“Lo nggak impot*n kan?”
Laki-laki yang baru saja merebahkan tubuhnya itu tersentak. Ia kembali bangkit dan menatapku tajam.“Apa? Coba ulangi!” Ia kembali mendekat.Ditatap sedemikian rupa, membuat jantung ini bergemuruh. Bukan karena jatuh cinta, tapi rasa takut yang menjalar. Ternyata ia jauh lebih sangar saat terusik.Bagaimana kalau ia melakukannya sekarang tapi memperlakukanku dengan kasar? Apalagi sepertinya ucapanku tadi benar-benar membuatnya tersinggung.Aku menggeser pinggul perlahan saat ia semakin dekat. Menelan ludah berkali-kali yang tetiba terasa seret di kerongkongan.Dasar mulut nggak ada akhlak emang. Bisa-bisanya kata itu meluncur begitu saja.“Kalau kamu benar-benar menginginkannya, maka akan aku lakukan sekarang juga. Tapi kalau Cuma demi mengikuti keinginan mantan suamimu itu, aku tidak akan melakukannya,” ucapnya datar dan dingin.Maksudnya apa?“Kamu tau kenapa?” tanyanya lagi seolah membaca jalan pikiranku, masih tanpa ekspresi.Aku bergeming.“Bagiku hubungan suami istri itu hanya akan berjalan atas dasar suka sama suka. Kalau Cuma lelaki yang menikmati itu namanya perkosaan,” ujarnya sarkastis.Aku kembali menelan ludah. Semakin gugup. Karena saat mengatakan kalimat itu wajahnya hanya berjarak beberapa inci.“Itu kan kalau sebuah pernikahan wajar.” Akhirnya aku bisa berargumen setelah sedikit beringsut menjauh darinya.Lagian siapa dia berani menekanku? Bukan urusannya juga aku menikmati atau tidak. Bukankah kehadirannya hanya dibutuhkan untuk menghapus jejak Bang Fajar? Yang perlu ia lakukan hanya meniduri bukan mengajak bercinta. Karena itu jelas dua hal yang berbeda.“Begitu?” sahutnya. Lantas meloncat turun dari ranjang. Berdiri dengan kaki sedikit terbuka dan kedua tangan dilipat di depan dada. Tubuh tinggi tegap miliknya kian terlihat menjulang.“Sekarang buka bajunya.”“Apa?!” Mataku membulat.Sama sekali tidak menyangka dia akan bertindak demikian.“Kamu mau aku melakukannya sekarang kan? Buka bajunya!” desisnya lagi tajam. Dengan tubuh yang sedikit dibungkukkan. Jemari tangannya mencengkeram rahangku hingga memaksa wajahku tengadah.Aku membuang pandang.“Tatap aku,” desisnya.Suka tidak suka, aku terpaksa menatapnya. Ada kemarahan dalam sorot mata itu.“Atau kamu mau aku yang membukanya?” ujarnya lagi. Tangannya yang tadi mencengkeram dagu, kini beralih menyentuh piyama yang aku kenakan.Reflek kedua tanganku memeluk tubuh sendiri. Menahan agar jemari itu tidak bergerak menyentuh kancing piyamaku.Tanpa sadar aku menggeleng. Jujur melihatnya seperti itu aku merasa jadi seekor anak ayam yang berada dalam cengkeraman Elang. Pasti dalam satu kali patukan, mati.“Kenapa? Bukannya tadi kamu udah gak sabar?” Tatapannya yang dingin makin membuatku bergidik.Sekali lagi aku hanya bisa menggeleng.Ternyata aku benar-benar salah bicara. Andai ada cara menarik kembali ucapan seolah kata yang membuat ia berang itu sama sekali tidak pernah ia dengar, maka akan aku lakukan.Nyatanya ucapan bukan sebuah tulisan yang bisa didelete jika salah ketik. Ucapan adalah ungkapan yang harus dipikirkan dulu sebelum dikeluarkan.