"Mas Rian apa-apaan, sih!"
Marisa balas membentak. Dia merasa kesal dengan ulah Rian yang absurd. Tangannya sampai memerah karena ditepis tangan Rian yang besar. Ditambah masih harus menerima bentakan.
"Maaf Risa tadi itu spontan."
"Memangnya kenapa kalau ada suara radio di mobil? Biar nggak sepi, Mas. Pikiranku sekarang ini lagi sumpek, jadi pengen dengar lagu-lagu gitu."
"Cuma dengar lagu, kan? Bisa dengerin lewat HP. Mau Mas pinjemin ponsel Mas? Koleksi lagunya banyak dan bagus-bagus," bujuk Rian.
"Gak cuma lagu, sih. Risa juga mau dengerin berita. Biasanya kan di E-100 ada berita macam itu."
"Sudahlah Risa. Lebih baik kamu tidur. Pulihkan dulu kondisi mental kamu. Perjalanan masih jauh. Kalau bisa istirahat, kamu akan lebih tenang."
Marisa terdiam mendengar perkataan kakak sepupunya itu. Dia menoleh dan menatap sepupunya dari samping. Lelaki itu tampak serius dengan permintaannya. "Iya kamu benar, Mas. Lebih baik aku tidur. Lumayan bisa satu jam."
Rian mengangguk. "Katakan ke mana tujuan kita di Mojokerto. Nanti kalau sudah dekat aku bangunkan kalau kamu masih tidur."
Marisa menyebutkan nama Rumah sakit Citra Medika beserta alamatnya yang sudah dia cari lewat g****e. Kemudian tangannya meraih tuas dan mengubah posisi kursi agar tubuhnya bisa direbahkan dengan nyaman.
Rian menoleh ke samping. Dia menatap Marisa yang sudah memejamkan matanya dengan perasaan prihatin. "Kasihan sekali kamu. Belum lama menikmati bahagia, tapi sudah mengalami hal traumatis seperti ini."
Tangan Rian kemudian menyibak rambut yang jatuh menutupi wajah Marisa. Dia menyisipkan rambut itu ke belakang telinga Marisa. "Jangan takut. Ada aku di sini. Aku akan selalu melindungimu. Andai saja waktu itu aku lebih berani mengungkapkan …."
"Mas Irawan …." Marisa tiba-tiba menggerakkan tubuhnya dan menyebut nama suaminya.
Gerakannya itu membuat Rian sadar dan segera menarik tangannya. "Sial! Aku ini mikir apa, sih!" Mata Rian kemudian kembali terarah ke depan. Dia kembali fokus menyetir. Lelaki itu tidak mau terjadi hal yang tak diinginkan karena kelengahannya ketika melewati jalan Tol SUMO ini.
Mobil Rian melaju lambat ketika mendekati exit gerbang tol Mojokerto. Matanya terfokus ke mobil yang melaju di depannya hingga terlihat gerakan dari kursi di sebelahnya.
Marisa mengangkat kedua tangannya melewati kepala kursi. Dia meregangkan tubuhnya hingga terdengar bunyi kretek lalu bertanya dengan mata masih setengah menutup. "Kenapa berhenti? Sudah sampai, ya?"
"Kamu sudah bangun, Ris? Belum sampai, kok. Ini masih di antrian exit gerbang tol."
"Oo kukira kita sudah sampai." Marisa kemudian duduk dan menegakkan sandaran kursinya kembali.
"Syukurlah kamu kelihatan segar kembali. Itulah gunanya tidur meski sebentar."
"Iya, Mas Rian benar. Sekarang aku boleh dong setel radio kan sudah segar."
Rian tercenung. Wajahnya tampak bimbang, tapi dia tahu tidak ada alasan lagi mencegah Marisa menyalakan radio. Toh, sebentar lagi mereka sampai ke tujuan. Dia hanya bisa berharap berita di radio bukan seputar kecelakaan suami sepupunya itu.
Melihat Rian mengangguk, Marisa pun segera menyalakan radio. Tangannya mencari channel yang dia cari. Setelah menemukannya dia pun membesarkan volumenya.
"Ooo … jadi itu bukan sepasang suami istri, ya?" Terdengar suara bariton penyiar radio tersebut. Wajah Rian memucat. Dia tidak berani melirik wanita yang duduk di sampingnya.
"Bukan, Mas Dedi. Perempuannya itu penyanyi kafe. Dia sering ikut audisi nyanyi tapi tidak lolos. Kalau yang pria itu kabarnya pengusaha terkenal namanya …."
