Tiga bulan kemudian
Alya belum pernah begitu gelisah seumur hidupnya. Ia menjalani hidupnya sebagai seorang penulis dengan santai. Tidak ada apapun yang pernah membebani pikirannya seberat saat ini. Ketika ia merasa didesak oleh usianya sendiri yang belum pernah ia bayangkan sebelumnya akan begitu kejam terhadap dirinya. Berapa usianya saat ini? Dua puluh tujuh tahun. Lalu? Seharusnya ia sudah menikah!
Di awal usianya yang ke-dua puluhan Alya sudah berpikir matang-matang, kapan ia akan menikah, dengan siapa ia akan menikah, dimana ia akan melangsungkan akad nikah? Resepsi? Mahar? Kue pernikahan? Konsep pernikahan? Semua sudah ia rencanakan. Catatan khusus mengenai cita-cita terbesarnya itu masih tersimpan rapi di buku diary miliknya. Menikah diusianya yang kedua puluh tujuh tahun adalah salah satunya, usia yang menurutnya saat itu cukup matang untuk memulai membina keluarganya sendiri, ia ingin menikmati masa kesendirian sebelum memutuskan untuk menjadi istri seseorang, ia juga sangat tidak ingin mengalami hal yang sama seperti saudara sepupunya yang saat itu menikah diusia dua puluh tahun dengan laki-laki yang dijodohkan oleh keluarganya sementara ia juga harus menjalani kuliah lalu hamil saat wisuda! E... Itu sangat tidak keren! Alya akan hamil saat usianya dua puluh delapan tahun, juga merupakan salah satu to do list dalam hidupnya. Melahirkan seorang putra saat usianya dua puluh sembilan. Perfect! Terlalu perfect hingga tak mungkin terkabul dengan keadaannya yang sekarang.
Oh, ia sungguh menyesal. Seharusnya ia mengambil langkah lebih awal agar rencananya berjalan sempurna sesuai itinerary. Seharusnya ia mulai mencari jodoh sejak empat atau lima tahun lalu dan menunda memiliki momongan bukan menunda menikah yang akhirnya malah menyulitkan dirinya sendiri, atau mungkin bertunangan?
Masa mudanya terlewat dengan sia-sia. Sekarang kemana perginya belahan jiwa yang tak pernah ia temui sebelumnya itu?
Ah, memiliki seorang putra juga merupakan to do list Alya. Ia tidak pernah berkeinginan untuk memiliki seorang putri. Ia lebih menginginkan anak laki-laki daripada perempuan, ya, meski cebong-cebong sepupunya nakal bin bandel namun setidaknya membersarkan mereka(laki-laki/putra) tidak akan sesulit membesarkan anak perempuan. Lagipula ia tahu, menjadi seorang perempuan memiliki tugas yang lebih berat daripada seorang laki-laki. Perempuan haid setiap bulannya yang kadang-kadang bukan hanya menyiksa tetapi juga mengurangi ibadah yang bisa ia lakukan. Perempuan ketika menikah akan menjadi istri yang bertugas bukan hanya melayani suaminya saja, tetapi juga akan merangkap sebagai pembantu rumah tangga yang harus mencuci, memasak, dan membersihkan rumah setiap hari. Meski tugas itu bisa digantikan oleh assisten rumah tangga, namun Alya tidak pernah memiliki keinginan untuk memelihara mereka, ia tidak senang dengan kehadiran orang asing di dalam keluarganya. Ia juga harus merawat anak-anaknya ketika sudah memiliki momongan. Betapa menyiksanya tugas seorang istri kelak. Apalagi ia pernah mendengar kalau melahirkan itu sakitnya bukan main. Meski banyak laki-laki yang mengatakan kalau hal itu bullshit soalnya banyak perempuan yang ketagihan untuk melahirkan. Ya, sepertinya memang bullshit melihat hampir semua sepupunya ketagihan melahirkan! Entahlah, melihat cebong-cebong yang selalu membuat keributan ketika ada acara keluarga saja sudah membuatnya pusing, mungkin satu putra sebagai pewaris sudah cukup. Terakhir, yang lebih penting-laki-laki akan lebih mudah menemukan pasangan, dan menikah diusia kepala tiga bukan masalah, akan berbeda cerita dengan perempuan. Laki-laki diusianya yang sekarang ini, masih bisa mendapatkan perempuan muda belia, seperti Rara yang akhirnya menikah dengan om-om yang sepuluh tahun lebih tua darinya. Alhamdulillah, om Iman adalah laki-laki tampan yang mapan. Kalau tidak?
