"Bhaga ...!" Bu Sona berlari menghampiri pria muda bertubuh tinggi tegap yang baru turun dari mobil itu.
Atma masih diam mematung dari dalam rumah, sekujur tubuhnya mendadak kaku, tegang, ditatapnya ragu-ragu pemuda tampan berkemeja coklat muda bernama Bhaga itu. Masih terbayang di kepalanya, bagaimana bila Bhaga tak bisa menerima kehadirannya di rumah, Atma tak berani memikirkan apa yang akan terjadi, apabila dia sampai dihusir misalnya, walau hal itu sepertinya tak mungkin terjadi.
Bu Sona berpelukan agak lama dengan Bhaga, melepas rasa kangen yang sama-sama menyesakkan dada mereka. Bu Sona memegang tubuh Bhaga yang terasa begitu padat dan tegap, berkat rutin berolahraga. "Ibu gak nyangka, Ga! Kamu sekarang cakep banget, gagah banget, kayak bukan anak Ibu!" ujar Bu Sona memuji.
"Jadi maksud Ibu, aku ini dulunya nggak gagah? Nggak cakep?" Bhaga setengah tertawa.
"Bukan gitu! Dulu juga cakep, tapi sekarang lebih cakep! Yuk masuk, bapak ada di dalam." Bu Sona menggandeng puteranya masuk ke dalam rumah.
Selurus kemudian, kedua mata teduh milik Bhaga bertabrakan dengan manik mata almond milik Atma. Waktu seakan berhenti di tengah mereka, jarum jam seolah berbalik arah, kembali ke waktu lampau. Atma seolah mampu melihat Bhaga waktu remaja dulu, dia masih ingat wajahnya, sejak remaja pun Bhaga sudah begitu tampan dan bertubuh tinggi dibanding remaja seumurannya yang lain. Jantung Atma berdegup kencang. Napasnya menjadi sesak, mulutnya kelu, tak tahu mesti menyapa bagaimana, harus berkata apa.
"Ma, ini Bhaga, anak Ibu!" Bu Sona memecah keheningan. "Ga, ini Atma, dia udah tinggal di sini sejak beberapa waktu lalu, dia juga ikut bantu Ibu jaga bapak, kamu mungkin sudah lupa, tapi dia juga anak kampung sini kok, dulu juga suka main di kebun teh kita." Bu Sona memperkenalkan Atma kepada Bhaga.
"Nggak, aku ingat kok, Bu, tapi ... lupa-lupa ingat gitu lah." Bhaga tersenyum manis kemudian menjulurkan tangan ke hadapan Atma.
Jemari lentik Bhaga begitu halus, lembut, nampak dia jarang memegang kerja kasar. Atma serasa seperti kesetrum ketika jemari-jemarinya diremas lembut oleh Bhaga. "Semoga kamu betah ya tinggal sama ibu yang bawel," katanya lembut, berkelakar niatnya tapi Atma terlalu gugup sampai tak mampu untuk tertawa. Bu Sona langsung memukul pelan lengan Bhaga.
"Hih, kamu ini! Ayo, mau ketemu bapak kan? Atma, tolong buatkan teh ya buat Bhaga, gulanya sedikit aja, dia gak suka teh yang manis." Bu Sona menyudahi basa-basi mereka.
"Baik, Bu."
***
Selama air dijerang di dalam teko, pikiran Atma mengembara, kembali mengingat apa yang terjadi tadi saat pertama kali dia melihat Bhaga setelah sekian lama. Begitu berwibawa pria itu, tapi dia juga tampak begitu lembut, manis. Pesona Bhaga dalam sekejap mengusik hati dan pikiran Atma, hal itu dirasa wajar sebab dia sudah begitu lama tak bertemu pria muda sebayanya.
Sejak hari-hari dia habiskan di rumah Pak Giring dan Bu Sona, Atma tak banyak bertemu dunia luar, dia tak banyak melakukan kontak sosial dengan manusia-manusia lainnya. Dia pun tak pernah jatuh cinta, mungkin Bhaga adalah pria paling mempesona yang pernah dia temui seumur hidup. Amat wajar Atma menjadi kagok. Lekas Atma menghapus segala sensasi di tubuhnya, dia seduh teh sambil mengusir degup di dada. Apa yang kamu pikirin Atma? Sadar diri, liat siapa kamu, siapa mas Bhaga, batin Atma mencoba mengendalikan dirinya sendiri.
