Aku adalah wanita yang lembut. Tak pernah sekalipun aku marah apalagi membantah. Pernah satu kali aku menjawab suamiku dengan mengatakan alasan aku melakukan hal yang tidak disukai suamiku. Namun apa yang terjadi? Dia membanting pintu keras sekali sambil matanya menatapku tajam. Aku hanya bisa menangis di kamar.
“Lalu kamu maunya apa? Pakai ojek saja kalau tidak bisa menjemput anak – anak. Kalau memang alasanmu cape!”
“Bukan mas, aku ingin kamu tahu pekerjaan rumahku banyak mas. Kalau aku telat menjemput harusnya kamu ngerti mas.” ucapku dengan suara bergetar menahan tangis.
Begitulah suamiku bila harus berdebat. Dia tidak akan mendengarkan beribu alasan kalau memang tidak sesuai dengan apa yang dipikirkannya. Padahal aku hanya ingin dipeluk dan disayangi.
Sepuluh tahun sudah aku berumah tangga. Aku tak menampik aku bahagia dengan tingkah lucu keempat anakku. Di luar semua yang kurasakan dengan larangan suamiku. Aku masih bersyukur memiliki mereka. Anak – anakku adalah hadiah terbesar dalam perjalanan hidupku.
Tumpukan kata larangan, ribuan tangisan bahkan pelukan yang hampir tidak pernah aku rasakan membuatku tak tahan. Air mataku terlampau kering karena sudah habis kesabaranku. Aku tak pernah meminta suamiku mengijinkanku menari karena memang pernah aku bahas sebelum aku hamil. Namun saat itu aku masih menyetujuinya karena bayangan kebahagiaan sebuah pernikahan dengan anak – anak yang lucu.
“Kelak kau mau anak berapa?”
“Aku pengennya dua saja mas. ” ujarku tersenyum.
“Dikit amat. Lima saja ya. Biar ramai rumah kita. ” suamiku berkata dengan yakinnya. Saat itu aku hanya terdiam. Karena jujur aku memiliki firasat aneh. Perkenalan dengan suamiku yang singkat membuatku tak terlalu mengenal perangainya.
Aku mengenal suamiku ketika kupentas di kota Samarinda. Dia menjadi panitia teater tempatku pentas. Maka jelas sekali dalam ingatanku bahwa dia mengetahui aku seorang penari. Namun setelah menikah, dia sama sekali tidak menyinggung profesiku dulu. Bahkan anak – anak tidak diberitahunya bahwa aku penari. Dia benar – benar hendak menghilangkan identitasku.
Saat aku berpacaran dengan suamiku dulu, hampir semua temanku tidak menyetujuinya. Bahkan kedua orangtuaku melarang.
“Lus, dia baik sih. Kerjaan pun ok. Tapi aku kok kurang sreg ya sama dia.” Dian sahabatku mengingatkanku.
“Kurang sreg gimana?”
“Gimana ya. Semenjak kamu sama dia, auramu ga keluar lus. Jadi pendiam. Jarang kumpul sama kita. Pokoknya kaya bukan kamu yang dulu lah.”
“Ya sudahlah Dian. Moga – moga itu hanya perasaanmu saja. Edi yang kukenal baik sekali. Dia terlihat memiliki visi dalam hidupnya. Semangat untuk menata masa depan yang aku suka.” ujarku menguatkan.
“Hmm ya masa depan dia. Masa depanmu?” kali ini Dian berbicara seolah dia meramal masa depanku.
Benar saja yang Dian khawatirkan. Aku merasa tidak bisa menata hidupku. Aku hanya menata hidup mas Edi dengan menyatukan kepingan keinginan suamiku menjadi mozaik yang bersatu. Walaupun seharusnya mozaik itu adalah milikku juga. Namun aku tak diberikan kesempatan menempelkan kepingan satupun.
Bukan Dian saja yang melarangku melanjutkan hubungan dengan Edi, suamiku. Tetapi kedua orangtuaku pada awalnya tidak menyetujuinya. Kata mereka aku berubah semenjak kenal Edi. Perangaiku menjadi tak periang bahkan badanku kurus. Padahal jujur aku tak merasakan apa yang mereka bilang. Entah karena aku sedang dimabuk cinta. Maka larangan yang suamiku berikan dulu kukira adalah wujud cinta.
“Hapus nomer mereka semua! aku tidak suka!” ujar suamiku dulu.
“Tapi mereka Cuma teman mas. Aku tak pernah berpikir apapun.” ucapku sambil mencoba menata hati.
Kuakui semenjak pacaran, suamiku sangat cemburuan. Tidak ada nomer telepon lelaki di handponeku saat itu. Edi benar – benar menghapusnya. Berselisih hanya karena aku mendapat pesan singkat dari temanku yang laki – laki. Padahal hanya menanyakan tugas kuliah.
