"Istriku marah, dia sudah cemburu berat sama kamu."
"Hahaha… wajarlah, mungkin kita terlalu intens bertemu. Tapi kan aku cuma ketika butuh bantuan kamu aja gak tiap waktu."
"Iya, tapi sayangnya tiap kamu butuh itu istriku juga butuh aku, jadi maaf kalau aku beberapa hari ini gak bisa bantu kamu."
"Yah, mau gimana lagi. Aku sudah harus merelakan sahabat yang aku punya sejak SMP, aku bantu dia ngerjain tugas-tugas sekolah, aku juga bantu kasih pinjam modal untuk usaha, sekarang mungkin sudah waktunya aku kasih dia ke perempuan lain yang tinggal enaknya."
"Jangan gitu dong, Han. Aku tak bermaksud seperti itu."
"Tak apa, aku ngerti kok. Memang dari dulu kamu gak pernah peka sama aku, bee."
Tut tut tut
Panggilan pun terputus, Ardi menghela nafas berat. Ardi merasakan kekecewaan yang dalam pada diri Rianti, tapi dia pun tak bisa membiarkan Riri terus marah padanya. Ardi mengacak rambutnya dan berteriak meluapkan emosi yang menghantam jiwanya.
Di tempat lain, Riri menyetujui ide Laras dna mereka menepi dari ramainya cafe garasi yang Laras punya, di kamar Laras mereka melakukan penyadapan dari nomor ponsel Rianti dan alamat email yang kebetulan Riri pegang karena suatu waktu Ardi pernah mengirim file melalui ponselnya ke email Rianti dan itu kali seakan petunjuk Tuhan untuk mempermudah semuanya.
[Aku ditemani Bu Ika, mas. Dede sakit]
[Kamu pergi ke rumah sakit sama Bu Ika pakai apa?]
[Pakai mobil Bu Ika, mas.]
[Oh, iya. Hati-hati ya. Maafkan mas]
[Tenang saja mas, mas baik-baik ya disana]
Hueksss…
Mendadak seperti ada yang ingin keluar dari perut Riri ketika membaca pesan Rianti dan Bayu, suaminya. Dugaan Riri benar dan ucapan Ardi soal Rianti yang tak mungkin terbuka sama suaminya itu juga tepat, semua sudah mulai terbuka.
"G1l4 ya tuh cewek, asli dia yang bermasalah Ri."
Laras pun gak kalah keselnya membaca pesan itu, terlihat jelas Rianti berdusta dan semakin terlihat berdusta ketika terus Laras membaca pesan itu, sementara Riri memilih berhenti, dia merasa bersalah sudah marah besar pada suaminya itu. Karena suaminya mungkin memang merasa menjalankan amanah saja tak ada rasa apapun dan hanya sebatas membantu saja. Justru kini Riri merasa kasihan sama suaminya itu semua pengorbanannya tak diindahkan oleh sahabat yang selalu disanjungnya itu.
"Jangan bilang kamu mulai simpatik sama suami kamu?" selidik Laras.
Riri menghela nafas, ia tak bisa menyembunyikan perasaan itu di depan sahabatnya sendiri.
"Dengar Ri, ini belum cukup kuat buat bilang kalau Ardi gak ada feel apa-apa sama cewek itu. Oke, aku ngerti kamu pasti bisa percaya begitu saja. Tapi please, Ri. Jangan berhenti sampai disini, kamu perlu banyak bukti buat membongkar semuanya."
Laras terus menyemangati sahabatnya itu, bagi Laras ini bukan soal hatinya yang sama-sama perempuan. Tapi ini soal kasih sayang, Riri bukan hanya seperti sahabat bagi Laras tapi lebih dari itu, bahkan orang tua mereka pun jadi sangat dekat karena kedekatan mereka.
Mendengar hal itu terjadi pada sahabatnya tentu saja membuat Laras ikut merasakan sakitnya.
"Bu Ika itu siapa sih, Ri?"
"Tetangga Mbak Rianti yang suka bantuin dia di rumah."
"Lha, itu ada tetangganya ngapain minta tolong suami kamu terus tapi sama suaminya bilang pergi sama tetangganya itu. Hadeuh, akhir zaman ini cewek."