Atma berdiri di depan kamar Pak Giring, di tangannya terdapat nampan berisi teh untuk Bhaga. Dia tak punya cukup nyali untuk masuk ke dalam sementara Bhaga sedang bicara serius dengan Pak Giring yang masih terbaring lemah di atas tempat tidurnya. Namun, Atma diam-diam menguping pembicaraan mereka.
"Gimana dengan ... Jessica? Dia ... nggak datang?" Pak Giring bertanya lemah, seketika jantung Atma serasa mau copot.
Jessica. Atma ingat sekarang, Bu Sona pernah membahas tentang pemilik nama itu. Ialah kekasih Bhaga, bekerja di perusahaan yang sama tempat Bhaga bekerja. Bila tak ada halangan, akhir tahun mereka akan menikah, mengejar waktu sebab kondisi kesehatan Pak Giring pun makin memburuk.
"Akhir bulan ini, kalau dia udah dapat cuti, dia akan datang juga, Pak." Bhaga menjawab singkat.
"Yah, sebaiknya, mumpung kamu di sini, sekalian juga ... urus ... urus rencana pernikahan kalian, sebelum terlambat, Ga, Bapak udah ... sebentar lagi waktunya."
"Bapak jangan ngomong gitu, Bapak pasti bertahan. Tapi, aku janji, Bapak pasti bisa melihat aku dan Jessica menikah nanti." Bhaga menggenggam telapak tangan Pak Giring dengan lembut. "Aku tinggal dulu ya, Pak. Bapak lanjut istirahatnya." Bhaga berdiri, lalu keluar dari kamar bersama Bu Sona.
Cepat-cepat Atma menyodorkan nampan berisi teh panas. "Mas, ini tehnya," katanya lembut, masih gugup dan tak berani menatap bola mata Bhaga.
"Terima kasih, Atma."
Satu kalimat itu, satu kalimat yang terucap begitu tulus dan halus, mampu menguncang hati Atma. Bu Sona sekalipun hampir tak pernah mengucap kata 'terima kasih' kepada Atma, barangkali karena Atma sudah dianggap sebagai anak sendiri, tapi ungkapan tulus dari mulut Bhaga itu tidak terdengar seperti sebuah basa-basi, ada kehangatan yang mengalir sampai ke hati Atma.
"Atma, tolong bawa tas Bhaga ke kamarnya, ya." Bu Sona memberi perintah lagi.
"Jangan!" tepis Bhaga cepat. "Tasnya berat, kamar aku kan ada di lantai atas, biar aku nanti yang bawa," lanjutnya.
Bhaga seperti tak nyata, seperti sebuah karakter fiksi, karakter yang terlalu baik untuk menjadi kenyataan. Atma bergegas menghapus segala pikirannya, rasa-rasa itu tak perlu dia biarkan tumbuh di hatinya. Bhaga sudah akan menikah, dia punya kekasih, seorang gadis yang setara dengannya, Atma ingatkan dirinya kembali bahwa posisinya hanya seorang pembantu, walau tak banyak orang menyebutnya sebagai pembantu, sebetulnya itulah posisinya. Bu Sona dan Pak Giring telah begitu baik menerimanya, tak mungkin pula dia berani bermimpi yang tinggi, menjadi bagian keluarga mereka sungguhlah sebuah keajaiban. Atma sekali lagi mengacaukan lamunannya. Bangun, Atma! jeritnya dalam hati.