Lalu jika perempuan seusianya? Siapa yang bersedia mempersunting tanpa pikir panjang? Laki-laki seusianya akan memilih gadis belia untuk menjadi istri, dan brondong? Mana ada brondong menginginkan daun tua? Ya, mungkin ada sih, diluar sana tapi bagi Alya menjalin hubungan dengan laki-laki yang lebih muda akan membuatnya terlihat seperti sugar mommy.
"No way!" Alya menggelengkan kepalanya dengan kasar, memikirkan dirinya menjalin hubungan dengan laki-laki yang lebih muda membuatnya mual. Ia ingin dimanja bukan memanjakan! Bukan berarti laki-laki yang lebih muda tidak bisa memanjakan pasangan. Ia hanya merasa kurang cocok saja. Rasanya aneh, kalau ada yang lebih tua dan mapan, cocok menjadi panutan mengapa harus memilih yang muda?
Alya kembali mengeluarkan napas kasar dari hidung dan mulutnya, lalu memiringkan tubuhnya ke kiri. Belakangan ia mengalami gejala insomnia ringan. Salahkan status single since birth yang diraihnya.
Ya, lihat saja yang terjadi kepada dirinya, ia menjadi bahan olokan karena disaat saudara-teman seusianya tengah menikmati masa-masa menjadi mamud, mama muda, "Sementara aku? Kemana-mana sendiri? Ah, belum lagi ocehan mama? Sodara?" keluhnya.
Enaknya jadi laki-laki! pikirnya membalik miring ke kanan kembali. Mereka hanya dikhitan sekali dan Alya yakin sakitnya tak akan sebanding dengan sakitnya melahirkan. Lalu kelak, ketika dewasa, anak laki-laki akan mencari nafkah sendiri dan tentu saja tidak akan menyulitkan Alya dengan keluhan-keluhan ala gadis ababil, seperti pakaian apa yang harus ia kenakan saat pergi ke pesta ulang tahun teman sekelas. Model sepatu apa yang bukan hanya stylish tapi juga tidak melanggar peraturan sekolah. Boleh tidak kalau pulangnya agak telat... belum lagi kalau patah hati?
"Argh! Kenapa aku malah memikirkan anak-anak? Bapaknya saja belum muncul?"
Ya, Alya bahkan belum memiliki calon yang akan ia jadikan suami juga ayah dari calon putranya. Sebenarnya ia memiliki cukup banyak teman laki-laki. Ada mas Hendra, editornya yang cerewet yang juga masih single dan siap menikah. Mas Rafi yang merupakan rekan seprofesi yang lumayan-lah bisa Alya banggakan kepada sahabat-sahabatnya karena ketampanannya. Ronald, Bagus, Bayu, Alan, Mario, Wisnu, Beni, Dito, Arman, Reno, dan masih banyak lagi yang tidak bisa Alya sebutkan satu per satu namanya.
Sayangnya, dari mereka semua yang selalu bergumul dengan Alya, tak ada satupun yang membuat Alya berkeinginan untuk menikah. Ia sama sekali tidak berminat menjadikan salah satu dari mereka suaminya. Mereka adalah orang-orang tidak jelas (Baca: pekerjaan tidak jelas, yang dimaksud dengan pekerjaan yang jelas adalah dokter, arsitek, pengusaha, entahlah). Maklum terlahir dilingkaran keluarga konglomerat membuatnya was-was dalam memilih pasangan, karena bukan hanya perempuan yang hanya bermodal tampang saat ini, laki-laki pun juga, istilah kerennya banyak laki-laki malas yang memilih mencari sugar mommy, dan yang lebih buruk lagi, semua sepupunya yang telah menikah, menikah ke keluarga konglomerat! Apa jadinya jika ia menikah dengan laki-laki sederhana? Mau dibawa kemana wajahnya? Lalu pendapat orangtuanya? Keluarga besarnya?
