Sepertinya, tingkat kekesalannya pada Fanya sudah naik satu tingkat. Jelas-jelas tertulis di buku tugasnya, kalau dia sudah harus berada di rumah sebelum Regan pulang. Dan sekarang, hanya ada Akbar di rumah.
"Aku hanya memintamu untuk mengurus satu wanita Kai, kenapa dia belum pulang? Sok sibuk sekali dia, sampai harus pulang lebih malam dariku."
"Entahlah Tuan, saya juga sudah memberitahunya berulang kali sebelum hari pernikahan. Saya akan mencarinya, nanti."
"Tidak usah. Biarkan saja, pulang tidaknya dia, bukan urusanku. Dia bukan lagi anak kecil yang akan tersesat di pedalam."
'Nona, Nona, tidak bisakah anda tidak membuat masalah sehari, saja.'
"Hei, Kai, siapkan makan malam untuk Manda nanti." Regan berkata tanpa menoleh ke arah Kaisar yang berdiri di dasar tangga.
"Baik, Tuan."
Entah Fanya pergi ke mana, dia pun tidak mau tahu. Hanya Regan yang menjadi prioritas utamanya selama ini.
"Akbar," panggil Kai dengan berjalan ke arah pria itu.
"Nona Muda belum pulang, dia juga tidak memberi tahuku kalau telat."
"Tau, saya. Malam ini Nona Amanda akan makan malam di rumah. Siapkan dengan sebaik mungkin."
"Baiklah." Akbar mengangguk paham. "Oh ya, kamu tidak coba cari dia?"
"Pulang atau tidak, bukan urusan saya. Lagi pula, Tuan Muda juga tidak peduli."
'Hmm ... ilang beneran baru tau rasa kalian.'
Sesuai perintah, malam ini Akbar sudah mempersiapkan semuanya. Hidangan terbaik, sudah ia keluarkan dari koki mereka.
Menjalin hubungan dengan Amanda selama lima tahun, sudah membuat hubungan mereka sangat dekat. Bahkan Manda tidak canggung lagi dengan mereka.
Sampai pukul tujuh pun Fanya belum menampakkan batang hidungnya. Dan sekarang, Regan mulai marah-marah tidak jelas.
Bertanya keberadaan Fanya, tapi saat Kaisar akan mencarinya, dia justru melarang itu.
Sampai Kaisar berdiri di ambang pintu rumah, bersiap akan memarahi Fanya terlebih dulu saat gadis itu pulang nanti.
Tubuhnya menegak, saat melihat satpam rumah yang membuka gerbang. Terlihat mobil putih, masuk dari sana.
Ah ... aku pikir Nona Muda tadi.
"Selamat malam Kai," sapa Manda saat ia baru saja turun dari mobil. "Kenapa di luar? Kamu sedang tidak menungguku, 'kan?"
"Saya sedang menunggu Nona Muda, Nona."
"Ke mana dia?"
"Entahlah."
"Kenapa tidak kamu telpon saja?"
"Ponselnya tidak aktif."
"Oh ... Regan ada, kan, di dalam?"
"Ada. Dia lagi dalam kamar, Nona."
Tidak peduli dengan masalah mereka, Manda bergegas naik ke atas. Hal yang sama bisa ia lihat dari Regan.
"Re," panggil Manda dengan menghampiri pria yang tengah memandang ke luar jendela. "Kenapa, kamu?"
Belum juga menjawab, Manda sudah melingkarkan tangannya ke perut Regan. Memeluk pria itu dari belakang.
"Aku sudah bilang padanya, jangan membuatku repot. Masih, saja membuat masalah. Dia kerja apa, sih, sampai terlihat sangat sibuk seperti itu."
"Sudahlah, jangan pikirkan dia. Besok aku mau berangkat ke Paris. Habiskan malam ini denganku," ujarnya dengan menciumi wajah Regan.
"Ayo turun, aku sudah mempersiapkan makan malam untuk kita."
Manda mengangguk antusias. Menggandeng lengan Regan dengan erat.
***
Lelah fisik, masih bisa diterima oleh Fanya. Tapi saat ini, bukan hanya tubuhnya saja yang lelah. Pikiran dan hatinya pun terluka.
Gadis itu terduduk sendiri sekarang. Laptop yang sejak tadi masih menyala, sama sekali tidak mampu untuk menarik perhatiannya.
Sampai ia tidak tahu lagi, dan menekuk wajahnya ke dalam kedua tangan. Tidak ada tangis lagi, tapi rasa kecewa itu sudah terlalu dalam.
"Pulanglah!"