"Maaf, Pak saya potong. Kalau diteruskan nanti radio ini jadi radio gosip." Penyiar tertawa lepas. Rian mengembuskan napas lega.
"Kita fokus aja kondisi jalanan di sana. Apa korban sudah dievakuasi? Mobilnya bagaimana?"
"Sudah, Mas. Korban sudah dibawa ke Rumah sakit Citra Medika. Mobilnya sedang proses derek. Kondisi jalan ramai lancar arah sebaliknya. Sudah tidak ada yang berjalan perlahan untuk melihat."
"Baik, Pak Samuel. Terima kasih untuk laporan pandangan matanya." Sambungan telepon pun di putus dan berganti intro sebuah lagu.
"Para pendengar yang baik sambil menunggu laporan pandangan mata lainnya kita dengarkan dulu lagu yang akhir-akhir ini sedang viral. Lagu berjudul Berhak Bahagia ini dinyanyikan oleh Aurel. Semoga yang mendengarkan lagu ini bisa berbahagia karena kita semua memang layak bahagia." Suara sang penyiar pun menghilang digantikan suara merdu sang penyanyi.
"Ada kecelakaan lagi, ya? Kenapa banyak kejadian ya, hari ini?" Marisa bergumam. Rian tidak menanggapi pertanyaan yang diucapkan dengan lirih oleh Marisa.
"Kita langsung ke rumah sakit, kan?" tanya Rian.
Marisa tidak menjawab dan hanya mengangguk. Matanya menatap ke luar. Dia melamun. Rian tahu apa yang dipikirkan oleh sepupunya itu, tetapi dia memilih membiarkannya saja. Rian hanya berharap semoga saja dengan cara itu mental Marisa lebih kuat menghadapi kenyataan yang beberapa saat lagi akan diketahuinya.
"Kenapa, Mas? Mengapa kamu menatapku seperti itu?" Marisa tiba-tiba menoleh dan melihat Rian. Matanya menelisik penampilannya saat ini. Saat tidak menemukan ada keanehan, Marisa menatap mata Rian. Namun, sepupunya itu justru membuang muka dengan berpura-pura kembali fokus menyetir mobil.
Tak lama kemudian mobil SUV hitam milik Rian memasuki halaman rumah sakit. Mata Rian mengerjap berulang kali ketika melewati lobi dia melihat beberapa orang berkerumun di sana. Rian membatalkan rencananya semula yang ingin menurunkan Marisa di lobi. Lelaki itu memilih langsung menuju tempat parkir.
"Kenapa aku nggak jadi turun di lobi, Mas?"
"Lobi terlalu ramai. Nanti saja kita barengan masuknya, Ris."
"Ya sudah cepetan kalau gitu, Mas. Aku sudah tidak sabar mengetahui kabar Mas Irawan."
Setelah memarkir mobil, Rian dan Marisa bergegas turun. Lalu, mereka melangkah cepat menuju pintu IGD yang berada disamping lobi. Ternyata ada juga sekelompok orang yang berdiri di jalan menuju pintu IGD. Ketika Marisa dan Rian melewati kelompok itu terdengar salah satunya berkata, "Sampai jam berapa ya kita nunggu istri Pak Irawan? Kalian tahu seperti apa wajahnya?"
