“Girls, gue balik duluan, ya,” pamit Resya setelah sempat berkutat memeriksa ponselnya. Satu tangan gadis itu melambai ke arah para sahabatnya sementara satu yang lain masih memegang ponsel yang mendadak bergetar.
“Buru-buru amat, udah ditungguin Mas Pacar?” goda Ilma sembari membalas lambaian Resya.
Resya hanya tertawa kecil. Ia sudah bangkit berdiri kala matanya menangkap tatapan Kaila mengarah padanya. Tawa Resya lantas berubah menjadi cengiran.
“Mana Mas Pacar, kenalin ke kita, dong, Re. Biar bisa nongki bareng sekalian gue ospek,” celetuk Kaila, nadanya bercanda. Namun, diam-diam, gadis itu memang penasaran perihal jati diri dari kekasih sang karib. Pasalnya, sudah tiga bulan berjalan sejak Resya sering kali pamit pulang lebih awal ketika mereka sedang bersama, seolah memang ada orang lain yang juga memenuhi waktunya—seseorang yang tidak Kaila dan Ilma ketahui. Tiap kali menerima pertanyaan, Resya tidak pernah mengiyakan pun mengelak. Gadis itu pasti hanya akan tertawa kecil, mengalihkan topik, lalu kembali pamitan dan cepat-cepat berlalu. Mengenal Resya dengan sangat baik sejak tingkat satu, kedua sahabatnya tidak pernah memaksanya bercerita. Hanya godaan-godaan ringan seperti tadi saja yang kerap mereka lontarkan.
“Nanti, ya, girls. Mas Pacar masih takut sama Kanjeng Ratu Kaila,” balas Resya jahil.
“Idih, emang gue apaan? Kok ditakutin? Emang gue kenal?” tanya Kaila bertubi-tubi, terdengar tidak terima.
“Lo tanya satu fakultas, Kai. Siapa yang nggak kenal lo?”
“Sumpah, Mas Pacar anak FE juga?” pekik Kaila, merasa memperoleh petunjuk besar. Ini kali pertama Resya mengakui secara gamblang bahwa sosok seseorang yang sering mereka bicarakan itu memang nyata.
“Bukan, sih,” ringis Resya. Kaila mendengkus sementara Ilma geleng-geleng kepala. “Udah, ih, gue mau balik. Dah, Kai. Dah, Ilma. Semangat revisiannya sayang-sayangku!”
Lalu gadis itu lekas bergegas, meninggalkan dua kawannya yang masih menatapi kepergiannya dengan heran.
“Beneran punya pacar si Rere?” tanya Kaila, setelah sosok yang bersangkutan hilang dari pandangan. Ilma angkat bahu.
“Nggak pernah cerita, sih, dia,” jawabnya, lalu menoleh penuh pada Kaila. “Kai mau balik kapan?”
Kaila mendongak menatap Ilma. Pandangannya kemudian turun pada layar laptop yang masih menyala. Merasa sia-sia—dan sedikit sakit kepala—gadis itu mendesah pelan. “Ilma mau balik sekarang?”
Yang ditanya mengangguk. “Iya, nih. Mau revisian di kosan aja. Udah sore juga. Yuk?”
“Ya, udah, deh,” putus gadis itu akhirnya.
Keduanya lantas merapikan barang bawaan masing-masing. Setelahnya, meninggalkan area kantin fakultas dalam diam. Kaila masih sibuk dengan pikirannya sendiri sementara Ilma tampak tidak ingin mengganggu. Kala sampai di halte depan fakultas, Ilma menoleh pada kawannya.
“Kai balik sendiri nggak pa-pa? Mau naik kereta atau mesen ojek?”
Kaila tersenyum tipis. Kepalanya menggeleng. “Naik kereta aja, Ma. Ilma mau langsung jalan atau nunggu bis?”
Berbeda dengan Kaila dan Resya yang pulang-pergi antara rumah dan kampus setiap harinya, Ilma menetap di rumah indekos yang berlokasi dekat dengan kampus. Ia biasa menggunakan bus khusus dalam kampus sebagai sarana transportasi sehari-hari untuk mobilisasi. Tidak jarang pula berjalan kaki karena jarak ke fakultasnya pun masih bisa ditempuh dengan jalan kaki.
“Kalo Kai naik kereta, ya udah gue ikut nunggu bis aja. Yuk, duduk!”