“Maaf.” Akhirnya kata itu meluncur halus dari sela bibirku.Ya, hanya itu satu-satunya cara agar sakit akibat kata yang sudah terlanjur terucap sedikit terobati.Farhan menarik napas panjang lalu menghembuskannya kasar.“Kalian berdua sama saja,” ujarnya. Lalu berbalik.Nada kecewa tertangkap nyata dari ucapan itu.Apa maksudnya?“Harusnya kamu bersyukur karena aku masih menghormatimu,” gumamnya lagi tanpa menatap.“Kalau Cuma sekedar melakukannya, itu pekerjaan paling mudah. Jangankan sekali, sepuluh kali tanpa jeda juga, aku sanggup.” Kali ini ia menoleh dan menatap lekat.Sepuluh kali? Aku yang tepar, Pak. Tentu saja kalimat ini hanya ada dalam hati.“Hanya saja... ah, sudahlah. Kalian tidak akan pernah mengerti,” lanjutnya lagi sambil melangkah menuju sofa. Menghempaskan pinggulnya di sana.“Padahal kalau kamu berpikir sedikit saja, di sini kamu adalah pihak yang paling dirugikan. Hanya saja sepertinya cinta buta telah menutup akal sehatmu,” gumamnya pelan.Menopang kedua sikunya pada lutut, ia menatap dengan pandangan ... entah.Wajahku mungkin sudah seputih kapas. Tanpa sadar kelopak mataku menghangat.Dia benar. Kalau pun ada pihak yang dirugikan di sini, jelas itu adalah aku. Tak seharusnya aku mengikuti rencana gila Bang Fajar.Bukankah lelaki itu berkali-kali mengatakan dia akan berubah lantas mengulanginya lagi? Tapi aku masih percaya. Dan sekarang? Bukankah apa yang ia lakukan kali ini sungguh keterlaluan.Mungkin baginya aku tak lebih dari sebuah barang. Dia akan ambil saat ingin, lalu membuangnya setelah merasa tak membutuhkan.Itukah yang dia sebut cinta?Bodohnya aku, kenapa selama ini hanya bisa menutup mata?“Farhan, aku ... aku.”Tubuhku gemetaran lalu perlahan merosot ke lantai. Aku menutup wajah dengan kedua telapak tangan. Sesenggukan menahan isak.Samar aku dengar ia menarik napas panjang.“Bangunlah,” ujarnya pelan. Bangkit dari duduknya.Aku bergeming.“Bangun, Mbak,” ujarnya lagi. Kali ini pemuda itu menyentuh pundakku pelan. Ia ikut berjongkok di karpet.Perlahan aku mendongak. Sesaat netra ini bertemu.“Sayangi dirimu, Mbak. Jadilah wanita yang punya harga diri. Kamu sekarang tidak lagi punya kewajiban mengikuti kemauannya. Sadari itu. Bang Fajar hanya mantan yang tengah memanfaatkanmu demi egonya.”Aku menatap wajah itu lekat?“Lalu kenapa kamu menyanggupi?”“Sudahlah. Tidur gih. Sudah terlalu malam.” Ia malah mengalihkan pembicaraan.Pemuda itu mengusap pelan pucuk kepalaku dan kembali bangkit, menuju sofa.*** Aku membuka mata saat cahaya matahari menerobos masuk dari celah ventilasi. Aku kesiangan. Saat mencoba bangun, sekujur tubuh rasanya tak bertulang. Akhirnya aku hanya tidur telentang.Kelopak mataku terasa sedikit memanas. Aku meraba dahi. Hangat. Sepertinya kejadian semalam yang membebani pikiran berimbas pada kesehatan.Sejujurnya aku merasa malu pada Farhan. Pemuda 22 tahun itu telah membuat harga diriku lebur jadi serpihan tak berharga.Ia menelanjangiku bukan dalam arti yang sebenarnya. Tapi pemuda itu telah membuka mataku tentang arti sebuah kebenaran. Cinta saja tidak cukup untuk membangun rumah tangga. Ada ego yang harus bisa sama-sama