"Eh, kalau kita lihat percakapan Mbak Rianti sama Mas Ardi bisa?" tanya Riri
Laras menatap serius pada dua netra yang sembab itu. Sudah bisa menduga jika sahabatnya itu sudah menghabiskan air mata sebelum bertemu dengannya.
"Are you sure?"
Riri menggeleng lemas, padahal ia pun tak tahu akan sekuat apa. Tapi selama ini dia selalu membuka pesan dari Rianti dan tak ada yang mencurigakan.
"Kalau nemu sesuatu janji jangan nangis, matamu sudah gak jelas kayak gitu."
"Iya, janji. Lagi pula aku sudah pernah lihat sih, cuma penasaran aja."
"Ah, baiklah. Tolong kuatkan diri ya."
Riri mengurut dada, ia meraup udara sebanyak mungkin agar sesak di dadanya sedikit berkurang. Laras dengan cekatan melakukan aksinya, beberapa kali berhenti menatap kembali Riri tapi Riri memberikan keyakinan seolah-olah dia siap jika menemukan hal yang membuat hatinya sakit.
Dering ponsel membuyarkan ketegangan yang terjadi antara keduanya, Riri merogoh sakunya, di layar tertulis nama Mbak Rianti.
"Ngapain cewek itu nelepon kamu?"
Riri mengangkat bahunya. Ia pun tak tahu tujuan apa perempuan yang membuat dirinya dan suaminya bertengkar menghubunginya. Sengaja Riri mengeraskan volume suara ponselnya.
"Halo mbak," sapa Riri lembut seperti biasa.
"Halo, Ri. Ri, kamu marah sama Ardi karena dia nganter aku ke rumah sakit?"
"Nggak mbak, kenapa? Oh. Iya. Gimana adik Gibran, sehat?"
"Nggak usah sok perhatian kamu. Dengar ya Ri, aku itu sudah mengenal suami kamu jauh sebelum kamu bertemu dengan dia. Wajar dong kalau aku minta tolong dia, dia bisa kayak sekarang juga karena siapa sih. Kamu tuh cuma tinggal enaknya aja banyak nuntut."
Riri menahan diri untuk tidak terpancing emosi, membiarkan Rianti terus mengungkit semua jasanya atas kesuksesan yang diraih Ardi. Merasa dirinya paling berpengaruh dalam kesuksesan Ardi, Laras pun mendukung Riri untuk tetap diam dan tenang, tanpa diketahui diam-diam Laras merekam percakapan itu.
"Mbak, aku tak pernah marah. Dan tak perlu selalu mengungkit sesuatu yang sudah terjadi padahal itu semua belum tentu bisa terjadi tanpa campur tangan Tuhan, mbak. Oh ya, sekali lagi terima kasih sudah memberikan lelaki yang sudah mapan untukku, tapi jika tidak ikhlas silahkan ambil lagi, saya ikhlas."
Gelak tawa di seberang sana membuat Riri tertegun dan heran.
"Jangan nantang kamu, kalau benar terjadi bisa bunuh diri kamu."
Laras mendelik kesal, dia nyari akan bersuara tapi segera ditutup oleh Riri. Riri pun segera menutup panggilan itu.
"Fix, dia cewek bermuka dua. Kamu berhadapan sama ular, Ri. Tenang, aku bersama pawang ular."
Riri tertawa kecil ketika melihat sahabatnya itu menepuk dada lalu menggeliat kayak ular.
"Nah, gitu dong ketawa. Rileks, tenang saja. Kita binasakan si ular betina yang sok cantik itu."
Laras memeluk sahabatnya itu, keduanya saling menguatkan. Beruntung Riri memiliki sahabat seperti Laras, hingga ia pun bisa kembali kuat untuk menghadapi permasalah rumah tangganya.
Tak berselang lama ponsel Riri kembali berdering, kali ini Ardi yang melakukan panggilan video. Riri ragu untuk mengangkatnya.
"Wih, kompak ya mereka. Jangan-jangan emang jodoh."
Riri mendelik ke arah Laras, seketika Laras tersenyum nyengir sambil mengangkat dua jarinya.
"Hehehe…. Sabar bu, jangan marah."
Ponsel Riri terus berdering, Laras kemudian menatap lekat pada Riri dan memegang tangannya.
"Dengarkan aku, Pilihannya ada dua, kamu lari dari masalah atau kamu mau menghadapinya," ucap Laras.