Ilma menarik Kaila duduk di halte yang cukup lengang, menanti bus kampus yang biasa lewat tiap lima belas sampai dua puluh menit sekali. Kaila mengikuti Ilma, duduk di sisi gadis itu sembari mendengarkan obrolan-obrolan ringan yang Ilma lontarkan. Menanggapi sesekali sambil menyembunyikan rasa berdenyut yang kian terasa di kepalanya.
Kaila menghela. Agaknya, hari ini benar-benar bukan harinya.
***
Ketika Kaila membuka pintu rumah, hanya suasana hening yang menyambutnya. Lampu-lampu rumah yang biasa dinyalakan di malam hari, semua belum menyala meski kini langit sudah hampir gelap. Mengira tidak ada orang di rumah, Kaila menyalakan lampu teras serta lampu ruang tamu. Gadis itu lalu menutup pintu depan dan melangkah melewati ruang tamu, menuju ruang tengah.
“Mama sama Papa nggak pulang. Nginep di Karawang, jenguk Mbak Nia abis lahiran.”
Kalimat datar itu menyambut Kaila kala kakinya hampir menapaki anak tangga pertama. Ia berhenti melangkah, cukup terkejut menyadari Kaisar sudah di rumah—dan tidak menjalankan tugas menyalakan lampu. Pemikiran itu membuat Kaila kesal hingga tanpa sadar ia mendengkus pelan.
Berniat mengabaikan suara Kaisar, Kaila meneruskan langkah. Namun, belum ada satu langkah penuh ia ambil, sosok Kaisar yang tadinya sedang merebah di sofa mendadak bangkit duduk lalu menoleh ke arahnya. Bukan itu yang kemudian kembali menghentikan langkah Kaila. Tapi suara Kaisar yang terasa menggema di ruangan yang hening, serta di dalam kepala Kaila yang masih berdenyut.
“Zaki bilang, lo udah tahu soal gue ditawarin ke YC,” ada nada aneh di suara Kaisar yang tidak Kaila pahami. Namun, mengenal saudaranya itu sejak di rahim Mama, Kaila menyimpulkan bahwa Kaisar hanya sedang ingin menyombongkan diri. Karenanya, gadis itu menoleh penuh pada si lelaki dengan raut sinis.
“Gue nggak peduli,” sambarnya, menatap lurus pada sepasang mata Kaisar yang irisnya berwarna kecokelatan alami, persis miliknya.
“Dosen pembimbing gue cuma nawarin rekomendasi. Itu juga proses rekrutmennya tetep nunggu gue resmi lulus dulu, La. Bukan berarti gue udah fix pasti diterima di sana.” Kaisar melanjutkan kalimatnya seolah Kaila tidak pernah menginterupsi. Darah Kaila mendidih. Sakit kepalanya semakin hebat. Pegangannya pada tali tas laptop menguat, menjelma cengkraman.
“Gue bilang, gue nggak peduli,” ulang Kaila dalam desisan, menahan marah.
Ayolah, memangnya Kaila peduli apa soal kehidupan Kaisar? Sedikit pun, ia tidak pernah mau tahu. Bagaimana adik kembarnya itu tidak pernah mengulang mata kuliah, masih mampu mempertahankan Indeks Prestasi Kumulatif di atas standar cum laude hingga sekarang, diterima menjadi asisten dosen beberapa kali hingga memiliki networking yang baik dengan dosen-dosennya—sungguh, Kaila tidak pernah peduli dengan semua pencapaian Kaisar semasa kuliah. Apalagi perihal keberuntungannya. Lantas, mengapa anak itu harus menyombongkan keberuntungan itu di hadapannya?
“Well,” Kaisar mengangkat bahu. “Just want to clear things up. Everybody knows YC is your dream company.”
Cukup sudah.
York & Carten atau yang lebih dikenal sebagai YC, merupakan salah satu Kantor Akuntan Publik bertaraf internasional yang juga masuk jajaran Big Five, yaitu lima besar konsultan akuntansi dan pajak terbaik di dunia. Sejak tahun-tahun awalnya di jurusan Akuntansi, Kaila memimpikan YC untuk menjadi tempatnya kelak meniti karir. Ia mempertahankan angka-angka serta indikator huruf di calon transkripsi nilainya sejak tahun pertama, menempa diri dengan segudang pengalaman dan aktivitas organisasi, membangun jaringan, mencari informasi, tapi kenapa selalu hanya Kaisar yang memperoleh jalan mudah? Seolah perjuangan Kaila selama ini tidak berarti apa-apa. Mengapa semesta memberi kesempatan emas hanya pada Kaisar?