Alya sempat berpikir, sebagai seorang perempuan yang dulu masuk jurusan IPA saat masih SMA, juga mendalami sains Fisika, Alya hanya akan menikah dengan mahasiswa (Baca: mantan mahasiswa) Arsitektur, Teknik Elektro, Teknik Mesin, Teknik Pertambangan, Teknik Permiyakan, Teknik Sipil, dan Komputer sains. Ah, waktu itu mereka tampak memukau, bukan? Mahasiswa teknik dengan rambut gondrong dengan kemeja kotak-kotak yang tidak dikancing? Siapa yang tidak jatuh cinta? Sekarang? Entahlah, ia merasa laki-laki berdasi lebih masuk akal untuk dikencani.
Ya, meski sudah tidak berpikiran konyol lagi, ia tetap menginginkan suami seorang arsitek atau mungkin seorang dokter atau pengusaha. Setidaknya ia tidak akan merasa malu saat ada acara kumpul atau arisan keluarga.
Lagipula, dokter pastilah berotak encer dan Alya ingin memiliki suami yang jauh lebih pandai dari dirinya. Bukan suami tidak berotak yang hanya modal tampang dan warisan orangtua. "Ah, sialan, harusnya aku kuliah dikedokteran dulu!" gerutunya. Aira, sepupunya itu menikah dengan dokter yang merupakan seniornya. Hal itu tentu saja masuk akal. Sekarang dokter mana yang mau menikah dengannya?
Kembali menghembuskan napas kasar, ia teringat kembali kelakuan sepupunya yang pernah berniat menjodohkannya dengan lelaki yang tidak ia ketahui asal muasalnya. Bukan hanya sekali, berkali-kali hingga ia malas bertemu mereka.
"Mungkin menikahi seorang arsitek lebih masuk akal?"
Ya, dengan memiliki suami yang berprofesi sebagai arsitek, Alya tidak perlu cemas memikirkan biaya untuk menyewa seorang arsitek yang akan membuatkan rumah yang indah dan mewah untuknya, seperti Bang Omar yang meminta istrinya untuk mendesain rumah mereka, Laila adalah seorang desain interior di kantor Omar sebelum ia menikahi gadis itu. Alya bisa memangkas biaya arsitek! Laila saja bisa menikah dengan arsitek konglomerat seperti sepupunya, harusnya ia juga bisa. Hanya saja, ia tidak bekerja di konsultan arsitek atau semacamnya, dimana mereka bisa bertemu?
Alya memang sangat konyol, ia terlalu memiliki banyak pertimbangan sebelum memulai hubungan hingga akhirnya berakhir seperti sekarang.
Dulu ia bahkan sempat berkeinginan untuk menikah dengan mahasiwa elektro, yang nantinya, Alya tidak perlu cemas untuk membuat rumah yang serba canggih dengan ilmu yang dia dapat sewaktu kuliah. Semisal sensor di pintu gerbang yang menggunakan retina mata. Atau ucapan selamat datang kepada tamu yang memasuki pintu gerbangnya (Meski kedengarannya sedikit norak!). Sayangnya, saat ini, Alya bisa memesan semua itu dengan biaya yang cukup murah dan bisa dibeli di mana saja. Alya bersyukur ia belum sempat menjalin hubungan dengan tukang listrik? Kalau tidak apa kata keluarganya?
Begitu pula dengan alumni mahasiwa computer sains. Dulu Alya menganggap menjadikan mereka pacar memang cool. Mereka bisa memperbaiki komputernya yang hank, ia bisa menghemat tukan service computer. Tetapi, bukankah saat ini hampir semua laki-laki bisa menyelesaikan masalah computer mereka sendiri?
Sementara alumni mahasiswa mesin, ia berharap tidak perlu pergi ke bengkel jika mobilnya mogok, karena sang suami bisa membuat mobil mereka kembali melaju dengan kencang. Tetapi, bukankan kalau hal-hal semacam itu juga merupakan naluri lelaki? Mereka bisa menghandle masalah seperti itu tanpa harus belajar mesin di kampus?
"Argh!" Alya kembali berguman, seharusnya dulu ia tidak pemilih, jika saja ia menerima tawaran laki-laki yang tertarik kepadanya saat masih kuliah, mungkin mereka kini sudah memiliki seorang putra.
