpa peduli Gia yang membuka mulut mirip kuda nil di depannya.
"Ah, eh, ini nunggu jemputan," jawab Gia masih kaget.
"Dijemput siapa?"
"Ayah."
"Tiap hari sama Ayah?"
"Baru kali ini dijemput. Biasanya bawa mobil sendiri."
"Emang mobil lo mana?"
"Tadi pagi mendadak mogok waktu perjalanan ke kampus. Makanya telat."
"Terus kenapa sampe muntah?"
Gia kaget. Matanya melotot. Dia tidak menyangka kalau ada yang melihat dirinya muntah tadi. Wajahnya merah, malu.
Senior galak tadi berjalan memutari bangku, lalu duduk di samping Gia. Dia masih menunggu jawaban Gia.
"Ta-tadi terpaksa naik angkot. Terus sebelah gue bapak-bapak tua yang rambut sama kumisnya putih, perutnya buncit, yang bau badannya udah mirip bangkai tikus. Udah gitu pengap pula angkotnya. Gia harus nahan lebih dari dua puluh menit. Terus sampai kampus langsung lari. Jadi, deh, itu sarapan bikinan Bunda keluar semua. Sayang banget, tuh. Padahal, itu sarapan Gia yang request, spesial Bunda masakin buat Gia. Sedih nggak, tuh, jadi Gia? Udah gitu sampe kampus ketemu sama senior galak, ngeselin, yang mulutnya pedes mirip seblak level sepuluh. Gia dipermalukan di depan anak-anak seangkatan sama senior pula. Beuuhhh apes banget hari ini, deh. Ah, Gia jadi inget belum minta Bunda buat beli kembang tujuh rupa." Gia bercerita panjang lebar lalu mengambil ponselnya dari dalam ransel, tidak peduli dengan orang di sampingnya yang bingung dengan penjelasannya.
"Jadi ... yang lo maksud senior galak, ngeselin, yang mulutnya pedes mirip seblak level sepuluh itu siapa?" tanya si senior galak tadi dengan perlahan dan penuh penekanan.
Gia menghentikan kegiatannya yang sedang mengetik pesan untuk Bunda. Dia memandang lelaki yang duduk di sampingnya. Matanya tajam memandang Gia, tapi tidak mematikan seperti biasanya. Gia membuang mukanya ke samping.
"Bego! Bego! Bego! Ini mulut butuh sekolah lagi nih emang." Gia memaki dirinya sendiri sambil memukul-mukul kepalanya.
Tiba-tiba ponselnya bergetar, ada panggilan masuk. Gia langsung mengangkat tanpa peduli siapa yang menelepon.
"Gi, Ayah udah di depan." Suara Ayah menjadi suara paling indah saat ini. Ayahnya benar-benar penyelamat.
"Gia ke sana sekarang," sahut Gia lalu menyudahi panggilan.
Gia berdiri, berbalik menghadap seniornya dengan takut. "Gia pamit dulu, ya, Bang, udah dijemput," pamit Gia lalu menggigit bibir bawahnya.
"Ati-ati. Diabisin itu tehnya," sahut senior galak sambil melambaikan tangan.
"Makasih, ya, Bang," kata Gia lalu berlari meninggalkan seniornya yang tersenyum memandang tubuh Gia perlahan menghilang.