Cukup sudah.
Isi kepala Kaila yang kusut membuatnya muak. Ia sudah merasa tidak suka kala mengetahui jurusan kuliah yang Kaisar pilih hampir empat tahun lalu adalah jurusan yang akan sangat mungkin bersinggungan dengan jurusan pilihannya. Dan kini, ketidaksukaan Kaila mendadak menggunung memenuhi dirinya, membuatnya merasa ingin meledak. Apalagi, melihat ekspresi sok Kaisar serta gestur tubuh lelaki itu. Kaila merasa sedang diremehkan.
“Lo tuli atau tolol?” Gadis itu mendesis lagi, kepalanya kian berdenyut menyakitkan. “GUE NGGAK PEDULI SAMA HIDUP LO, KAISAR!”
Teriakan Kaila bergaung memenuhi ruang hening di sekitar mereka. Kaisar tersentak sebelum menoleh cepat memandang kakak kembarnya. Raut lelaki itu berubah marah, sepasang alisnya bertaut.
“Lo kenapa, sih? Nggak waras? Gue ngomong baik-baik, ngapain lo teriak-teriak?” balas Kaisar. Nadanya meninggi. Ia kini bangkit berdiri, menghadap Kaila yang masih tegak di kaki tangga.
“Lo yang kenapa!” tuduh Kaila lagi. “Cuma karena lo selalu dapet apa yang lo mau, nggak berarti lo harus pamerin semuanya, Berengsek!”
Kaisar mendengkus. Ia terbiasa mengalah jika Kaila mulai berulah. Namun, hari ini, baginya Kaila sudah keterlaluan.
“Hati lo busuk, La,” cetus Kaisar. Kalimat itu diucapkan nyaris tanpa emosi, namun cukup tepat sasaran. “Hati lo beracun.”
“TAHU APA LO SOAL HATI?”
Kaila merasakan kepalanya dipukul dari dalam. Sakit yang ia rasakan semakin menyiksa seiring dengan setiap teriakannya. Pandangan gadis itu nyaris mengabur. Napasnya terengah. Berusaha menyembunyikan kesakitan, Kaila kembali menatap Kaisar.
“Orang nggak punya hati kayak lo nggak berhak ngomong soal hati,” tandasnya.
Kemudian hening.
Di antara denyut kepalanya, Kaila bisa melihat Kaisar memutar bola mata.
“Cewek gila.”
Dan dengan kalimat singkat itu, Kaisar berlalu menuju kamarnya. Meninggalkan Kaila yang masih mematung dengan tubuh gemetar—antara menahan rasa sakit dan amarah. Pintu kamar Kaisar terbanting menutup. Menyisakan sang kakak kembar yang menatapi pintu tertutup itu cukup lama, hingga kemudian menghentak gusar lalu berlari ke luar rumah.
Dari kamarnya, Kaisar bisa mendengar suara pintu depan yang dibanting serta pagar yang dibuka lalu ditutup kembali dengan berisik. Kaisar tahu Kaila meninggalkan rumah. Tapi ia tidak bisa bersimpati. Apa yang Kaila katakan hari ini benar-benar sudah kelewatan. Jadi, lelaki itu hanya menghempaskan diri ke kasurnya. Napasnya terembus lelah. Ia menatap langit-langit kamar sebelum mengangkat sebelah tangan untuk menutupi matanya.
Persetan dengan pesan Papa yang menyuruhnya menjaga Kaila di rumah. Kaisar tidak peduli. Kakaknya itu sudah besar. Pasti tidak akan apa-apa. Paling-paling, Kaila pergi ke rumah Resya atau rumah indekos Ilma. Memangnya ke mana lagi gadis itu akan melarikan diri?
Tidak penting, sungut Kaisar dalam hati.
Maka lelaki itu menyamankan dirinya dalam rebah, berniat tidur sebentar dalam beberapa menit ke depan.
Kaisar tidak tahu, kalau Kaila meninggalkan rumah tanpa membawa apa-apa. Gadis itu membiarkan tas dan barang-barangnya berserakan di kaki tangga, dan hanya membawa serta ponselnya di saku celana.
