Hal pertama yang kulihat saat membuka mata adalah sosok Dylan yang sedang mengganti kantung cairan infusku. Jas putih khas dokternya menyadarkanku bahwa Dylan memiliki profesi yang sama dengan Lia. Jariku pun bergerak, seiring aku mengerang merasakan kepalaku kembali berdenyut nyeri.
"Akhirnya kau sadar, Brittany." Dylan buka suara selagi menarik kursi di pinggir ranjang tidurku. "Kau berada di rumah sakit. Tenang saja."
"Apa kau yang menemukanku?" Lirihku. Saat Dylan membenarkan, ada rasa kecewa menyusup batinku. Bukan dia yang ku harapkan.
"Terima kasih." Tuturku.
"Tidak perlu sungkan. Tak ku kira pertemuan kedua kita akan seperti ini." Ia mengusap pangkal hidungnya, tersenyum. "Apa yang kau lakukan tadi di jalanan tadi? Itu berbahaya, Brittany. Terlebih fisikmu sedang tidak memungkinkan."
Pertanyaan Dylan hanya bisa ku balas senyuman tipis, tanda aku tidak berkenan menceritakan permasalahanku. Ia pun mengangguk, memaklumi.
"Lia tadi sempat kemari sebelum pamit karena Ben menangis." Lanjutnya lagi.
"Sudah berapa lama aku pingsan?"
Dylan menggerakan matanya ke atas, berpikir. "Sekitar tiga jam. Tidak terlalu lama memang, tapi cukup membuat Lia panik."
"Lia adalah dewi penolongku." Ujarku, dan Dylan tertawa hingga pupilnya menyipit.
"Kalau begitu aku adalah dewa penolongmu. Benar, kan?" Aku memutarkan bola mataku. "Hey, berbaiklah sedikit dengan teman barumu ini."
Diseretnya pintu ruang rawat inapku menghentikan tawaku dan Dylan. Seorang pria dengan raut wajah panik berlari mendekat. Perubahannya kentara saat pandangannya yang setajam elang diarahkan kepada Dylan. Dylan pun menikam balik. Atomosfer di ruang ini dalam sekejap berubah menjadi tegang.
"Get out from here." Ucap Harry dingin pada Dylan. "Aku ingin bersama Brittanyku."
Brittanyku?
"Brittanymu juga Brittanyku. Dia adalah pasienku, dan wajar demi kesehatannya aku ingin ada di dekatnya."
Harry tergelak. "Pasienmu tidak hanya satu, bung. Dan kemungkinan besar pasien lain sedang membutuhkan pertolonganmu. Sementara kau lebih memilih mendekam di sini sambil melontarkan rayuan aneh. Kau itu seorang dokter atau atau bajingan?"
"Harry!" Aku berteriak, cukup kesal. Apa-apaan ini sebenarnya?
"Tak apa, biar yang berotak waras yang mengalah." Dylan memaksakan seulas senyuman seraya menyentuh pundakku. "Cepat sembuh, Brittany."
"Brengsek!" Untungnya aku sempat menahan siku Harry sebelum dirinya berbalik dengan tangan yang terkepal. Ia lantas terduduk di kursi yang sebelumnya di tempati Dylan. Membisu.
"Kenapa kau kemari?" Tanyaku memecah keheningan.
Harry menilikku, kebingungannya tersirat jelas. "Kau adalah tanggungjawabku." Kalimatnya sempat menggetarkan hatiku sebelum ia memberikan penjelasan. "Kau tinggal di rumahku, kau membersihkan rumahku. Sudah seharusnya aku datang ke sini ketika Lia menghubungiku."
Oh jadi karena alasan itukah? Apa Harry sungguh hanya menganggapku sebagai pembantunya?
"Mengapa kau berniat pergi dariku ? Maksudku... kau sangatlah bodoh. Mengapa kau lakukan hal itu di malam hari?"
"Kalau begitu aku akan pergi besok pagi." Balasku cepat.
"Whatever."