Fanya mendongak, menatap suara seorang pria yang sudah familiar di telinganya.
"Tidak usah mengurusiku lagi," ujarnya malas dengan membereskan semua peralatannya.
"Aku juga tidak berniat mengurusimu. Aku hanya kebetulan lewat di sini. Bagaimana, apa kamu sudah bisa merasakan apa yang aku rasakan?"
Fanya menegak, menatap Rendi dengan senyum remeh. "Jadi kamu melakukan ini untuk balas dendam, iya?"
"Aku tidak bisa melihatmu menikah dengan orang lain, kamu pikir aku baik-baik saja, menerima kenyataan kalau orang yang aku cintai berada satu kamar dengan orang lain?"
"Aku juga tidak menginginkan ini, Ren! Lagi pula, kamu juga bilang padaku kalau kamu akan menunggu dia menceraikan aku, 'kan!"
"Aku memang mengatakan itu, tapi apa kamu benar-benar akan bercerai dengannya? Apa aku bisa yakin, kalau kamu tidak melakukan apa-apa, dengan dia?"
"Apa yang kamu katakan, Ren?!"
"Aku mencintaimu, Nya! Apa lagi?! Tapi aku tidak bisa menjadi orang yang akan terus menunggu tanpa kepastian. Jika kamu ingin tau sebesar apa, maka aku tidak bisa menggambarkannya lagi. Cemburu Nya, cemburu ini lebih besar, sampai aku memilih orang lain."
"Tapi aku ingin kamu menungguku, Ren! Aku pasti akan kembali ke kamu, aku janji!" teriak Fanya dengan suara yang bergetar. Pundaknya pun naik turun mengikuti isakan tangis.
"Aku tidak yakin, Nya. Aku memang mencintaimu, tapi aku juga punya kehidupan yang terus berjalan. Maaf Nya, kamu sudah terlalu jauh untuk aku gapai."
Tangisnya semakin menjadi, saat ia menatap punggung Rendi yang semakin jauh. Pria itu sudah tidak lagi berdiri di belakang untuk menunggunya.
Oke, live must go on.
Sudah terlalu malam dia berada di taman ini. Kembali, ia harus mencari ojek pulang. Dan sekarang, jatah uang jajannya pun harus ia pangkas untuk ongkos kendaraan.
Sampai di depan gerbang rumah Regan, sebisa mungkin ia menarik senyum. Mengecek wajahnya berulang kali, hanya untuk memastikan tidak ada bekas air mata di sana.
Senyum yang sudah ia latih tadi berubah kecut saat melihat Kaisar yang seolah ingin menghakiminya. Berdiri di ambang pintu, dengan memasukkan kedua tangan.
'Ah ... dia lagi.'
"Dari mana?" tanya Kai ketus.
"Kerja. Udah, aku capek."
"Nona," panggil Kai dengan mencekal tangan Fanya. "Anda punya aturan di sini, Tuan Muda sudah berbaik hati meninggikan perusahaan keluarga anda."
"Iya, terima kasih."
"Nona, kalo anda seperti ini, saya tidak akan membela anda lagi jika Tuan Muda marah dengan anda nanti."
"Iya, tidak apa-apa. Apa aku bisa masuk? Aku lapar sekali," ujarnya dengan wajah memelas.
Melihat wajah itu, Kai melepas tangan Fanya. Membiarkan dia masuk begitu saja. Tepat di saat Regan turun dengan Manda yang menggandeng tangannya.
"Kenapa pulang?" tanya Regan dengan nada sinis.
"Maaf, saya tadi-"
"Gak usah alesan. Kerja? Kerja, sana! Biar aku gak capek-capek ngurusi kamu."
"Sudahlah sayang, jangan rusak malam kita. Oke?"
'Cih. Sok romantis sekali, mereka.'
Fanya hanya membalasnya dengan senyum lebar. Masuk dan membersihkan diri dengan cepat. Perutnya sudah tidak tahan lagi minta diisi.
Melihat Manda dan Regan yang makan malam ala candy light dinner, membuat Fanya kesal sendiri. Entah apa yang dipikirkannya, gadis itu lewat begitu saja tanpa melirik mereka sedikit pun.
Sementara Regan dan Manda hanya bisa mengernyit, melihat Fanya yang lewat seolah tidak berdosa. Tepat di saat Regan hendak mencium Manda.
"Nona, apa yang anda pikirkan?" tanya Akbar dengan nada kesal.
"Aku lapar. Dari tadi siang aku belum makan apa pun. Apa aku salah, ke dapur untuk mengambil makan malamku?"