Perangai suamiku dulu tidak aku sadari berdampak pada kehidupanku. Saat itu kupikir sikapnya begitu karena rasa cintanya padaku. aku benar - benar dibutakan cinta. Perkenalan singkat berlanjut pada sebuah pernikahan. Orangtuaku akhirnya merestuiku. Edi menunjukkan keseriusannya dengan meminangku datang ke rumah. Pekerjaan Edi sebagai kontraktor dinilai cukup untuk merangkai masa depan yang cerah. Perangai Edi yang suka mengaturku belum terlihat ketika kami pacaran. Aku sering mengabaikan ketika kami bertengkar. Karena kukira hanya karena kecemburuan Edi padaku saja.
Berawal dari kekecewaan yang terus menerus kupendam. Tak ada tempat mengadu dan bersandar. Suamiku selalu pulang larut malam kemudian paginya dia harus berangkat ke kantor. Bahkan kedua anakku sibuk sekolah. Tinggal dua anak balita yang menemani hari – hariku. Perhatian yang mas Edi berikan ketika kami memadu kasih tak pernah kudapatkan setelah menikah. Bahkan ketika semua keluarga berlibur di akhir pekan. Aku masih harus berjibaku mengerjakan pekerjaan rumah. “Mas, anak – anak pengen berenang katanya mas.” “Sudahlah. Nanti saja kalau dari sekolah ikutnya. Menghabiskan uang saja. Lebih baik pakai beli beras!” ucap suamiku bila meminta ijin agar sekali – kali mengajak anak – anak keluar bersama. Nyaliku pun menciut untuk kesekian kali. Apalagi bila aku ijin shopping bersama, gumamku. Kembali kutelan pil pahit dalam relung hati terdalamku. Pernah aku mencoba menonton acara televisi bersama. Saat itu sedang menayangkan acara tarian pembukaan SEA GAMES.
Hingga akhirnya, pada suatu hari, dalam keadaan tak sadar, aku keluar rumah lalu menari di tengah jalan dengan telanjang bulat dan mengenakan pakaian dalam saja. Ya Allah sungguh memalukan. Orang - orang menceritakan padaku. Sungguh saat itu aku tak sadar. Cukup lama aku menari hingga orang - orang di jalan langsung mengambilku dan memberikan aku baju. Suamiku kaget bukan kepalang. Anak - anakku memelukku.Suamiku bilang aku menari gerakan Jaipong persis seperti aku pentas dulu. Gemulai tangan dan liukkan tubuhku masih sama. Aku tertawa lepas sembari sesekali menyibakkan rambut panjangku. Aku memang gila. Tapi saat itu, suamiku menangis pilu. Aku terlihat lepas tak memiliki beban. Aura penari yang dulu ada terasa bersinar bagaikan panggung megah dengan ribuan penonton. Aku berjalan kesana kemari mengikuti tempo lagu yang kubuat sendiri.Ketika aku dimasukkan kembali ke rumah, tubuhku memberontak. Seolah tak mau berhenti menari dan tertawa. Bahkan ketika sua
“Penderita gangguan jiwa berat terlebih dahulu mendapatkan perawatan di ruang intensif. Di ruang intensif, penderita gangguan jiwa mendapatkan perawatan selama kurang lebih satu minggu. Pasien yang masuk ke dalam ruang intensif tersebut merupakan pasien yang masih gelisah, cenderung mengamuk dan emosinya belum terkontrol,” ujar Dokter Wira meyakini suamiku. Rumah sakit akan melakukan pengawasan terhdap pasien di ruang intensif tersebut, serta obat yang lebin intensif. Selanjutnya, pasien akan mendapatkan perawatan di ruangan intermediet, sudah dapat bersosialisasi dan berinteraksi, namun masih perlu pengarahan dari petugas. Biasanya perawatan di ruang ini berlangsung dua pekan. Salah satu pemeriksaan pengobatanku adalah pemeriksaan fisik. Dokter akan memberikan perawatan sesuai diagnosa kondisi mental seseorang dengan pemeriksaan fisik terlebih dahulu. Wawancara dengan dokter adalah tahapan yang kulewati karena bicaraku yang tak terarah. Hanya mungkin s
Dua minggu berlalu, hampir setiap hari suamiku mampir ke rumah sakit. Terkadang hanya melihat wajahku saja dari balik jendela lalu Edi pulang kembali. Percuma saja menengokku. Aku takkan mengenali keluargaku. Aku hanya bisa tertawa, menari dan tersenyum. Kegiatanku hanya berjemur, mandi, makan dan berdiam diri di kamar. Kesadaranku belum pulih. Sesekali dokter memberikan semangat untukku mengingat kenangan indah. Namun yang muncul hanyalah tangisan dan teriakanku. Mungkin karena di tahun terakhir aku hidup, aku merasakan depresi teramat dalam. Sehingga kenangan indah tidak pernah muncul dalam ingatanku.“Minum obatnya dulu ya bu. Ibu suka lauk apa. Nanti saya buatkan.” ujar perawat padaku.“Dengan lantang kujawab aku suka makanan pedas.”“Wah, ibu keren. Ibu sudah mengingat sedikit ya.”Oh ya aku ingat aku pernah makan bersama di meja makan bersama anak – anakku. Meja itu berwarna coklat tua dan diberikan taplak h
