“Biarkan mereka pergi!”
Teriakan Kardit Masiak sambil melompat turun dari kereta kuda menghentikan langkah anak buahnya yang tengah memburu Puti Tan.
Gadis itu berhasil merebut Kuranji dari tangan mereka setelah melakukan pertarungan sengit.
“Sayang sekali,” timpal lelaki paling depan, kemudian berbalik lesu. “Walau tenaganya tidak terlalu kuat, setidaknya pemuda itu masih berguna untuk kita.”
Kardit Masiak tak menyahut. Matanya menatap lurus ke depan, memancarkan kilat misterius yang luput dari pengamatan anak buahnya. Sementara jemarinya mengelus lembut sepotong sobekan kain berwarna merah. Kain itu dipungutnya dari permukaan tanah, tempat di mana Puti Tan bertarung.
“Ayo kembali! Bawa pulang semua hasil rampasan hari ini!” titah Kardit Masiak kepada anak buahnya, lalu melesat tinggi tanpa menunggu tanggapan dari mereka dan mendarat di atas sebuah cabang pohon besar.
Terseok-seok Puti Tan menyeret Kuranji. Sesekali ia menoleh ke belakang, memastikan anak buah Kardit Masiak tak lagi memburu mereka.
“Puti … tinggalkan saja aku! Aku … tidak kuat lagi.”
Kuranji berhenti. Napasnya tersengal-sengal. Penglihatannya pun berkunang-kunang.
Melihat wajah Kuranji pucat pasi, Puti Tan memapah pemuda malang itu menuju sebatang pohon. Ia mendudukkan Kuranji dengan perlahan dan membiarkannya memperbaiki posisi agar bisa bersandar dengan nyaman.
Memejamkan matanya yang terasa berat dan nyeri, Kuranji berkata lirih, “Puti boleh pergi. Di sini terlalu berbahaya.”
“Kamu tahu di sini berbahaya, lalu … kenapa mengusirku?” Puti Tan merasa tidak senang Kuranji memintanya pergi.
Kuranji memaksakan diri untuk membuka kelopak matanya yang sembap. “Nyawamu lebih berharga ….” Kuranji tak lagi punya kekuatan untuk menyelesaikan rangkaian kata-katanya. Ia kembali menutup mata.
Puti Tan merapikan pakaian Kuranji yang berantakan. “Bodoh, memangnya kamu pikir aku akan meninggalkanmu hanya karena kamu mengusirku?”
Sesaat Puti Tan memindai wajah lebam Kuranji. Sebersit perasaan iba memudarkan binar cerah netra cokelat terangnya.
Mengamati sekeliling, Puti Tan menyadari bahwa mereka berada di pinggiran hutan yang menjadi tujuan mereka berburu.
“Tetaplah di sini! Jangan ke mana-mana!” bisik Puti Tan seraya menepuk pelan pundak Kuranji. “Aku akan mencari obat untukmu.”
Beruntung hutan tersebut sangat kaya dengan tanaman obat-obatan sehingga tidak butuh waktu lama bagi Puti Tan untuk kembali menemui Kuranji. Namun, begitu tiba di dekat pohon di mana sebelumnya Kuranji berada, pemuda malang itu tak lagi terlihat.
Puti Tan panik. Ia berlari ke segala arah, mencari keberadaan Kuranji sembari terus menyerukan namanya, “Kuranjiii … di mana kamu? Berhenti bermain-main! Ini tidak lucu!”
Tak ada sahutan selain gema suaranya yang memantul, menakutkan. Agar pandangannya lebih luas, Puti Tan melompat ke atas sebatang pohon. Netra tajamnya menembus setiap celah kerimbunan belukar dan deretan pepohonan.
Kuranji yang dicari Puti Tan bersembunyi tidak jauh dari pohon tempat Puti Tan mengawasi sekitar. Hanya saja, wanita itu berdiri dalam posisi membelakangi Kuranji.
“Tuhan, biarkan dia pergi,” lirih Kuranji. Suaranya terdengar lebih lemah daripada bisik angin pada dedaunan.