diredam untuk mencapai sebuah keluarga samawa.Dari sikapnya aku belajar. Bahwa dewasa bukan masalah umur tapi pikiran. Dan Bang Fajar tidak punya itu. Mungkin juga aku.Saat menatap ke sofa, pemuda itu sudah tidak ada. Bantal dan selimut yang semalam ia pakai telah terlipat rapi. Mungkin ia ke kampus. Karena Bang Fajar bilang ia masih kuliah semester akhir.Aku curiga, ia bersedia jadi muhallilku pasti karena uang. Kalau bukan alasan apa lagi?Ah ... buat apa juga aku memikirkan pria itu. Bukan urusanku.“Bunda.” Ketukan di pintu menyadarkan bahwa ada tanggung jawab lain yang menunggu uluran tanganku.Malaikat kecil yang bernama Fatih.Tanpa menunggu sahutan, pintu itu telah terkuak. Tubuh mungilnya berlari mendekat.“Bunda,” panggilnya lagi.“Bunda kenapa beyum bangun? Bunda atit?” Anak itu langsung memanjat, naik ke ranjang. Duduk persis di sebelah pundakku. Lalu meraba dahiku dengan mimik serius.Ia memang selalu begitu setiap kali melihat aku terkapar di tempat tidur. Bermula beberapa bulan lalu, akibat salah makan, aku harus merelakan waktu tiga hari tidak bisa bangkit dari ranjang. Diare akut diiringi demam tinggi. Aku pikir aku harus koit saat itu juga.“Bunda hanya capek, Nak,” sahutku. Menatap wajah tanpa dosa itu.“Tapi tadi Papa bilang Bunda atit,” sahutnya.“Papa?”Anak kecil itu mengangguk polos.Di saat yang sama pintu kamar kembali terkuak.Pintu kamarku terkuak. Reflek aku menoleh ke sana. Wajahku mungkin telah memucat saat menyadari siapa yang berdiri di sana. Ia kembali menutup pintu dengan cepat. “Abang?” Aku buru-buru bangun meski rasanya tubuh remuk. Begitu beraninya lelaki yang sudah tak berhak itu menerobos masuk tanpa permisi. “Abang gak boleh masuk ke kamar ini,” ujarku. Lalu secepatnya meraih jilbab yang tergeletak di sisi bantal dan memakainya. “Abang kangen, Dek,” ujarnya sedikit terengah. Ada perasaan senang menyelinap mendengar kata itu. Kangen. Tapi detik berikutnya kembali terbayang kata-kata Farhan. Bang Fajar hanya memanfaatkan aku demi egonya. Dan itu perlahan melukaiku. Aku menggeleng, “Tapi ..., Bang?”“Kenapa sih, Dek. Orang udah biasa juga,” protesnya. Pikirannya benar-benar telah dibutakan atau bagaimana? Jelas-jelas kemarin pagi ia sendiri yang mengantarkan seorang suami baru untukku. “Kenapa Abang bilang? Abang masuk rumah ini aja udah jelas salah selama tidak ditemani mahramku. Apalag
“Farhan, i – ini tuh masih sore. Ntar lagi Magrib,” ujarku gugup ketika wajah itu kian mendekat. Aku memejamkan mata rapat saat ujung salah satu jemarinya menyentuh pipiku lembut. Jangan tanya seperti apa degup jantung ini. Aroma maskulin tubuhnya makin menciptakan debar. Bahkan suaraku bergetar. Memalukan. Sial. Aku merutuk dalam hati. Kenapa jadi sekikuk ini. Ayolah, Yat. Selow. Lo bahkan jauh lebih berpengalaman dari brondong itu. Bisa-bisa nanti malah lo yang diminta jadi tutor karena bisa aja ini bakal jadi pengalaman pertamanya. Ah, mana mungkin. Bukannya tadi malam ia sendiri yang bilang sepuluh kali tanpa jeda aja ia sanggup? Lagi hari gini nyari cowok yang benar-benar tong tong? Mimpi kali. Tanpa disadari aku menggeleng. “Mau ngapain emang?” sahutnya. Memutus pikiran tak ada akhlak yang tetiba menguasai. Dasar jablay. Ingin kumemaki diri sendiri. Saat membuka mata, pemuda itu tengah menahan senyum dengan tatapan geli. “Aku hanya mau mengambil ini,” ujarnya lagi sam
