Share

Irama Guzheng Penghantar Kematian

Di Istana Zijin, Kekaisaran Kaili, Ibu Suri nampak gelisah. Dia mondar-mandir di dalam kamarnya. Sementara beberapa pelayan dan pengawalnya berlutut dan berjaga-jaga di aula.

Belum ada kabar dari Grand Tutor Gong atau para jenderal dan bangsawan yang mendukung pemberontakan. Dia telah berkali-kali meminta kasim kepercayaannya untuk mencari kabar. Namun situasi tidak memungkinkan.

Jenderal Mo Ye, satu-satunya jenderal wanita di Kekaisaran Kaili, menjaga istana dengan ketat. Selain mengerahkan pasukan untuk berpatroli, dia juga memblokade semua akses keluar masuk istana.

Jenderal Mo Ye adalah seorang wanita besi. Dia telah berada di medan perang sejak berumur dua belas tahun. Dia menggantikan ayahnya memimpin pasukan elite Penjaga Kekaisaran. Memastikan keamanan kaisar dan istana adalah tugasnya.

Meski baru dua tahun menempati posisi ini, namun kemampuannya tidak diragukan. Dia salah satu jenderal yang selalu mendampingi Kaisar Ao Yu Long dalam kampanye militernya. Bahkan jauh sebelum Ao Yu Long diangkat sebagai kaisar.

Saat ini prioritasnya adalah memastikan blokade bagi pengikut Ibu Suri. Dan juga memastikan keamanan istana. Dia adalah benteng terakhir pertahanan Pasukan Mo Yu.

Dengan penjagaannya, Ibu Suri tidak bisa berkutik. Apa lagi Jenderal Mo Ye, juga menginstruksikan pasukan elitenya untuk menjaga istana mantan putra mahkota, Ao Yu Feng dan para pangeran lain.

Itu sesuatu yang di luar dugaan Ibu Suri dan para pemberontak. Mereka tidak mengira Kaisar memiliki pasukan bayangan yang kuat. Mengingat segel militer berada di tangan Jenderal Duan yang tengah menjalankan tugasnya melindungi perbatasan.

Sementara segel yang lain berada di tangan Menteri Perang yang jelas berpihak pada kaisar yang bertahta. Sebenarnya itu tidak berpengaruh, karena Menteri Perang hanya memiliki jumlah pasukan yang sedikit. Tidak sebanding dengan gabungan pasukan yang dibentuk bawahan Ibu Suri, pasukan Jenderal Dong dan beberapa jenderal yang lain.

Namun Pasukan Mo Yu berbeda dengan pasukan yang lain. Mereka adalah pasukan bayangan yang hanya patuh pada perintah kaisar Ao Yu Long. Selain itu keberadaan dan kekuatannya sangat misterius dan tak terukur.

Hal inilah yang menjadi batu sandungan untuk rencana pemberontakan yang diprakasai Ibu Suri. Kekuatan pasukan pendukungnya tidak sebanding dengan Pasukan Mo Yu meski mereka unggul dalam jumlah.

Itu terbukti dengan semakin terdesaknya pasukan pemberontak. Apa lagi dengan sinyal sinar pedangnya, yang juga merupakan sinyal bagi para Raja Bawahan untuk menjauhi Ibukota dan melindungi wilayah masing-masing. Ao Yu Long telah memblokir Ibukota.

Pertempuran hebat pun tak terhindar. Suasana Ibukota semakin mencekam. Terutama di sekitar Istana Kekaisaran. Rakyat jelata semakin panik dan dilanda ketakutan.

Pasukan Mo Yu sama sekali tidak berbelas kasih dalam bertarung. Mereka membabat habis pemberontak yang mereka hadapi. Tidak ada rasa takut atau pun kekhawatiran. Mereka seperti menari dalam darah dan denting pedang.

Penduduk ibukota hanya bisa mencoba untuk menyelamatkan diri dan menghindari pertempuran yang mengerikan itu. Beruntung Pasukan Mo Yu tidak membabi buta membabat siapa dan apa saja.

Sementara itu, di salah satu sudut istana, dibawah sinar bulan yang redup, suara denting guzheng sayup-sayup terdengar memecah keheningan suasana Istana Zijin yang mencekam.

Denting alunan guzheng itu berasal dari salah satu bangunan yang terletak di sudut istana yang terpencil. Sebuah pondok yang terbilang sederhana untuk ukuran sebuah tempat tinggal bahkan bagi para pelayan sekali pun.

Di bawah pohon willow yang tumbuh di tengah halaman pondok itu, seorang wanita muda bergaun putih nampak tengah memetik guzhengnya dengan sepenuh hati.

Dia tampak tidak peduli dengan situasi di sekitarnya. Tak dihiraukannya kepanikan para pelayan, dayang dan kasim istana yang khawatir dengan adanya pemberontakan. Begitu pun dengan derap pasukan penjaga istana yang hilir mudik berkeliling istana.

Wanita itu sepertinya hidup di dunianya sendiri. Tak ada kepanikan atau pun kekhawatiran di raut wajahnya. Tidak ada kecemasan akan masa depannya jika pasukan pemberontakan bisa menerobos istana ini.