***
Di antara keramaian orang yang berlalu lalang, Kaila merasakan dirinya bisa pingsan kapan saja. Sakit di kepalanya belum berkurang—malahan bertambah parah jika masih bisa dikatakan demikian. Gadis itu berusaha meneruskan langkahnya pelan-pelan. Ia tidak ingat bagaimana tadi ia mampu berlari meninggalkan rumah, kembali ke stasiun, bertahan dalam kereta yang penuh sesak di jam ramai, turun di stasiun kampusnya lalu berjalan kaki cukup jauh hingga kini memasuki area pemukiman di belakang kampus—tempat deretan rumah indekos berjajar bersama rumah-rumah warga.
Kaila menghentikan langkahnya sejenak. Tangannya bertumpu pada pilar penyangga atap sebuah warung makan yang tutup. Gadis itu berusaha bernapas pelan-pelan, berniat mengusir sedikit saja rasa sakit yang membuatnya nyaris menangis. Tapi nihil. Sakitnya tidak juga berkurang. Kaila tidak tahu apa yang salah atau mengapa tiba-tiba ia mengalami sakit kepala sehebat ini. Ia hanya tahu, ia tidak mampu berjalan lagi.
Kaila mengangkat kepala, melihat sekeliling. Dengan sisa tenaganya, ia berusaha mengenali sekitar. Ini belum dekat. Rumah indekos Ilma—tempat yang ia tuju—masih berjarak beberapa blok dari sini. Kaila tidak akan sanggup. Jadi, sembari mencengkram pilar, gadis itu berusaha berpikir. Ringisannya samar terdengar. Kaila bisa merasakan tatapan aneh dari orang-orang yang kebetulan melewatinya. Namun, ia tidak peduli. Ia hanya perlu memikirkan apa yang harus ia lakukan saat ini.
Lalu, di sela sakit yang begitu menyiksa, kepalanya mendadak memunculkan satu ingatan. Sesuatu yang membuat Kaila sekali lagi mengedarkan pandangan sembari mencoba mengingat-ingat. Perlahan, gadis itu melepaskan pegangannya pada pilar. Ada satu tujuan lain yang jauh lebih dekat dengan tempatnya saat ini dibanding indekos Ilma. Kaila hanya perlu berdoa tujuannya itu belum berganti pemilik. Dan semoga, tidak akan menimbulkan masalah apa-apa.
***
Zaki baru saja keluar dari kamar mandi kala ia mendengar pintu kamarnya diketuk perlahan. Mulanya, ia ragu. Ketukan itu terlalu lemah hingga membuat Zaki hampir merasa ia hanya salah dengar. Namun, di tengah suasana yang hening, suara itu justru semakin kentara.“Siapa?” Zaki memberanikan diri bertanya. Seingatnya, tidak ada teman yang bilang akan berkunjung malam ini.Rumah indekos Zaki lebih mirip bangunan rumah kontrak. Kamarnya terletak di baris paling depan dari pagar masuk, merupakan kamar pertama yang paling dekat dengan pintu pagar. Di barisnya, hanya ada tiga kamar. Zaki mengenal para penghuni dua kamar di sebelahnya. Yang satu seorang karyawan swasta, baru akan pulang di atas jam sembilan malam. Sedangkan pemilik kamar paling kanan merupakan mahasiswa baru yang tadi sore berpapasan dengannya saat ia pulang. Seingat Zaki, anak itu bilang akan menginap di indekos teman. Kecuali itu seseorang dari kamar di baris dalam—yang sudah pasti tidak ter
“LO SEMALEM NGINEP DI KOSAN–” Resya menutup mulut lalu melirik sekeliling. Tubuhnya merunduk sedikit. “–Zaki?”Kaila memutar bola matanya malas sementara Ilma memukul lengan Resya, menyuruhnya diam. Ketiganya sedang berada di ruang baca lantai dua perpustakaan pusat. Tidak seperti ruang diskusi yang cukup ramai, ruang baca cenderung sepi di siang hari. Selain rak-rak buku besar yang menjulang hingga atap, tidak ada orang lain di sekitar mereka sejauh mata memandang. Kecuali mungkin, di balik salah satu rak buku itu.“Anjrit,” Resya bertepuk tangan girang, membuat Ilma memelototinya garang. “Sumpah, Kai? Zaki yang itu?”“Zaki yang itu,” jawab Kaila malas.“Zaki Satria?”“Zaki Satria.”“Bahan bagus, nih, buat gosip hangat FE,” gadis itu menyahut, cepat menyambar ponsel lalu menyalakan layarnya. Resya mendadak sibuk dengan ponselnya hingg