“Telpon dari siapa?” tanyaku begitu Farhan kembali ke kamar. Pertanyaan basa-basi yang aku telah tau jawabannya. Pemuda itu melirik sekilas, “gak penting,” sahutnya. Di luar dugaan. Aku melirik sekilas. Tak ada ekspresi apa pun di sana. Sedikit heran sebenarnya, kenapa ia tidak mau membahas? Bukankah aku adalah topik pembicaraan mereka? Nyata-nyata tadi namaku yang disebut. “Ooh.” Aku menjawab singkat. Tak ingin lagi bertanya meskipun penasaran.Lelaki itu melanjutkan langkah menuju lemari pakaian. “Mau ke mana?” tanyanya sambil jalan. Mungkin karena melihat penampilanku yang sudah rapi. “Kerja.”“Ooh.”Hening. Dari kaca meja rias aku melihat dia mengutak-atik tas pakaian. “Dah baikan emang?” tanyanya lagi. “Hmm ....” Aku mengangguk. Meski aku tau dia sama sekali tidak melihat. Pemuda itu tengah fokus dengan isi kopernya. “Ooh ya udah,” sahutnya datar. Ternyata pemuda itu mengambil jaket kulitnya. Setelah merapikan kembali tas pakaian ke dalam lemari, ia berbalik. Sesaa
Aku menyeruput jus jeruk hingga menghabiskan hampir setengahnya dalam sekali tegukan. Pertanyaan ceplas-ceplos Bang Fajar nyaris membuatku tersedak. Bisa-bisanya dia menanyakan apakah aku dan Farhan telah melakukannya. “Kenapa? Kamu gak berniat berubah pikiran kan?” Bang Fajar bertanya lagi. Pria itu menatap tajam. “Apaan sih?” Aku mendelik. “Abang serius, Yat.” Tanpa mengatakannya, aku pun tau kalau lelaki yang telah memberiku satu orang putra ini mulai terlihat tidak sabaran. Wajar sebenarnya. Karena kalau Cuma menikah untuk ditiduri sekali saja seharusnya tidak memerlukan waktu lama. Namun kenyataan tidak sesimpel itu. Aku telah berusaha. Bahkan aku telah merendahkan harga diri untuk sesuatu yang sesungguhnya tidak perlu. Mengingat peristiwa malam itu perasaan malu kembali menyelimuti. Sekaligus mulai bimbang dengan kesungguhan Bang Fajar. Apa jaminan ia tidak akan mengulangi kesalahan yang sama lagi? “Jadi Abang sengaja mencegat hanya untuk menanyakan ini?” Aku balik bert
Aku menatap gugup wajah Farhan yang kian mendekat. Duduk di sofa dengan jarak yang sedekat itu menghadirkan debar tersendiri. Terlebih saat napasnya yang hangat menyapu kulit wajah. Ayolah, Yat. Jangan belagak seolah lo perawan ting-ting yang sama sekali belum pernah tersentuh. Aku membatin. Yang ada nanti lo malah terlihat aneh di matanya. Pemuda di depan lo itu hanya seorang anak muda yang sengaja dipilihkan untuk sekedar singgah, lalu menghilang.Sepertinya anak muda itu sekarang tengah tergoda. Kesempatan lo buat memulai duluan, kalau sekiranya ia masih berniat menunda. Suara hati terus mengompori.Etdah! Apa yang paling penting adalah ... urusan kalian kelar. Kelar. Ya, sejak awal bukankah memang itu tujuannya? Sayang aku tak punya nyali. Atau mungkin juga gengsi karena pernah dianggap tidak punya harga diri. Sialan memang. Sungguh demi apa pun aku tak menyangka akan segugup ini. "Kebiasaan ya, makan belepotan," ujarnya sambil menyapu lembut bibirku dengan ujung jari tel