Beberapa menit berselang seorang suster datang membawakan nampan berisi potongan buah segar. Snack time di rumah sakit terkadang diberikan di jam yang tidak terduga, tidak terkecuali di tengah malam seperti ini.
"Maaf, apa anda suami dari Nyonya Brittany?" Tanya si suster selagi Harry berusaha memejamkan mata. Aku dan Harry saling berpandangan, namun tidak satupun dari kami yang mencoba membantah. "Silakan selesaikan mengenai perihal administrasi. Ada prosedur terlampir yang perlu diisi terlebih dahulu."
"Di mana?" Tanya Harry santai yang tentu membuatku terkejut.
"Di koridor depan, Tuan."
Dengan memasukkan kedua tangan disaku celananya ia berlalu meninggalkanku yang menganga. Sementara si suster sembari menyuntikan jarum suntik, ia bergumam betapa beruntungnya aku yang memiliki suami sebaik dan setampan Harry.
Suami?
Suami, my ass!
---
Suara dengkuran keras membangunkanku dari tidur. Aku tidak tahu darimana sumber suara tersebut berasal, lantaran ruangan ini gelap, hanya menyisakan cahaya yang masuk melalui celah ventilasi. Tangan kananku pun terasa berat seakan ada yang menindihku.
"Brittany..."
Harry?
"Tetaplah bersamaku, Brittany. Jangan pergi..."
Hatiku berdesir akan gumamannya. Benarkah ia menginginkanku untuk tidak pergi? Apa yang ia impikan hingga ia bisa mengatakan demikian?
Dalam minimnya pencahayaan aku dapat melihat bagaimana kepala Harry ia rebahkan di pinggiran ranjang. Jemarinya yang bertautan denganku sesekali bergerak. Dengan nekat, aku memberanikan diri menyentuh rambutnya.
"Britt, kumohon..."
"Tenanglah, Harry."
Aku merutuki ucapan sekaligus tingkahku. Berusaha melepaskan genggamannya, aku tersentak ketika Harry terbangun. Ia langsung bergerak terburu-buru guna menyalakan lampu kamar.
"Kau mau kemana?" Ia mendekat, mendapatiku meraih kantung infus seraya berusaha turun dari ranjang. "Mengapa kau keras kepala sekali? Kau masih drop. Kau tidak bisa kabur dariku... tidak malam ini."
"Apa yang kau bicarakan? Aku hanya ingin ke toilet."
Melepaskan tangannya dari bahuku, Harry lantas menggaruk tengkuknya yang ku yakin tidak gatal. Setelahnya ku dapati raut wajahnya memerah seperti salah tingkah. Sekembalinya dari toilet, Harry menghilang dari ruanganku. Saat ku tengok ke arah balkon yang terbuka, aku langsung menarik kesimpulan bahwa ia berada di sana.
"Kau nampak mengenaskan." Celetukku.
Bagaimana tidak, ia mendongak memandangi langit. Jika bukan pria putus asa, pasti pria yang tidak memiliki kekasih yang akan berbuat hal semacam dirinya. Tapi faktanya ia tidak termasuk ke dalam kedua pilihan tersebut.
"Apa pedulimu?" Sarkasnya.
"Tentu aku peduli." Jawabku, membuat alis Harry bertautan. "Aku tinggal di rumahmu, aku membersihkan isi rumahmu. Sudah seharusnya aku peduli ketika kau terlihat muram." Tiruku akan kata-kata yang sempat ia ocehkan.
Tidak ku duga Harry tertawa. Aku menundukkan kepala, namun Harry tiba-tiba saja mengangkat daguku. "Kau cantik, Britt. Jangan sembunyikan wajahmu dariku."
"Okay." Sahutku.
"Okay?"
"Okay."
"Okay?"
"Hentikan."
Lantas kami tertawa bersama. Dari balik bulu mataku, aku diam-diam memperhatikannya. Aku selalu menyukai bagaimana sudut mata dan sudut bibirnya tertarik secara bersamaan. Menghasilkan tawa yang membuat lesung pipinya meminta untuk dicubit.