Kaisar bergerak gelisah dalam duduknya. Jemarinya berulang kali mengetuk meja kantin, tatapannya bergerak pada Zaki sebentar, lalu menghindarinya lagi. Itu terjadi berulang kali hingga tanpa sadar, Zaki turut merasa gelisah dan mengusap belakang lehernya canggung.“Sar ....”Kaisar bangkit berdiri, abai pada panggilan Zaki atas dirinya. Lelaki itu kemudian berbalik menghadap sang kawan, sorot matanya sulit diartikan. “Siapa aja yang tahu?” tanyanya.Zaki menghela. “Lo, gue, Ila.”Kaisar lantas mengembus lega. Ia kembali duduk dalam satu gerakan cepat, tubuhnya condong, merapat pada Zaki. “Beneran cuma kita bertiga?”“Tadinya cuma gue sama Ila, malah,” Zaki menelengkan kepalanya. “Tapi daripada lo denger dari orang, atau gue nggak sengaja keceplosan di masa depan terus lo salah paham, ya mending gue kasih tahu sekarang, lah.”Hening. Kaisar memandangi kawannya lekat-lekat
“Lo nggak lihat orangnya?”Pertanyaan itu terlontar santai, diselingi perebutan kemasan Cheetos antara Kaisar dan Fahril. Namun, bagaimana pun, Zaki tahu kawannya baru saja bertanya serius. Meski demikian, ia terpaksa menggeleng.“Nggak. Pas gue nengok, bis dateng. Heboh, dah, tuh, sehalte.”Terdengar suara Cheetos dikunyah. Disusul suara berisik yang aneh. Zaki lantas menoleh, menemukan dua kawannya yang masih berperang memperebutkan kemasan makanan ringan yang isinya hampir habis itu. Ia lalu mendengkus. “Ngapain, sih, kampung. Beli lagi sono di Indomaret depan. Timbang Cheetos lima ribu lebih dikit aja berantemnya sampe ngotorin kosan gue.”Baik Kaisar dan Fahril lekas melepaskan pegangan masing-masing dari kemasan makanan ringan tadi. Membiarkan bungkusan itu jatuh ke lantai dan isi remahannya berceceran, membuat Zaki mengerang frustrasi.“Iya, iya, nanti sebelum balik gue nyapu dulu,” celetuk Fah
“Baru pulang, Sar?”Setelah menyimpan sepasang sepatunya di rak depan, Kaisar lantas menghampiri sang ibu lalu mencium tangannya. Pertanyaan ibunya tadi hanya ia balas anggukan. Lelaki itu lantas mendudukkan diri di sofa ruang tengah, di sebelah ibunya.“Sepi, Ma?” tanyanya, dengan kepala terjulur menoleh ke sekitar.“Baru kamu yang pulang.” Ibunya menjawab sekilas, lalu mengembalikan atensi pada tayangan sinetron India yang tengah diputar di televisi. “Kamu tumben pulang cepet?”Kaisar mengerling malas. “Pulang sore salah, pulang malem salah juga.”“Udah gede masih aja ambekan,” tegur sang ibu, setengah bercanda. Satu tangan menepuk lengan putranya. “Ila mana, Sar?”Ditanya demikian, Kaisar lantas mendengkus. Setelah semua pembahasan di indekos Zaki sesiang tadi, gagasan-gagasan yang tidak ia sukai, perasaan aneh yang membuatnya merasa tidak ingin membicarak