Mata sembapnya terus memicing, mengawasi pergerakan Puti Tan. Merasa Puti Tan benar-benar telah menjauh, Kuranji merangkak keluar dari sela-sela kerimbunan tanaman rambat yang menjadi tempatnya bernaung.
Sebuah tangan tiba-tiba mencekal baju di punggungnya, membuat Kuranji berkeringat dingin.
“Mau ke mana? Kabur?” sinis sebuah suara bernada tinggi mengejek Kuranji.
Menoleh dengan mata yang menyipit, Kuranji mengenali lelaki yang mengenakan pakaian merah itu merupakan salah satu saudara seperguruannya.
“T–tidak … a–aku—”
“Bacot! Cepat berdiri!” hardik lelaki itu sambil menyeret Kuranji untuk bangkit. “Jalan!”
Kuranji hanya bisa pasrah, mengayun langkah menuju arah yang ditunjuk oleh saudara seperguruannya. Setiap kali ia terjatuh karena kelelahan dan rasa nyeri yang kian mendera kakinya, ia akan menerima tendangan dan kembali ditarik bangkit. Bahkan, ketika Kuranji merasa tak lagi memiliki sisa tenaga, ia diseret paksa untuk terus berjalan.
Bruk!
Lelaki itu mengempaskan Kuranji di hadapan seorang pemuda yang usianya dua tahun lebih tua dari Kuranji. Di belakangnya berbaris enam pemuda lainnya.
“Kavland, lelaki tak berguna ini telah membuang semua perbekalan kita,” adu lelaki yang membanting Kuranji.
Mendapat dorongan kuat, Kuranji tersungkur. Keningnya mendarat di atas sebelah kaki Kavland.
“Benarkah?” tanya Kavland dengan nada dingin dan datar.
“Iya. Aku menemukan bendi kita di tepi hutan,” sahut lelaki itu. Matanya yang sipit dan runcing terlihat licik.
Kavland melirik tajam pada sosok Kuranji yang bersujud di kakinya. Kemudian, menghadiahkan sebuah tendangan, yang membuat Kuranji terjengkang. Tulang punggung Kuranji berderak patah. Saking sakitnya, Kuranji menggigit bibir.
Kedua tangan Kuranji melambai-lambai, sebagai bentuk sanggahan dan pembelaan diri bahwa dia tidak melakukan seperti apa yang dituduhkan. Namun, Kavland tak peduli. Lelaki itu justru mendatangi Kuranji, lalu menginjak dadanya.
Kuranji merasakan seolah-olah sebuah batu besar menghantam telak dadanya dan dia tidak bisa menyingkirkan batu itu. Napas Kuranji terasa sesak. Bulir hangat mengalir dari sudut mata Kuranji. Sungguh ia tak sanggup menahan sakit pada punggungnya secara bersamaan dengan dadanya yang tertekan. Mati mungkin lebih baik daripada tersiksa oleh pasokan oksigen yang terasa kian menipis.
Kedua tangan Kuranji menggapai lemah, berusaha menyingkirkan kaki Kavland dari dadanya. Jangankan berhasil bebas dari injakan Kavland, kaki itu justru menekan makin kuat.
Uhuk!
Kuranji terbatuk dan memuntahkan segumpal darah segar.
“Selama ini … aku sudah cukup bersabar melihat dirimu yang sangat tidak berguna … justru dianakemaskan. Tidak ada yang istimewa dari dirimu, tapi … kenapa Tuan Guru dan Puti Tan sangat menyayangimu, heh?!” Kavland berkata dengan suara yang seakan terjepit di antara kemarahan keritan giginya.
Sebagai murid terbaik di Perguruan Pedang Emas, ia merasa mendapat perlakuan yang tidak adil dari sang guru dan Puti Tan. Ia tidak pernah mendapat perhatian dan pujian atas semua prestasinya.
“I–itu tidak benar,” sanggah Kuranji di tengah embusan napasnya yang tersengal-sengal.