Oke! Ku rasa aku perlu mengendalikan diriku sekarang!
Aku menikmati udara pagi di pekarangan rumah sakit bersama Lia. Ia sebelumnya muncul di kamarku tepat di saat aku tengah memandangi wajah Harry yang masih tertidur pulas. Ketika itu aku langsung salah tingkah, dan Lia hanya bisa menahan senyum. Ku yakin pipiku masih bersemu merah hingga kini."Jadi, bagaimana?" Tanya Lia sesaat kami telah duduk."Aku baik. Bahkan kau seharusnya tidak perlu mengkhawatirkanku seperti ini.""Maksudku bagaimana mengenai adikku? Apa kau menyukainya?" Aku mematung, dan Lia mengacak-acak rambutku seakan ia adalah kakakku. "Tidak perlu ada yang dirahasiakan, honey. Katakanlah.""Tidak mungkin aku menyukai pria yang sudah memiliki kekasih." Sahutku."Nothing impossible, apalagi untuk hal semacam ini.""Semacam... ini?" Tanyaku ragu."Kau jauh lebih baik dibandingkan kekasih Harry. Ia tentu nantinya sadar, gadis mana yang terbaik untuk dirinya kelak.""Aku memang amnesia, Lia. Namun aku
Harry's POV"Mengapa kau menghina Brittany?!"Selepas aku membawa Ashley keluar dari gedung pengadilan, amarahku langsung berkoar. Mengingat bagaimana kasarnya ia memperlakukan Brittany benar-benar tidak bisa ku tolerir lagi. Ashley terlihat geram atas bentakkanku, sehingga ia membanting tasnya sembarangan. "Kau kekasihku! Aku berhak mengaturmu, Harry! Dia dekat-dekat denganmu hanya berusaha untuk menggodamu! Aku tidak suka hal itu!" "Tapi bagaimana jika aku suka?!" Ujarku."What?..." Ashley menggeleng tak percaya."Ia tak pernah menggodaku! Justru akulah y
Aku memang seorang amnesia. Namun bolehkan aku menggumamkan syukur akan hal tersebut? Aku tahu, tidak semestinya aku membenarkan pemikiran semacam itu. Tapi setidaknya, di dunia baruku ini aku bisa mengetahui satu hal, yaitu; Harry adalah ciuman pertamaku. Dan ku pastikan agar otak payahku untuk selalu mengingat hal tersebut."Britt? Apa kau sudah siap?" Seketika aku panik mendengar ketukan pintu kamar. Itu suara Harry. Dadaku bergemuruh lantaran yang kembali terbayang ialah bagaimana bibir lembut miliknya terbentuk sempurna. Sudah dua minggu kami resmi berpacaran, dan aku masih malu-malu. "Kau tidak melupakan dinner kita, kan?"Oh Tuhan. Aku benar-benar lupa ajakan makan malamnya. "A-aku tadi tertidur. Tidak masalah menunggu sekitar sepuluh menit?""Tidak usah terbur
Waktu sesaat terhenti. Riuh suara instrumen musik dan godaan dari para pengunjung hilang. Suasana disekitarku senyap, seiring pikiranku yang berhasil mengenyahkan bayang pria misterius itu.Harry yang masih dalam posisi berlutut, kembali menanyakan hal yang sama mengenai kesediaanku menjadi satu-satunya wanita di hidupnya. Gugup terlihat jelas dari gesture wajah dan tubuhnya. Ia sesekali melirikku sebelum menjatuhkan pandangannya ke lantai. Dan hal itu terus berulang beberapa kali. Dengan perasaan yang kacau, aku memutuskan menutup kotak berisikan cincin berhiaskan permata tersebut."M-maaf, Harry. Aku tidak bisa."Air mataku pun jatuh. Persis perempuan bodoh yang hanya mementingkan diri sendiri, aku berlari meninggalkan Harry. Meninggalkannya yang diam terpaku di kerumunan banya
Aku membersihkan luka Harry dengan hati-hati. Sementara pria itu hanya diam membisu semenjak perseteruan dirinya dengan Chris berakhir beberapa waktu lalu. Walau aku tidak tahu mana kenyataan yang benar, maksudku antara pembelaan Harry maupun Chris yang jauh berkebalikan, bagaimanapun juga hatiku condong pada Harry. Aku memercayai dia melebihi orang-orang di sekitarku. Aku yakin dia selalu berkata jujur."Ini sudah malam. Beristirahat--"Tiba-tiba Harry meraih pergelangan tanganku usai aku selesai mengobatinya dan hendak beranjak dari kamarnya. Hijau Harry menatapku datar, tak ada emosi apapun yang mampu ku baca. "Apa... kau akan pergi? Kau tidak memercayaiku?"Pun aku tersenyum tipis sambil menyentuh wajahnya. "Kau kekasihku, tentu aku percaya. Sekarang tidurlah."