“Corporate Governance tuh, sebenernya topik yang tricky.” Fano berujar sembari menyentuh touchpad laptop Kaila. “Secara teori sama olahan data angka, emang keliatan ada hubungannya antara penerapan tata kelola perusahaan yang baik sama peningkatan nilai perusahaan. Tapi di lapangan sebenernya agak rancu. Apalagi kalo udah bahas-bahas dewan komisaris sama direksi gini. Soalnya kadang status independensinya cuma pajangan doang, nggak guna-guna banget. Bukan orang yang beneran kompeten juga. Pembimbing lo nggak komentar apa-apa emang?”Lelaki itu mengembalikan laptop tadi pada pemiliknya. Yang lekas menerima sembari meringis kecil memandangi apa yang kini tertera di layar laptopnya.“Komentar, sih,” sahut Kaila tanpa melihat Fano. Fokusnya tengah berpusat pada beberapa fail yang tampak terhampar memenuhi layar laptopnya. Gadis itu menyalin beberapa di antaranya dan memindahkannya ke folder miliknya. &
“Jadi, sekarang lo udah sedeket itu sama si–siapa namanya?” Resya mengangkat wajah, mengalihkan pandangan dari catatan yang tadi sedang dibacanya. Kaila yang duduk dua kursi darinya lantas memutar bola mata.“Fano,” balas Kaila cuek. “Dan nggak, gue nggak deket. Apalagi sedeket itu.”Resya mengangguk dengan gestur menyebalkan. “Fine, Honey,” ia kemudian memindahkan tatapannya pada Ilma yang duduk di antara mereka. “Ma, tadi Pecking Order, tuh, tahun berapa?”Kening Kaila berkerut samar akibat perubahan topik yang tiba-tiba itu. Ia kemudian hanya menggeleng pelan lalu mengembalikan fokus pada lembaran kertas di tangannya–print out bahan referensi yang ia dapat dari Fano beberapa hari lalu. Sementara di sisi Kaila, Ilma menoleh ringan menghadap Resya.“Tahun 1984, Re. Myers, Majluf. Tuh, gue jawab sekalian biar lo nggak nanya lagi.”
“Nggak pegel, Kai?” Kaila melepaskan pandangan dari layar laptopnya demi mendongak dan beradu pandang dengan si penanya. Fano. Yang kini tengah tersenyum bodoh menatap ke arahnya. “Apanya?” Gadis itu bertanya dengan kening berkerut, sepenuhnya tidak mengerti arah pembicaraan Fano. Lelaki di hadapan Kaila itu lantas mengedikkan kepala, menunjuk laptop yang terbuka di meja, di antara mereka. “Fokus banget melototin laptop dari tadi. Nggak pegel?” Itu sebuah kelakar. Fano jelas melontarkannya dengan nada bercanda. Namun, Kaila tidak tertawa. Ia justru mendengkus malas. “Gue malah heran sama lo,” balas Kaila, menggeser laptopmya sedikit ke samping, kini menempatkan atensinya penuh-penuh pada si lelaki. “Hobi banget ngikutin gue tiap gue mau ngerjain skripsi. Nggak pegel?” Sindiran pedas Kaila hanya melebarkan cengiran di wajah Fano. “Kan, biar gue bisa ngebantu kalo lo tiba-tiba blank terus butuh temen brainstorming.”
“Dari mana lo?”Pertanyaan itu menyambut Kaila segera setelah ia melangkahkan kaki berniat melintasi ruang tamu. Kaila tidak perlu menoleh untuk tahu siapa yang bicara. Namun, karena refleks, gadis itu menoleh juga, membuatnya bertemu pandang dengan Kaisar.Kaila tidak langsung menjawab. Gadis itu memberi jeda demi menatap Kaisar dengan sorot tidak suka. Raut serta nada suaranya tetap datar ketika kemudian ia menyahut, “Bukan urusan lo.”Kaisar lantas menghela. Kedua orang tua mereka tengah berada di ruang tengah, hanya berjarak beberapa meter dari tempat mereka sekarang. Memancing emosi Kaila hanya akan menciptakan huru-hara yang mungkin dapat berakibat panjang. Ia tidak menginginkan keributan apa pun. Apalagi jika sampai menyebabkan masalah sepele ini diketahui orang tua mereka. Tapi bagaimana pun, Kaisar penasaran. Karenanya, berusaha berpikir masa bodoh, lelaki itu bangkit dari duduknya lalu bertanya dengan nada setenang mungkin.