Dia terus memetik guzhengnya yang mengalunkan nada sendu yang sepertinya terdengar tidak sinkron dengan ketenangannya. Nada-nada yang dipetiknya justru terasa menyayat hati.

Seakan-akan aroma kematian dan kesedihan bercampur dengan alunan nada guzheng yang sayup-sayup mengalun di tengah malam sunyi di istana yang mulai diliputi hawa mencekam.

Alunan nada guzheng yang dipetik jari-jari gemulai nan indah wanita itu semakin kencang terdengar di tengah malam yang kian larut. Bahkan terdengar hingga ke menara penjaga, di mana jenderal Mo Ye tengah mengawasi situasi istana dan ibukota kekaisaran.

"Dia masih memetik guzhengnya?" Jenderal Mo Ye menoleh ke arah seorang kasim yang berdiri tak jauh dari tempatnya berdiri.

"Benar Jenderal. Nona Duan masih memetik guzhengnya sedari tadi." Sang Kasim menjawab pelan namun tegas.

"Irama kematian tidak terhindarkan hari ini Kasim Wang, entah siapa yang akan menari dengan kematian pada akhirnya nanti." Suara Jenderal wanita itu terdengar muram.

"Benar Jenderal, kematian tidak akan bisa dihindari hari ini. Akan ada banyak darah mengalir, tangisan dan ratapan kesedihan. Seperti alunan musik Nona Duan malam ini. Serasa mencekam dan menyayat hati." Kasim Wang menanggapi ucapan sang jenderal dengan tenang.

"Benar-benar alunan guzheng penghantar kematian. Entah mengapa semakin lama aku semakin takut terhadap wanita itu, Kasim Wang." bisiknya lirih.

Jenderal Mo Ye, wanita besi itu bergidik setiap kali irama guzheng terdengar. Baginya irama guzheng itu lebih menakutkan daripada denting pedang di medan perang.

Nona Duan Xiao Jiao, adik Jenderal Duan, sang pemetik guzheng adalah orang yang paling mengerikan di mata sang jenderal wanita. Bahkan Kasim Wang pun terkadang merasakan hal yang sama dengan sang jenderal.

Keduanya pun kembali terdiam. Ikut larut dalam irama guzheng yang seakan menghipnotis mereka. Semakin lama alunan guzheng semakin lirih terdengar dan perlahan hilang.

"Kenapa dia berhenti memetik guzhengnya?" Jenderal Mo ye menatap Kasim Wang dengan heran.

Kasim Wang menggelengkan kepalanya dengan ragu. Dia juga tidak tahu mengapa alunan guzheng itu berhenti dengan tiba-tiba.

"Mungkin karena fajar telah menjelang Jenderal." Kasim Wang mengarahkan pandangannya ke jendela menara.

Seberkas cahaya redup tampak menerobos celah-celah jendela. Menandakan sang surya mulai muncul meski masih malu-malu.

Keduanya serentak berdiri, menatap keluar menara penjagaan, seiring dengan terdengarnya derap kaki kuda bercampur dengan suara-suara lain yang menciptakan keributan di pagi buta itu.

"Pasukan Mo Yu telah kembali, jenderal." Kasim Wang tersenyum lega saat melihat panji-panji yang berkibar di bagian depan pasukan yang mulai memasuki istana.

"Ayo kita sambut Yang Mulia." Jenderal Mo Ye segera beranjak turun dari menara penjagaan diikuti Kasim Wang.

Sejumlah pasukan di bawah pimpinan Jenderal Won memasuki halaman utama istana Zijin. Jenderal Mo Ye menyambut mereka ditemani Kasim Wang dan sejumlah menteri dan pejabat yang setia terhadap Kaisar.

Jenderal Won turun dari kudanya. Kemudian dia membantu Kaisar Ao Yu Long untuk turun dari kudanya.

"Jenderal Mo, pastikan keamanan istana dan bawa semua pangeran dan penghuni istana yang terlibat pemberontakan ke aula utama." Sambil melepas pelindung kepala dan baju besinya, Ao Yu Long memberi perintah pada sang jenderal wanita itu.

Jenderal Mo Ye tanpa banyak kata segera membungkukkan badan di hadapan sang kaisar sebelum kemudian beranjak meninggalkan halaman utama untuk melaksanakan perintahnya.

"Kasim Wang, minta Ibu Chin membawa Jiao Jiao ke Istana Naga." Kembali sang Kaisar memberikan perintahnya.

"Baik Yang Mulia." Kasim Wang pun bertindak sama seperti Jenderal Mo Ye, membungkukkan badan dan kemudian melaksanakan perintah sang kaisar.

"Jenderal Won, bawa Gong Liu Yue ke Istana Seribu Bunga. Awasi dia, dan minta Ibu Han untuk mengatur segala sesuatunya sesuai standar seorang permaisuri." Sekarang giliran Jenderal Won yang mendapatkan titah dari sang kaisar.

Seperti kedua rekannya, dia pun segera melaksanakan perintah Yang Mulia dan bergegas menuju Istana Seribu Bunga.

"Jenderal Luo dan Kasim Wei, uruslah para pemberontak ini. Besok pagi adalah penentuan nasib mereka." Titah terakhir sang Kaisar kepada kedua bawahan lainnya sebelum dia pun meninggalkan halaman utama.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status