"Aku belum nemu fotonya di google.""Ada yang tahu akun medsosnya?"Rasa dingin menjalari tengkuk Rian. Apa yang dia khawatirkan terjadi. "Sialan," umpatnya pelan. "Mas … ada apa?" tanya Marisa yg merasakan ketegangan Rian. "Tidak ada apa-apa. Terus jalan aja, Ris," jawab Rian. Tangannya merangkul bahu Marisa dan menggamitnya untuk berjalan cepat. Meski merasa penasaran dengan sikap Rian yang berubah tegang dan gugup. Juga keheranan mendengar nama suaminya disebut-sebut oleh sekelompok orang tadi. Marisa menuruti permintaan Rian untuk melangkah lebih cepat. Lagi pula dia juga ingin secepatnya mendapat kejelasan tentang berita yang diperolehnya tadi pagi. Marisa dan Rian masuk ke IGD dan segera mendekati meja perawat. "Maaf suster apa benar ada korban kecelakaan Tol SUMO yang dibawa ke mari? Namanya Irawan," tanya Rian."O iya benar. Tadi ada polisi yang menunggunya tapi baru saja kembali ke markas. Maaf bapak dan ibu ini siapa ya?" "Saya kakak iparnya dan ini istrinya.""O kala
"Tolong hargai privasi kami atau kalian saya tuntut!" ancam Rian. Namun ancamannya itu dianggap angin lalu saja oleh para wartawan. Terbukti mereka tetap merangsek maju dan membombardir Marisa dengan segudang pertanyaan. Hal itu membuat Rian kembali berteriak, "Pak satpam tolong jauhkan mereka dari kami!" Tiga orang satpam Rumah Sakit Citra Medika segera berlari mendekat setelah mendengar teriakan Rian untuk kedua kalinya. Mereka membantu Rian dan Marisa menjauh dari kepungan wartawan dan terus mengawalnya sampai ke mobil. Setelah melihat Marisa mengenakan seat belt, Rian pun tancap gas meninggalkan halaman Rumah Sakit Citra Medika. "I-itu ta-tadi apa, Mas?" Rian menoleh dan melihat tangan Marisa gemetar di atas tasnya. "Sst … sudah tak apa-apa. Itu cuma wartawan yang lagi cari berita." "Tapi berita apa? Kecelakaan kan bukan berita yang kudu di buat heboh." Rian terdiam mendengar bantahan Marisa. Dia bingung harus menjelaskan mulai dari mana. Sebenarnya dia tahu alasan wartaw
"Loh, lipstik itu bukan punya Ibu? Kamera juga bukan punya Pak Irawan?" Aiptu Rizal menatap Marisa dengan pandangan kebingungan. "Bukan, Pak. Saya tidak suka lip cream warna merah menyala seperti ini." Marisa membuka penutup lipstik berbentuk cair itu dan menunjukkan kuasnya yang berwarna merah terang. "Setahu saya, Mas Irawan juga tidak mempunyai kamera digital seperti itu tapi saya juga tidak tahu pasti," lanjut Marisa. "O begitu. Berarti barang-barang itu milik penumpang." "Penumpang? Ada penumpang di mobil suami saya?" Aiptu Rizal menatap Marisa dengan pandangan tidak percaya, "Ibu tidak tahu? Saya kira Ibu sudah tahu karena ramai diberitakan media massa dan media sosial." "Shit!" Rian menoleh ke kanan sambil mengumpat pelan. "Apa yang harus terjadi, terjadilah," gumam Rian, pasrah. Setelah menarik napas perlahan dia kembali memasang wajah datar dan menghadapkannya ke depan. "Memangnya siapa penumpang mobil suami saya, Pak? Perempuan?" "Iya, perempuan. Dia seorang p
"Marisa? Iya aku Sandhyawan." "Kamu … terlihat sedikit berbeda, Mas." Marisa melangkah perlahan mendekati lelaki yang disapanya itu. "Kamu juga, Risa." "Tapi dalam artian bagus, kok," lanjut Sandhy dengan cepat. Dia tidak ingin Marisa salah paham dengan kata-katanya. Marisa tersenyum. Meski terlihat lebih kurus dan ada beberapa kerut samar di dahinya, tetapi wajah tampan Sandhy masih tersisa. "Sudah lama, ya, kita tidak bertemu?""Iya. Sekitar sepuluh tahun ya, Risa?""Dua belas tahun sejak Mas Sandhy lulus SMA lebih dulu.""O iya betul. Kamu pasti sudah menikah, Ris. Berapa anakmu? Apa itu suami kamu?" Tatapan Sandhy terarah ke belakang punggung Marisa. Rian yang berdiri di belakang Marisa dengan kotak di tangannya balik menatap lelaki yang sedang mengobrol dengan sepupunya itu. Dia mengamati penampilan lelaki yang tampak seperti seniman itu dari atas sampai ke bawah. "O bukan. Ini kakak sepupuku. Mas Rian, kenalkan ini Mas Sandhy kakak kelasku waktu SMA," jawab Marisa, sambil
"Kamu kok tanya seperti itu, sih, Ris?" "Jawab aja, Mas. Enggak perlu berbelit-belit!" sergah Marisa. Rian berdiri dari kursi dan berjalan mondar mandir di depan Marisa. Lelaki bertubuh sedikit berotot itu mendengkus. Tangannya mengacak-acak rambutnya yang hitam tebal. Gestur tubuhnya jelas menunjukkan kata-kata Marisa yang sedikit kasar itu mengganggu hatinya.Kalau menuruti kata hati, Rian pasti segera memilih pulang kembali ke Surabaya dan membiarkan Marisa sendirian. Namun, logika mengalahkan perasaannya. Marisa butuh teman dan saat ini hanya dia yang bisa menemaninya. Emosi Marisa sekarang ini sedang tidak stabil dan dia butuh pelampiasan. Tentu saja Rian yang berada di dekatnya adalah sasaran yang empuk untuk menumpahkan kekesalan Marisa.Beberapa menit kemudian setelah mengatur napas dan mondar-mandir mengitari kamar hotel, Rian mulai tenang. Kemudian dia kembali duduk di hadapan Marisa. Dia menatap tajam Marisa sebelum berkata, "Aku abaikan kata-katamu yang menyalahkan aku.