“Menurut informan gue, namanya Fano. Anak JIP, satu angkatan di atas kita. Kenal sama Kaila nggak sengaja, kebetulan dia ngerti dikit-dikit soal skripsinya Kaila jadi suka diskusi bareng gitu katanya, sih,” Fahril menggantung laporannya dengan mulut penuh, sibuk mengunyah remahan Cheetos terakhir dari bungkusnya. “Nih, ada fotonya tapi nggak jelas.”Kaisar menerima angsuran ponsel Fahril, lalu menyipit memperhatikan layarnya. Sebuah foto– yang tampaknya diambil tanpa kesadaran para objek di dalamnya–ditampilkan di sana. Kaisar mengenali latarnya sebagai ruang diskusi perpustakaan pusat. Namun, tidak bisa melihat dengan jelas wajah sosok lelaki yang kelihatan duduk berhadapan dengan Kaila.“Nggak keliatan,” protes Kaisar, mengembalikan ponsel Fahril pada pemiliknya. “Tapi sekilas mirip, sih, sama yang kemaren gue liat.” Kepalanya lalu menoleh pada Zaki yang duduk bersila di sudut ruangan, tengah menulikan diri
“Nggak pegel, Kai?” Kaila melepaskan pandangan dari layar laptopnya demi mendongak dan beradu pandang dengan si penanya. Fano. Yang kini tengah tersenyum bodoh menatap ke arahnya. “Apanya?” Gadis itu bertanya dengan kening berkerut, sepenuhnya tidak mengerti arah pembicaraan Fano. Lelaki di hadapan Kaila itu lantas mengedikkan kepala, menunjuk laptop yang terbuka di meja, di antara mereka. “Fokus banget melototin laptop dari tadi. Nggak pegel?” Itu sebuah kelakar. Fano jelas melontarkannya dengan nada bercanda. Namun, Kaila tidak tertawa. Ia justru mendengkus malas. “Gue malah heran sama lo,” balas Kaila, menggeser laptopmya sedikit ke samping, kini menempatkan atensinya penuh-penuh pada si lelaki. “Hobi banget ngikutin gue tiap gue mau ngerjain skripsi. Nggak pegel?” Sindiran pedas Kaila hanya melebarkan cengiran di wajah Fano. “Kan, biar gue bisa ngebantu kalo lo tiba-tiba blank terus butuh temen brainstorming.”
“Jadi, sekarang lo udah sedeket itu sama si–siapa namanya?” Resya mengangkat wajah, mengalihkan pandangan dari catatan yang tadi sedang dibacanya. Kaila yang duduk dua kursi darinya lantas memutar bola mata.“Fano,” balas Kaila cuek. “Dan nggak, gue nggak deket. Apalagi sedeket itu.”Resya mengangguk dengan gestur menyebalkan. “Fine, Honey,” ia kemudian memindahkan tatapannya pada Ilma yang duduk di antara mereka. “Ma, tadi Pecking Order, tuh, tahun berapa?”Kening Kaila berkerut samar akibat perubahan topik yang tiba-tiba itu. Ia kemudian hanya menggeleng pelan lalu mengembalikan fokus pada lembaran kertas di tangannya–print out bahan referensi yang ia dapat dari Fano beberapa hari lalu. Sementara di sisi Kaila, Ilma menoleh ringan menghadap Resya.“Tahun 1984, Re. Myers, Majluf. Tuh, gue jawab sekalian biar lo nggak nanya lagi.”