Riri menarik nafas panjang meraup udara sebanyak yang ia butuhkan untuk membuat dadanya yang kian sesak menjadi lega. Lalu dia mengklik tombol hijau itu.
"Ah, akhirnya kamu jawab panggilan aku. Kamu dimana?" tanya Ardi lega. "Di rumah Laras sekalian ngopi.""Oh, ya sudah aku kesitu. Tunggu ya!" "Nggak perlu mas, aku gak mau bertemu kamu sebelum kamu menyelesaikan urusan kamu dengan Mbak Rianti."Ardi tampak mulai kesal lagi, wajahnya menunjukkan kekecewaan atas sikap Riri yang menolak untuk ditemui. Tapi dia berusaha tetap tenang."Sayang, aku sudah ngomong sama Rianti untuk tidak bisa membantunya dalam waktu dekat ini."Riri menghela nafas, ia faham kenapa Rianti tadi menelponnya dan marah mungkin Ardi sudah menghubungi Rianti. "Ayolah sayang, jangan kayak gini. Please." Ardi merajuk, Riri mulai tak kuasa melihat wajah Ardi yang memelas itu. Segala cara dilakukan Ardi untuk membujuk Riri agar mau ditemui dan pulang lalu duduk berdua menyelesaikan semua ini. Riri menatap Laras, meminta sarannya. Nyatanya Laras hanya mengangkat kedua bahu dan tangannya saja mengisyaratkan semua keputusan ada di tangan Riri. "Maaf mas, saat ini bel
"Rianti…." Ardi tertegun melihat perempuan itu sudah berdiri di depannya dan mengulas senyum khas miliknya. Lalu waktu seolah berjalan menuju dimensi yang telah terlalui ketika mereka pertama kali bertemu beberapa tahun silam tepatnya saat keduanya duduk di bangku kelas dua sekolah menengah pertama. Ardi adalah siswa pindahan dari sekolah di kampung tempat tinggalnya, ia ikut tinggal bersama paman dan bibinya karena keterbatasan ekonomi orang tuanya yang dengan empat orang anak, Ardi adalah anak kedua. Sebagai anak kampung Ardi tak banyak gaya dan kehadirannya membuat para pelajar siswi berdecak kagum, wajahnya yang ganteng itu ditambah dengan sikap ramah dan pendiamnya membuat Ardi terlihat cool di mata para pelajar siswi, begitupun di mata Rianti. Gadis ini terpesona sejak pandangan pertama, ketika Ardi sedang duduk di taman sekolah sambil membaca buku dengan agresif Rianti menghampirinya bahkan membuat Ardi kaget. "Hay," sapa Rianti. Ardi masih terdiam, dia menutup bukunya.
"Dengan kamu menerima kehadiran dia di hidup kamu artinya kamu memang tak pernah bisa hidup jauh dari Mbak Rianti, Mas." "Sayang, dengarkan aku dulu. Semua tidak seperti yang kamu kira, aku bisa jelaskan semuanya." "Apa? Apa yang mau kamu jelaskan mas? Aku harus masuk mengendap-endap ke rumah ku sendiri karena mendengar kasak - kusuk mencurigakan ternyata ada dua pasangan sejoli yang selalu bersembunyi di balik kedok persahabatan, iya?" Ardi terlihat semakin serba salah, sementara Rianti merasa puas dan senang. Senyum sumringah dan tatapan penuh kepuasan melihat pasangan itu bertengkar. "Harusnya kalian menikah saja, untuk apa kalian pura-pura menikah dengan orang lain tapi masih saja saling berhubungan hah?" "Sayang, kamu tenang ya. Tenang dulu," ucap Ardi mencoba menenangkan Riri yang emosi. Sikutan tangan Laras membuat Riri keluar dari lamunannya itu."Sayang, kamu akhirnya pulang." Riri mencoba menguasai diri, inginnya marah kayak khayalannya itu tapi sesuai kesepakatan yan