"Mas Bhaga mau keliling kampung?" tanya Atma saat dia lihat Bhaga sedang mengenakan sepatu di teras. Sejak kembali, Bhaga memang belum sempat melihat-lihat sekitar. "Ya, kamu mau ikut?" Bhaga menghampiri Atma yang baru selesai menjemur pakaian di halaman samping, seketika seluruh tubuh Atma menjadi tegang, gugup. "Atau ..., kamu masih ada kerjaan lain?" tanya Bhaga. "Oh, nggak ada sih Mas, tapi ...." Kepala Atma menunduk, jatuh ke rumput-rumput yang basah dengan air dari perasan pakaian. "Tapi?" "Emangnya boleh? Maksud aku, aku takut malah ganggu Mas Bhaga nantinya." "Kamu ini ngomong apa?" Bhaga tertawa kecil. "Nggak ganggu lah, ayo ikut, aku mau liat-liat kebun aja, sih, sama ... ya, ketemu sama tetangga-tetangga, udah lama nggak liat kampung ini." Bhaga mengedarkan pandangannya ke hamparan kebun teh yang menghijau sampai ke bawah bukit. Dengan ember di tangan, Atma berlari ke pintu belakang, dia tinggalkan saja ember itu di
Kilat-kilat menyambar di atas cakrawala biru gelap. Angin berembus tak kalah kuat, menggugurkan daun-daun tua disusul serangan tetes-tetes air hujan. Atma berlari dari satu ruangan ke ruangan yang lain, mengerahkan seluruh tenaga untuk menutup jendela yang terbanting-banting oleh angin kencang. Cuaca buruk petang itu seakan tak cukup untuk membuat suasana mencekam, Bu Sona keluar dari kamar Pak Giring dan berlari naik ke lantai atas. "Bhaga ...! Bhaga ...! Bapak sesak napas! Bhaga ...!" Kepal Bu Sona berkali-kali meninju pintu kamar Bhaga. Selang semenit, Bhaga membuka pintu dengan rambut masih basah kuyup. "Kita bawa ke rumah sakit sekarang, Bu!" serunya panik. Sejenak Atma berdiri memperhatikan Bhaga menggendong Pak Giring, lantas dengan kikuk berinisiatif memayungi mereka sampai ke mobil, tak sepatah kata juga keluar dari mulut Bhaga, sedang Bu Sona sigap mencomot beberapa potong pakaian dan membawanya ke dalam tas. "Tolong kamu jaga rumah ya, Ma!"
Beberapa kali hantaman angin ke jendela mengejutkan Atma. Nasi di mulutnya dikunyah perlahan. Lain darinya, Bhaga justru tetap tenang, seperti tak ada apa-apa. Kikuk, canggung, keduanya makan berhadapan nyaris tanpa bicara. Tadinya ada begitu banyak pertanyaan di kepala Atma seputar Pak Giring yang hendak dia ajukan, tapi setelah berhadapan dengan Bhaga, semua susunan kata-kata itu memudar dan menguap di udara. Sop yang dibuat Atma pun sudah tak tahu lagi bagaimana rasanya. Apakah asin, manis atau pedas, Atma tak tahu lagi, yang dia tahu saat ini dia sedang berdua saja di meja makan bersama Bhaga. Suara hujan dan angin di luar seakan menjadi lagu tema yang melengkapi keheningan mereka. "Soal paket C ..." Akhirnya Bhaga yang memecah kesunyian, barangkali dia sudah tak tahan berlomba diam dengan Atma. "Hm?" gumam Atma gugup. "Aku udah cari tau syarat-syarat pendaftarannya, kamu jadi mau ikut, kan?" Bhaga menatap lurus ke dalam manik indah Atma, mencipta
Sinar matahari pagi jatuh tepat di wajah Bhaga. Kain gorden yang halus berembus perlahan ditiup angin pagi perbukitan yang dingin. Agak berat, Bhaga membuka kelopak matanya akibat silau yang teramat. Dia bangkit dari tidur dan memperbaiki posisi duduknya. Mengerjap sekali-dua kali, mengucek matanya sebentar lantas merentangkan tangan yang terasa kaku. Setelah kesadarannya kembali penuh, matanya tertuju keluar, ke halaman yang tepat berada di luar jendela. Di halaman, Atma sedang menyapu. Hijaunya halaman telah berganti dengan daun-daun tua yang berserak di mana-mana. Atma juga mengutip beberapa buah jambu yang ikut gugur akibat angin kencang semalam. Yang buahnya rusak dia buang, sedang yang kondisinya terlihat masih elok, dia masukkan ke dalam keranjang bambu kecil. Sejenak Bhaga tertekun, matanya tak bisa lari dari sosok Atma yang begitu manis. Lelaki mana yang takkan tergugah hatinya bila melihat sorot mata Atma yang begitu halus dan teduh dengan warna iris mata sedikit k