Sudah nyaris 1 jam aku bersembunyi di dalam kamar. Apa yang barusan terjadi membuatku terkejut. Seorang anak menyebutku 'mom' dengan senyum yang merekah lebar. Itu semakin memperkuat ucapan Chris yang ku kira sebatas kebohongan belaka. Tentang aku yang merupakan istrinya, juga tentang kami yang sudah memiliki seorang anak lelaki bernama Alex --ya dia adalah anak itu.Pintu kamar pun diketuk. Lantas cepat-cepat aku menghapus air mataku. "Sebentar, Harry. Aku akan kelu... ar." Suaraku menipis begitu tersadar sosok yang masuk bukanlah Harry, melainkan Chris. Mengapa Harry bisa membiarkan dia kemari? "A-apa yang kau lakukan? Pergi!""Berikan aku kesempatan bicara." Chris berjalan mendekat, namun aku langsung melemparinya dengan berbagai barang disekitarku. Aku enggan mendengar satu kata pun dari mulutnya. Aku belum siap, atau lebih tepatnya
Aku mengeratkan selimut ketika mendengar suara mesin mobil dari halaman rumah. Saat aku yakin itu Harry, aku pun memejamkan mata dengan posisi tidur miring. Ini sudah pukul 3 pagi, dan aku tidak percaya dia baru kembali setelah kami sempat beradu mulut. Kekesalanku bertambah manakala dia tidak mengangkat telponku maupun membalas pesanku. Dia tahu betul cara membuatku gelisah setengah mati."Britt?" Harry memanggil bersamaan dengan sentuhannya di pundakku. "Aku tahu kau belum tidur. Maafkan aku sudah meninggalkanmu seperti tadi."Aku tak bergeming barang satu inchi pun. Bisa ku rasakan sisi ranjang terisi begitu Harry memeluk tubuhku dari belakang. Tangan kanan itu melingkar di pinggangku, sementara wajahnya dia tenggelamkan pada rambutku sebelum merambah pada bagian pundak. Kemudian aku tersadar helaan nafasnya berbau alkohol, terkesan
Alex baru saja dijemput oleh bus sekolah. Dia berusia 5 tahun dan duduk di kelas taman kanak-kanak. Sebelumnya Alex terus berbicara agar aku tidak menghilang lagi. Bahkan dia tetap menatapku sambil melambaikan tangan dari bagian belakang bus. Aku terhibur akan kelakuan menggemaskannya, walau di satu sisi kejadian yang terjadi sejauh ini masih terasa seperti mimpi. Dan hati kecilku dengan sangat egoisnya sedikit berharap dapat mengakhiri mimpi panjang ini, untuk kembali pada Harry. Oh, aku pasti gila! Apa yang baru saja aku pikirkan?Beralih pada Chris, dia pagi-pagi sekali sudah ke bandara mengantarkan Celine dan Gerald (kedua orangtuanya, atau haruskah ku sebut ibu-ayah mertuaku?) Mereka sungguh hangat sekaligus mengerti kondisiku. Sayangnya setelah satu minggu berkunjung, mereka harus kembali ke Manthattan. Di satu minggu ini pun aku mulai tahu banyak hal. Namun dari semuanya, yang pali