“Corporate Governance tuh, sebenernya topik yang tricky.” Fano berujar sembari menyentuh touchpad laptop Kaila. “Secara teori sama olahan data angka, emang keliatan ada hubungannya antara penerapan tata kelola perusahaan yang baik sama peningkatan nilai perusahaan. Tapi di lapangan sebenernya agak rancu. Apalagi kalo udah bahas-bahas dewan komisaris sama direksi gini. Soalnya kadang status independensinya cuma pajangan doang, nggak guna-guna banget. Bukan orang yang beneran kompeten juga. Pembimbing lo nggak komentar apa-apa emang?”Lelaki itu mengembalikan laptop tadi pada pemiliknya. Yang lekas menerima sembari meringis kecil memandangi apa yang kini tertera di layar laptopnya.“Komentar, sih,” sahut Kaila tanpa melihat Fano. Fokusnya tengah berpusat pada beberapa fail yang tampak terhampar memenuhi layar laptopnya. Gadis itu menyalin beberapa di antaranya dan memindahkannya ke folder miliknya. &
“Baru pulang, Sar?”Setelah menyimpan sepasang sepatunya di rak depan, Kaisar lantas menghampiri sang ibu lalu mencium tangannya. Pertanyaan ibunya tadi hanya ia balas anggukan. Lelaki itu lantas mendudukkan diri di sofa ruang tengah, di sebelah ibunya.“Sepi, Ma?” tanyanya, dengan kepala terjulur menoleh ke sekitar.“Baru kamu yang pulang.” Ibunya menjawab sekilas, lalu mengembalikan atensi pada tayangan sinetron India yang tengah diputar di televisi. “Kamu tumben pulang cepet?”Kaisar mengerling malas. “Pulang sore salah, pulang malem salah juga.”“Udah gede masih aja ambekan,” tegur sang ibu, setengah bercanda. Satu tangan menepuk lengan putranya. “Ila mana, Sar?”Ditanya demikian, Kaisar lantas mendengkus. Setelah semua pembahasan di indekos Zaki sesiang tadi, gagasan-gagasan yang tidak ia sukai, perasaan aneh yang membuatnya merasa tidak ingin membicarak
“Lo nggak lihat orangnya?”Pertanyaan itu terlontar santai, diselingi perebutan kemasan Cheetos antara Kaisar dan Fahril. Namun, bagaimana pun, Zaki tahu kawannya baru saja bertanya serius. Meski demikian, ia terpaksa menggeleng.“Nggak. Pas gue nengok, bis dateng. Heboh, dah, tuh, sehalte.”Terdengar suara Cheetos dikunyah. Disusul suara berisik yang aneh. Zaki lantas menoleh, menemukan dua kawannya yang masih berperang memperebutkan kemasan makanan ringan yang isinya hampir habis itu. Ia lalu mendengkus. “Ngapain, sih, kampung. Beli lagi sono di Indomaret depan. Timbang Cheetos lima ribu lebih dikit aja berantemnya sampe ngotorin kosan gue.”Baik Kaisar dan Fahril lekas melepaskan pegangan masing-masing dari kemasan makanan ringan tadi. Membiarkan bungkusan itu jatuh ke lantai dan isi remahannya berceceran, membuat Zaki mengerang frustrasi.“Iya, iya, nanti sebelum balik gue nyapu dulu,” celetuk Fah
Kaisar bergerak gelisah dalam duduknya. Jemarinya berulang kali mengetuk meja kantin, tatapannya bergerak pada Zaki sebentar, lalu menghindarinya lagi. Itu terjadi berulang kali hingga tanpa sadar, Zaki turut merasa gelisah dan mengusap belakang lehernya canggung.“Sar ....”Kaisar bangkit berdiri, abai pada panggilan Zaki atas dirinya. Lelaki itu kemudian berbalik menghadap sang kawan, sorot matanya sulit diartikan. “Siapa aja yang tahu?” tanyanya.Zaki menghela. “Lo, gue, Ila.”Kaisar lantas mengembus lega. Ia kembali duduk dalam satu gerakan cepat, tubuhnya condong, merapat pada Zaki. “Beneran cuma kita bertiga?”“Tadinya cuma gue sama Ila, malah,” Zaki menelengkan kepalanya. “Tapi daripada lo denger dari orang, atau gue nggak sengaja keceplosan di masa depan terus lo salah paham, ya mending gue kasih tahu sekarang, lah.”Hening. Kaisar memandangi kawannya lekat-lekat
“LO SEMALEM NGINEP DI KOSAN–” Resya menutup mulut lalu melirik sekeliling. Tubuhnya merunduk sedikit. “–Zaki?”Kaila memutar bola matanya malas sementara Ilma memukul lengan Resya, menyuruhnya diam. Ketiganya sedang berada di ruang baca lantai dua perpustakaan pusat. Tidak seperti ruang diskusi yang cukup ramai, ruang baca cenderung sepi di siang hari. Selain rak-rak buku besar yang menjulang hingga atap, tidak ada orang lain di sekitar mereka sejauh mata memandang. Kecuali mungkin, di balik salah satu rak buku itu.“Anjrit,” Resya bertepuk tangan girang, membuat Ilma memelototinya garang. “Sumpah, Kai? Zaki yang itu?”“Zaki yang itu,” jawab Kaila malas.“Zaki Satria?”“Zaki Satria.”“Bahan bagus, nih, buat gosip hangat FE,” gadis itu menyahut, cepat menyambar ponsel lalu menyalakan layarnya. Resya mendadak sibuk dengan ponselnya hingg