Kavland mendengkus. Ia mengangkat kaki tinggi-tinggi, mengambil ancang-ancang untuk menghantam dada Kuranji dengan kekuatan penuh.
“Manusia tak berguna sepertimu hanya akan menjadi beban. Lebih baik kau mati saja. Hiyaaa!”
“Tunggu, Kavland!” Si mata licik menahan serangan Kavland.
Kaki bertenaga penuh itu terhenti dengan jarak setipis helaian tisu di atas dada Kuranji.
Kuranji, yang saat itu hanya bisa pasrah sembari memejamkan mata, membuang napas dengan lega. Walau ia tidak dapat menebak apa yang akan terjadi selanjutnya, setidaknya, nyawanya selamat untuk sementara waktu.
“Kenapa kau menghentikanku, hah?!” Kavland memandang si mata licik dengan tatapan berang. “Kau membelanya sekarang?”
“Aku … membelanya?” Si mata licik menunjuk dirinya, menyeringai. “Untuk apa? Aku justru punya rencana yang lebih bagus.”
Kavland memicing. Kuranji membasahi tenggorokannya yang mendadak terasa kering. Ia mulai merasakan firasat buruk.
Si mata licik mendekatkan bibir ke telinga Kavland, kemudian berbisik. Entah apa yang dibisikkan lelaki itu. Yang jelas, Kuranji merasakan hawa di sekitarnya berubah dingin dan mencekam. Terlebih ketika Kavland dan si mata licik serentak menyeringai kepadanya, memperlihatkan taring-taring kebencian yang diselimuti oleh pekatnya kabut dendam.
“Bawa dia!”
Kuranji tak berdaya. Ia hanya bisa pasrah tatkala dua orang pemuda seusianya mengikat lengan dan kakinya pada sepotong kayu panjang. Mereka membawa dirinya seperti menggotong seekor hewan buruan yang sudah mati.
Semakin jauh masuk ke hutan, ditambah dengan matahari yang kian turun ke Barat serta pepohonan yang kian rapat dan rimbun, pencahayaan pun meredup. Udara di sekitar juga terasa lebih lembap.
Cedera tulang Kuranji terasa kian nyeri, tetapi dia tidak bisa berbuat apa-apa untuk mengurangi rasa nyeri itu.
“Berhenti!” Kavland mengangkat tangan kanannya.
Seakan sangat memahami karakter Kavland, tidak seorang pun dari saudara seperguruannya yang mempertanyakan mengapa ia tiba-tiba memberi komando untuk tidak lagi melanjutkan langkah.
Kavland berbalik, menghadap Kuranji yang sudah setengah pingsan, tergantung seperti rusa mati.
“Turunkan dia!” titah Kavland. Netranya berkilat sadis.Bunyi bergedebuk segera terdengar begitu perintah Kavland berakhir. Dua lelaki yang menggotong Kuranji mengempaskan tubuh benyai Kuranji tanpa rasa belas kasihan. Mereka bahkan tertawa kala Kuranji merintih kesakitan.“Kita apakan bocah ini?” tanya salah satu penggotong yang usianya tak jauh berbeda dengan Kuranji, tetapi ia selalu merasa Kuranji hanya anak ingusan yang tidak tahu apa-apa.Kavland memutar badan. Berdiri dengan kaki setengah terbuka dan bersedekap tangan, ia mengamati sebuah lubang yang menganga lebar di depannya. Matanya sedikit memicing memperhatikan rumpun tanaman rambat yang menutupi sebagian celah lebar itu.“Kau yakin ini guanya?” tanya Kavland pada si mata licik yang berdiri di sebelah kirinya.“Tidak salah lagi! Pasti ini gua yang dihebohkan oleh orang-orang di dunia persilatan.”“Kelihatannya biasa saja. Tidak ada yang istimewa,” timpal Kavland. Sebelah tangannya bergerak mengusap dagu. “Tidak ada jejak o