"Dokter. Dokter? Dokter!" Alya bangkit dari tidurnya, "ya, ini masuk akal!" Ia tersenyum, membayangkan dirinya akan menikah dengan seorang dokter. "Tapi..., " dahinya berkerut dalam, "bukannya dokter lebih berminat untuk menikahi rekan seprofesinya karena mereka bisa berkencan setiap hari di rumah sakit?" gumannya muram, Aira saja menikahi seorang dokter di tempat ia koas dulu.
"Lalu dengan siapa aku harus menikah?"
"Pengusaha?" Ia kembali berpikir, "Masih mungkin sih.... "
Ya, sepertinya menikahi seorang pengusaha lebih masuk akal. Sebab mereka ada di mana-mana. Di restoran. Café. Mall. Kantor. Bank. Banyak tempat bagi Alya untuk menemukan mereka, kabar baiknya, beberapa pengusaha muda lebih sering nongkrong di café seperti halnya dirinya yang mengetik naskah maupun mencari inspirasi untuk novelnya dengan duduk di bangku sebuah bangku café.
Ah, ia harus mulai memikirkan bagaimana cara terjitu untuk menarik perhatian mereka. Hanya saja, ia sama sekali tidak mengerti soal inflasi dan deflasi yang sering menjadi topik hangat di majalah bisnis. Mungkinkah mereka bisa langgeng? Rara saja, berkat suaminya yang memiliki brand perhiasan, ia bisa mengasah kemampuannya menjadi seorang desainer perhiasan? "Omongan mereka masih nyambung."
"Nah, aku?" Hatinya kembali ragu, ia tidak pandai soal bisnis, bagaimana jika suaminya kelak tidak puas karena ia tidak bisa memberikan saran soal bisnisnya?
"Kalau misalnya aku menikah dengan PNS? Ehmm, lumayan juga kayaknya," Alya tertawa memikirkan saudara sepupunya tak akan berani mengolok-olok dirinya lagi karena suaminya yang berprofesi sebagai tentara atau mungkin polisi? Ah, tapi belakangan banyak berita miring soal PNS yang korup, meski kebenarannya masih menjadi misteri, "Tapi polisi sekarang tidak se-cool dulu? Ah, enggak deh, daripada makan duit korupsi? Atau uang suap? Rara pasti akan menertawankanku hingga ke liang lahat!"
"Kalau misalnya fotografer? Videografer? Ah, mereka memotret tubuh perempuan lain untuk menafkahiku? Nooo... Way!"
"Lalu aku harus menikah dengan siapa?" Alya berteriak di dalam kamar apartemennya yang sunyi, "Siapa?" desisnya, diliriknya ponselnya yang berkedip. Ada pesan masuk.
Dengan malas, tangannya meraih ponsel pintar dari atas nakas.
[Jangan lupa, Sabtu ini di Sheraton, bridesmaid to be!]
Pesan Salma sahabat karibnya sejak sekolah menengah. Ia akan menikah Sabtu ini.
[Hmmm...]
[My hubby ngundang banyak temannya yang masih single, kali u ketemu jodoh!Xoxoxo...]
[Fyi, udah ada calon! So thx😏]
[Demi apa?]
[Bulan dan matahari yang beredar, sesungguhnya manusia diciptakan berpasangan-pasangan.]
[😂😂😂
LOL! Aku jamin kamu ketemu jodoh! Btw, kalo beneran ada calon boleh dibawa🤭]
[🙄]
[Bye. Jangan lupa berdoa biar cepet nonggol!]
"Argh.... " Alya mendesah gemas, sialan Salma, ia hanya samakin memperkeruh suasana hati Alya.
#####
Pagi itu Leo dibangunkan oleh kegaduhan di apartemen yang ia tinggali seorang diri. Mata lasernya mengerjab beberapa kali sebelum terbuka dengan sempurna, kesadarannya pun mulai merasuki tubuh lelahnya.Dahinya berkerut dalam, ada seseorang di dalam apartemen itu. Siapa?Menyadari hal itu sementara ia pulang seorang diri semalam dan tentu saja ia tinggal seorang diri membuatnya melompat panik dari ranjang, mengabaikan dada bidangnya yang telanjang yang mampu membuat siapapun yang melihat akan kehilangan kesadaran untuk sesaat, tangan kokohnya meraih ganggang pintu dengan kasar.Dengan bertelanjang kaki serta hanya mengenakan celana Jersey selutut yang tak mampu menutupi bagian tubuh bawahnya dengan sempurna, ia meninggalkan kamar bercat putih polos itu menuju suara-suara yang ia dengar sebelumnya.