"Jadilah istriku, akan kubuat kamu bahagia."Kalimat itu menggema di telinga Riri manakala menatap foto pernikahannya. Pernikahan yang baru seumur jagung itu kini dihantam badai yang sangat kuat, ia merasa terlalu cepat hal ini terjadi. Bukan kah ujian orang ketiga adalah ujian di sepuluh tahun kedua? Lalu kenapa ia harus menghadapinya bahkan di saat pernikahannya masih seumur anak yang baru bisa berlari.Harusnya saat ini ia masih merasakan keharmonisan rumah tangga, bukan justru sebaliknya. Riri mendekap foto itu dengan erat lalu memejamkan mata, kini ia harus memilih antara mempertahankan atau mengakhiri semuanya.Samar-samar Riri mendengar suara adzan berkumandang, perlahan ia membuka matanya. Foto yang sejak tadi dipelul erat sudah tak ada dan kembali terpajang di atas nakas, bahkan dia pun telah berbeda posisi, me
"Kamu bisa bersikap tenang, lalu kita duduk berdua menyelesaikan semua ini. Aku tuh cape dituduh terus sama kamu."Riri mematung mendengar ucapan suaminya yang lagi-lagi menghentikan langkahnya untuk pergi. "Kalau kamu pergi lalu menceritakan semua persoalan kita pada ibu, apa yakin semua akan selesai?" "Setidaknya mereka tahu kelakuanmu." Ardi mengusap wajah kasar, ia masih mencoba tidak terpancing emosi atas sikap istrinya itu. Ardi maju beberapa langkah hingga tepat di depan Riri. Perlahan meraih tangan Riri dan menjatuhkan tas yang dipegang oleh Riri. Tatapan Ardi lekat pada dua netra yang sudah mengering, tak ada lagi air mata bagi Riri meski hatinya sudah terasa perih. "Tetaplah disini, aku akan menjelaskan semuanya." Riri masih bergeming, terpaku dalam bayangan kisah cintanya dengan lelaki yang akhirnya menikahinya itu. Perjalanan yang terbilang singkat memang hanya kurang lebih delapan bulan sampai menikah. Riri mantap menikah bukan tanpa sebab karena melihat keseriusan
Getar ponsel dengan nada berbeda membuat Riri segera melepaskan cengkraman tangan Ardi yang sudah lemas. Panggilan dari Laras adalah hal yang paling ditunggu saat ini, beruntung Riri punya teman jago IT seperti Laras hingga ia merasa punya penyelidik yang handal. Bergegas menjauh dari Ardi, Riri mengangkat telepon itu."Dari hasil penyelidikan hari ini, Bayu suami si perempuan itu akan pulang akhir pekan ini usahakan kamu jangan dulu kemana-mana. Kita mainkan semuanya.""Oke." "Telepon dari siapa?" Riri terkejut dengan segera ia mematikan telepon itu dan memasukkannya ke dalam saku. Riri mencoba bersikap tenang, lalu ia mengulas senyum manis. Perubahan sikap yang terlalu cepat membuat Ardi heran, tapi Riri tak putus asa untuk membuat semua terlihat baik-baik saja. "Dari klien ku." "Klein ku, sejak kapan kamu menerima konsultasi lagi.""Ah, itulah mas. Mas Ardi itu terlalu ngurusin hidup orang sampai kegiatan istrinya pun lupa padahal aku pernah mengirim pesan izin untuk menerima p
"Aku yakin Laras, mereka bukan hanya sekedar bersahabat. Dugaanku selama ini kemungkinan besar sudah tepat.""Tapi kamu sendiri kan yang bilang kemungkinan foto itu diambil sudah lama.""Tapi Mas Ardi masih menyimpannya, untuk apa?"Laras terdiam, prasangka temannya itu tak mungkin salah apalagi setelah melihat bukti foto yang sengaja Riri ambil dari ponsel Ardi saat Ardi tak sadarkan diri kemarin. Riri memang perempuan pendiam, tapi dalam diamnya Riri selalu mampu bekerja dengan baik pula.
"Dengarkan aku, jadilah wanita yang tetap tenang, elegan dalam menghadapi situasi terburuk sekalipun. Ikuti permainan perempuan itu, jangan bahas apapun berikan sedikit kejutan dengan menyindir apa yang udah kami ketahui. Aku tahu ini pasti sangat menyakitkan tapi terlihat kuat di depan musuh adalah cara terbaik untuk membuat musuh kita takut."Riri mendengarkan nasehat sahabatnya itu dengan baik, dia benar-benar merasa beruntung memiliki sahabat sebaik Laras. Di saat tak ada keluarga terdekat yang tahu akan masalahnya masih ada sahabat yang betul-betul sangat peduli padanya."Doakan aku ya.""Pasti, percayalah Tuha