Satu minggu telah berlalu, namun kondisi kesehatan Pak Giring masih sama, belum ada peningkatan yang signifikan. Dokter bilang, kemungkinan malah kondisinya akan makin memburuk, dan pihak keluarga harus siap untuk hasil yang paling jelek sekalipun. Satu-satunya hal yang barangkali masih menunggu Pak Giring adalah pernikahan Bhaga dan Jessica, dan itu pun sudah harus disegerakan. "Lihat kondisi bapak, Ga. Secepatnya ajak Jessica ke sini, supaya bapak bisa melihat kamu menikah," ucap Bu Sona pada suatu hari. Bhaga mengulum bibirnya, gundah, bingung. Sejujurnya, dalam lubuk hati paling dalam, dia masih ragu, haruskah menikahi Jessica? Keraguan itu kini timbul dan meninggi, setelah hadir Atma dalam hidupnya, yang walau masih terbilang singkat, namun begitu berkesan. Berhari-hari gundah, Bhaga sampai sengaja menghindar dari Atma, tentu untuk mengusir secuil rasa yang timbul tiap kali bertemu pandang dengan gadis cantik itu. Sebisa mungkin dia tepis dan dia padamka
Hawa yang dibawa oleh Jessica memang berbeda. Gadis periang itu seakan membawa serta segala kehangatan ke desa yang dingin. Atma tak bisa mengalihkan pandangannya dari wajah Jessica sejak pertama kali mereka bertemu, wajahnya begitu cantik dan memancarkan aura yang ceria. Kalau perempuan seperti Atma pun terbius akan kecantikan Jessica, apa lagi pria, Atma bisa mengerti kenapa Bhaga bisa jatuh hati kepada Jessica. Bukan hanya Bhaga, Bu Sona pun sudah begitu menyayanginya. Kalau tak ada halangan, minggu depan mereka akan menikah secara agama. Sejak tiba di desa, Jessica tak bisa diam. Dia ingin melihat kebun teh, ingin melihat sawah, ingin melihat jembatan, ingin melihat air terjun, serasa dia datang bukan karena Pak Giring sedang sakit tapi untuk berlibur. Namun siapa yang bisa menghentikannya? Tak ada. Jiwanya bebas seperti seekor burung elang. Dan sejak kehadiran Jessica di rumah, Atma makin berjarak dengan Bhaga. Sebelumnya Bhaga yang menghindar, sekarang giliran Atma yan
Seekor cecak menempel di dinding kamar Atma selama lebih dari satu jam, dan sudah selama itu juga dia sudah memandanginya. Nyaris tak berkedip. Melamun, membiarkan pikirannya diisi berbagai narasi. Dari mulai kenapa sikap Bhaga tadi begitu aneh sampai kenapa dia setuju untuk menikahi Salman. Belum ada jawabannya. Jarum pendek jam sudah menunjuk angka 12, sudah waktunya bagi Atma untuk tidur, mengistirahatkan otaknya dari segala prahara yang ada. Rasa takut terhadap hantu harus dihadapi, tubuh yang lelah akhirnya pasti akan kalah juga. Kelopak mata Atma tesentak ketika telinganya menangkap sebuah suara dari luar. Seperti ada suara langkah di teras. Atma mempertajam indera pendengarannya. Terdengar suara jendela diketuk sekarang. Salman?! Nggak mungkin!pekik Atma dalam hati. Sekilas dia denial dan memutuskan untuk tetap membawa dirinya tidur. Namun, sebuah bayangan besar yang lewat di luar jendela menyentak Atma lagi. Dirinya langsung bangkit dengan pani
Atma terjaga dengan kepala berat dan juga tubuh hanya terbalut selimut di atas tempat tidur hangat milik Bhaga. Sejenak dirinya tak sadar apa yang terjadi semalam, dan sedang di manakah dia sekarang. Dalam keadaan masih setengah tidur, sebuah tangan menyentuh lembut kening Atma. Reflek mata Atma terbelalak, dan dia menarik selimut sampai menutupi lehernya. Rupanya tangan itu milik Bhaga. Senyum manis Bhaga mengembang, dia duduk di tepi tempat tidur sambil sesekali mengusap puncak kepala Atma dengan lembut. "Kamu udah bangun? Mau sarapan? Aku bikin bubur ayam tadi," ucap Bhaga lembut. Belum pernah Atma melihat senyumnya merekah seperti ini, begitu semringah dan berseri-seri secerah warna tomat yang baru dipetik dari kebun. Sementara itu sikap Atma kembali bimbang. Tak semudah membalik tangan baginya untuk menerima Bhaga sebagai "kekasihnya". Dia terlihat gugup, berusaha menghindar dan menolak bubur buatan Bhaga. Sepertinya untuk berhadapan dengan Bu Sona pun, Atma tak