"Marisa … Marisa … ada apa? Kenapa kamu berteriak? Marisaaa …." Rian yang baru sampai di depan pintu kamar hotel menjadi panik ketika mendengar teriakan Marisa. Dia menggedor pintu sambil memanggil nama Marisa. Namun, tidak ada jawaban sama sekali dari dalam kamar. Rian semakin gelisah ketika sepupunya itu tidak juga membuka pintu kamar meski sudah digedor berulang kali. Merasa tak sabar, akhirnya Rian berlari menuju lift dan kembali ke lantai bawah. "Tolong … tolong buka kamar adik saya di kamar 510. Saya tadi keluar sebentar dan ketika balik ke kamar saya mendengar dia berteriak. Saya sudah gedor pintu dan memanggil namanya, tapi tidak ada reaksi. Tolong cepetan!" Resepsionis yang mendengar suara panik Rian segera bertindak cepat. Dia menghubungi housekeeping dan memintanya menuju kamar Marisa. Sementara Rian ditemani seorang satpam juga bergegas kembali ke kamar Marisa. Mereka berdua datang bersamaan dengan dua orang housekeeper. Petugas housekeeper laki-laki segera membuka pin
"Ayolah … Mas, kenapa kamu berdiri saja di situ? Apa kamu nggak pengen mendekati aku?" "Ini sudah hampir jam tujuh. Kita harus segera kembali ke Surabaya." "Sebentar lagi, Mas. Aku masih pengen di sini. Bisa berduaan dengan kamu selama beberapa hari itu sulit, loh. Makanya lingerie merah ini sengaja aku beli khusus untuk ketemu kamu, Mas. Lihat aku dong, Mas. Apa penampilanku ini tidak menggodamu?" Irawan menghentikan aktivitas berkemasnya dan menoleh ke ujung kasur. Di sandaran kasur ada beberapa bantal yang sengaja ditumpuk. Tampak seorang perempuan bertubuh sintal bersandar di tumpukan bantal itu. Rambut hitamnya sengaja diangkat dan dibiarkan tergerai di bantal untuk memperlihatkan leher jenjangnya. "Sini, dong, Mas," Perempuan itu kembali merayu. Dia membiarkan salah satu tali lingerie merahnya melorot hampir ke siku. Ulahnya itu dia lakukan dengan sengaja untuk mengumbar bahu mulusnya.Irawan menghembuskan napas dengan keras. Jakunnya naik turun melihat pemandangan itu.
"Suami sakit kok malah keluyuran! Sama lelaki lain pula. Istri macam apa kamu!" Marisa menoleh mencari sumber suara bentakan itu. Matanya bersirobok dengan mata nyalang seorang perempuan paruh baya model berpakaian terbaru dengan rambut disanggul. Marisa melangkah mendekat dan mengulurkan tangan ingin memberi salam perempuan yang berdandan ala sosialita itu. "Ma, kapan datang?" sapa Marisa dengan santunan.Namun, sopan santun Marisa tidak ada artinya. Perempuan paruh baya yang dia panggil Mama itu menepis tangan Marisa, "Tak perlu bekerja sok baik.""Bu!" tegur seorang lelaki dengan rambut sudah memutih semuanya yang berdiri agak jauh di belakang perempuan itu. Marisa menoleh lalu menemui lelaki itu. "Pa," sapanya. Kali ini tangannya tidak ditepis sehingga Marisa bisa mencium tangan lelaki yang dipanggilnya papa itu. "Sudah lama, Pa?" "Tidak, kok. Kami baru saja datang," jawab bapak mertua Marisa. "Dan menemukan anak kesayangan kami ditelantarkan oleh istrinya," sergah ibu mertu