Dalam perjalanan pulang, mereka akan menyempatkan diri mampir ke rumah seorang teman kerja Ni Luh Dewi.
Kebetulan hari ini, sang teman lain sif dengan Ni Luh Dewi. Sang teman masuk sif pagi, biasanya pulang jam tiga sore. Di tengah perjalanan Ni Luh Dewi merajuk pada sang suami.
"Bli Mang, simpang ke warung Bu Oki, ya ... ya?"
"Dekat toko Nirmala, situ?"
"Ya, Bli ... lapar nih."
Akhirnya motor yang mereka kendarai belok kiri masuk gang menuju Warung Bu Oki.
Komang Wiratama mencari tempat parkir yang teduh. Meskipun jam sudah menunjukkan pukul empat sore, panas masih terasa menyengat.
Banyak pasang mata mengamati kedatangan dua sejoli ini. Maklum saja tampilan visual pasangan ini mirip artis.
Komang Wiratama adalah pria maskulin, berpostur tubuh seratus delapan puluh lima sentimeter, ditopang bentuk tubuh proposional, ditunjang raut wajah mirip artis India Siddhrath Shukla. Adalah pasangan serasi bagi Ni Luh Dewi yang tinggi badan sekitar seratus tujuh puluh sentimeter. Bentuk tubuh tinggi semampai, dengan pinggul besar, dada membusung indah layaknya penari janger. Wajah mirip banget artis Velove Xevia. Pengunjung warung dibuat terkesima oleh mereka.
Mereka memesan menu yang sama. Nasi campur khas menu Bali, potongan ayam betutu, sate lilit, telur pindang, ayam sisit, plecing kacang panjang, kacang tanah goreng dan sambal matah.
Saat mereka menikmati makanan, seorang pria separuh baya menghampiri mereka.
"Om Swastyasthu, Mang, Luh ... adi tumben, tepuk dini."
Komang Wiratama serta istri segera mendongak ke arah pria tersebut.
"Om Swastyasthu, hei Pak Yan. Mari gabung makan sini." Komang menjawab sambil berdiri, menggeser letak kursi untuk Pak Wayan Lana.
Mereka bertiga adalah teman satu managemen di Alila Villa, Uluwatu.
Sebelum Komang resign setahun yang lalu.
"Saya ikutan ngobrol aja ya, ni tadi barusan bungkus lauk, untuk dimakan di rumah."
"Pak Yan, tadi rencana tyang ma Bli Mang, akan pergi ke rumah Pak Yan. Kebetulan tepuk dini," ucap Ni Luh Dewi.
"Mari, setelah ini mampir ke rumah!" ajak Pak Wayan.
"Lain waktu aja, Pak Yan ... biar bisa agak lama main di sana. Tyang mau nitip surat izin tidak masuk kerja," ucap Ni Luh Dewi sambil mengeluarkan amplop putih dari tas.
Wanita berparas cantik ini laku menyodorkan amplop putih pada Pak Wayan Lana.
"Kamu sakit apa, Luh?" tanya Pak Wayan Lana sembari melihat stempel Bidan Yeti di sampul amplop.
"Tyang hamil, Pak Yan ... sering mual."
"Astungkara, selamat ya ... Luh, Mang." Pak Wayan mengulurkan tangan pada pasutri di depannya.
Teringat dengan dirinya sendiri yang sudah sepuluh tahun menikah, belum mendapat titipan dari Sang Hyang Widhy Wasa.
"Suksma Pak Yan, semoga segera menyusul kami, ya," balas Komang Wiratama.
"Semoga, terima kasih doanya," jawab Pak Wayan Lana.
"Oh ya, tyang pamit pulang dulu ya," ucap Pak Wayan Lana.
"Sebentar Pak Yan, tunggu di sini sebentar. Tyang ada sesuatu untuk Pak Yan."
Ni Luh Dewi beranjak dari kursi menuju tempat parkir. Sebuah kresek diambil dari motor, begitu di dalam, kresek ditaruh di depan Pak Wayan Lana.
"Pak Yan, ini ada jeruk. Tolong bawa pulang, ya! Tyang mual mencium baunya."
"Gek, ini jeruk yang tadi, kan? Oh ya, Pak Yan tadi waktu di tempat Bu Bidan, kami diberi jeruk oleh Dadong dagang canang. Jeruk dalam kemasan, jeruk import." Komang Wiratama menjelaskan sambil memperlihatkan jeruk dalam kresek.
"Dadong dagang canang, maaf ... yang matanya juling?"
"Ya, Pak Yan benar. Bapak kenal?" tanya Ni Luh Dewi penasaran.