Satu jam sebelum kafe buka,Seperti biasa Alya datang ke Kafe yang ia dirikan saat usianya masih dua puluh tahun setiap pagi. Kafe itu ia beri nama 'Kopi dan Lemon', yang menyediakan berbagai macam minuman panas dan dingin, mulai dari kopi hingga yogurt dan berbagai macam kue serta sandwich bahkan pizza.Ia tidak mempekerjakan bayak orang. Hanya ada tujuh orang termasuk dirinya sendiri. Terdiri dari satu chef utama yang merangkap pramusaji kadang-kadang, tiga pramusaji yang merangkap chef, satu satpam yang merangkap juru parkir dan juga OB lalu seorang lagi sebagai akuntan sekaligus marketing dan gudang. Ia sendiri menjabat sebagai manager dan yang menanggung berbagai macam hal yang menyangkut kafe, kadang ia juga mengerjakan pekerjaan kasar semisal mengelap kaca, seperti yang tengah ia lakukan saat ini. Ia telah mengelap hampir semua bagian kaca di bangunan dua lantai itu."Pagi, Mbak!" sapa Reno menghampiri Alya yang sedang mengos
Di dalam sebuah hotel suite di Bali, seseorang sedang menggeliat malas di atas ranjang yang ia bagi dengan teman kencannya akibat sebuah dering ponsel yang ia pikir adalah miliknya.Melempar dengan kasar tangan yang merengkuhnya hingga ia kesulitan bergerak, Mona, perempuan muda yang berstatus model itu bangun, duduk di kasur, mengabaikan bahwa dirinya tak mengenakan sehelai kain pun, ia mengangkat panggilan masuk itu.Hubby, panggilan masuk itu berasal dari kekasihnya yang mungkin saat ini sedang duduk manis di ruang kerjanya di Jakarta."Mona?""Hai, sayang," serunya riang. Ia merindukan laki-laki itu. "Kamu merindukanku?""Temani aku Sabtu ini kepernikahan adikku," Leo berkata datar. Ia sebenarnya enggan membawaa Mona, atau membawa perempuan pada umumnya, namun daripada semua orang mempertanyakan hubungan asrama atau lebih buruk lagi mencoba menjodohkannya. Ya, mereka terlalu sering menanyakan sexual orientation-
Dengan gugup, Alya berjalan menuju meja Leo, dengan nampan di atas tangan, ia bisa merasakan detak jantungnya yang berpacu semakin cepat dengan jarak diantara mereka yang semakin rapat. Mengedipkan mata berkali-kali, Alya berhenti sejenak hanya untuk menarik napas panjang, entah sudah yang keberapa kalinya, mengumpulkan keberanian. Syukurlah bahasa Inggrisnya cukup memadai. Terima kasih untuk Rara yang selalu memanas-manasinya hingga ia berhasil mengenal bahasa tersebut. "Jangan lupa bilang, 'Hi Mister' dulu sebelum ngomong macem-macem!" Alya memperingatkan dirinya sambil kembali menapaki jalanan rata namun terasa menaiki tangga karena kini napasnya mulai berantakan kembali. Ia harus menenangkan diri sebelum mempermalukan diri, mempermalukan perempuan Indonesia. Ia membawa nama baik perempuan Indonesia di pundaknya, ia harus bersikap baik dan memberi kesan yang sama baiknya. Alya merasa lega ketika laki-laki itu masih menelpon, ia menunggu sejanak sebe