Lantai dan dinding gua bergetar hebat. Sebagian langit-langit gua bahkan runtuh, menjatuhkan hujan kepingan batu kapur.Kuranji terhuyung, terombang-ambing seperti batok kelapa yang mengambang di lautan.Ketika guncangan itu berhenti, Kuranji tersungkur dalam posisi merangkak.“Hati-hati dengan kekuatan suaramu, Anak Muda!”Seorang kakek berjubah putih berdiri sejauh dua meter dari Kuranji. Sekilas ia melirik pedang yang tergeletak di lantai, lalu kembali mengalihkan pandangan pada Kuranji. Tangan kanannya menggenggam seuntai butiran tasbih. Sementara mulutnya tak henti komat-kamit. Entah kapan kakek petapa berjanggut panjang itu muncul. Refleks Kuranji menyambar pedang yang tadi dilemparnya. Ia bangkit seraya mengacungkan pedang itu kepada si kakek.“J-jangan mendekat!”Petapa tua itu tersenyum. “Jangan takut! Akulah yang telah merawat luka-lukamu.”Suara yang hangat dan tatapan mata yang teduh mengikis kecemasan Kuranji. Perlahan ia menurunkan pedangnya.Sesaat Kuranji memindai pen
Semburat berwarna jingga mulai membias di ufuk Barat. Semilir angin senja membelai lembut helai dedaunan yang menaungi Puti Tan.Puti Tan mendesah lesu. Duduk bersandar di bawah sebatang pohon yang tegak menjulang di tepi sungai. Sebelah kakinya terlipat, menyokong lengannya yang sibuk bermain-main dengan sepotong ranting di ujung jari. Tatapannya kosong, menyusuri liku sungai. Arusnya yang tenang seakan enggan bermuara menuju laut lepas, sama seperti hati Puti Tan yang terasa berat untuk beranjak dari tempat duduknya.“Puti Tan!”Suara seseorang yang memanggil namanya tak digubris oleh Puti Tan.“Aku mencarimu ke mana-mana. Syukurlah kau baik-baik saja. Ayo, pulang!”Puti Tan memutar bola mata dengan malas, melirik sekilas pada sosok lelaki yang berjalan mendekatinya.“Kembalilah, Kavland! Aku masih ingin di sini.”Kavland menyembunyikan kekesalannya karena penolakan Puti Tan di balik seulas senyum ramah yang dipaksakan.“Puti, Tuan Guru memintaku untuk mencarimu walau ke ujung dunia
“Jangan bergerak! Aku akan mengobatimu.” Kuranji menahan Puti Tan yang berniat untuk bangkit setelah siuman. “Aku—” “Kau terluka dan pingsan.” “Siapa kamu? Di mana ini?” “Kau tidak perlu tahu siapa aku. Kau aman di sini,” sahut Kuranji, meraih lengan Puti Tan. Saat wanita itu tidak sadarkan diri, ia mengumpulkan ramuan herbal dan menghaluskannya. “Aku ingin duduk.” Melihat raut canggung yang membias pada wajah cantik Puti Tan, Kuranji akhirnya membantu gadis itu untuk duduk dan bersandar pada dinding kayu yang berlubang. Ya. Kuranji beruntung menemukan pondok terbengkalai, bekas per
Runduih Ameh seakan menyatu dengan sarungnya. Berulang kali Puti Tan mencoba menariknya, tetapi pedang itu tidak bergerak sama sekali. Dengan wajah cemberut, Puti Tan mengembalikan pedang itu kepada Kuranji. “Ini, kukembalikan,” kata Puti Tan, menjejalkan Runduih Ameh ke tangan Kuranji. “Pedang ini hanya mengenali tuannya.” Kuranji menyeringai canggung. “Memang belum pernah ada orang lain yang menyentuhnya.” Melihat ekspresi bersalah Kuranji, Puti Tan merasa tidak enak hati dan berusaha menghiburnya. “Hei, Kuranji! Kamu beruntung! Cepat cabut! Aku ingin melihatnya. Pasti pedang itu luar biasa sampai-sampai ia tak mengizinkan orang lain untuk menjamahnya.” Seberkas cahaya menyilaukan memancar ketika Kuranji menarik gagang pedang. Puti Tan menyipitkan mata. Ia baru membuka lebar matanya tatkala bias sinar dari pedang Kuranji perlahan memudar. Tangan Puti Tan terulur, ingin merasakan kehalusan ukiran yang menghiasi gagang dan permukaan pedang milik Kuranji. “Runduih Ameh! Kuranji,