"Dia tetangga saya. Kata istri saya, Dadong ini punya ilmu leak," jawab Pak Wayan Lana. Dirinya tak mungkin mengungkap identitas si Dadong yang kebetulan adalah masih kerabat sang istri.
Pak Wayan Lana menceritakan tentang Dadong dagang canang yang oleh warga di desanya dipanggil Dadong Canangsari.
Tiap ada orang hamil Dadong selalu baik hati, suka memberi makanan pada ibu hamil. Seminggu yang lalu, ada tetangga yang kehilangan janin setelah siangnya diberi buah pisang oleh Dadong tersebut.
Kemudian Pak Wayan Lana memberi nasihat pada Komang dan istri agar lebih berhati-hati. Tidak sembarang makan pemberian orang asing.
"Oops ... Meme Dewa Ratu! Hampir saja," ucap Ni Luh Dewi terkejut sembari menutup mulut. Wajahnya seketika pucat pasi, dipegangnya perut yang mulai mengeras sekarang.
Sang suami segera memeluknya. Semua yang dijabarkan Pak Wayan Lana, sungguh membuat mereka terkejut.
"Tenang, Luh! Kita punya Sang Hyang Widhy Wasa, kamu hapal Gayatri Mantram, kan?"
"Hapal, Pak Yan," sahut Ni Luh Dewi.
"Mang, kamu hapal juga, kan?"
Komang mengangguk.
"Lantunkan mantra itu saat pagi dan saat menjelang malam, agar kalian terlindungi dari kekuatan jahat."
"Suksma, Pak Yan."
"Suksma Mewali, saya pamit duluan, ya."
Mereka berjabat tangan. Pak Wayan Lana segera beranjak dari tempat tersebut.
Komang Wiratama dan Ni Luh Dewi melanjutkan menyantap makanan mereka.
Mereka sedikit tenang setelah dikasih saran oleh Pak Wayan Lana. Setelah melakukan pembayaran, mereka beranjak pulang.
Dalam perjalanan pulang, Ni Luh Dewi tak henti-hentinya mengucap terima kasih pada Sang Hyang Widhy Wasa, tidak jadi menyantap jeruk pemberian Dadong Canangsari.
Setelah menempuh perjalanan dua puluh menit, mereka sampai di kontrakan.
Komang Wiratama menghentikan motor tepat di depan teras, sang istri pelan-pelan turun dari boncengan.
Ni Luh Dewi membuka pintu. Begitu sampai di dalam segera mengempaskan tubuh di atas sofa. Sambil menunggu sang suami masuk. Rasa kantuk sudah tidak dapat ditahan Ni Luh Dewi, tadi sewaktu di warung sempat minum obat dari Bu Bidan. Ketika Komang Wiratama masuk demi melihat sang istri telah terlelap di sofa, hanya menggelengkan kepala.
Komang segera masuk kamar mandi, membersihkan diri sekaligus berganti baju untuk melaksanakan persembahyangan Puja Trisandya.
Setelah selesai mandi, perlahan dia mendekati sang istri. Duduk bersimpuh di dekatnya, menyentuh lembut pipi sang istri.
"Gek, mandi dulu, biar segar. Kita sembahyang bareng."
Ni Luh Dewi menggeliat sebentar, menoleh ke arah sang suami.
"Bli Mang, udah siap sembahyang, jam berapa sekarang?"
"Sudah jam enam, cepat mandi! Bli Mang siapin canangnya."
Dengan langkah gontai, Ni Luh Dewi melangkah ke kamar mandi. Beberapa menit kemudian, Ni Luh Dewi masuk ke kamar tidur, untuk berganti baju. Komang Wiratama menghidupkan DVD, tak lama kemudian Gayatri Mantram mengalun lembut memenuhi seisi ruangan.
Rasa damai dan tenang dirasakan hati Komang, hingga tak menyadari sang istri sudah berdiri tegak di sampingnya.
Beriringan mereka menuju Sanggah untuk melakukan Persembahyangan Puja Trisandya, disusul kemudian melantunkan Gayatri Mantram.
Sekelebat bayangan hitam hadir dari balik pagar, tapi tak mampu menerobos masuk pelataran rumah, hawa magis dari Puja Trisandya disusul disusul dengan Gayatri Mantram, telah melemahkan kekuatan bayangan hitam.
Om bhur bhuvah svah,
Tat savitur varenyam,
Bhargo devasya dhimahi,
Dhiyo yo nah pracodayat.