Leo menarik napas panjang, tak habis pikir dengan apa yang telah ia lakukan. Hari ini, malam ini lebih tepatnya adalah malam ketiga sejak pertama kalinya ia datang ke 'Kopi dan Lemon' kafe. Entah apa yang merasukinya hingga tanpa sadar ia melajukan mobil Mini Countryman merah miliknya menuju kafe dimana perempuan yang humoris itu bekerja. Ah, mungkin ia hanya ingin melihat wajah itu sekali lagi. Memutuskan untuk masuk ke dalam kafe, Leo mematikan mesin mobil. Sekali lagi ia menarik napas panjang sekadar untuk meyakinkan dirinya sendiri bahwa ia datang hanya untuk makan malam dan kebetulan ia menyukai jus lemon kafe itu. Tangannya yang panjang meraih gangang pintu, membuka pintu itu pelan sebelum mengayunkan kakinya dengan mantap menuju pintu kafe yang berjarak sekitar tiga sampai lima meter dari tempat ia memarkir mobil mininya. Leo disambut oleh aroma harum asap kopi yang mencari jalan menuju paru-parunya. Kopi, sudah lama sekali sejak ia terakhir meminum minu
Alya telah bersiap-siap sejak pagi ketika ia terbangun untuk kedua kalinya pagi itu. Acara resepsi pernikahan Salma akan berlangsung di Grand Ballroom hotel Sheraton Grand Jakarta yang terletak di Kebayoran, Jakarta tepat jam sepuluh pagi. Dua jam setelah akad nikah yang dilangsungkan di masjid Istiqlal yang sayangnya ia lewatan karena bagun terlambat sehingga membuatnya absen dari acara sakral sahabat karibnya itu. Mengenal Salma sejak beberapa tahun silam membuatnya memahami kehidupan percintaan Salma yang sama tak mulusnya dengan kehidupan cinta miliknya. Sebenarnya tidak sama karena Alya belum pernah jatuh cinta, mungkin pernah menyukai seseorang namun jatuh cinta? Ia masih menantikannya hingga kini. Ya, ia mungkin pernah beberapa kali tertarik kepada lawan jenis tetapi sekali lagi, dengan sifat pemilihnya itu ia sering kali gagal dalam proses jatuh cintanya karena ia merasa tak pernah ada yang cocok dengannya. Salma menikahi seseorang yang dikenal
Keluar dari mobil taksi, Alya berlari masuk ke dalam lobby hotel. Kaki pendeknya hanya mampu membuatnya mempersingkat waktu satu setengah kali lebih cepat dari saat ia berjalan dengan normal. Sepatu berhaknya-lah yang membuatnya semakin kesulitan mengontrol kakinya. Belum apa-apa saja ia sudah merasa tak nyaman, sakit pada kedua tumitnya. Mengabaikan beberapa pasang mata yang cukup terhibur oleh tingkahnya, Alya melanjutkan marathon singkatnya menuju salah satu pintu lift di sebelah kanan lobby, dimana beberapa orang juga telah menunggu. Ia melepaskan kedua tangannya yang sejak tadi mencengkram gaunnya. Ya, sejak tadi ia berlari dengan bagian bawah gaun terangkat ke udara, hal itu terpaksa Alya lakukan untuk mempercepat langkah kakinya juga menurunkan risiko terjungkal saat berlari dengan gaun menjuntai ke lantai. Sudut bibirnya sedikit melengkung membentuk senyuman santun saat ia menyadari ia telah menarik banyak perhati
Alya masih memikirkan ucapan Rara. Sialan, ucapan sepupunya itu ada benarnya. Lebih mengejutkan lagi mereka memiliki pemikiran yang sama! Mungkin karena itulah mereka bersaudara. Manfaatkan momen ini untuk mencari calon suami! Kalimat itu terus berputar bukan hanya di benak Alya, tetapi melekat seperti permen karet pada rambut di dalam hatinya. Bahkan secara tak sadar, ia mengumankan kalimat magic itu sama seperti ketika ia berdzikir tiap habis salat. Sayangnya, ia masih terpaku pada tempat ia duduk. Ia belum sempat berkeliling untuk mencari jodoh. Acara itu sudah berlangsung sejak satu jam yang lalu, para tamu sudah memenuhi kursi-kursi yang disediakan. Di sebuah dinding disediakan layar putih yang besar, sebuah rekaman mengenai perjalanan keduanya sudah diputar seolah-olah mereka sedang menonton film Romance of the Year yang mencuri perhatian penonton di sebuah bioskop. Bukan hal yang luar biasa seb