Tak penting siapa yang memulai, tapi hasil yang telah dicapai. Satu yang tak bisa dipungkiri, kenyataannya kami saling menikmati keintiman ini. Aku sangat yakin itu. Setelah menghela napas panjang, aku membuangnya perlahan. Niat yang semula hanya untuk sekedar balas menjahili, meninggalkan Farhan saat nafsu pria itu memuncak, terpatahkan dengan sendirinya. Pernah dengar istilah masuk dalam perangkap sendiri? Kali ini aku mengalami. Mencoba kabur setelah membuat gairah pemuda itu bangkit ternyata tidak semudah yang aku bayangkan. Akhirnya dengan sadar diri aku menyerah tak sampai dalam hitungan jam. Wajahku menghangat mengingat bagaimana cara Farhan mengeksekusi. Dia benar. Bercinta itu naluriah. Anugerah yang diberikan Tuhan pada setiap makhluk yang bernyawa untuk bisa berkembang di muka bumi ini. Adalah satu kebodohan meragukan seseorang bisa atau tidak. Siapa pun dia, selama masih punya nafsu, pasti akan mengerti dengan sendirinya. Kuncinya hanya satu, dia ingin. Farhan tela
Panggilan masuk dari nomor tak dikenal. Aku menautkan alis. Merasa tak punya urusan apapun yang mendesak, panggilan itu aku abaikan. Terputus dengan sendirinya. Setelah meletakkan ponsel di ranjang, aku berjalan cepat menuju pintu depan. Dimana ketukan makin intens. Sedikit penasaran, siapa yang bertamu pagi-pagi? Aku mundur beberapa langkah. Kaget. Tamu tak diundang itu ternyata Bang Fajar. Ia menerobos masuk begitu saja saat pintu terbuka. Wajah yang biasanya senantiasa rapi, kini mulai ditumbuhi cambang dan kumis yang dibiarkan memanjang. Rahangnya yang tajam kian mengeras. Bang Fajar terlihat sedikit tidak terurus. Ia mengedarkan pandangan. “Mana dia!?” tanyanya dengan tatapan nyalang.“Dia? Dia siapa?”“Si brengsek itu.” Ia langsung masuk ke ruang tengah. Farhan. Pasti pemuda itu yang ia cari. Cuma yang membuat heran, kenapa ia tampak begitu marah? “Abang kenapa?” tanyaku sambil mengikuti langkah laki-laki itu. Bang Fajar tak menggubris. Langkahnya terus saja bergerak m
Aku melemparkan ponsel begitu saja dengan kasar ke ranjang. Namun buru-buru kembali meraihnya saat benda pipih itu mencelat ke lantai. Untung gapapa. Masa iya aku merelakan gawai satu-satunya itu rusak? Sementara cicilannya aja belum lunas.Etdah. Aku menarik napas lega. Lagi kalau dipikir-pikir untuk apa semua itu? Kenapa juga harus kesal kalau chatku diabaikan. Untuk apa aku marah kalau tiba-tiba nomor ponsel Farhan tidak lagi bisa dihubungi? Toh pada kenyataannya kami memang telah kelar. Ya, kelar. Telah berakhir. Tapi kok rasanya sakit ya? Makanya jangan bermain hati. Bucin sih? Dah tau laki-laki itu cuma persinggahan. Ah sial. Aku memaki suara hati sendiri. Tapi tunggu .... Bukankah sikap Farhan memang manis? Dia terlalu sempurna untuk dianggurin begitu saja. Satu lagi, kalau di matanya aku tak berarti apa-apa, ia nggak perlu kecewa dong? Apalagi sampai semarah tadi gitu tau Bang Fajar mengunjungiku. Fix! Farhan juga punya rasa yang sama. Semoga aku tidak kegeer