***
Jejak kaki :
*Simpang = Mampir
*Adi tumben, tepuk dini = Wah tumben, ketemu di sini
*Astungkara = Ucapan pengharapan
*Tyang = Saya
*Dadong dagang canang = Nenek penjual canang
*Gayatri Mantram = Doa pelindung
*Puja Trisandya = Doa pemujaan untuk Tuhan
*Sanggah = Tempat persembahyangan untuk kasta biasa
Bayangan hitam memutar mencari celah untuk masuk ke pelataran rumah. Alunan Gayatri Mantram mengalun, menggema, merasuki setiap inci pelataran serta setiap sudut ruangan. Embusan napas serta setiap lafal mantra yang terucap dari kedua insan adalah angin suci berisi untaian kidung pemujaan pada Sang Hyang Pemilik Hidup. Bayangan hitam menggeliat, mengejang tak mampu melewati pagar pembatas yang tercipta oleh alunan Gayatri Mantram. Semakin kuat, dia mencoba menerobos, semakin kuat pula jala alunan Gayatri Mantram mengempas, menghentakan. Bayangan hitam melesat tinggi menggapai arah genting rumah. Dia tak mampu menerobos kekuatan suci Gayatri Mantram. Kekuatan mantra laksana jala raksasa yang mencengkeram erat, menutup seluruh pelataran serta rumah. Akhirnya sang bayangan terempas keras, seluruh sendi-sendi kekuatan magisnya remuk. Dia menggeliat, menggelepar dan raib terbawa embusan angin, menyisak
Serangan angin hanya melanda kamar mereka saja. Aneh bin ajaib. Sungguh kekuatan setan mampu membuat nyali ciut bagi orang-orang yang tak beriman."Alhamdulillah, Bu! Sudah reda anginnya. Ayo, buka mata!" Pria tersebut menepuk halus pipi istrinya yang masih diliputi perasaan khawatir. Wanita itu baru berani membuka mata, setelah tahu angin sudah menghilang, dia langsung sujud syukur sambil terisak-isak. Allah masih melindungi mereka.“Alhamdulillah! Terima kasih, Ya Allah! Pak kita selamat," ucapnya sambil menyeka buliran bening dari kedua sudut mata serta pipi. Mereka berpelukan, merasa lega, terlepas dari serangan angin setan.Tetangga Indekos mendatangi kamar mereka. Suara angin ribut serta suara hentakan pintu kamar yang diterjang oleh angin, mendatangkan rasa penasaran mereka. Di antara orang-orang yang berkerumun, terdapat pasangan yang baru saja kehilangan janin secara gaib dua minggu lalu.
Kobaran api yang membumbung tinggi dan suara petir yang menggelegar, menarik perhatian warga sekitar, termasuk penghuni kompleks indekos. Warga berhamburan ke tempat kejadian, begitu sampai di tempat bekas kebakaran, mereka hanya mampu tertegun.Kediaman Dadong Canangsari hanya menyisakan puing-puing berserakan beserta bara api. Warga bergotong royong memadamkannya.Anehnya, bara api hanya membumi hanguskan bangunan rumah saja, tak sampai merembet ke tempat lain. Ketika api sudah mulai padam, terdengar jeritan seorang wanita.“Bik Tut, Bik Tut ... apa yang terjadi?”Rupanya Ni Wayan Kesumasari yang baru saja datang dari bepergian, terlihat terkejut melihat musibah yang dialami bibiknya. Wanita itu tak menyangka nasib Dadong Canangsari akan setragis itu.Akhirnya, berdua dengan Wayan Lana-- suaminya-- dibantu oleh warga berusaha mencari keberadaan jasad Dad
Kejadian ini terjadi beberapa hari sebelum jasad Dadong Canangsari menghilang dalam musibah kebakaran yang menimpa rumah wanita renta itu. Telah beberapa malam wanita renta tersebut mengalami mimpi yang mengerikan dan selalu dengan mimpi yang sama. Wanita itu telah merasa hal tersebut adalah sebuah firasat jika waktunya telah dekat. Sang Dadong merasa sudah saatnya mempersiapkan segala urusan termasuk mempersiapkan calon penerus ilmu.Dari pagi buta dia sudah mempersiapkan barang dagangan sekalian menyisakan beberapa canang dan tambahan untuk ritual nanti malam di rumah Wayan Suri, anaknya. Dia berencana meminta tolong keponakannya untuk mengantar ke Denpasar.Sesaat sebelum Dadong Canangsari akan pergi ke pasar untuk berjualan canang tak sengaja bertemu keponakannya. Ni Wayan Kesumasari lewat tepat di depan rumah Dadong Canangsari. Mereka masih saudara dekat, Ni Wayan Kesumasari adalah anak dari kakak perempuan Dadong Canangsari. Begitu mel