Saat kondisi psikisku sudah sembuh, aku belum diperkenankan pulang oleh dokter. Beliau masih memantau perkembangan lebih lanjut. Jujur akupun merasakan belum siap kembali bersama keluargaku. Bayangan malu dan takut terulang kembali wajar aku rasakan. Namun suamiku mencoba meyakiniku dengan berjanji melakukan yang terbaik.Langkah awal suamiku akan lakukan adalah pindah ke rumah baru. Edi berpikiran dengan lingkungan dan suasana baru akan membuat kondisi mentalku cepat pulih. Tetangga baru takkan mengenali kejadian yang pernah aku lalui. Walau aku tak merasa malu pernah menjadi pasien rumah sakit jiwa. Guru ngajiku selalu mengatakan hal postif.“Memangnya kau mencuri? Kenapa harus malu! Malulah pada Allah. Mohon tobat karena kita kurang bersyukur, kurang iman, kurang ibadah dan banyak lagi kekurangan kita. Daripada mengorek terus kesalahan di masa lalu. Maka habiskanlah sisa hidupmu dengan banyak ibadah untuk menutupi kekuranganmu di masa lalu. Tetangga adalah cct
Hari itu tiba..Setelah enam bulan berobat di rumah sakit. Aku bisa menghirup udara luar. Angin semilir begitu ringan menyentuh tubuhku. Dengan ditemani suami dan anak – anakku, aku berjalan pasti menatap masa depan. Merekalah penolong dan pelindungku dikala kujatuh.“Ma, sini aku bawakan tas mama.”“Aku saja ma..”“hu hu gitu aja berebut. Kalau mau kalian gendong mama berani ga?” celetuk anak sulungku diikuti tawa renyah adik - adiknya.“Mau saja aku. Tapi kalau sudah besar ha ha..” mereka pun saling berlarian diiringi cekikikan tawa seluruh keluarga. Ada – ada saja tingkah polah mereka. Inilah yang aku rindukan saat ku tinggal di rumah sakit.Perkataan suamiku bahwa dia menyesali semua perbuatannya, membuatku merasa beruntung. Dia tidak tahu apa yang dilakukannya membuatku terluka. Dia berjanji bila aku sudah keluar dari rumah sakit, aku boleh menari lagi.Setel
"Kembang kembang tanjung... kembang tanjung... " Alunan musik sunda mengiringi anak - anak menari jaipong adalah hal yang sangat aku nikmati. Lekukan tubuh sang penari mengikuti tempo lagu terasa menyejukkan batinku yang selama ini gersang. Semenjak kudirikan sanggar, otomatis kesibukanku sebagai guru tari mengisi hari - hari indahku. Terlebih muridku semakin bertambah seiring berjalannya waktu. Aku selalu mensyukuri tiap detik dalam hidupku. Suami dan anak - anakku adalah penyemangatku berkarya. "Maaa.. ade pengen liburan dong ma hari Sabtu. Mama sibuk terus! " celoteh anak bungsuku. Kupeluk erat tubuhnya sembari kucium kening dengan penuh kasih sayang. "Nanti ya de. Mama janji kalau sudah ada pelatih yang bantu mama. Mama akan temani ade liburan. " "Janji ya maa... " "Iya sayang.." ucapku lirih. Suamiku yang berada di sebelahku hanya melirik ke arahku. Namun herannya, dia tidak berkomentar seperti biasanya. Terbersit pikiran aneh d
Tepat satu tahun bergelut dengan tari, kejiwaanku semakin membaik. Hari yang kujalani lebih bergejolak kurasakan. Setiap pagi adalah warna baru dalam hidupku. Aroma kopi dengan semilir angin jelas sekali menambah semangat jiwaku memulai hari. Anak - anak yang beranjak dewasa, membuat langkah kakiku lebih ringan menata hari. Ide di kepalaku menumpuk. Banyak sekali impian yang harus kuwujudkan. Aku harus berusaha selama Tuhan memberikanku umur. Aku tidak tahu berapa lama lagi umurku. Namun tekadku bulat. Takkan ada lagi yang menghalangiku menari di sisa hidupku. "Ma, aku mau sarapan roti bakar keju ya. Kalau ade pengen nasi goreng." ucap anak ketigaku. "Siap.Lalu mas mau apa? " tanyaku sambil tersenyum manis. "Sempet ga mama masaknya kalau mas minta?. Kalau sarapan mas mau nasi goreng saja. Hanya dari kemarin mas pengen makan dengan makanan kesukaanku. " "Rendang ya mas?aku usahakan ya mas. " "Aku mau rendang yang