"Tidak juga. Tapi Kai pasti akan memarahi anda habis-habisan nanti."
***
Masa bodoh dengan Kai. Apa lagi Regan. Fanya hanya mementingkan isi perutnya saat ini."Anda mau ke mana?""Makanlah," jawab Fanya santai dengan membawa piring serta gelas di kedua tangannya."Anda tidak akan bergabung dengan mereka, 'kan?""Gak selera juga gabung sama mereka. Aku mau ke halaman belakang," sahutnya dengan berlalu meninggalkan Akbar di dapur.Jangan tanya di mana Kai. Pria itu sudah berdiri dengan mengawasi Fanya dari kejauhan sejak tadi. Menunggu jika sampai berbuat lebih.Melihat Kaisar yang berdiri dengan memasang wajah sangarnya, Fanya hanya menyapa dengan senyum lebar. Melewati pria itu dengan santai.Ada satu rumah lagi yang terletak di halaman belakang. Tempat semua pelayan Regan tinggal. Kolam renang, yang berada di tengah-tengahnya.Dan di sinilah Fanya meletakkan dirinya. Duduk bersila, di pinggiran kolam. Memangku piring dengan menikmati suara gemericik air dari pancu
Hari pernikahan Rendi akan berlangsung besok. Semua persiapan yang sudah dilakukan Fanya sempurna. Tempat impiannya dulu pun sudah ia dapat dengan keberuntungan.Menyiapkan pernikahan mantan pacar, bukan hal mudah bagi Fanya. Tapi entahlah. Apa Rendi juga merasakan hal yang sama?Malam ini, Fanya belum juga keluar dari gedung itu. Mengawasi semua persiapan dekorasi sampai mengecek konsumsi.Mengarahkan semua karyawan, agar sesuai dengan apa yang diharapkan klien. Kelambu putih, yang digantungkan sampai menyambung membentuk sebuah altar."Udah, Nya! Kamu gak capek, dari tadi mondar-mandir mulu?""Kamu pulang aja, Mira! Udah tinggal dikit lagi, kok.""Mana tega aku ninggalin kamu. Emang kamu pulang mau jalan kaki? Ini udah jam sembilan loh.""Aku bisa pakek ojek ntar.""Enggak. Ntar aku yang anterin sampai ke rumah. Sini Nya, duduk sini!" seru Mira dengan menarik tangan Fanya. "Jaga kesehatan, ke
Ada yang berbeda pagi ini. Napas hangat, yang menyapu wajahnya. Semakin lama, embusan itu terasa semakin nyata. Sampai Fanya membuka matanya perlahan dan melihat wajah Regan yang begitu dekat dengannya.Mata itu membulat dan langsung melirik ke arah tubuhnya. Takut jika pertahanan dia terlepas tadi malam.Masih aman.Bukan hanya wajah mereka yang hampir bersentuhan, tapi tangan kekar itu juga melingkar di pinggangnya."Ishh ... apa-apaan ini!" serunya dengan menghempaskan tangan Regan begitu saja."Heh, kamu berani menganggu tidurku?!""Maaf, Tuan. Tapi tangan anda melingkar di tubuh saya tadi.""Itu terserah aku. Mau aku taruh sini," ujarnya dengan kembali meletakkan tangan di atas perut Fanya. "Mau kakiku, aku taruh sini," sambungnya dengan meletakkan kaki tepat di atas kaki Fanya. "Itu terserah aku! Kamu di sini cuma numpang. Jadi gak usah protes kalau aku naruh tangan dan kaki sesukaku."'Cih. Pe
Perjanjian pernikahan, diucapkan Rendi begitu lantang. Suara tepuk tangan, bersahutan dengan riuh. Kilatan cahaya putih, saling bersahutan untuk mengabadikan momen itu.Lantas, apa Fanya baik-baik saja?Ayolah, berikan dia medali sebagai wanita paling tangguh hari ini. Dia masih bisa memasang senyum lebar hingga mirip duta pasta gigi dengan memperhatikan mereka dari kejauhan.Harusnya aku yang kamu genggam. Harusnya aku yang kamu cium. Harusnya ini menjadi tempat pernikahan kita. Aku akan mengambil hakku nanti. Aku pasti akan mengambilnya.Sesekali, Fanya berjalan ke luar gedung. Menghibur diri, dan bersiap kembali mengganti gaun mereka jika memang waktunya."Kamu gak pa-pa, kan, Nya?"Wajar jika Mira menanyakan hal itu. Melihat isi piring Fanya yang sudah di luar batas.Kalo kata Fanya, cemburu itu menguras tenaga. Dia butuh tenaga extra untuk menghadapi kenyataan."Gak pa-pa. Laper aja