Ini hari ketiga Gia sebagai mahasiswi dan sekaligus hari terakhir OSPEK. Sejak kemarin Gia terus merengek kepada Ayah agar mau mengantarnya ke kampus, dengan risiko Ayah harus melewati jalan yang berlawanan arah dari kantornya. Ayah yang memang selalu memanjakan anak gadisnya itu pun mengiakan. Pagi ini Gia sudah duduk di mobil Ayah. Di bangku kemudi Ayah sedang fokus mengendarai mobil Toyota Camry hitamnya, berusaha secepat mungkin sampai di kampus putrinya. "Ayah tegang banget, sih? Ini cuma nganterin Gia ngampus, bukan bawa Gia ke pelaminan kali," komentar Gia yang gemas dengan wajah serius ayahnya. "Iya, tapi kalau Ayah sampai telat hari ini, kamu bisa-bisa nggak akan sampai ke pelaminan juga, Gi," sahut Ayah masih fokus memandang jalanan di depannya. "Apa hubungannya Ayah telat sama Gia kawin?" tanya Gia bingung. "Ayah ada rapat penting pagi ini. Kalau telat, bisa digantung sama Pak Direktur nanti." Ayah mulai cemas memandang barisan mobil yang mengular di depannya. "Eh, en
Acara terakhir setelah upacara pembubaran OSPEK adalah makan malam bersama. Para senior memanjakan juniornya dengan menyiapkan sendiri nasi liwet yang ditaruh di daun pisang yang berjejer panjang mengitari auditorium. Menu liwetan pun termasuk lengkap. Nasi gurih dengan lauk ayam, tahu, dan tempe goreng aromanya menggoda. Segarnya sayur asem juga membuat liur menetes. Lalapan plus sambel terasi serta kerupuk semakin membuat semua yang ada di auditorium kelaparan. Tidak lupa ada es teh manis sebagai minuman. Menu yang sungguh menggoda selera, apalagi perut memang sudah waktunya diisi. Di depan auditorium, Reza, ketua panitia pelaksana OSPEK dan ketua BEM, mengucapkan terima kasih atas semua bantuan yang membuat acara OSPEK selama tiga hari ini berjalan lancar. Reza juga mengucapkan selamat kepada mahasiswa baru yang sudah resmi menjadi mahasiswa di Universitas Merva. Reza hanya berbicara singkat. Dia paham semua yang ada di dalam auditorium sudah berfokus ke makanan yang tersaji. Jadi,
Gia memandang dirinya di depan cermin besar setinggi dua meter di kamarnya, memastikan penampilannya sudah sempurna. Kemeja Flanel biru menjadi pilihannya hari ini. Bagian lengannya sengaja dilipat sedikit sebatas lengan. Dia memadukannya dengan celana jins hitam yang robek di kedua lutut. Rambut Gia yang dicat warna coklat dikucir bagian atasnya, lalu dicepol asal-asalan, sementara sisa rambut bagian bawah dibiarkan terurai begitu saja. Gia enggan menggunakan mekap berlebih. Seperti biasa, dia hanya memoles bedak bayi di wajah dan pelembab bibir. Gia tersenyum di depan cermin, merasa menjadi wanita tercantik sejagad raya. Setelah penampilannya sempurna, Gia mengambil ransel hitam kecilnya dari meja belajar. Ransel ini menjadi tas kesayangannya, alasan sederhana untuk menutupi kalau sebenarnya Gia malas memindah isi tas ke tas lain. Sekarang, dia siap pergi ke kampus. Di ruang makan, Ayah duduk menunggu Bunda selesai masak sambil membaca koran. Rutinitas ini memang terlalu ketinggal
Gia memasukkan mobil ke garasi rumah. Rumahnya memang tidak besar, tapi dia selalu tenang saat akhirnya tiba di rumah. Penampilan Gia sudah kacau. Rambut panjangnya dibiarkan tergerai, tapi kusut di beberapa bagian. Tidak ada kerapian sama sekali dalam diri Gia sore ini. Wajahnya yang lelah sudah kusut dan berminyak. Kemeja merah dengan motif bunga-bunga yang digunakannya sudah acak-acakan di sana-sini. Kegiatan kampusnya hari ini terasa lumayan menguras tenaga dan pikiran. Ada tiga mata kuliah hari ini, yang sukses membuat otaknya lumayan panas. Berbeda dengan waktu dia masih duduk di bangku sekolah, Gia hanya perlu duduk dan semua materi pelajaran akan diberikan oleh gurunya. Sekarang, Gia harus memahami segala sesuatunya sendiri. Dosen hanya memberikan sedikit gambaran tentang materi yang diberikan. Sisanya akan ada diskusi antar mahasiswa dan diakhiri dengan tugas-tugas. Jadi, baru mulai kuliah, tetapi tugas Gia sudah menumpuk. Saat Gia akan masuk ke dalam rumah, mata Gia mena
Gia mengikat rambut coklatnya terlebih dahulu sebelum keluar dari mobil. Mendadak dia merasa lebih nyaman dengan rambut yang diikat. Seperti biasa, Gia hanya mengikat rambutnya asal-asalan. Dia tidak terlalu peduli dengan kerapian, yang penting nyaman dan tidak mengganggu aktivitasnya. Selesai urusan rambut, Gia mengambil tas ransel dari kursi samping lalu keluar dari mobil. Parkiran sudah hampir penuh berbagai macam mobil beraneka bentuk dan warna. Showroom mobil akan minder dengan deretan mobil di parkiran kampus FH. Mulai dari mobil klasik sampai mobil mewah keluaran terbaru ada di sini. Gia memandang sekeliling, siapa tahu ada orang yang dikenalnya. Bisa berjalan bersama seseorang sampai kelas jelas lebih menyenangkan daripada sendirian. Sayangnya, tidak ada wajah yang dikenalnya. Yang ada hanya para senior yang Gia tidak tahu namanya. Gia akhirnya melangkahkan kakinya menuju gedung A sendirian. Tangannya memainkan kunci mobil, hanya untuk kesibukan sesaat. "Sendirian aja, Neng?