Kepergian Dadong Canangsari meninggalkan tugas untuk keturunannya. Sebuah ilmu harus diemban, tapi siapakah yang telah menerima ilmu tersebut? Cahaya yang keluar sesaat setelah tubuh Dadong Canangsari tewas telah menemukan raga yang lain. Tak ada yang tahu, siapa yang telah menerima ilmu tersebut.Wayan Suri, putri Dadong Canangsari tak merasa kemasukan cahaya ilmu tersebut. Tak juga dirasakan oleh Kesumasari, keponakan Dadong. Kedua wanita dalam garis keluarga itu saling bertanya.Ke manakah cahaya kuning ilmu tersebut?Sejenak kita melangkah, menilik masa lalu kehidupan Dadong Canangsari.Saat itu di usia dua puluh tahun, Dadong Canangsari merantau ke Jawa karena perpindahan tempat kerja. Perusahaan ekspedisi tempat dia bekerja membuka cabang baru di salah satu kota besar di Jawa. Setahun bekerja di sana, Dadong Canangsari muda, kala itu masih memakai nama gadis, I Ketut Sulastri, menjalin hu
Setelah ritual khusus dilakukan, mereka duduk berhadapan. Hanya debaran jantung dan tarikan napas yang terdengar, kadang berirama kadang memburu, mengikuti alur pikiran masing-masing. Setelah beberapa saat terdiam, akhirnya Ni Kesumasari sebagai saudara tertua mulai bersuara.“Ningsih, Suri, sekarang kalian bersiap menerima ilmu warisan meme kalian. Persiapkan jiwa raga. Takdir tak bisa ditolak, inilah garis keturunan kita.”“Mbok Yan, seumpama aku yang dapat warisan ilmu, bisakah aku jalani dari Tanah Jawa?” tanya Ningsih dengan tatapan mata penuh selidik, beberapa kali wanita itu membenahi letak kamben dan kebayanya. Maklum saja, dia belum terbiasa dengan busana tersebut. Bu Lana tersenyum geli melihat tingkah sepupunya ini.“Ken ken? Nggak bisa begitu, Mbok,” timpal Wayan Suri sembari memegang jemari tangan kakak perempuannya. Seketika Ningsih menyambut erat genggaman sang adik, sea
Bu Lana telah sadar seperti semula, dengan perubahan wajah, tubuh dan kulit yang lebih kencang dari sebelumnya. Ningsih dan Wayan Suri semakin penasaran dengan perubahan yang telah dialami sang mbok. Sungguh takjub dengan perubahan yang secepat kilat tersebut, hanya perlu waktu semalam saja.“Mbok, ke mana aja? Kami takut, rohmu tak kembali lagi. Sudah mirip mayat, pucat, denyut nadi pun lemah. Tahu-tahu mbok siuman, mulut belepotan darah. Kami ngeri, akhirnya jadi senang, terlihat jadi lebih muda, lebih cantik. Ngapain aja sih, Mbok?” tanya Wayan suri yang memang lebih bawel dibanding Ningsih, sang kakak.Bu Lana hanya tersenyum, menanggapi pertanyaan Wayan Suri. Hatinya sedang berbunga-bunga, harapan selama ini tercapai sudah. Dalam hati sangat berharap bahwa dirinyalah yang akan menjadi pewaris ilmu. Sekarang harus segera menyusun kata-kata untuk menyampaikan hal tersebut pada suaminya. Tak mungkin bisa disembunyik
Setelah menempuh perjalanan satu jam karena macet, sampailah mereka di kediaman Wayan Suri. Situasi lingkungan rumah Wayan Suri yang asri masih dikelilingi areal persawahan membuat Ningsih merasa nyaman, serasa di kota asalnya di Jawa.Tak ingin berlama-lama Bu Lana segera mengajak suaminya pergi keliling kota mencari oleh-oleh untuk Ningsih yang akan pulang kampung besok. Sayang, saat mengajak kedua sepupunya, mereka tak mau. Ningsih dan Suri ingin segera istirahat karena semalaman sudah begadang. Hal tersebut tak dirasakan oleh Bu Lana.Dalam perjalanan, Pak Lana tak henti-hentinya mencuri pandang pada sang istri. Pria itu sangat heran dengan perubahan yang terjadi pada tubuh terutama wajah istrinya. Perawatan macam apa yang telah dilakukan istrinya dengan para sepupu?Hanya dalam waktu singkat, wajah yang mulai menua berganti rupa dengan kulit kencang. Bentuk tubuh pun berubah dratis, dari yang semula kendor, daging b