Turunnya Regan dari dalam mobil itu sudah mengalihkan perhatian mereka. Beberapa fotografer justru lebih tertarik mengabadikan foto mereka ketimbang Sang Pengantin hari ini.Tapi tidak ada satu pun dari mereka yang berani mendekat. Bisa-bisa, Kaisar akan dengan senang hati melahap mereka hidup-hidup."Pegang tanganku," ujar Regan lirih dengan mengisyaratkan agar Fanya meraih tangannya.Tentu saja, kalau perlu dia akan memeluk Regan untuk memancing emosi Rendi."Panggil aku sayang, dan bersikaplah seperti pasangan normal."'Hei, aku selalu bersikap normal! Kamu saja yang kaku kayak kanebo kering.'Dan baru kali ini, pesona tamu undangan mengalahkan segalanya. Berjalan layaknya merekalah yang menikah hari ini.Jika tadi Fanya yang makan hati, sekarang Rendi yang merasa ketar-ketir setiap langkah mereka semakin dekat."Ini merupakan suatu kehormatan bagi keluarga saya atas kehadiran anda, Tuan," ujar ayah Rendi saa
"Apa kamu masih belum mau bangun juga? Kamu pikir, menahan kepalamu semalam tidak membuat tanganku kesemutan?"Regan berkata tanpa membuka matanya sedikit pun. Dan Fanya barus sadar, saat kepala dan tangannya terikat dengan pria itu."Oh, maaf. Saya tidak sengaja," jawab Fanya dengan menarik tangannya dengan cepat. Menegakkan tubuh, dengan memberi jarak di tengah-tengah mereka."Mau ke mana?""Saya mau mandi. Pergi ke salon seperti biasa.""Kamu pikir kamu bisa lolos dariku, setelah kamu membuat tanganku mati rasa semalaman?""Saya sudah bilang, saya tidak sengaja melakukannya. Itu pun karena saya tidak sadar waktu tidur.""Aku tidak peduli," ujar Regan dengan menegakkan tubuhnya. "Yang aku tau, tanganku mati rasa sekarang, dan kamu harus bertanggung jawab untuk memijitnya." Regan mengulurkan tangan kirinya ke arah gadis itu."Emmm ... apa saya bisa menundanya nanti? Saya sudah siang dan di hari Ming
Niat yang akan menyusul Regan ke bawah untuk menanyakan ulah Kaisar, langkahnya terhenti saat ia baru saja memasuki pentry.Regan sudah berdiri dengan menyangga tubuhnya di meja. Terdengar suara seorang wanita dari ponsel yang tengah ia loudspeaker. Dan sudah bisa ia pastikan, Amandalah pemilik suara itu."Aku akan kembali dalam dua minggu sayang, dan aku akan siap untuk menerima cincin pernikahan darimu." Begitu suara Amanda yang terdengar manja dari ponsel itu."Hmmm."Regan menjawab dengan menyodorkan cangkir ke arah Fanya. "Buatkan aku minuman hangat.""Apa yang harus aku buat?""Terserah. Yang penting jangan teh, aku tidak suka."'Cih. Jadi dia melarangku keluar hanya untuk ini?'"Sayang, apa kamu bicara dengan wanita itu?" sahut Manda yang masih terhubung dengan Regan."Hmmm.""Sayang, kamu marah sama aku?""Hmmm."Regan seolah tidak peduli dengan Manda. Ia justru mendekat ke
Ada satu baju yang menarik perhatian dia. Sepertinya, itu akan cocok jika Regan yang memakai. Butuh waktu beberapa menit, untuk Fanya menimang-nimang harga yang terbilang bisa menguras jatah uang jajannya.Tujuh digit, membuat ia menelan saliva keras dan membalikkan bandrol itu dengan cepat.'Harga apa, ini? Aku bisa membeli lima baju untuk menukar dengan kemeja santai seperti ini.'"Kenapa? Apa kamu perlu bantuanku untuk memilih?""Ah, tidak, tidak perlu. Aku sudah mendapatkan pilihan."'Tidak mungkin. Bisa-bisa dia malah mengerjaiku dengan memilih harga paling mahal nanti.'Dengan terpaksa, Fanya menyahut pilihannya. Berharap ia tidak dicincang Regan karena memberikan baju murahan jika sampai di rumah nanti.'Pergilah jatah uang jajanku sebulan, aku merelakanmu untuk membuang sial.'"Terima kasih, kamu sudah memberikan aku kado."'Cih. Aku juga tidak akan melakukan itu jika kamu tida