Hari Senin jadi hari yang sering dicaci maki oleh sebagian besar orang. Hari ini dianggap sebagai hari menyebalkan. Setelah menikmati akhir pekan yang bisa menenangkan pikiran dari kegiatan rutin, seperti kerja atau sekolah, bertemu dengan hari Senin seperti kembali bertemu monster, yang harus dikalahkan dalam waktu satu minggu ke depan. Ini juga yang dirasakan Gia. Sejak pagi Gia sudah malas untuk berangkat kuliah. Gia merasa hari libur selama dua hari itu kurang. Padahal, yang dilakukan Gia di hari Sabtu dan Minggu hanya hibernasi. Dia tidur sepanjang hari dengan alasan mengisi kembali energi yang terkuras habis. "Bundaaa," panggil Gia manja. Gia menarik kursi makan, lalu duduk. Kedua tangannya dilipat di atas meja, lalu kepalanya direbahkan di atasnya. "Kenapa, Gi? Kusut banget mukanya?" tanya Bunda yang sedang bersiap masak sarapan. "Gia bolos, ya?" rengek Gia masih dengan nada manjanya. Posisinya tidak berubah, malah sekarang matanya terpejam. "Kenapa bolos segala?" tanya Bun
Matahari mulai tenggelam. Teletubbies berpamitan, sementara Gia baru bangun dari tidur siangnya. Bisa tidur siang di hari Senin itu salah satu surga dunia. Jarang-jarang ada orang yang bisa dengan enaknya tidur di siang hari selama lebih dari tiga jam. Gia sangat bersyukur menjadi orang terpilih yang bisa menikmati surga dunia hari ini. Pagi tadi Gia mendapatkan pesan kalau dua kuliah untuk hari ini ditiadakan. Dosen pertama meminta penggantian jam dengan alasan yang tidak diberitahu. Setelah berdiskusi dengan kordinator tingkat, akhirnya diputuskan kuliah diganti besok Rabu jam tiga sore. Sementara dosen kedua ada acara keluar kota, belum ada perintah penggantian kelas. Gia merasa bagai mendapat lamaran perjaka tampan, mapan, dan kuat iman. Gia bahagia dunia akhirat. Hari liburnya bertambah satu hari lagi. Selesai sarapan, Gia kembali masuk ke kamar. Dia memandang sekeliling kamar. Di meja belajar, beberapa buku kuliah saling tumpang tindih tidak beraturan. Pulpen, pensil, dan pen
Gia memandang deretan rak buku kayu yang tinggi menjulang berjejer rapi di depannya. Perpustakaan menjadi tempat yang jarang sekali dikunjungi oleh Gia. Tapi, kali ini dia berdiri di sini, sendirian. Bukan sendirian dalam arti sebenarnya. Ada beberapa mahasiswa lain di sana, sibuk dengan diri mereka sendiri. Mereka larut dalam buku atau terlelap dalam mimpi di sudut perpustakaan yang hening. Gia tidak mengenal satu pun dari mereka. Wajah mereka terlalu asing baginya. Gia yakin mereka adalah mahasiswa semester tua yang sibuk cari referensi bahan skripsi. Gia berjalan menyusuri lorong sambil membaca sepintas judul buku yang ada di sana. Tidak ada buku yang menarik. Semuanya tentang hukum. Sampai akhirnya Gia membaca judul buku yang aneh. "Chicken soup?" tanya Gia bingung. "Ini kan perpustakaan kampus hukum. Gimana ceritanya ada buku resep masakan di sini?" Gia mengambil buku chicken soup dari rak buku. Penasaran, Gia membawa buku itu. Dia mengamati sekeliling perpustakaan. Suasana p