Lawan merangsek maju. Pedangnya membelah udara laksana busur panah. Ujung pedang yang tajam mengarah tepat ke jantung Kuranji. Kuranji berkelit dengan mencondongkan badan ke belakang. Mata pedang lawan menebas udara kosong, hanya beberapa senti di atas badan Kuranji. Sebuah tebasan kini mengarah ke kaki Kuranji. Kuranji melompat. Selama beberapa waktu Kuranji hanya terus bertahan, membuat lawan merasa diremehkan. “Pengecut! Lawan aku! Jangan terus menghindar!” “Baik. Kau yang minta.” Swuush! Embusan angin mengiring helaian daun yang meluncur deras dari genggaman Kuranji. Seketika lawan sibuk memapas daun-daun yang telah menjelma bagai helaian timah itu. Sehelai daun berhasil menggores lengan kanan atas lawan. Tatapan matanya berkilat marah. Ia tidak terima Kuranji berhasil melukainya hanya dengan sehelai daun. “Keluarkan pedangmu, Pengecut!” “Tidak perlu!” Kuranji tidak akan pernah menggunakan pedangnya jika tidak terpaksa. Penolakan Kuranji semakin membakar kemarahan di dad
Matahari sepenggalan naik. Kuranji dan Puti Tan telah meninggalkan hutan, memasuki sebuah perkampungan. Suasana tampak lengang. Rutinitas pagi yang biasanya penuh dengan hiruk pikuk petani tidak terlihat sama sekali. Perkampungan itu seperti sebuah desa mati yang diselimuti kabut horor. “Kuranji, apa yang telah terjadi dengan kampung ini? Lihat!” Kuranji mengedarkan pandangan. Jalan kecil yang mereka lalui menyimpan keanehan. Bakul dan cangkul berceceran. Bahkan, bungkusan bekal makanan memamerkan isinya yang berhamburan. “Aku juga tidak tahu.” Mereka terus berjalan, memperhatikan segala kejanggalan yang ada dengan tatapan awas. “Tunggu, Kuranji!” Puti Tan menahan langkah Kuranji kala netra cokelat terangnya mendarat pada sebuah pekarangan rumah panggung. “Pintu rumah itu sampai lepas dan berserakan di halaman.” Puti Tan menunjuk daun pintu kayu yang tergeletak di atas rerumputan. “Itu juga. Menurut kamu … ini … penjarahan kampung?” Netra kelam Kuranji mengikuti ke mana pun jar
“Ampun! Ampun!” “Cepat ikat mereka semua!” Bugh! Jerit kesakitan saling bersambut dengan perintah bernada sangar dan tendangan. Bahkan, tak jarang diiringi pula dengan hantaman senjata tumpul. Sekumpulan lelaki muda, berusia di bawah empat puluh tahun, tak kuasa melawan keganasan sekelompok pria bertopeng. Siapa pun yang berani memberontak akan berakhir dengan babak belur. Kedua tangan mereka diikat ke belakang, dipaksa melangkah mengikuti perintah gerombolan penjahat itu. Drap! Drap! Terdengar derap langkah kuda berlari kencang. Debu jalanan berterbangan ketika kuda-kuda itu berhenti dengan kaki depan terangkat tinggi. “Naikkan mereka!” perintah lelaki bertopeng yang berada di posisi paling depan. Para penduduk kampung itu pun dilempar ke atas kuda dalam posisi menelungkup, melintang di depan sang joki. Kedua kaki mereka juga diikat, disusul dengan mata yang ditutup rapat. Dua orang dari pemuda kampung itu mencuri kesempatan untuk melarikan diri di saat gerombolan penjahat